Anda di halaman 1dari 4

GUSDUR MILITER dan POLITIK

(Buku ini merupakan artikel yang disarikan dari Buku dengan judul â GUSDUR MILITER
dan POLITIK, yang diterbitkan pada Februari 2004 oleh A.Malik Haramain
Disarikan oleh : JUANDA SYAIFUDDIN, NPM 012009001/FTPG
Pengarang : A. Malik Haramain
Diterbitkan di Yogjakarta oleh Penerbit LKIS Yogjakarta, tahun 2004.
Jumlah halaman buku : 394 Halaman.
Buku ini mencoba menjelaskan tentang hubungan sipil dan militer terutama
pada masa kepemimpinan Abdulrahman Wahid sebagai Presiden. Dalam pembahasanny
a, sangat terasa sorotan terhadap militer dalam peran dan pengaruhnya terhadap p
erkembangan poliltik di Indonesia. Pembahasan dalam buku ini mengungkap terjad
inya pergeseran atas peran militer dipemerintahan. Selama Kekuasaan Soeharto s
ebagai Presiden, militer dianggap sebagai alat kekuasaan dan menjadi pilar utama
kekuasaan kepresidenan. Paska keruntuhan kepemimpinan Presiden Suharto, milit
er menerima segala bentuk protes atas apa yang pernah dilakukan pada masa kepemi
mpinan Suharto.
Salah satu dan yang utama tuntutan kelompok pro demokrasi adalah penghap
usan Dwi Fungsi ABRI. Alasannya , selama peran Militer dalam politik, adanya t
uduhan pelanggaran HAM dan terutama keterlibatan militer dalam dunia politik.
Dalam tuntutannya untuk penghapusan Swi Fungsi, terdapat dua pendapat yang relat
ive berseberangan, kelompok pertama menginginkan Dwi Fungsi dihapuskan , namun d
ilakukan secara bertahap, sementara kelompok yag kedua menginginkan penghapusan
Dwi Fungsi dilakukan segera dan mengembalikan Militer kepada funsinya sebagai al
at pertahanan. Tuntutan ini juga didukung oleh argument bahwa selama orde b
aru, posisi militer tidak netral, karena mendukung salah satu kekuatan politik d
an kedua banyak terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dengan instrum
ent utamanya adalah militer.
Pemilihan umum 1999 berpengauh sangat besar terhadap konfigurasi politi
k nasional, Kemenangan partai politik tetrtentu ternyata tidak menghasilkan pemi
mpin dai partai pemenang, justru dippilih Abdurrahman Wahid berdampingan dengan
Megawati, sebagai kepemimpinan yang serasi ( menurut penulis). Militer tidak m
empunyai alas an untuk menolak pemimpin ini karena prosesnya dilaksanakan secara
konstitusional. Karena semangat demokrasi, militer tetap tunduk kepada suprem
asi sipil. Sikap ini dinilai sebagai awal baru hubungan sipil militer yang aka
n mengantarkan cita-cita Indonesia baru sebuah Negara demokrasi.
Selama kepemimpinan Abdurrahman Wahid, banyak kebijakan yang mendasar ya
ng diterapkan terhadap peran dan posisi militer di Indonesia. Kebijakan terseb
ut diarahkan untuk meminimalkan peran militer di bidang politik. Keputusan
Presiden saat itu diarahkan untuk menerapkan prinsip demokrasi, bahwa Militer ha
rus tunduk pada supremasi sipil, dengan merubah struktur pemisahan Departeman Pe
rtahanan dan TNI, menempatkan sipil sebagai menteri pertahanan. Lebih lanjut d
engan pemisahan TNI dan Polri, agar masing-masing institusi memerankan tugas mas
ing-masing.
Belum cukup dengan perubahan itu, beberapa institusi yang dianggap tidak demokra
tis juga dibubarkan antara lain Badan koordinasi pemantapan stabilitas nasional
dan Penelitian khusus. Ini dilakukan karena dianggap sebagai metamorphosa dari K
amtibmas pada jaman awal Orde Baru.
