Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe I (Gell & Coomb) yang
diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung. Gejala klinik yang timbul berupa bersin-bersin,
hdung beringus (rinore), hidung tersumbat yang disertai gatal pada hidung, mata, palatum
sebagai akibat infitrasi sel-sel inflamasi dan dikeluarkan mediator kimia seperti histamin,
prostaglandin dan leukotrien. Penyakit ini merupakan penyakit atopi yang sering dijumpai
sehari-hari dengan prevalensi 10-25%.
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak ditemui dan merupakan
masalah kesehatan global. Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia yang diderita sedikitnya
10-25% populasi dan prevalensinya terus meningkat. Di Indonesia prevalensi 40% anakanak, 10-30% dewasa. Prevalensi terbesar pada usia 15-30 tahun. Prevalensi pada usia
sekolah dan produktif meningkat yang mengakibatkan penurunan kualitas hidup baik fisik,
emosional, gangguan bekerja dan sekolah, gangguan tidur, sakit kepala, lemah, malas,
penurunan kewaspadaan dan penampilan. Pada anak berhubungan erat dengan gangguan
belajar.
WHO Initiatife Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma tahun 2001
merekomendasikan bahwa rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu
intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4
minggu dan persisten (menetap) bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari perminggu atau
lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dapat
diklasifikasikan sebagai gejala ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan
aktifitas, bersantai dan atau olahraga, gangguan belajar atau bekerja dan gejala lain yang
mengganggu, serta gejala sedang sampai berat bila terdapat satu atau lebih gejala tersebut
diatas. Pembagian klasifikasi ini penting dalam penanganan rinitis alergi secara tepat dan
rasional.
Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas pasien
dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan kemampuan akademik penderita rinitis
alergi anak serta dapat menurunkan terjadinya komplikasi pada saluran napas bawah.
1

Tujuan terapi adalah menghambat proses patofisiologik yang menyebabkan terjadinya


inflamasi kronik alergik. Berdasarkan keadaan tersebut diatas maka diperlukan suatu
tahapan penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap
alergen, farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam hal
pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai patogenesis,
patofisiologi rinitis alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat yang tepat.

BAB II
ANATOMI HIDUNG
2.1.

ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar


Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung


sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
di bagian bawah hidung, yaitu:
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis

os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela.
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi
ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema
disebut juga rudimenter.

Gambar 3. Anatomi Hidung Bagian Dalam


Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung
5

dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris
dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung.
2.2.

PENDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan

posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
2.3.

PERSARAFAN
6

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabutserabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
2.4.

MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi

atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).
Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi
oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadangkadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket)
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya
sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 1
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
7

pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan
jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan
subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena
yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian
ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian
mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah
mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi
oleh saraf otonom.

BAB III
FISIOLOGI HIDUNG
8

Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.
2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi static dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala.
5. Reflex nasal.
3.1

FUNGSI RESPIRASI
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares anterior, lalu

naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi
oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
9

b. Silia
c. Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikelpartikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.
3.2

FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa

olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa
manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan
asam jawa.
3.3

FUNGSI FONETIK
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia).
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng),
rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.

3.4

REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
10

dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas.

BAB IV
RHINITIS ALERGI

11

2.1. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Gambar 1. Rinitis alergi


2.2. Epidemiologi
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta penderita
dari seluruh etnis dan usia. Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya menderita
rhinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan
anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-laki sama dengan
perempuan. Sekitar 80% kasus rhnitis alergi berkembang mulai usia 20 tahun. Insidensi
rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia. Di Indonesia belum
ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis alergi pada usia 10 tahun
ditemukan cukup tinggi (5,8%).

12

2.3. Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting. Pada 20 30 % semua populasi dan pada 10 15 % anak semuanya atopi.
Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang
terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik
telah memiliki kecenderungan alergi.
a. Sumber pencetus
Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap partikel udara
seperti berikut ini:

Ragweed Bulubulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus (di
musim gugur)

Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)

Serbuk sari pohon (di musim semi)

Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daundaun kering, umumnya


terjadi di musim panas)

Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap
partikel udara seperti berikut ini:

Bulu binatang peliharaan

Debu dan tungau rumah

Kecoa

Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis

b. Faktor Risiko

Sejarah keluarga alergi

13

Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau eksim

Paparan bekas asap rokok

Gender lakilaki.

