Anda di halaman 1dari 36

Perekonomian Masa K.H.

Abdurrahman
Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun
tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih
baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi
dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam
negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator
dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya
pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden
tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya
jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat
terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara terus
berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan
Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak
puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik
semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF
juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank
Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah
Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor)
karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin
buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu
membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.

Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan Abdurrahman
Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan memburuknya hubungan
antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk investor
asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia.
Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan reformasi cenderung lebih
buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moodys
Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun
beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors) menurunkan prospek
jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan
mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif.
Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya
hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,
restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan
pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil
mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas
pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001
menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG
merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan
daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan
semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang menggambarkan
rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap pemerintah reformasi adalah
pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di
bawah ini, pada awal tahun 2000 kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9
Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level
Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agresif
terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta dolar AS per hari melalui bankbank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para
demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per
dolar AS. Inilah rekor kurs rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda
perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa
Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih

besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama,
perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal
dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, utang luar
negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik dari sektor swasta maupun pemerintah,
sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan
cadangan devisa yang pada minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS
menjadi 28,875 dolar AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman
Wahid memiliki karakteristik sebagai berikut:

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai


mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi
dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam negeri juga sudah
mulai stabil.

Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga kurang
baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999 mengenai
bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk pinjam uang dari
luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.

Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor asing menjadi
enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.

Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300 poin, dikarenakan
lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan
saham di dalam negeri.

Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup
berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan
ekonomi yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan
mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan
kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden
Megawati.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi
perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai
positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian
Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain
pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan
bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.

Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak
berlangsung lama. Presiden mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan
kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator
dan praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Ini berarti bahwa walaupun namanya
pemerintahan reformasi, tetapi tetap tidak berbeda denga rezim orde baru. Sikap presiden
tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
klimaksnya adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari jabatannya
jika usulan percepatan Sidang Istomewa MPR jadi dilaksanakan pada bulan Agustus 2001.
Selama pemerintahan reformasi, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang
dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa disintegrasi dan sara
terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik Maluku, dan pertikaian etnis di
Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh semakin gencar yang mencerminkan semakin
tidak puasnya mereka terhadap kondisi perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite
politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan
IMF juga tidak baik, terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai
Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk
pinjam uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya. Tidak
tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya kepada pemerintah
Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF.
Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (negara-negara donor)
karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin
buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu
membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan, Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan social yang tidak semakin surut selama pemerintahan
Abdurrahman Wahid menaikkan tingkat country risk Indonesia. Ditambah lagi dengan
memburuknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF. Hal ini membuat pelaku-pelaku
bisnis, termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan
modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa pemerintahan
reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan transisi. Bahkan, lembaga
pemeringkat internasional Moodys Investor Service mengkonfirmasikan bertambah buruknya
country risk Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan,
namun karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard
& Poors) menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia
akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali
negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political will) untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and for all. Pemerintah
cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan menganggap persoalannya
hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank Indonesia, desentralisasi fiskal,
restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan
pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil

mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas
pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil
perekonomian negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001
menunjukkan growth trend yang negatif. Dalam perkataan lain, selama periode tersebut IHSG
merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan
daripada kegiatan pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan
semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek.

III.

KESIMPULAN

Perekonomian Indonesia sejak pemerintahan masa orde lama hingga masa reformasi masih
mengalami beberapa gejolak. Perekonomian Indonesia masih jatuh bangun. Hal itu dapat dilihat
dari kemiskinan yang masih ada, pengangguran tingkat tinggi dikarenakan jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja, maraknya para koruptor
karena hukum di negeri ini kurang tegas (Indonesia termasuk dalam 5 terbesar Negara terkorup
didunia), masih terjadi kesenjangan ekonomi antara penduduk yang miskin dan yang kaya, nilai
rupiah masih sekitar Rp 9.000-Rp 10.000, dan masih memiliki hutang ke luar negeri.

Sejarah - Kondisi Politik dan Ekonomi pada Masa Pemerintahan Megawati


1. 1. Kelompok 5 1.Salsabila Liza Tuffahati 2.Syarifuddin 3.Tri Puji Hardiyanti
4.Vyqa Aldistyana 5.Wikaldy Pangestu
2. 2. KEBIJAKAN-KEBIJAKAN YANG DIAMBIL MEGAWATI
3. 3. KEBIJAKAN YANG DILAKUKAN PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI
SOEKARNO PUTRI 1.Kebijakan bidang politik Memelihara dan memantapkan
stabilitas nasional. Menjaga keutuhan NKRI. Membangun tatanan politik
baru. Usaha ini dilakukan dengan mengeluarkan UU baru yakni : UU No. 12
Tahun 2003 tentang pemilu. UU No. 22 Tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan DPR/MPR. UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden dan
wakil presiden. Mendukung dana, tenaga, dan sumber daya lain untuk
suksesnya penerapan UU tersebut. Segi yang lain, PNS dan TNI diharuskan
netral dari politik. Melanjutkan amandemen UUD 1945. Meluruskan
otonomi daerah.
4. 4. B. Kebijakan pada bidang ekonomi Memutuskan hubungan kerja dengan
IMF. Melakukan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan dengan
melakukan pembaruan ketentuan perundang-undangan. Meningkatkan
pendapatan melalui pajak, cukai, dan kepabeanan. Menciptakan situasi
kondusif bagi investor. Meningkatkan kegiatan ekspor. Mendorong
kemajuan usaha kecil dan menengah. Kerjasama ekonomi dan politik juga

dilakukan diluar blok AS dan sekutunya, seperti kerja sama pembelian


pesawat Sukhoi dengan Rusia dan kerjasama perdagangan dengan China.
5. 5. KONDISI POLITIK PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI
1. Membentuk Kabinet Gotong - Royong Kabinet Gotong - Royong (KGR)
dibentuk pada tanggal 10 Agustus 2001 dan berakhir pada tahun 2004
seiring lengsernya Presiden Megawati Soekarnoputri pada waktu itu. Kabinet
ini dinamakan KGR karena merupakan pemerintahan dari hasil banyak partai.
Pada masa Presiden Megawati memimpin, Indonesia sedang porak poranda
akibat beragam konflik seperti konflik komunal (Ambon, Poso, Sampang) dan
konflik politik (pemakzulan Gusdur). Para pelaku ekonomi, kalangan birokrasi,
pengamat politik, dan menteri dan setingkatnya menilai KGR ini cukup
tangguh, hal ini dapat dilihat bahwa 26 dari 32 jabatan menteri dan setingkat
menteri dijabat oleh para profesional yang menguasai bidang tugas masingmasing. Akan tetapi KGR ini mengecewakan karena terkesan lamban dalam
kinerjanya.
6. 6. 2. Mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) KPK didirikan pada
tahun 2003 oleh Presiden Megawati. Pendirian KPK ini didasari karena
Presiden Megawati melihat institusi Jaksa dan Polri saat itu terlalu kotor,
sehingga untuk menangkap koruptor dinilai tidak mampu, namun jaksa dan
polri sulit dibubarkan sehingga dibentuklah KPK. 3. Mengadakan pemilu yang
bersifat demokratis yang dilaksanakan tahun 2004 dan melalui dua periode
yaitu : a. Periode pertama untuk memilih anggota legislatif secara langsung.
Periode kedua untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.
Pemilu tahun 2004 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan secara
langsung artinya rakyat langsung memilih pilihannya. b. Pemerintahan
Megawati berakhir setelah hasil pemilu 2004 menempatkan pasangan Susilo
Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Hal ini merupakan
babak baru pemerintahan di Indonesia dimana Presiden dan Wakil Presiden
terpilih dipilih langsung oleh rakyat.
7. 7. KONDISI EKONOMI PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO
PUTRI 1. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997
mengakibatkan kemerosotan pendapatan perkapita. Pada tahun 1997
pendapatan perkapita Indonesia tinggal US$465. Melalui kebijakan pemulihan
keamanan situasi Indonesia menjadi tenang. Presiden Megawati berhasil
menaikan pendapatan perkapita cukup signifikan yaitu sekitar US$930. 2.
Ketenangan Megawati disambut oleh pasar, tak sampai sebulan dilantik kurs
melonjak ke Rp 8500 per dollar AS. Indeks harga saham gabungan (IHSG)
juga terus membaik hingga melejit ke angka 800. 3. Dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan nilai inflansi, presiden
Megawati menempuh langkah yang sangat kontroversi, yaitu melakukan
privatisasi terhadap BUMN. Pemerintah menjual indosat pada tahun 2003.
Hasil penjualan itu berhasil menaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia
menjadi 4,1% dan inflansi hanya 5,06%. Privatisasi adalah menjual
perusahaan negara didalam periode krisis. Tujuannya adalah melindungi
perusahaan negara dari interversi kekuatan-kekuatan politik dan melunasi
pembayaran utang luar negri.