Mutasi diorganisasi militer juga dilakukan, Penggantian Jendral Wiranto dari jab
atan Menkopolkam dan pengangkatan Laksamana Widodo AS sebagai Panglima TNI, peng
hapusan jabatan wakil Panglima TNI.
Salam penjelasannya pemisahan Departeman pertahanan dan Tentara Nasional
Indonesia secara Institusi diarahkan untuk mengurangi peran militer dalam perso
alan internal Negara . Militer ditempatkan sebagai alat Negara yang hanya dibe
ri tugas untuk mempertahankan integritas wilayah dari intervensi Negara lain , y
ang mengharuskan militer berkonsentrasi kepada ancaman yang berasal dari luar.
Penghapusan beberapa institusi yang selama ini dihuni oleh militer, dipermukaan
diarahkan untuk menempatkan Negara Indonesia sebagai Negara Demokratis.
Penggantian Pangkostrad oleh presiden ( ini merupakan intervensi sipil terhadap
Militer yang memicu pada pertentangan dan mengarah pada sejarah 27 Oktober 1958)
dengan menempatkan Letjen Agus Wira hadi Kusumah, yang dianggap berfikiran de
mokratis, meskipun penulis juga berargunen bahwa Agus WHK dianggap tidak disukai
dilingkungan â Militerâ
Buku ini mencoba mengungkap hubungan sipil dengan militer , khususnya an
tara Abdurrahman Wahid dengan TNI selama paling tidak 20 bulan, selama masa peme
rintahan Abdurrahman Wahid, termasuk dampak hubungan sipil militer di Indonesia
. Buku ini juga berusaha menjelaskan langkah-langkah reposisi militer pada mas
a pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam pembahasannya, penulis buku ini berusaha melihat bagaimana yang se
benarnya proses hubungan sipil militer dilaksanakan selama lepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid dan juga igin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih mer
agukan tentang perugahan hubungan sipil militer diera kepemimpinan Presiden Abdu
rrahman Wahid dan bagaimana proses reposisi terjadi serta ingin memperoleh jawab
an apakah proses hubungan sipil militer paska Orde Baru dapat engarah kepada ter
jadinya reposisi TNI.
Beberapa kalangan yang dinyatakan dalam buku ini masih meragukan kemampu
an sipil dalam menyusun pola yang tepat untuk mengurangi peran social politik mi
liter , yang disukung dengan beberapa alasan antara lain :
a. Dalam Negara masih terjadi permasalahan yang sangat kompleks dan dalam i
nstitusi TNI masih terjadi perdebatan / belum ada kesepakatan untuk meninggalkan
doktrin lama TNI secara sungguh-sungguh. Meskipun dalam institusi militer tel
ah melakukan redifinisi san akan meninggalkan peran politik praktis sebagai res
pon terhadap tuntutan reformasi.
b. Belum adanya komitmen antar kekuatan sipil naik eksekutif maupun Legisla
tif untuk menentukan peran dan wewenang militer yang diberikan kepada militer.
c. Masih terjadi banyak persoalan dalam negeri dengan munculnya permasalaha
n separatism dan beberap konflik komunal di beberapa daerah di Indonesia, yang m
asih membutuhkan kehadiran dan peran militer pada penyelesaian permasalahan ters
ebut.
Pengalaman keterlibatan militer dalam politik, yang berlangsung beberapa decade,
menjadi penghambat utama bagi reposisi militer. Keadaan ini dipengaruhi oleh
kebiasaan lama dimana militer mempunyai keistimewaan yang sangat besar. Reposi
si militer akan mengurangi otoritas dan kewenangan militer yang selama ini dimil
iki terutama dibidang politik. OLeh sebeb itu menciptakan pola hubungan sipil
militer dan melakukan reposisi militer menjadi pekerjaan yang berat. Untuk dap
at mencapai keinginan tersebut harus dilakukan bersama-sama secara kompak antara
sipil dan militer, bagaimana menampatkan posisi militer di Negara demokratis da
n bukan hanya diserahkan kepada fihak militer saja.