2.4. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T Helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilakan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan
dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator
yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
14

dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien


D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan
berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet megalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL3, IL4 dan IL5, dan granulocyte macrophag colony stimulating factor
(GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban udara yang tinggi.

15

Gambar 2. Patogenesis Rinitis Alergi


2.5. Gambaran Histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya: tungau
debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus,
Alternaria).
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.

16

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan komestik, perhiasan.

Gambar 3. Jenis Alergen


Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma
bronkial dan rinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat nonspesifik
dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi
berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi
pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari
sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tersier.
3. Respons tersier

17

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coomb mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (hipersensitifitas tipe cepat), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun, dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (hipersensitifitas tipe lambat).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah
tipe 1 yaitu rinitis alergi.
2.6.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim.
2. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu
nama yang tepat ialah pollinosis.
3. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) contoh:
tungau dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih
ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
18

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

Gambar 4. Klasifikasi Rinitis Alergi


2.7. Gejala Klinis
Gejala klinis pada rihnitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang
berulang. Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada reaksi alergi fase cepat
dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase lambat sebagai akibat pelepasan histamin.

19

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak keluar air mata
(lakrimasi).
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena
gatal dengan punggung hidung. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut allergic crease.

Gambar 5. Allergic Shiner

Gambar 6. (Kiri ke Kanan) Allergic Crease dan Allergic Sallute


Awitan gejala timbul cepat setelah paparan allergen dapat berupa bersin, mata atau
palatum yang gatal berair, rinore, hidung gatal, hidung tersumbat. Pada mata dapat
menunjukkan gejala berupa mata merah, gatal, conjungtivitis, mata terasa terbakar, dan
lakrimasi. Pada telinga bisa dijumpai gangguan fungsi tuba, efusi telinga bagian tengah.

20

2.8. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis saja. Hal
yang perlu ditanyakan adalah gejala utama yang menonjol, usia timbulnya gejala,
frekuensi/lama dan beratnya serangan, pengaruh terhadap aktifitas dan tidur, faktor
pencetus apakah di dalam rumah, di sekolah, di tempat kerja, adakah hipereaktifitas
hidung, faktor penyakit atopi lain dan atopi dalam keluarga, serta riwayat pengobatan
dan hasilnya.
Gejala-gejala rinitis yang perlu ditanyakan adalah

Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali serangan)


Rinore (ingus bening, encer dan banyak)
Gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga
Gatal di mata, berair dan kemerahan
Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
Hiposmia/anosmia
Sekret di belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik
Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan membaik pada saat

malam hari)
Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung dan sinus
akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala radang

tenggorokan, mendengkur, gejala sinusitis, gejala seak nafas dan asma.


Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya penyakit, efeknya
pada kualitas hidup seperti adanya gangguan pada pekerjaan, sekolah, berolahraga,
bersantai dan melakukan akitifitas sehari-hari.
Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalh bersin-bersin,

gatal, rinore dan kadang-kadang hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia.
Perlu ditanyakan riwayat atopi dalam keluarga, serta manifestasi penyakit alergi
lain sebelum atau bersamaan dengan rhinitis seperti asma bronkial, dermatitis atopi,
urtikaria dan alergi terhadap makanan.
21

Sumber penting alergen di lingkungan pasien juga ditanyakan seperti bagaimana


kualitas udara dan sistem ventilasi dirumah maupun di lingkungan kerja, adanya
binatang peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai
gudang (bila ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu ditanyakan seperti
lingkungan di rumah, kamar tidur, tempat kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang
dapat memicu terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala
memburuk di dalam rumah dan membaik di luar rumah. Gejala juga di picu bila pasien
membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam. Bila alergi
terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada lingkungan
dengan kelembaban tinggi dan pada sore hari. Adanya keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, udara dingin, bau merangsang seperti bau
parfum, masakan, dan polutan juga dapat memicu serta memperberat gejala rhinitis.
Riwayat pengobatan yang pernah dilakukan dan hasil dari pengobatan serta kepatuhan
berobat juga perlu ditanyakan.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan gambaran yang khas pada anak berupa allergic
shiner (bayangan gelap dibawah kelopak mata karena sumbatan pembuluh darah vena),
allergic salute karena anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan ke
arah atas karena gatal dan allergi crease berupa garis melintang di dorsum nasi sepertiga
bawah karena sering meggosok hidung. Pada anak dengan sumbatan hidung kronik
dapat menimbulkan facies adenoid karena sering bernafas lewat mulut. Hal ini
menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan gigi sehingga
terjadi penonjolan kedepan dari gigi seri atas. pasien sering menggerak-gerakkan mulut
dan gigi saat tidur terutama pada anak ditemukan adanya krusta dan kulit yang kasar di
daerah lubang hidung.