8. 8. 4. Memperbaiki kinerja ekspor. Pada tahun 2002 nilai ekspor mencapai


US$57,158 miliar dan import tercatat US$31,229 miliar. Pada tahun 2003
ekspor juga menanjak keangka US$61,02 miliar dan import meningkat
keangka US$32,39 miliar. 5. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar
US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan
pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun. 6. Kebijakan
privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi
dijual ke perusahaan asing.
9. 9. 7. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi.
Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk
menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional. 8. Secara faktual, pemerintahan Megawati menjalankan kebijakan
privatisasi berdasarkan desakan dari luar, khususnya IMF dan bank dunia.
Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan kesepakatan yang dibuat
pemerintahan sebelumnya, Habibie, melalui stuctrual adjustment program
(SAP). 9. Selain itu, pertimbangan melakukan privatisasi dijaman Megawati
adalah untuk mencari pendanaan untuk menutupi deficit APBN. Seperti
diketahui, Megawati mewarisi sebuah kondisi ekonomi yang compang
camping akibat krisis ekonomi 1997. 10. Pada periode 1991-2001,
pemerintah Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12
BUMN.
10.10. 11. Pada masa pemerintahan Megawati, kerjasama ekonomi dan politik
luar negeri tidak begitu determinis di bawah kendali sebuah negara. 12. Di
masa pemerintahan Megawati, kerjasama ekonomi dan politik juga dilakukan
diluar blok AS dan sekutunya, seperti kerjasama pembelian pesawat Sukhoi
dengan Rusia dan kerjasama perdagangan dengan China. 13. Selain itu,
pemerintahan Megawati berusaha keras untuk keluar dari jebakan IMF. Hanya
saja, usaha itu dibiaskan oleh Budiono, Menteri Keuangan waktu itu, dengan
menandatangi post program monitoring (PPM) yang berarti melanjutkan
campur tangan IMF secara sembunyi-sembunyi. 14. Untuk perlindungan
terhadap perempuan dan TKI di luar negeri, pemerintahan Megawati pernah
mengajukan tiga RUU, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan di Lingkungan Kerja dan Rumah
Tangga, RUU Pekerja di Luar Negeri, dan RUU Tindak Pidana Perdagangan
Orang.
11.11. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PADA MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI
SOEKARNO PUTRI Kelebihan pada masa pemerintahan Megawati
Soekarnoputri : a) Menstabilkan fundamen ekonomi makro meliputi inflansi,
BI rate, pertumbuhan ekonomi, kurs rupiah terhadap dolar, angka
kemiskinan. b) Mulai melakukan pemberantasan KKN diantaranya dengan
keberanian me-nusakambang-kan dan memenjarakan kroni Soeharto (Tommy
Soeharto, Bob Hasan dan Probosutedjo) dan menangkap konglomerat

bermasalah Nurdin Halid. KPK didirikan pada masa pemerintahan Megawati.


c) Berhasil menyehatkan perbankan nasional yang collapse setelah krisis
ekonomi 1998 terbukti dengan dibubarkan BPPN pada Februari 2004 yang
telah selesai melaksanakan tugasnya. Hasilnya bisa dirasakan saat ini
perbankan nasional menjadi relative sehat. d) Indonesia berhasil keluar dari
IMF pada tahun 2003 yang menandakan Indonesia sudah keluar dari krisis
ekonomi yang terjadi sejak tahun 1998 dan Indonesia yang lebih mandiri.
12.12. Sedangkan kekurangan masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri : a)
Kurangnya pemahaman dalam bidang ekonomi sehingga keputusan yang
diambil tidak berpihak kepada rakyat. b) Terdapat kepentingan ekonomi dan
politik dibelakang pemerintahannya. c) Dianggap gagal melaksanakan
agenda reformasi dan tidak mampu mengatasi krisis bangsa.

13. 3.5 Keadaan eknomi pada zaman Gusdur (20 Oktober 1999-23 Juli 2001)
14. Pada pertengahan tahun 1999 di lakukan pemilihan umum, yang akhirnya di menangi
oleh partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Partai Golkar mendapat posisi ke
dua, yang sebenarnya cukup mengejutkan banyak kalangan di masyarakat. Bulan Oktober
1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden di selenggarakan pada tanggal 20
oktober 1999. KH abdurrahman wahid atau di kenal dengan sebutan gus dur terpilih
sebagai presiden RI ke empat dan mega wati sebagai wakil presiden. Tanggal 20 oktober
menjadi akhir akhir dari pemerintahan transisi, dan awal dari pemerintahan Gus Dur yang
sering di sebut juga pemerintah reformasi.
15.
16. Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999) kondisi perekonomian
Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif
walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemilihan perekonomian
Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain
pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan
bahwa kondisi moneter di dalam mengerti sudah mulai stabil.
17.
18. 3.6 Kebijakan yang dilakukan pada zaman Gusdur
19. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman wahid pun belum ada tindakan yang
cukup berati untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Kepemimpinan
Abdurraman Wahid berakhir karena pemerintahannya mengahadapi masalah konflik antar
etnis dan antar agama.
20.
21. 3.7 Keadaan ekonomi pada masa Megawati (23 Juli 2001-20 Oktober 2004)
22. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk
daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong
pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain masih kurang berkembangnya
investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta. Melihat indikator lainnya, yakni nilai
tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada pemerintahan Megawati
lebih baik. Namun tahun 1999 IHSG cenderung menurun, ini disebabkan kurang
menariknya perekonomian Indonesia bagi investor, kedua disebabkanoleh tingginya suku
bunga deposito.

23.
24. 3.8 Kebijakan yang dilakukan pada zaman Megawati
25. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasai persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
26. a. Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris
Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun
27.
28. b. Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam
periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatankekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak
kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing. Megawati
bermaksud mengambil jalan tengah dengan menjual beberapa asset Negara untuk
membayar hutang luar negeri. Akan tetapi, hutang Negara tetap saja menggelembung
karena pemasukan Negara dari berbagai asset telah hilang dan pendapatan Negara
menjadi sangat berkurang.
29.
30. 3.9 keadaan ekonomi pada masa SBY (20 Oktober 2004-sekarang)
31. Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara
Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan
langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai
pada tangan rakyat atau masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan
dana BOS kepada sarana pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat
masalah dalam kasus Bank Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan
sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
32.
33. Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang
sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring
pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
34.
35. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai
5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan
demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula. Sementara
itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor
eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor nonmigas Indonesia yang pada
triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen
dan masih berlanjut pada Januari 2010.
36.
37. Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya
kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan
utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan
yang signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah
besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum
menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik
dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki

pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah
garis kemiskinan.
38.
39. 3.10 Kebijakan yang dilakukan pada zaman SBY
40. Masa kepemimpinan SBY terdapat kebijakan yang sikapnya kontroversial yaitu
41.
42. a. mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini
dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke
sector pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung kesejahteraan
masyarakat.
43.
44. b. Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua,
yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
45.
46. c. Mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan
November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepaladaerah.
Investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi
investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah
kesempatan kerja juga akan bertambah.
47.
48. d. Lembaga kenegaraan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dijalankan pada
pemerintahan SBY mampu memberantas para koruptor tetapi masih tertinggal jauh dari
jangkauan sebelumnya karena SBY menerapkan sistem Soft Law bukan Hard Law.
Artinya SBY tidak menindak tegas orang-orang yang melakukan KKN sehingga banyak
terjadi money politic dan koruptor-koruptor tidak akan jera dan banyak yang
mengulanginya. Dilihat dari semua itu Negara dapat dirugikan secara besar-besaran dan
sampai saat ini perekonomian Negara tidak stabil.
49.
50. e. Program konversi bahan bakar minyak ke bahan bakar gas dikarenakan persediaan
bahan bakar minyak semakin menipis dan harga di pasaran tinggi.
51.
52. f. Kebijakan impor beras, tetapi kebijakan ini membuat para petani menjerit karena harga
gabah menjadi anjlok atau turun drastic
53.
54.
55. BAB IV
56. KESIMPULAN
57. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama Orde Baru memang telah menghasilkan suatu
proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi dengan biaya ekonomi tinggi dan fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir
dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya

ketergantungan Indonesia terhadap modal Asing, termasuk pinjaman, dan impor. Ini
semua membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang besar yang diawali oleh
krisis nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS pada pertengahan 1997.
58.
59. Memasuki pemerintahan masa transisi, sejak mulai terjadinya krisis di belahan Negaranegara Asia pada akhir masa pemerintahan orde baru, dan adanya peninggalan
ketergantungan Negara terhadap bantuan modal asing, sehingga mulai jatuhnya nilai
tukar Rupiah di pasar global. Negara-negara pemberi bantuan pun mulai tidak percaya
atas kemampuan Indonesia untuk menangani krisis yang terjadi di negaranya. Adanya
gejolak untuk mereformasikan Negara Indonesia oleh mahasiswa sehingga terjadi tragedy
tri sakti. Masa ini dipimpin oleh Habibie (1997-1998).
60.
61. Memasuki masa pemerintahan reformasi sampai masa cabinet SBY, merupakan masa
yang dipimpin oleh Gus Dur justru semakin memburuk keadaan ekonominya karena
seolah-olah tidak ada niat untuk berpolitik secara sungguh-sungguh terlihat dari caranya
memandang inflasi yang hanya dianggap sebagai pengaruh amandemen UU BI saja.
Kemudian digantikan oleh Megawati, namun tidak juga mengalami perbaikan walaupun
nilai tukar di pasar internasional mulai membaik dari masa pemerintahan Gus Dur.
Setelah memasuki masa pemerintahan SBY, merupakan tanggungjawab berat untuknya
memperbaiki perekonomian khususnya dalam menangani krisis dan inflasi, walaupun
pada masa jabata terakhirnya tahun 2009 mengalami gejolak untuk masalah BBM dan
harga pangan di pasar global. Masa ini dimulai tahun1999-2009.

erekonomian Pada Masa Megawati dan Perbandingannya dengan Masa


Susilo Bambang Yudhoyono
2. 1. Ekonomi Indonesia Tahun 2001
Perekonomian Indonesia tahun 2001 sebetulnya memiliki ruang gerak yang
cukup lebar untuk sedikit mengalami kemajuan dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, sejauh ini momentum menuju perbaikan tersebut tidak dimanfaatkan
dengan baik. Seiring dengan itu, sejumlah masalah-masalah ekonomi maupun
nonekonomi terus membayangi upaya pemulihan ekonomi. Sejumlah agenda
permasalahan yang mesti diselesaikan sebagai prasayarat pemulihan ekonomi
antara lain ialah penguatan landasan sektor perbankan agar dapat menjalankan
fungsinya

sebagai

menyangkut

kinerja

lembaga
BPPN

intermediasi.
(Badan

Agenda

Penyehatan

permasalahan

Perbankan

lain

Nasional)

ialah
dalam

melakukan restrukrisasi perusahaan penjualan aset-aset yang dikelolanya.


Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 berkisar antara 3-4 persen dan
bertumpu pada pengeluaran pembentukan modal tetap domestik bruto (gross
domestik

fixed

capital

formation)

dengan

catatan

perbankan

mulai

dapat

menyalurkan kredit dalam jumlah yang memadai. Sumber pertumbuhan lain adalah
pengeluaran konsumsi rumah tangga yang akan naik sebagai akibat mulai
membaiknya tingkat pencatatan real pada tahun 2000. Apalagi ditambah dengan
kepercayaan konsumen yang diharapkan terus membaik dengan telah terbentunya
pe,erintaha baru ditambah pula dengan stabilitas politik dan kemanan yang cukup
terjaga. Sementara itu, ekspor sangat sulit diharapkan dapat meningkat sebaik
tahun 2000 karena pertimbuhan ekonomi dunia tahun 2001 menunjukkan
kecenderungan menurun dibandingkan tahun 2000. Tantangan terberat adalah
upaya mempertahankan kinerja ekspor yang sudah dicapai pada tahun 2000. Tahun
2002

adalah

momentum

untuk

meningkatkan

kembali

ekspor,

sekalipun

pertumbuhan ekonomi dunia belum akan sebaik tahun 2000.

2. 2. Agenda Kebijakan Publik Kabinet Megawati


2. 2. 1. Kebijakan Moneter, Suku Bunga, Penyaluran Kredit, dan Inflasi
Dalam sistem nilai tukar bebas dan prefect capital mobility, kebijakan
moneter lebih efektif dibandingkan kebijakan fiskal dalam upaya mencapai
keseimbangan dan stabilitas makroekonomi. Kebijakan moneter lebih berperan
dalam

menstimulasi

pemulihan

ekonomi.

Kebijakan

moneter

yang

efektif

menjanjikan tercapainya inflasi yang rendah, stabilitas nilai tukar uang, dan suku
bunga. Dalam konteks ini, bila diapahami Bank Indonesia dan IMF memiliki peran
yang dominan bagi terciptanya stabilitas mikroekonomi dan pemulihan ekonomi.
Kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga SBI (Surat Berharga Bank
Indonesia) menjadi 14, 79 persen untuk jangka waktu tiga bulan per 10 Januari
2001 guna meredam melemahnya nilai tukar, mendapat tantangan dari pemerintah
karena dapat merangsang bank-bank menyimpan dananya dalam surat berharga ini
sehingga alokasi kredit ke sektor real akan berkurang.
Sekalipun nilai tukar rupiah telah mengalami penguatan berarti setelah
Megawati menjadi presiden, tampaknya Bank Indonesia masih menerapkan
kebijakan moneter yang ketat. Namun, dengan semakin stabilnya perbaikan
makroekonomi, tampaknya Bank Indonesia mulai melonggarkan target base money.
Langkah ini pada akhirnya didukung oleh IMF sehingga pada Lol terbaru yang

ditandatangani pada senin, 27 Agustus 2001, target base money ditingkatkan dari
Rp. 108 triliun menjadi Rp. 10, 8 Triliun.
Kecenderungan naiknya suku bunga berpotensi menggeroti pendapatan
perbankan yang sebagian besar berasal dari bunga obligasi. Naiknya suku bunga
SBI dapat mendorong naik suku bunga deposito yang pada akhirnya bank-bank
terutama bank rekap mengalami negatif spread kembali. Hal ini pada gilirannya
menggeroti modal atau CAR (capital adequacy ratio) merosot. Apalgi mengingat
struktur aktiva Bank Indonesia didominasi oleh obligasi pemerintah dengan
pendapatan bunga tetap 12 persen. Sekitar 55 persen dari total aktiva bank rekap
skala besar adalah bentuk obligasi.
Masalah lain adalah upaya pemerintah meningkatkan pendapatan pajak
bunga deposito sebesar 20 persen. Peningkatan pajak ini akan mengurangi bunga
real yang ditetapkan BI yang pada akhirnya akan mengurangi efektivitas kebijakan
moneter. Kecenderungan terakhir lingkungan eksternal tampaknya mendorong ke
arah penurunan tingkat suku bunga. Hal ini didorong tindakan Bank Sentral Amerika
Serikat yang menurunkan suku bunga sebagai antisipasi kebijakan terhadap
perekonomian Amerika Serikat yang mengalami slow down.
Tingkat suku bunga SBI yang akan cenderung meningkat menorong alokasi
dana ke sektor real akan berkurang karena tersedot ke BI. Hal terparah akibat
peningkatan suku bunga adalah negatif spread dapat dialami kembali oleh bankbank nasional. Pada tahun 2001, faktor-faktor yang menjadi tekanan terhadap
inflasi tampaknya tidak berbeda jauh dengan tahun 2000. Pemerintah telah
meningkatkan harga BBM sebesar rata-rata 30 persen pada pertengahan tahun
2001.

2. 2. 2. Kebijakan Fiskal (APBN), Subsidi, dan Utang


RAPBN tahun 2001 mengalami defisit sebesar Rp. 52 triliun atau sekitar 3,7
persen dari PDB. Jika dibandingkan dengan APBN tahun 2000 yang mengalami
defisit 4,5 persen dari PDB, maka defisit ini lebih kecil. Kendala di sisi pengeluaran
adalah tingginya beban pembayaran cicilan utang dan bunga, baik untuk utang
dalam negeri maupu utang luar negeri. Beban bunga akibat penerbitan obligasi

pemerintah untuk keperluan testrukrisasi perbankan, pada tahun anggaran 2000


dikeluarkan sebantak Rp. 38 triliun dan pada tahun anggaran 2001 direncanakan
akan dikeluarkan sebanyak Rp. 56 triliun. Sedangkan pembayaran cicilan utang luar
negeri dan bunganya mencapai Rp. 25, 2 triliun pada tahun 2000 dan Rp. 37, 5
triliun pada tahun 2001.
Beban lain adalah pengeluaran subsidi BBM. Peningkatan harga minyak di
satu

sisi

memang

meningktakan

penerimaan,

namun

di

sisi

pengeluaran

mengakibatkan beban pengeluaran subsidi meningkat. Pada tahun anggaran 2001


subsidi dialokasikan sebesar Ro. 48 triliun sedangkan pada tahun 2000 dialokasikan
sebesar Rp. 30, 8 triliun. Jika rencana peningkatan subsidi BBM sebesar rata-rata 20
persen pada bulan April 2001 gagal, diperkirakan akan menambah defisit APBN
sebesar Rp. 4, 81 triliun.
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, dana APBN tahun 2001 sebesar
Rp. 33,5 triliun merupakan dana perimbangan daerah yang alokasinya sepenuhnya
tergantung preferensi daerah. Hal ini dari sisi fiskal berarti pemerintah pusat
kesulitan membuat agar dana perimbangan tersebut berdampak ekspansif bagi
perekonomian.

Pembiayaan

defisit

bersumber

dari

penjualan

aset

program

restukrisasi perbankan sebesar Rp. 27 triliun dan privatisasi sebesar Rp. 6, 5 triliun.
Perkembangan terakhir hubungan dengan IMF menunjukkan tanda-tanda
sangat positif bagi keberlangsungan mendapatkan sumber dana murah dari luar
negeri. Dengan telah ditandatangani Lol, maka akan segera cair pinjaman dari IMF
sebesar US$ 400 JUTA. Dampak positif yang lebih signifikan adalah untuk APBN
2002.

2. 2. 3. Neraca Pembayaran, Kinerja Ekspor, Arus Modal, dan Kurs


Permintaaan ekspor pada tahun 2001 mengahadapi ancaman karena
pertumbuhan negara tujuan ekspor utama yaitu AS, mengalami pertumbuhan yang
lebih rendah dibandingkan tahun 2000. Permintaan ekspor sangat sulit diharapkan
dapat meningkat karena pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 yang menujukkan
kecenderungan menurun dibandingkan tahun 2000. Dihadapkannya pada situasi
stablitas politik dan kemanan pada dua bulan pertama 2001 yang cenderung

memburuk ditamdai kerusuhan di Jawa Timur, kerusuhan etnis di Kalimantan


Tengah, dan tensi politik yang semakin tinggi untuk mengganti presiden setelah
disetujuinya. Memorandum I DPR mempertahankan, apalagi meningktakan, kinerja
ekspor menjadi semakin sulit.
Dilihat dari jangka waktu, utang luar negeri Indonesia yang berjangka waktu
pendek (jatuh tempo dalam setahun) sampai Oktober 2001 sebesar US$ 29 miliar,
terdiri dari uang pemerintah sebesar US$ 3,4 miliar dan utang swasta sebesar US$
25,6 miliar. Besarnya utang luar negeri yang jatuh tempo tentu akan memperberat
beban neraca pembayaran dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Nilai tukar mata
uang rupiah terhadap dolar AS cenderung melemah pada kahir tahun 2000 dan
apad awal tahun 2001. Nilai tukar rupiah sejak awal Januari sampai akhir Maret
2001 lebih tinggi dari dari asumsi yang telah ditetapkan, yaitu sebesar Rp. 7.000
per dolar AS. Beberapa tekanan yang membuat rupiah melemah adalah: Pertama,
situasi sejak bulan April 200 menjelang Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus
serta beberapa peristiwa lain seperti pemboman yang mengganggu stabilitas politik
dan keamanan. Kedua, menguatnya mata dolar AS hampir terhadap semua mata
uang dunia. Ketiga, permintaan valas untuk pembayaran utang luar negeri jatuh
tempo.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 tanggal 3 Januari 2001 tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valas oleh bank membawa
implikasi pada perbatasan penyediaan rupiah oleh bank-bank di Inonesia kepada
bukan penduduk. Tujuan kebijakan ini adalah meredam transakasi rupiah untuk
spekulasi oleh bukan penduduk. Peraturan ini mencakup: Pertama, larangan
pemberian kredit, penempatan dana, termasuk penempatan antarkantor dan
transfer rupiah ke luar negeri., penempatan dana surat-surat berharga yang
diterbitkan oleh bukan penduduk dengan didominasi rupiah, serta peryetaan dalam
rupiah kepada bukan penduduk. Kedua, pembatasan transaksi derivatif valas tanpa
didasari underlying transaction maksimun US$ 3 juta. Trnsaksi dimaksud mencakup
forward jual, swap jual, option jual, call atau beli put, yaitu masing-masing valas
terhadap rupiah.