Dalam buku ini hanya bersifat menjelaskan yang dibangun berdasarkan argu
men â argumen ilmiah sebagai laporan penelitian, selama berhubungan dengan kepemimp
inan Presiden Abdurrahman Wahid dan Militer. Lebih jauh buku ini akan menjelas
kan bagaimana proses tarik menarik dalam reposisi militer dengan sipil, namun ka
jian ini tidak menjadi bagian dari kajian sejarah. Semua proses analisa dilaku
kan secara kualitatif, sehingga data-data kualitatif sangat mendukung penyusunan
buku ini. Perolehan data dalam buku ini didapat dari kegiatan wawancara dan
seleksi data dokumen dari berbagai sumber yang bermanfaat, Untuk mencegah tidk b
erkembangnya perolehan data primer, wawancara dilakukan secara berkembang sesuai
dengan tanggapan dari responden, yang terarah untuk memenuhi kebutuhan penulisa
n buku ini.
Buku ini disusun mulai dari pendahuluan yang membahas tentang latar bela
kang dan pokok-pokok permasalahan, selanjutnya dibahas mengenai teori hubungan s
ipil militer secara singkat. Pada Bab berikutbya mennyampaikan kilas balik hub
ungan sipil militer semenjak Negara ,merdeka dan dilanjutkan pada penggambaran p
roses reformasi dan terutama proses jatuhnya kepemimpinan Presiden Suharto. Se
cara berturut-turut penulis menyampaikan tentang awal hubungan sipil militer era
Abdurrahman Wahid, visi dan misi supremasi sipil dan reposisi militer, Kebijak
an-kebijakan Presiden yang kontoversial berkaitan dengan organisasi militer, ja
tuhnya Presiden Abdurrahman Wahid dan ketegangan dengan Parlemen dan Pasang suru
t hubungan Abdurrahman Wahid dengan militer
Dari pembahasan secara berurutan, penulis mencoba menyampaikan hal penti
ng dalam buku ini yaitu :
a. Meskipun telah banyak menerima kritik dan hujatan yang cukuo besar, dan
terjadi krisi komando dalam tubuh militer, kenyataannya posisi tawar Militer ma
sih kuat, sampai pada masa kepemimpinan Presiden Habibie pun posisi mpiliter mas
ih belum tergoyahkan.
b. Militer telah melakukan berbagai perubahan internal sebagai jawaban atas
berbagai tuntutan dan tekanan public, meskipun perubahan yang terjadi masih ber
sifat normative dan bellum sepenuhnya dilakukan secara sungguh-sungguh. Doktri
n Dwi fungsi telah dihapuskan namun respon para perwira militer masih belum menu
njukkan konsistensi, terbukti Jwnderak Wiranto, sebagai Miiter aktif saat itu ma
sih bersaing menjadi wakil presiden pada pemilihan presiden tahun 1999. Bahkan
disinyalir, mundurnya Jenderal Wiranto dari pencalonan sebagai Wakil presiden d
iakomodasi dengan menempatkan beberapa Perwira tinggi militer dalam jabatan poli
tik.
c. Politisi sipil, juga belum konsisten dengan keinginannya melepaskan TNI
dari posisi politik, karena terbukti pada saat pencalonan Presiden, BJ. Habibie
masih menggandeng perwira militer menjadi wakil presiden. Bahkan keterlinatan
militer dalam politik praktis juga dipengaruhi oleh sikap Sipil yang memanfaatka
n militer untuk kepentingan meraih kekuasaan politiknya.
d. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, merupakan upaya untuk mereposisi M
iliter, namun masih belum ditanggapi serius oleh militer, namun juga dalam kenya
taannya, masih terjadi persaingan tidak sehat dikelompok sipil dan kelemahan sip
il dalam menangani permasalahan separatis dan konflik komunal, yang masih membut
uhkan campu r tangan militer.
e. Pada awalnya hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan militer berjalan
dengan baik, namun selanjutnya dengan melihat sikap Presiden dalam mengambil ke
bijakan dinilai terlalu jauh mencampuri urusan internal TNI, maka terjadi perlaw
anan, dan bahkan Militer berhasil menghimpun kekuatan untuk menentang Presiden,
dengan bukti militer menolak mendukung dekrit Presiden.