22

Gambar 7. Facies Adenoid


Pada mata dapat ditemukan kemerahan, dengan hiperlakrimasi. Pada rinoskopi
anterior tampak mukosa konka inferior atau media edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer bening dan banyak. Perlu juga dilihat apakah terhadap
kelainan septum (lurus, deviasi, spina, krista) dan polip hidung yang dapat memperberat
gejala hidung tersumbat. Bila fasilitas tersedia dapat dilakukan nasoendoskopi, apakah
ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah meatus medius serta komplek
osteomeatal.
Pada pemeriksaan tenggorok, mungkin didapatkan bentuk geographic tongue
(lidah tampak seperti gambaran peta) yang biasanya akibat alergi makanan, adenoid
yang membesar, permukaan dinding laring posterior kasar (cobble stone appearance),
dan penebalan lateral pharyngeal bands akibat sekret mengalir ke tenggorokan yang
kronik.

23

Gambar 8. Geographic Tongue

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE
spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay). Pemeriksaan sitologi hidung dari sekret hidung atau kerokan
mukosa walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
Invivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point Titration/ SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2 minggu. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang
selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap

24

kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan.
Pemeriksaan IgE total serum:
Secara umum, kadar Ig E total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada
penderita atopi, tetapi kadar Ig E normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi. Pada
orang normal, kadar Ig E meningkat dari lahir (0-1KU/L) sampai pubertas dan menurun
secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100150 KU/L dianggap lebih dari normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60%
penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana
kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit
pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multipel mieloma.
Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus
melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnosis.
Pemeriksaan IgE spesifik serum (metode RAST):
Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu alergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik (>85%), akurat, dapat diulang dan bersifat
kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE spesifik
dengan uji kulit, gejala klinik dan tes provokasi hidung bila menggunakan alergen yang
terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada
tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan sistem scoring.
Pemeriksaan Lain:
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan diagnosis,
tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari penyebab lain
yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik.
a. Hitung jenis sel darah tepi
25

Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas pemeriksaan lain tidak tersedia. Jumlah
sel eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rinitis alergi,
tetapi kurang bermakna secara klinik.
b. Pemeriksaan sitologi sekret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari sekret hidung secara langsung (usapan), kerokan,
bilasan dan biopsi mukosa. pengambilan sediaan untuk pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan alergen atau saat bergejala kuat.
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan dan baisanya hanya untuk keperluan penelitian
dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih.
c. Tes provokasi hidung/nasal challenge test
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil pemeriksaan
diagnosis primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum, tes ini lebih sulit
untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit pemeriksaan Ig E spesifik. Tes
provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko untuk terjadinya reaksi
anafilaksis.
d. Tes fungsi mukosilier
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
e. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometer
(anterior dan posterior) atau rinomanometer akustik, misalnya pasca tes provokasi
hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
f. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila fasilitas
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi untuk
menyingkirkan adanya kelainan patologi atau komplikasi rhinitis alergi terutama bila
respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos dapat ditemukan
penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinus akibat alergi), perselubungan
homogen serta gambaran batas udara cairan di sinus maksila.
g. Tes cukit/tusuk (prick test)
Tes kulit digunakan secara luas sebagai salah satu alat untuk menegakkan diagnosis
alergi terhadap alergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan, hasil
cepat didapat, biaya yang relatif murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai
sebagai pemeriksaan penyaring. Tes cukit dapat mendiagnosis rhinitis alergi akibat