2. 3. Pertumbuhan Perekonomian di Masa Pemerintahan Megawati

Pada tahun 2001 sampai 2004 perhitungan PDB berdasarkan tahun dasar
2000, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 4,6 persen. Akhirnya pada masa
reformasi yaitu tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, pergeseran itu semakin
cenderung ke sektor Industri Pengolahan yaitu 27,8 persen pada tahun 2000
menjadi 28,3 persen pada tahun 2004, sedangkan sektor lainnya semakin mengecil.
Sektor Pertanian pada tahun 2000 turun menjadi 15,6 persen dan turun lagi
menjadi hanya 15,4 persen pada tahun 2004;sektor pertambangan dan penggalian,
sempat naik di tahun 2000 yaitu menjadi 12,1 persen tetapi turun lagi menjadi 8,6
persen pada tahun 2004. Sedangkan sektor lainnya turun menjadi 44,6 persen pada
tahun 2000 dan 47,7 persen pada tahun 2004.
Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada masa recovery,
kedua dan kebangkitan kembali perekonomian Indonesia 2000-2004 bertumbuh
sebesar 3-4 persen. Mulai tahun 2000 sampai 2004 angkanya semakin naik, 3,1
persen tahun 2000 menjadi 4,9 persen tahun 2004. Pengeluaran konsumsi
pemerintah juga mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi semakin
mengecil bila dibandingkan antar tahun 2000-2004. Sebesar 6,5 persen tahun 2000
menjadi 2,0 persen tahun 2004. Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
bertumbuh cukup bagus mulai sebesar 14,2 persen pada tahun 2000 menjadi 15,7
persen tahun 2004. Hal ini mengindikasikan sudah mulai kembali bergeraknya roda
investasi yang pada masa sebelumnya sewaktu krisis ekonomi sempat mandek dan
berhenti. Pertumbuhan ekspor barang dan jasa juga semakin membaik, walaupun
sempat mengalami stagnasi dan pertumbuhan negatif tahun 2001 dan 2002
sebesar 0,6 dan 1,2 tetapi kemudian memberikan pertumbuhan yang tinggi tahun
2000 sebesar 26,5 persen dan 8,5 persen tahun 2004. Tahun 2000-2004 dalam
masa pemulihan ekonomi kontribusi pengeluaran konsumsi rumah tangga naik
kembali dari 61,7 persen tahun 2000 menjadi 66,5 persen tahun 2004. Kontribusi
pengeluaran konsumsi pemerintah yang sempat menurun tahun-tahun sebelumnya
pada masa pemulihan ekonomi ini agak naik sedikit dari sebesar 6,5 persen tahun
2000

menjadi

8,2

persen

tahun

2004.

Pembentukan

Modal

Tetap

Bruto

kontribusinya masih belum sebesar masa-masa sebelum pemulihan ekonomi yang


biasanya di atas 20 persen, yaitu 19,9 persen tahun 2000 menjadi 21,0 persen,
bahkan tahun 2003 hanya sebesar 18,9 persen. Begitu pula dengan kontribusi

impor barang dan jasa juga menurun dari 30,5 persen tahun 2000 menjadi 26,9
persen tahun 2004.
Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh
lebih buruk daripada masa pemerintahan Gusdur. Inflasi yang dihadapi Kabinet
Gotong Royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Rendahnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain
masih kurang berkembangnya investor swasta, baik dalam negeri mauoun swasta.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi pemerintahan
Indonesia pada pemerintahan Megawati lebih baik.
Saat Ibu Megawati memerintah, nilai tukar rupiah kita berada pada posisi
stabil dikisaran Rp. 8000 per 1 dollar. Hal ini berhasil dipertahankan hingga akhir
masa

jabatannya.Pencapaian

yang

dilakukan

pada

masa

pemerintahan

Ibu

Megawati itu, termasuk istimewa, karena sebelumnya, nilai tukar rupiah berada
pada posisi antara Rp. 9000 hingga Rp. 14 ribu rupiah.
Setahun usia pemerintahan Megawati Soekarnoputri dianggap belum banyak
memberikan kemajuan di bidang perekonomian. Publik menilai, berbagai upaya
perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah masih terasa gamang. Sekalipun
dalam beberapa persoalan upaya pemerintah saat ini masih relatif lebih baik
daripada pemerintahan sebelumnya, semua itu secara langsung belum menyentuh
kehidupan masyarakat.Kesimpulan demikian merupakan salah satu rangkuman dari
jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan di 13 ibu kota provinsi. Jajak
pendapat

yang

diselenggarakan

untuk

keempatkalinya

ini

secara

umum

mengungkap berbagai ketidakpuasan responden terhadap kinerja pemerintah di


bidang perekonomian maupun kesejahteraan masyarakat.
Dalam anggapan publik, kinerja pemerintahan Megawati tiga bulan terakhir
masih belum beranjak dari triwulan sebelumnya. Jika dalam jajak pendapat bulan
kesembilan pemerintahan Megawati sempat terbersit titik cerah dan optimisme dari
sebagian masyarakat, maka pada saat ini mulai terjadi stagnasi kepuasan dan titik
balik optimisme publik.
Bahkan, apabila mengamati pola umum ekspresi ketidakpuasan publik saat
ini, tak bisa dielakkan bahwa ada kecenderungan merosotnya pamor pemerintahan
Megawati di bidang perekonomian. Sikap pesimistis tersebut tercermin dari

kenaikan persentase responden yang terekam. Apabila proporsi ketidakpuasan


responden pada penilaian sembilan bulan pemerintahan mencatat angka 66 persen,
kini naik menjadi 70 persen.
Parahnya, ungkapan ketidakpuasan publik ini tersebar dengan derajat yang
tinggi pada setiap kalangan, baik dari responden yang mengaku sebagai simpatisan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) maupun non-PDI Perjuangan. Mereka
yang mengaku pada pemilu lalu memilih PDI-P, misalnya, hampir dua per tiga
bagian responden (62 persen) kalangan ini mengaku tidak puas terhadap kinerja
presiden. Terlebih bagi mereka yang mengaku simpatisan partai lain, ungkapan
ketidakpuasan disuarakan oleh 72 persen responden.
Derajat ketidakpuasan juga terjadi pada seluruh wilayah pengumpulan
pendapat ini. Baik mereka yang bermukim di Jakarta, Medan, maupun Jayapura
menunjukkan

ekspresi

ketidakpuasan

yang

relatif

sama.

Dengan

demikian,

tampaknya sikap publik berlaku universal, menganggap bahwa kondisi perekonmian


yang mereka rasakan setahun terakhir ini memang tidak juga membaik.
Ada beberapa indikator penyikapan publik terhadap kinerja pemerintah
dalam

bidang

perekonomian

dan

kesejahteraan

rakyat

ini.

Dalam

bidang

perekonomian, penguatan nilai rupiah selama dua triwulan belakangan dianggap


merupakan nilai lebih pemerintah. Kondisi demikian memang masih lebih baik jika
dilihat dari era pemerintahan sebelumnya dengan ukuran periode waktu yang
sama.
Namun, kondisi tersebut tampaknya juga mulai menampakkan titik jenuh.
Setelah terus-menerus menguat hingga titik Rp 8.000-an dari Rp 10.000, pada awal
tahun ini, belakangan rupiah mulai merambat kembali, nyaris menyentuh Rp 9.000
per dollar AS. Fluktuasi rupiah tersebut terbukti menahan optimisme publik yang
tadinya sempat berbinar. Saat ini, tidak kurang dari 33 persen yang merasa puas.
Padahal, tiga bulan sebelumnya tingkat kepuasan mencapai proporsi 36 persen
responden.
Sekalipun upaya pemerintah saat ini masih dianggap lebih baik dari periode
sebelumnya, ungkapan ketidakpuasan publik tetap mendominasi segenap penilaian
setahun usia pemerintahan. Pasalnya, segenap upaya pemerintah secara langsung
belum menyentuh keseharian ekonomi masyarakat. Dalam praktik, membaiknya

nilai tukar rupiah tidak diikuti oleh penurunan ataupun stabilitas harga barang
kebutuhan pokok. Tidak hanya itu, beberapa kebijakan kenaikan tarif yang
didasarkan pada kenaikan bahan bakar minyak justru semakin memperparah beban
ekonomi masyarakat. Bercermin dari pengalaman itu, sebanyak 77 persen
responden merasa tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengendalikan
harga-harga kebutuhan pokok.
Dari sisi penanganan bidang kesejahteraan masyarakat, penilaian publik atas
kinerja pemerintahan Megawati tidak juga menampakkan hasil menggembirakan.
Berbagai indikator yang terekam dari jajak pendapat ini memperlihatkan mulai
menurunnya pamor Me-gawati dalam menangani masalah kesejahteraan sosial.
Melihat sisi penyediaan lapangan kerja, misalnya, sejalan dengan laju pertumbuhan
ekonomi yang tak juga membaik, penyediaan lapangan kerja baru seakan menjadi
tembok yang sukar ditembus. Angka 40 juta penganggur yang ada nyaris tak
berkurang secara signifikan sejak awal Masa Pemerintahan Megawati. Melihat
kenyataan

itu,

tak

heran

jika hampir 85 persen

responden

menyuarakan

ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah menyediakan lapangan kerja.