( dalam kaitan ini ada kealahan mendasar yang dilakukan gusdur, karena sdm yang
menduduki jabatan Menhan tidak mengerti sama sekali tentang teori hunungan inter
nasional dan permasalahan pertahanan keamanan, sehingga memuncuklan keputusan ya
ng pada akhirnya mejadi bom waktu yang sulit untuk di jinakkan,yaitu pemisahan
fungsi pertahanan dan keamanan secara hitam putih, sebelum ada konsep tentang ke
amanan nasional, yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat didal
am Negara dan menyebabkan DEMILITERISASAI, dimana justru SIPIL yang diperkuat al
ut sistanya, bukan Militer, padahal yang dihadapi Polisi adalah tugas Keamanan d
an ketertiban masyarakat , bukan musuh yang bersenjata).
( Namun hal ini seperti disampaikan diatas justru pada akhirnya menjadi bom wakt
u, karena sebagian besar kelompok sipil tidak mengerti tentang Pertahanan, keama
nan dan Keamanan Nasional ).
Dibagianpenghapusan beberapa institusi ini, terasa Gusdur dipengaruhi oleh ke
pentingan kelompok tertentu yang nasib kelompoknya sangat terbatas aksinya bila
masih ada institusi ini, karena institusi yang menangani Litsus, merupakan upaya
Negara untuk mencegah berkembangnya ancaman komunisme di Indonesia dan kelompok
- radikal lainnya. Adapun dalam implementasinya ada yang memanfaatkan institus
i ini untuk kepen-tingan sesaat, memang masih ada, hanya pola implementasi dan p
engawasan yang perlu diperbaiki.
Dalam hal kelompok sipil menganggap bahwa persoalan dalam Negara yang tidak ber
kaitan dengan ancaman militer dari luar dapat diatasi oleh sipil )
tetapi dalam kenyataannya, sipil juga yang menentukan bahwa militer masih diberi
tugas Operasi Militer Selain Perang, melalui kebijakan Negara dalam bentuk Unda
ng- undang, yang sebenarnya diprotes mati-matian oleh sipil yang independen yang
menganggap institusinya sederajad lebih tinggi dibandingkan dengan sipil lainn
ya yaitu Polisi ).
meskipun secara tidak terttulis, sebenarnya sebagai bentuk balas dendam politik,
dan mengurangi hak-hak liliter yang dianggap instimewa. Hal ini sangat berala
san karena pada kenyataannya, yang menikmati hak istimewa bukan militer tetapi k
elompok PIMPINAN MILITER saja.
Mengenai Agus WHK, Perubahan paradigm dalam tubuh TNI memerlukan proses yang pa
njang, namun Agus WHK mencoba menggunakan jalan pintas, yang dijadikan sebagai a
lasan bahwa sikap ini yang tidak dapat diterima para Pimpinan Militer yang lain.
Padahal dalam buku ini juga menulis tentang pendapat Indria Samego â
Hendaknya TNI mengubah doktrin Catur Dharma Eka Karma , yang saat ini menjadi pe
gangan TNI . Melalui doktrin ini TNI mendapatkan pembenaran untuk masuk kedala
m kehidupan masyarakat, sehingga tidak hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan
dan pertahanan tapi juga bisa berfungsi dalam bidang politik, social, ekonomi da
n budayaâ ).

Anda mungkin juga menyukai