26

allergen inhalasi berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan
sensitifitas rendah, kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan
gejala klinik. Bila pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes
kulit negative, tindakan yang perlu dilakukan adalah: 1. periksa obat-obatan yang
dapat mempengaruhi hasil tes. 2. periksa adakah penyebab hasil negative palsu. 3.
observasi pasien selama adanya paparan allergen yang tinggi. 4. lakukan tes
provokasi atau tes intradermal (bila fasilitas tersedia).
h. Tes intradermal
Tes ini memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tes cukit,
walaupun reaksi positif palsu atau reaksi anafilaksis lebih sering terjadi. Sebaiknya
yang dilakukan tes intradermal hanya yang memberikan hasil negative pada tes
cukit.
SET (Skin End Point Titration) merupakan pengembangan tes intradermal larutan
tunggal (disebut juga pengenceran larutan berganda), dilakukan untuk alergen
inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat
mengetahui alergen penyebab, dapat juga menentukan derajat alergi serta dosis awal
untuk imunoterapi.
2.9. Diagnosis Banding
Diagnosa Banding dari rinitis alergi adalah sebagai berikut:
1.

Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang disebabkan oleh
selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum).
Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya, antara lain:

2.

rhinitis vasomotor

rhinitis gustator

rhinitis medikamentosa

rhinitis hormonal
Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)

27

Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia) ditandai oleh
penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar (PKS). Manifestasi klinis termasuk
batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis kronis. Otitis dan otosalpingitis yang umum
di masa kanak-kanak, seperti juga poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.
2.10. Penatalaksanaan
Secara garis besar, penatalaksanaan rinitis alergi terdiri dari 3 cara yaitu menghindari
atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan imunoterapi, sedangkan
tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip
hidung.
a. Menghindari atau eliminasi alergen
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap allergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet retriksi (tanpa susu, telur,
ikan laut, dan kacang) mulai trimester III dan selama menyusui. Bayi mendapat
ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap allergen dan polutan.
2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa
asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran
terhadap pajanan allergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji
kulit.
3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit
alergi dengan penghindaran allergen dan pengobatan.
Penghindaran alergen
Cara ini bertujuan mencegah terjadinya kontak antara alergen dengan IgE spesifik yang
terdapat dipermukaan sel mast atau basofil sehingga degranulasi tidak terjadi dan
gejala dapat dihindarkan. Perjalanan dan beratnya penyakit berhubungan dengan
konsentrasi alergen di lingkungan. Walaupun konsep pengobatan ini sangat rasional,
namun dalam praktek adalah sangat sulit dilakukan. Di negara tropis, alergen utamanya

28

adalah debu rumah dan serpihan kulit serangga/tungau antara lain Dermatophagoides
pteronysinus dan farinae yang hidup pada debu rumah, karpet, kasur, kapuk, selimut,
tumpukan pakaian dan buku lama. Disamping itu terdapat partikel alergen lain yang
menempel pada debu rumah misalnya kotoran kecoa, serpihan bulu kucing dan anjing
yang juga berperan aktif. Jamur yang terdapat dalam rumah seperti jenis Aspergillus
dan Penicillium sering ditemukan pada daerah yang lembab seperti kamar mandi,
dapur, gudang, serta atap yang bocor.
Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan kelembaban udara.
Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara teratur mengenai penyakit,
penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik secara lisan maupun pertanyaan.
Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen, terdapat beberapa
cara yang harus dilakukan yaitu
1. Tidak menggunakan karpet, kapuk dan menyingkirkan mainan berbulu dari kamar
tidur
2. Mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan guling serta kain kordin pada
suhu 60c
3. Melapisi kasur, bantal dan guling dari bahan yang impermeable/anti tembus tungau
4. Menggunakan perabot yang mudah dibersihkan seperti dari kayu, plastic atau
logam dan hindari sofa dari kain
5. Pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau dengan lap basah
6. Hindari binatang peliharaan
b. Farmakoterapi
Perlu ditekankan bahwa penderita rinitis alergi harus menggunakan obat secara teratur
dan tidak pada saat diperlukan saja, karena penggunaan yang teratur dan konsisten
dapat mengontrol inflamasi mukosa dan mengurangi terjadinya komplikasi pada
saluran napas lainnya. Hal penting lain adalah dalam memilih terapi harus diperhatikan
terapi secara individual berdasarkan berat ringannya penyakit.
1. Antihistamin
Histamin merupakan mediator utama timbulnya gejala rinitis alergi pada fase cepat
dan dibentuk di dalam sel mast dan basophil (preformed mediator), Histamin dapat
dikeluarkan dalam berapa menit, mempunyai efek vasoaktif yang poten dan