Tingginya ketidakpuasan dalam bidang kesejahteraan terekam pula dalam
penilaian

publik

atas

penanganan

sektor

pendidikan.

Dibanding

triwulan

sebelumnya, persentase ketidakpuasan responden membesar menjadi 63 persen.


Padahal, tiga bulan sebelumnya ketidakpuasan dalam pendidikan diungkapkan oleh
55 persen responden. Bisa jadi, peningkatan ini berkaitan dengan berbagai problem
pendidikan dalam kualitas dan kuantitas persekolahan yang acap dikeluhkan
masyarakat di era tahun ajaran baru. Berbagai peningkatan dan stagnasi
kekecewaan publik terhadap kondisi perekonomian dan kesejahteraan rakyat tak
ayal memupuk penurunan optimisme publik atas kinerja Megawati. Secara
akumulatif, jika pada tiga jajak pendapat triwulanan terdahulu tingkat keyakinan
publik selalu menaruh harapan yang tinggi pada Megawati, maka mulai satu tahun
usia pemerintahan keyakinan itu menurun hingga kini pada posisi berimbang. Saat
ini, sebanyak 46 persen responden tidak lagi merasa yakin bahwa di masa yang
akan datang pemerintahan Megawati akan mampu memperbaiki keadaan ekonomi.
Namun, sebanyak 45 persen responden lain masih menaruh keyakinan pada
kemampuan pemerintah dalam memperbaiki persoalan-persoalan perekonomian.
Peningkatan rasa pesimistis publik ini tentu harus dipandang sebagai sesuatu yang

mengkhawatirkan. Terlebih tren peningkatan ini juga sudah terjadi di era


pemerintahan sebelumnya. Artinya, selama terjadi perubahan kepemimpinan belum
ada satu pun yang mampu memberikan kepuasan masyarakat. Sebenarnya, apa
yang menjadi harapan publik tidak beranjak dari dua persoalan ini, yaitu mereka
berharap pemerintah secepatnya mengendalikan harga ba-rang kebutuhan pokok
dan penciptaan lapangan pekerjaan. Kedua persoalan tersebut menjadi prioritas
mengingat keduanya secara langsung berkaitan dengan kehidupan ekonomi
mereka. (Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas).
Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua tahun
masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik oleh
pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama ini
membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada
mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional dan
mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan
kondisi

membaik,

namun

rakyat

Indonesia

masih

banyak

yang

miskin,

pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an
per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi
masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di
dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.

2.

4.

Perbandingan

kondisi

Perekonomian

di

Masa

Pemerintahan

Megawati
dan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Zaman pemerintahan Ibu Megawati, rasio utang dengan PDB juga turun, dari
77 persen menjadi 57 persen. Patut diingat, hal itu dicapai dalam jangka waktu 3
tahun saja. Berbeda dengan SBY yang baru mencapainya dalam 5 tahun masa
pemerintahannya.
Hal yang menakutkan, dari sedemikian besar utang, hanya 0,3 % saja yang
dipergunakan oleh SBY untuk mensubsidi rakyat miskin. Artinya, upaya membantu
masyarakat kecil (melalui program BLT, PNPM, BOS, dll.) memang benar-benar kecil
nilainya.

Naiknya besaran utang Indonesia, itu sama artinya, beban cicilan dan pokok
utang juga semakin membengkak. Kondisi ini menekan alokasi anggaran belanja
pemerintah untuk kebutuhan utama pemerintah, yaitu untuk meningkatkan
kesejahteraan

rakyat.Dampak

besarnya

utang

tersebut,

sangat

mengancam

kedaulatan dan ketahanan ekonomi bangsa kita, termasuk didalamnya, nilai tukar
rupiah. Sewajarnya, nilai tukar rupiah kita berada pada level 8000 rupiah per 1
dollar, atau dibawahnya. Sekarang, nilai tukar rupiah adalah antara Rp. 10 ribu
hingga Rp. 12 ribu (nilai Rp 12 ribu per 1 dollar terjadi pada bulan Februari 2009
kemarin).
Apabila nilai tukar rupiah bisa mencapai angka Rp. 8000 per 1 dollar, itu baru
terjadi stabilitas ekonomi. Posisi nilai tukar rupiah bisa mencapai angka Rp. 8000
per 1 dollar, adalah nilai tukar yang seharusnya dicapai dan membuat indikator
perekonomian Indonesia bisa dibilang membaik dan telah baik.
Saat Ibu Megawati memerintah, nilai tukar rupiah kita berada pada posisi
stabil dikisaran Rp. 8000 per 1 dollar. Hal ini berhasil dipertahankan hingga akhir
masa rupiah kita berada pada level 8000 rupiah per 1 dollar, atau dibawahnya.
Pencapaian yang dilakukan pada masa pemerintahan Ibu Megawati itu,
termasuk istimewa, karena sebelumnya, nilai tukar rupiah berada pada posisi
antara Rp. 9000 hingga Rp. 14 ribu rupiah. Kondisi ekonomi Indonesia mulai
membaik dan terkendali setelah dua tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi
sedikit dana subsidi MIGAS ditarik oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar
kemudian Minyak Tanah yang selama ini membebani pemerintah. Pemerintah
cenderung menyerahkan harga barang pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi
domestiknya

berwawasan

internasional

dan

mengikuti

sistem

ekonomi

internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan kondisi membaik, namun


rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi
pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli
masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia
termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober
2004), dan sebagainya.
Secara teoritik, neoliberalisme merupakan teori ekonomi yang benar-benar
membebaskan pasar bertindak, ketimbang regulasi, sehingga cenderung disebut

menihilkan peran negara. Disini, mengutip Vincent Navarro, pokok kebijakan


neoliberalisme adalah sebagai berikut; (i) deregulasi pasar tenaga kerja, melalui
penerapan sistim kontrak dan outsourcing, (ii) deregulasi pasar financial, (iii)
deregulasi perdangan barang dan jasa, (iv) mengurangi subsidi dan jaminan sosial
untuk public, (v) privatisasi dan penjualan asset strategis, (vi) mempromosikan
individualisme dan konsumerisme, (vii) pengembangan teori dan narasi yang
memuji-muji keunggulan pasar, (viii) mempromosikan anti-intervensionisme.
Kita tidak akan menggunakan keseluruhan parameter tersebut, tetapi hanya
mengambil beberapa point kebijakan neoliberal yang familiar bagi rakyat luas,
seperti soal privatisasi, utang luar negeri, soal pencabutan subsidi, dan liberalisasi
ekonomi. Tujuannya, tentu saja, supaya rakyat lebih mudah memahami perbedaan
era pemerintahan SBY dan pemerintahan sebelumnya, serta watak neoliberal rejim
SBY yang lebih agressif dibanding sebelumnya.

2. 4. 1. Kebijakan Privatisasi
Secara teoritis, bagi penganut neoliberal, privatisasi dimaksudkan sebagai
jalan untuk mengatasi masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan
menjadi lebih efisien, serta mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi
akibat pelayanan public gratis (Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah
mengarah para pengguna jasa untuk membeli dengan harga yang lebih mahal,
karena perusahaan yang terprivatisasi kini menggunakan kriteria bisnis dan
mencari keuntungan (profit).
Baiklah,

kita

memperbandingkan

privatisasi

di

zaman

pemerintahan

Megawati dan pemerintahan SBY sekarang ini:

Secara faktual, baik pemerintahan

Megawati maupun Susilo Bambang

Yudhoyono, menjalankan kebijakan privatisasi berdasarkan desakan dari luar,


khsusunya IMF dan bank dunia. Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan
kesepakatan

yang dibuat pemerintahan sebelumnya,

Habibie, melalui

stuctrual adjustment program (SAP), maka SBY menjalankan privatisasi


dengan dimandori secara langsung oleh Bank Dunia.

Selain itu, pertimbangan melakukan privatisasi di zaman Megawati adalah


untuk mencari pendanaan untuk menutupi defisit APBN. Seperti diketahui,
Megawati mewarisi sebuah kondisi ekonomi yang compang camping akibat
krisis ekonomi 1997. Sementara di bawah pemerintahan SBY, kondisi APBN
cenderung

membaik,

privatisasi

memang

dan

bahkan

berdasarkan

surplus.
scenario

Artinya,

SBY

neoliberalisme,

menjalankan
sementara

Megawati menjalankannya sebagai pertimbangan pragmatis dalam situasi


darurat.

Dari segi jumlah BUMN yang diprivatisasi, SBY jauh lebih agressif ketimbang
Megawati.

Berdasarkan

catatan

kami, Periode

1991-2001,

pemerintah

Indonesia 14 kali memprivatisasi BUMN. Yang terprivatisasi 12 BUMN.


Sedangkan dibawah SBY, situasinya cukup menggemparkan, bayangkan,
hanya dalam setahun 44 BUMN dilego. Apalagi, privatisasi kali ini disertai
penjualan seluruh saham 14 BUMN industri, 12 BUMN kepada investor
strategis, dan beberapa BUMN lainnya kepada asing. Jadi, SBY benar-benar
royal dalam mengobral BUMN dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

2. 4. 2. Soal Utang Luar Negeri

Soal

kebijakan

utang

luar

negeri,

pemerintahan

SBY

terlalu

banyak

melakukan kebohongan terhadap publik. Soal utang kepada IMF, misalnya,


SBY mengatakan bahwa jumlahnya semakin menurun, tetapi angka kumulatif
utang luar negeri terus bertambah dari donatur di luar IMF, baik dari Bank
Dunia, ADB, Paris Club, dsb, maupun dari utang bilateral.

Semasa pemerintahan Megawati, yaitu 3,5 tahun, jumlah utang luar negeri
Indonesia bertambah sebesar Rp 12 triliun. Sementa itu, di bawah
pemerintahan SBY, tercatat terjadi peningkatan total utang luar negeri secara
signifikan dari Rp. 662 triliun (2004) menjadi Rp. 920 triliun (2009). Artinya
pemerintahan SBY berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara
pengutang dengan kenaikan 392 triliun dalam kurun waktu kurang 5 tahun.

Dalam tiap tahunnya, misalnya, Megawati menambah utang rp 4 triliun


pertahun, sementara pemerintahan SBY menambah utang sebesar 80 trilyun
pertahun. Jika dibandingka dengan era Soeharto pun, SBY masih jauh lebih
beringas, dimana SBY menambah 80 trilyun pertahun, sementara soeharto
menambah 1500 trilyun dalam 32 tahun.

Untuk diketahui, outstanding Utang luar negeri Indonesia sejak tahun 20042009 terus meningkat dari Rp1275 triliun menjadi Rp1667 triliun.

Sementara itu, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran
bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan tren yang
meningkat. Sejak awal masa pemerintahan presiden SBY di tahun 2005
sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok
pinjaman luar negeri sebesar Rp277 triliun. Hal inilah, secara factual, yang
menyebabkan APBN tidak bisa berfungsi untuk mendanai pembangunan dan
belanja capital.

Pada tahun 2003, ketika Budiono menjabat menteri keuangan, dia berusaha
memperpanjang kontrak dengan IMF melalui Post Program Monitoring (PPM),
padahal sidang MPR mengamanatkan kepada pemerintah untuk mengakhiri
kerjasama dengan IMF.

2. 4. 3. Soal Pencabutan Subsidi


Dalam hal pencabutan subsidi BBM, pemerintahan SBY jauh lebih agressif
dalam mencabut subsidi BBM. Dihitung berdasarkan persentase, maka tingkat
kenaikan BBM pada era pemerintahan Megawati adalah 31%, sementara tingkat
kenaikan BBM pada pemerintahan SBY adalah 64%.

2. 4. 3. Liberalisasi Perdagangan dan Investasi

Pada masa pemerintahan SBY, liberalisasi ekonomi berlangsung di bidang


perdagangan, industri dan investasi.

Di bidang perdagangan, SBY menjadi pengikut setia WTO dalam mendorong


penghapusan tarif impor dan ekspor di kawasan Asia Tenggara. Selain itu,
SBY juga aktif dalam mendorong Free Trade Agreement (FTA) dengan negaranegara lain, seperti ASEAN EU FTA, ASEAN Jepang FTA, ASEAN India FTA,
ASEAN Korea Selatan FTA, dan Indonesia Jepang EPA.

Di bidang industri, di bawah pemerintahan SBY, banyak sektor Industri yang


menderita kekurangan bahan baku. Industri rotan, misalnya, harus tutup dan
mengalami kebangkrutan karena SBY meliberalisasi rotan Indonesia.

Di sektor energi, liberalisasi juga menyebabkan pasokan gas untuk industri


juga mengalami kemandekan. Sebagai misal, Dua pabrik pupuk besar, yaitu
PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan Asean Aceh Fertilizer (AAF), harus tutup.
Selain itu, ada banyak industri di dalam negeri yang menderita kekurangan
pasokan energi, akibat keputusan pemerintahan SBY meliberalkan sektor
energi dan menerapkan kebijakan ekspor bahan mentah.

Puncak liberalisasi di era pemerintahan SBY adalah pengesahan pengesahan


UU Penanaman Modal No. 25/2007 dan Peraturan Presiden No. 76 dan 77.
Dalam UU Penanaman Modal yang dihasilkan pemerintahan SBY tersebut,
tidak ada lagi perlakuan yang berbeda antara modal asing dan dalam negeri.
Selain itu, UU PM ini juga menjamin kepemilikan saham oleh pihak asing
hingga 100%. Artinya, dengan UU PM ini, Indonesia tidak punya lagi
kedaulatan ekonomi.

Di sektor jasa, khususnya pendidikan dan kesehatan, SBY juga begitu aktif
dalam mengaprove proposal yang diajukan WTO. Di bidang pendidikan,
misalnya, pemerintahan SBY menghasilkan RUU BHP yang mengarahkan
pendidikan pada mekanisme pasar.

Sebagai dampak dari liberalisasi yang diperkenalkan SBY, di sektor migas,


misalnya, pihak asing mengontrol hingga 85-90% pengelolan migas nasional,
akibatnya 85% produksi migas nasional dikontrol oleh pihak asing. Kemudian,
Sebanyak 65% kepemilikan saham di pasar modal adalah asing. Sebesar 14
milyar dollar AS kepemilikan SBI dan SUN adalah asing.

Selain itu, sebagai dampak penerapan liberalisasi investasi, Lebih dari 95 juta
hektar lahan telah diserahkan kepada perusahaan minyak di sektor hulu
dalam rangka ekploitasi minyak. Lebih dari 40 juta hektar diserahkan dalam
rangka eksploitasi mineral dan batubara, sekitar 7 juta hektar diserahkan
untuk korporasi perkebunan dan sekitar 31 juta hektar diserahkan untuk
korporasi kehutanan.

2. 4. 4. Aspek-Aspek Kemandirian dalam Pemerintahan Megawati


Pada masa pemerintahan Megawati, kerjasama ekonomi dan politik luar negeri tidak
begitu determinis di bawah kendali sebuah negara. Tidak seperti SBY sekarang ini,
dimana benar-benar terfokus dan ditentukan oleh AS dan negara-negara kapitalis
maju. Di masa pemerintahan Megawati, kerjasama ekonomi dan politik juga
dilakukan diluar blok AS dan sekutunya, seperti kerjasama pembelian pesawat
Sukhoi dengan Rusia dan kerjasama perdagangan dengan China.
Selain itu, pemerintahan Megawati berusaha keras untuk keluar dari jebakan IMF.
Hanya saja, usaha itu dibiaskan oleh Budiono, menteri keuangan waktu itu, dengan
menandatangi post program monitoring (PPM) yang berarti melanjutkan campur
tangan IMF secara sembunyi-sembunyi.
Untuk perlindungan terhadap perempuan dan TKI di luar negeri, pemerintahan
Megawati pernah mengajukan tiga RUU, yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan di Lingkungan Kerja dan Rumah
Tangga, RUU Pekerja di Luar Negeri, dan RUU Tindak Pidana Perdagangan.
2. 5. Proses Manipulasi Prestasi Ekonomi Pemerintahan SBY

2. 5. 1. Pengangguran

Jika mengacu pada BPS yang dikendalikan SBY, maka tingkat pengangguran
terbuka pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta atau 8,14 persen dari total
angkatan kerja. Hal ini jelas manipulatif, karena dibasiskan pada metode
penghitungan yang tidak tepat. Dalam penghitungan BPS, seseorang disebut

bekerja bila dapat bekerja sejam dalam seminggu. Dengan metode ini, maka
kelompok pekerja informal termasuk orang yang bekerja menjadi pak ogah'
di pagi dan sore, penjual asongan, pekerja serabutan dan orang yang ikut
kampanye dan kegiatan partai, dapat disebut sebagai pekerja. Penghitungan
ini tidak akurat, karena akhirnya tidak menjelaskan angka real orang yang
bekerja dan memperoleh pendapatan yang layak.

Jadi, apa yang dikatakan sebagai penurunan angka pengangguran dan


pembukaan lapangan kerja baru oleh BPS, dan diklaim prestasi SBY, adalah
pertumbuhan pekerja informal. Porsi kerja Informal yang pada tahun 2005
hanya 63%, meningkat menjadi 69% pada tahun 2008. Pekerja informal ini
termasuk kelompok unpaid worker (istri, anak, saudara, dll). Pantas bila pada
tahun 2008, klaim penciptaan lapangan kerja baru sebesar 2,6 juta ternyata
41%nya adalah lapangan kerja sektor jasa kemasyarakatan.

2. 5. 2. Kemiskinan

Seperti dalam kasus penghitungan pengangguran, BPS juga menggunakan


standar minimum dalam menghitung angka kemiskinan.

Selain itu, klaim SBY berhasil mensejahterakan benar-benar menyesatkan,


karena tidak didukung data-data dan fakta lapangan. Sebagai misal, angka
prestisius SBY itu bertolak belakarang dengan tingginya inflasi untuk
makanan, bahan pangan, pendidikan dan perumahan adalah salah satunya.
Inflasi makanan dan bahan makanan masing-masing sebesar 12,5% dan
16,4% atau inflasi perumahan dan pendidikan yang mencapai 11% dan 9%.
Padahal, ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi pendapatan masyarakat
bawah dalam memenuhi kebutuhan pokoknya.

2. 5. 6. Klaim Swasembada Pangan

Disini, metode penghitungan BPS juga sangat diragukan, karena hanya


mengacu pada peningkatan areal pertanian padi. menurut versi SBY, swasembada
pangan pada tahun 2008 berhasil karena adanya peningkatan

luas areal

penanaman padi, yaitu mencapai 7,86 juta hektar atau 3,4 persen (periode Oktober
2007-Maret 2008) di atas pencapaian luas tanam pada periode sama 2006/2007.
Selain itu, SBY juga menyebutkan sejumlah faktor yang mendukung pencapaian
swasembada, yaitu iklim kondusif, benih unggul, pupuk, suplai air, serangan hama
penyakit, dan pengelolaan pascapanen.