29

kontraksi otot polos melalui H1 reseptor pada target organ. Secara klinis, histamin
dapat menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, menurunkan
viskositas mukus, bronkokonstriksi dan stimulasi saraf sensoris. Hal inilah yang
menyebabkan gejala bersin, rinore dan gatal pada hidung, mata dan palatum.
Antihistamin adalah antagonis histamin reseptor H1 yang bekerja secara inhibitor
kompetitif pada reseptor H1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama dalam pengobatan rinitis alergi.
Antihistamin dapat mengurangi gejala bersin, rinore, gatal tetapi hanya mempunyai
efek yang minimal atau tidak efektif untuk mengatasi sumbatan hidung.
Antihistamin yang ideal harus tidak mempunyai efek antikolinergik, anti serotonin,
anti adrenergic dan tidak melewati sawar darah otak, tidak menyebabkan
mengantuk dan mengganggu penampilan psikomotor, serta dalam dosis tinggi tidak
mempengaruhi jalur ion kalium pada otot jantung yang menyebabkan perpanjangan
interval QT pada EKG atau menyebabkan aritmia jantung. Karakteristik optimal
secara farmakokinetik dan farmakodinamik termasuk absorpsi cepat secara intra
oral, tidak ada interaksi dengan obat lain, mula kerja cepat, lama kerja 12-24 jam
setelah pemberian dosis tunggal, dan tidak terdapat takifilaksis.
Antihistamin generasi pertama bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar
darah otak dan plasenta dan mempunyai efek anti kolinergik. Efek samping yang
terjadi pada SSP adalah rasa mengantuk, lemah, dizziness, gangguan kognitif dan
penampilan serta efek anti kolinergik seperti mulut kering, kontipasi, hambatan
miksi dan glaucoma. Yang termasuk kelompok ini adalah difenhidramin,
klorfeniramin, hidroksisin, klemastin, prometasin dan siproheptadin.
Antihistamin generasi II lebih bersifat lipofobik sehingga sulit menembus sawar
darah otak dan plasenta, bersifat selektif mengikat reseptor H1, tidak mempunyai
efek anti kolinergik, anti adrenergic dan efek pada SSP sangat minimal sehingga
tidak mempengaruhi penampilan (performance). Yang termasuk kelompok ini
adalah loratadin, astemisol, azelastin, terfenadin dan cetirisin. Terfenadin dan
astemisol menyebabkan penghambatan pada jalur ion Kalium yang menyebabkan
perpanjangan interval QT pada EKG. Bila dikombinasikan dengan obat lain yang
dimetabolisme di hati melalui enzim sitokrom P450 misalnya antibiotik golongan

30

makrolid dan antijamur golongan azol, ke dua obat ini dapat menyebabkan
timbulnya torsades de pointes serta aritmia ventrikel, sehingga kedua obat ini
sudah tidak di rekomendasikan lagi. Feksofenadin yang merupakan metabolit aktif
dari terfenadin dan desloratadin dapat digolongkan sebagai antihistamin generasi
III karena tidak dimetabolisme di hati dan tidak menyebabkan kelainan pada
jantung. Obat antihistamin generasi ke II dan III ini mempunyai efek antiinflamasi,
menurunkan akumulasi eosinofil, pelepasan sel mediator dari dari mostosit dan
basophil, menurunkan migrasi sel eosinofil dan ekspresi ICAM 1 (Intracellular
Adhesion Molecul 1).
Saat ini terdapat 2 sediaan antihistamin topikal untuk rinitis alergi yaitu azelastin
dan levocabastin. Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja sebagai
H1 reseptor antagonis untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung dan
mata (rinokonjungtivitis alergi). Bila digunakan 2 kali sehari dapat mencegah
timbulnya gejala.
2. Dekongestan
Berbagai jenis