Baiklah, kita bantah satu persatu kebohongan dari pemerintahan SBY ini:

Ketika pemerintah berkoar-koar mengenai keberhasilan swasembada pangan,


pada bulan Februari tahun 2008 pemerintah mengimpor beras 500 ribu ton.
Artinya, kalau benar sudah swasembada pangan, kenapa harus mengimpor
lagi?

Pemerintah mengaku punya Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN),


dimana penggunaan benih varietas unggul menjadi salah satu pilihan. Tindak
lanjutnya, pemerintah mengalokasikan bantuan benih padi dalam APBN
sebanyak 37.500 ton dengan sasaran areal tanam 1,5 juta hektar. Belum lagi
bantuan benih dalam bentuk Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU),
cadangan benih nasional, dan bantuan benih dalam bentuk subsidi harga
kepada petani (Kompas). Akan tetapi, program semacam ini perlu diperiksa
akurasinya di lapangan. Di banyak daerah, petani masih sering kesulitan
mendapatkan bibit. Kalaupun dapat, biasanya kualitas bibit yang didapatkan
rendah,

seperti

yang

dirasakan

petani

di

Sukoharjo,

Jawa

Tengah

(Okezone.com).

Sistem irigasi sebagai penunjang pokok dalam memacu produksi pertanian


berada dalam kondisi buruk. Setidaknya, berdasarkan data, terdapat 80%
sistim irigasi di Indonesia mengalami kerusakan. Jika benar, berarti klaim
pemerintah bahwa sistim irigasi menunjang produksi pertanian adalah
bohong. Dan meman demikian faktanya. Menurut Andreas Maryoto, seperti

yang ditulis Kompas edisi 24 februari 09, ketersediaan air bagi pertanian
bukan karena faktor irigasi yang baik, melainkan karena faktor cuaca pada
musim kemarau yang cenderung basah seperti pernah terjadi pada 2003.

Soal ketersediaan pupuk lebih parah lagi. Hampir 5 tahun SBY memerintah,
petani Indonesia tidak pernah berhenti dari kegelisahan karena kelangkaan
pupuk. Kalaupun ada, petani harus memperolehnya dengan harga mahal.
Tutupnya sejumlah pabrik pupuk, karena kebijakan ekspor gas pemerintah,
menyebabkan produksi pupuk nasional menurun. Produksi pupuk di tahun
2008 diperkirakan hanya 6 juta ton, sementara konsumsi meningkat
mendekati 9 juta ton.

Soal serangan dan gangguan hama, pada musim tanam di musim hujan
2007/2008, ada serangan tikus, hama penggerak batang, tungro, kresek, dan
blas yang terjadi pada 208.931 ha atau di atas serangan hama yang terjadi
pada musim tanam di musim hujan 2006/2007 yang hanya 143.312 ha.
(Kompas)

Swasembada pangan yang digembor-gemborkan oleh pemerintah, pada


kenyataannya

tidak

dapat

mengangkat

kesejahteraan

kepada

petani.

Sebanyak 23,61 juta penduduk miskin berada di daerah perdesaan dan


umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian. Bahkan, 72
persen kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan (BPS,
2007). Saya mengira bahwa angka ini belum banyak berubah.

2. 5. 7. Pelayanan Publik

Berdasarkan data, pada tahun 2005, dikatakan bahwa baru 32,3% penduduk
Indonesia

yang

mempunyai

rumah,

sementara

sisanya

hidup

memprihatinkan.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Hanong Santono,
terdapat 119 juta rakyat Indonesia yang belum mengakses air bersih, akibat
keputusan pemerintah memprivatisasi pengelolaan air bersih.

Di bidang pendidikan, misalnya, menurut data resmi yang dihimpun dari 33


Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus
sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Dalam tahun 2008
angka tersebut meningkat, karena terjadi pertambahan putus sekolah sekitar
841.000 siswa sekolah dasar dan 211.643 siswa SMP/madrasah tsanawiyah .
Jadi, total kepala yang tak mampu dididik oleh Negara hingga tahun 2009
adalah sebesar 13 juta jiwa.

Setiap tahunnya, semenjak pemerintahan SBY, terdapat 74.616 hingga satu


juta orang perempuan yang diperdagangkan secara illegal. Pemicunya adalah
kemiskinan dan perlindungan pemerintah yang lemah.

1. Kondisi Perekonomian Semasa Pemerintahan SBY


Kondisi perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang
sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010, seiring pemulihan
ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Terbukti,
perekonomian Indonesia mampu bertahan dari ancaman pengaruh krisis ekonomi dan finansial
yang terjadi di zona Eropa. Kinerja perekonomian Indonesia akan terus bertambah baik, tapi
harus disesuaikan dengan kondisi global yang sedang bergejolak. Ekonomi Indonesia akan terus
berkembang, apalagi pasar finansial, walaupun sempat terpengaruh krisis, tetapi telah
membuktikan mampu bertahan.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak positif terhadap perkembangan sektor
eksternal perekonomian Indonesia. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
berhasil mendobrak dan menjadi katarsis terhadap kebuntuan tersebut. Korupsi dan kemiskinan
tetap menjadi masalah di Indonesia. Namun setelah beberapa tahun berada dalam kepemimpinan
nasional yang tidak menentu, SBY telah berhasil menciptakan kestabilan politik dan ekonomi di
Indonesia.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan
pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.
Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan
terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap
ada. Pertama, pertumbuhan makro ekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan
masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang
tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih
banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah mengurangi subsidi Negara Indonesia,
atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada
rakyat miskin akan tetapi bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau
masyarakat yang membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana
pendidikan yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank Century yang
sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan biaya 93 miliar untuk
menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 5,5-6
persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5 persen pada 2011. Dengan demikian prospek
ekonomi Indonesia akan lebih baik dari perkiraan semula.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif
lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto
(1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto
selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBYJK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun
1980 dengan angka 9,9%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama lima
tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%
Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005, ternyata
berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya. Pemerintahan SBY-JK memang
harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan APBN yang makin berat karena
lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM tersebut telah mendorong tingkat inflasi
Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama
tahun 2005 dan akhirnya ditutup dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY).
Penyumbang inflasi terbesar adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan
makanan 18%.Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang menunjukkan kebijakan Bank
Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang
mencapai dua digit ini jauh melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%.
Inflasi sampai bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan
Februari 2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%.
Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di dunia perbankan.
Data Harga Bahan Bakar Minyak 2004 vs 2009 (Naik)
Harga
Minyak Mentah
Dunia / barel
Premium
Minyak Solar

2004

2009

Catatan

~ USD 40

~ USD 45

Harga hampir sama

Rp 1810
Rp 1890

Rp 4500
Rp 4500

Naik 249%
Naik 238%

Minyak Tanah

Rp 700

Rp 2500

Naik 370%

Dengan kondisi harga minyak yang sudah turun dibawah USD 50 per barel, namun harga jual
premium yang masih Rp 4500 per liter (sedangkan harga ekonomis ~Rp 3800 per liter). Maka
sangat ironis bahwa dalam kemiskinan, para supir angkot harus mensubsidi setiap liter premium
yang dibelinya kepada pemerintah. Sungguh ironis ditengah kelangkaan minyak tanah, para
nelayan turut mensubsidi setiap liter solar yang dibelinya kepada pemerintah. Dalam kesulitan
ekonomi global, pemerintah bahkan memperoleh keuntungan Rp 1 triluin dari penjualan
premium dan solar kepada rakyatnya sendiri. Inilah sejarah yang tidak dapat dilupakan. Selama
lebih 60 tahun merdeka, pemerintah selalu membantu rakyat miskin dengan menjual harga
minyak yang lebih ekonomis (dan rendah), namun sekarang sudah tidak lagi rakyatlah yang
mensubsidi pemerintah.
Berdasarkan janji kampanye dan usaha untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat, pemerintah
SBY-JK selama 4 tahun belum mampu memenuhi target janjinya yakni pertumbuhan ekonomi
rata-rata di atas 6.6%. Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan
pertumbuhan rata-rata 5.9% padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini
menandakan secara ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Tidak ada
prestasi yang patut diiklankan oleh Demokrat di bidang ekonomi.
Pertumbuhan
2004
2005
2006
2007
2008
2009

Janji Target
ND
5.5%
6.1%
6.7%
7.2%
7.6%

Realisasi
5.1%
5.6%
5.5%
6.3%
6.2%
~5.0%

Keterangan
Tercapai
Tidak tercapai
Tidak tercapai
Tidak tercapai
Tidak tercapai *

Tingkat Inflasi 2004-2009 (Naik)


Secara umum setiap tahun inflasi akan naik. Namun, pemerintah akan dikatakan berhasil secara
makro ekonomi jika tingkat inflasi dibawah angka pertumbuhan ekonomi. Dan faktanya adalah
inflasi selama 4 tahun 2 kali lebih besar dari pertumbuhan ekonomi.
Tingkat Inflasi
2004
2005
2006
2007
2008

Janji Target
7.0%
5.5%
5.0%
4.0%

Fakta
6.4%
17.1%
6.6%
6.6%
11.0%

Catatan Pencapaian
Gagal
Gagal
Gagal
Gagal

Selama 4 tahun pemerintahan, Demokrat yang terus mendukung SBY tidak mampu
mengendalikan harga barang dan jasa sesuai dengan janji yang tertuang dalam kampanye dan
RPM yakni rata-rata mengalami inflasi 5.4% (2004-2009) atau 4.9% (2004-2008). Fakta yang

terjadi adalah harga barang dan jasa meroket dengan tingkat inflasi rata-rata 10.3% selama
periode 2004-2008. Kenaikan harga barang dan jasa melebihi 200% dari target semula.
Jumlah Penduduk Miskin
Sasaran pertama adalah pengurangan kemiskinan dan pengangguran dengan target berkurangnya
persentase penduduk tergolong miskin dari 16,6 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada
tahun 2009 dan berkurangnya pengangguran terbuka dari 9,5 persen pada
tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009.
Penduduk Miskin
2004
2005
2006
2007
2008
2009

Jumlah
36.1 juta
35.1 juta
39.3 juta
37.2 juta
35.0 juta

Persentase
16.6%
16.0%
17.8%
16.6%
15.4%
8.2% ????

Catatan
Februari 2005
Maret 2006
Maret 2007
Maret 2008

Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencatat, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla memperbesar utang dalam jumlah sangat besar. Posisi utang tersebut merupakan
utang terbesar sepanjang sejarah RI.
Berdasarkan catatan koalisi, utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 persen dalam
lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp 1.275 triliun. Adapun posisi
utang Januari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp 392 triliun. Apabila pada tahun 2004,
utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi
Rp 7,7 juta per kepala. Memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20042009, koalisi menilai rezim sekarang ini adalah rezim anti-subsidi. Hal itu dibuktikan dengan
turunnya secara drastis subsidi. Pada tahun 2004 jumah subsidi masih sebesar 6,3 persen dari
produk domestik bruto. Namun, sampai 2009, jumlah subsidi untuk kepentingan rakyat tinggal
0,3 persen dari PDB.
Pendidikan merupakan hal mendasar. Pendidikanlah yang menentukan kualitas sumber daya
manusia. Kebijakan dalam bidang pendidikan diterapkan oleh kepemimpinan SBY. Beberapa
diantaranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari keseluruhan APBN.
Meneruskan dan mengefektifkan program rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada
periode 2004-2009, sehingga terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan
memperbaiki dan menambah prasarana fisik sekolah, serta penggunaan teknologi informatika
dalam proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar dan mengajar agar lebih efektif
dan berkualitas.
Pemanfaatan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk memastikan pemantapan
pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan dilanjutkan secara bertahap
pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA. Perbaikan secara fundamental kualitas
kurikulum dan penyediaan buku-buku yang berkualitas agar makin mencerdaskan siswa dan
membentuk karakter siswa yang beriman, berilmu, kreatif, inovatif, jujur, dedikatif, bertanggung

jawab, dan suka bekerja keras. Meneruskan perbaikan kualitas guru, dosen serta peneliti agar
menjadi pilar pendidikan yang mencerdaskan bangsa, mampu menciptakan lingkungan yang
inovatif, serta mampu menularkan kualitas intelektual yang tinggi, bermutu, dan terus
berkembang kepada anak didiknya.
Selain program sertifikasi guru untuk menjaga mutu, juga akan ditingkatkan program pendidikan
dan pelatihan bagi para guru termasuk program pendidikan bergelar bagi para guru agar sesuai
dengan bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin bermutu dalam memberikan pengajaran
pada siswa.
Memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan kepada guru,
dosen, dan para peneliti.Memperluas penerapan dari kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk mendukung kinerja penyelenggaraan pembangunan di bidang
pendidikan. Mendorong partisipasi masyarakat (terutama orang tua murid) dalam menciptakan
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan aspirasi dan
tantangan jaman saat ini dan kedepan.
Mengurangi kesenjangan dalam akses pendidikan dan kualitas pendidikan, baik pada keluarga
berpenghasilan rendah maupun daerah yang tertinggal. Pemberiaan program beasiswa serta
pelaksanaan dan perluasan Program Keluarga Harapan (PKH), serta memberikan bantuan tunai
kepada rumah tangga miskin dengan syarat mereka mengirimkan anaknya ke bangku sekolah.
1. Keberhasilan SBY selama memerintah pada bidang Ekonomi
Saat membuka Rapat Kerja tentang Pelaksanaan Program Pembangunan 2011 di Jakarta
Convention Center, Senin (10/1/2011), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan
mantap memaparkan 10 capaian (keberhasilan pemerintah pada tahun 2010 tersebut.
1. Ekonomi terus tumbuh dan berkembang dengan fundamental yang semakin kuat pada
2010. Hal ini, antara lain, tercermin dengan indeks harga saham gabungan Indonesia yang
terus membaik, daya saing Indonesia di tingkat dunia yang tinggi, nilai ekspor, investasi,
dan cadangan devisa yang terus membaik.
2. Sejumlah indikator kesejahteraan rakyat mengalami kemajuan penting. Dunia
memberikan penilaian pada Top Ten Movers, istilahnya prestasi Indonesia dan 9 negara
yang lain di bidang pendidikan, kesehatan, dan peningkatan penghasilan penduduk kita.
3. Stabilitas politik terjaga dan kehidupan demokrasi makin berkembang. Check and
balances antara pemerintah pusat, DPR dan DPRD, berjalan dengan baik. Pelaksanaan
pemilu juga prinsipnya berjalan dengan lancar.
4. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, mencatat sejumlah prestasi. Begitu pula
dengan pemberantasan terorisme dan narkoba.
5. Terjaga baiknya keamanan dalam negeri walaupun masih terdapat konflik masyarakat
dalam skala kecil.

6. Proses perbaikan iklim investasi dan pelayanan publik di banyak daerah. Hambatan
birokrasi dan iklim investasi serta pelayanan publik di banyak daerah mengalami
kemajuan.
7. Angka kemiskinan dan pengangguran terus ditekan meskipun tetap rawan dengan gejolak
perekonomian Indonesia. Presiden meminta pemerintah tetap cekatan dan memiliki
rencana darurat. Meskipun, dengarkan kata-kata saya, meskipun bisa kita turunkan
kemiskinan dan pengangguran, tetapi tetap rawan terhadap gejolak perekonomian dunia.
Jangan terlambat kita mengantisipasinya, jangan kita tidak punya rencana kontigensi, dan
jangan pula kita tidak cekatan memecahkan masalah bilamana dampak dari krisis global
itu terjadi, kata Presiden.
8. Beberapa indikator ekonomi penting Indonesia mencatat rekor baru dalam sejarah, seperti
income perkapita sekarang sudah tembus 3 ribu dolar AS, lima tahun lalu masih 1.186
dolar AS. Cadangan devisa dulu 36 miliar dolar AS, sekarang 96 miliar hampir 100 miliar
dolar AS. Kenaikan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) yang tertinggi di dunia, naik
46 perssen. Pendapatan domestik bruto kita meningkat dan Indonesia kini peringkat 16
ekonomi di dunia.
9. Makin baiknya upaya pengembangan koperasi usaha kecil dan menengah, termasuk
penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)Sedangkan Direktur Tenaga Kerja dan
Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas Rahma Iryanti di Jakarta, Kamis
(7/01/2011) mengungkapkan angka pengangguran 2010 diprediksi turun menjadi 7,6
persen dari kisaran 7,87 persen tahun lalu. Penurunan tersebut seiring dengan
membaiknya kondisi perekonomian.
10. Indonesia makin berperan dalam hubungan internasional, makin nyata peran kita, baik
dalam mengatasi krisis ekonomi global, dalam hubungan G20, APEC, East Asia Summit,
ASEAN, G8 plus, dan pemeliharan perdamaian dunia. Kita aktif sekali dalam menjaga
ketertiban dan perdamaian dunia dan juga kerja sama mengatasi perubahan iklim, tegas
Presiden, sebagaimana dipublikasikan juga di situs resmi Presiden SBY
(presidensby.info)
Rahma Iryanti mengatakan, kondisi ketenagakerjaan saat ini sudah menunjukkan perbaikan.
Jumlah pengangguran terbuka menurun dari 11,90 juta (11,24 persen) pada 2005 menjadi 8,96
juta (7,87 persen) pada 2009. Sementara kesempatan kerja yang tersedia selama 2005-2009
tumbuh sebesar rata-rata 2,78 persen per tahun atau bertambah 10,91 juta orang. Menurutnya,
bertambahnya jumlah kesempatan kerja di 2010 tidak dapat dilepaskan dari kondisi
perekonomian yang menunjukkan angka pertumbuhan di atas 6 persen pada periode 2007-2008.
Masing-masing sektor ekonomi memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dalam hal serapan
tenaga kerja. Disebutkan, antara periode 2005-2009 sektor jasa kemasyarakatan memiliki angka
elastisitas yang paling tinggi.
Ditegaskan, sektor yang diharapkan dapat menciptakan kesempatan kerja yang besar adalah dari
sektor industri. Karena 60,0 persen tenaga kerja Indonesia berada pada lapangan kerja formal.
Perkembangan sektor pekerja formal dari tahun ke tahun tumbuh dengan baik. Misalnya, pada

2005 pekerja di bidang pertanian mencapai 2,9 juta, industri 7,9 juta, dan jasa 17,8 juta
orang. Sedangkan pada 2009 mengalami perubahan pada sektor pertanian sebesar 3,2 juta, sektor
industri 7,5 juta,dan jasa 21,2 juta. Saya cukup optimistis tahun ini kita bisa mencapai target
pengurangan jumlah pengangguran menjadi 7,6 persen, katanya.
1. Penyebab Keberhasilan Presiden SBY
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan
pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang
Negara.Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang
signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain
masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh
lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya
yang tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat,
masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia masih memerlukan banyak perbaikan.
Namun apa yang telah dicapai selama ini merupakan hasil dari visi dan perencanaan
pemerintahan SBY. Dapat dibayangkan hal-hal lain yang

Anda mungkin juga menyukai