adrenergik agonis dapat diberikan secara per oral seperti

pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer dapat


mengurangi sumbatan hidung dan efek minimal dalam mengatasi rinore dan tidak
mempunyai efek terhadap bersin, gatal di hidung maupun di mata. Pseudoefedrin
merupakan stereoisomer efedrin dan mempunyai kerja yang sama dengan efedrin,
tetapi memiliki efek minimal terhadap tekanan darah atau jantung dan SSP.
Pemberian pseudoefedrin dapat mengatasi hiperemi jaringan, edem mukosa dan
meningkatkan patensi jalan napas hidung. Obat ini berguna untuk mengatasi rinitis
alergi bila dikombinasikan dengan antihistamin.
Efek samping dekongestan oral terhadap SSP yaitu gelisah, insomnia, iritabel, sakit
kepala dan terhadap kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi, meningkatkan
tekanan darah, dapat menghambat aliran air seni. Penggunaan obat ini harus hatihati pada orang tua karena dapat meningkatkan tekanan darah dan jangan diberikan
pada pasien rinitis alergi dengan kelainan jantung koroner dan glaukoma.
Preparat dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, xylometazolin,
nafazolin dapat mengatasi gejala sumbatan hidung lebih cepat dibandingkan
preparat oral karena efek vasokontriksi dapat menurunkan aliran darah ke sinusoid
31

dan dapat mengurangi udem mukosa hidung. Namun pemberian secara topikal
hanya beberapa hari saja (3-5 hari) untuk mencegah terjadinya rebound fenomena
(sumbatan

hidung

tetap

terjadi)

setelah

penghentian

obat

dan

rinitis

medikamentosa. Penggunaan obat ini tidak dianjurkan untuk mengatasi gejala


sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat rinitis alergi.
3. Kombinasi antihistamin dan dekongestan
Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Tujuan pemberian
ke dua obat ini dalam satu sediaan seperti loratadin, feksofenadin dan cetirizine
dengan pseudoefedrin 120 mg. Obat ini dapat mengatasi semua gejala rinitis alergi
termasuk sumbatan hidung yang tidak dapat diatasi bila hanya menggunakan
antihistamin saja. Pada penderita rinitis alergi yang disertai asma bronkial,
kombinasi loratadin dengan pseudoefedrin lebih efektif untuk mengatasi gejala
hidung dan asma, fungsi paru dan kualitas hidup dibandingkan hanya dengan
antihistamin saja.
4. Ipratropium bromide
Ipratropium bromide topikal merupakan salah satu preparat pilihan dalam
mengatasi rinitis alergi. Obat ini merupakan preparat antikolinergik yang dapat
mengurangi sekresi (rinore) dengan cara menghambat reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor, tetapi tidak ada efek untuk mengatasi gejala lainnya.
Preparat ini berguna pada penderita rinitis alergi dengan rinore yang tidak dapat
diatasi dengan kortikosteroid intranasal maupun dengan antihistamin.
Efek samping yang sering ditemukan adalah iritasi hidung, pembentukkan krusta
dan kadang epistaksi ringan.
5. Sodium kromoglikat intranasal
Obat ini mempunyai efek untuk mengatasi bersin, rinore dan gatal pada hidung dan
mata, bila digunakan 4 kali sehari. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan
membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan
mediator tidak terjadi. Selain itu, obat ini juga bekerja pada respon fase lambat
rinitis alergi dengan menghambat proses inflamasi terhadap aktivasi sel eosinofil.
Dengan dosis pemberian 4 kali sehari, kemungkinan kepatuhan penderita
berkurang. Obat ini baik digunakan sebagai preventif sebelum gejala alergi muncul

32

seperti pada rinitis alergi musiman sebelum musim polen terjadi dan dapat
diberikan dengan aman pada anak, wanita hamil dan penderita usia lanjut.
6. Kortikosteroid topikal dan sistemik
Kortikosteroid topikal diberikan sebagai terapi pilihan pertama untuk penderita
rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan gejala yang persisten
(menetap), karena mempunyai efek anti inflamasi jangka panjang. Studi
metaanalisis membuktikan, kortikosteroid topikal efektif untuk mengatasi gejala
rinitis alergi terutama sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Saat mulai
kerjanya lambat (12 jam) dan efek maksimum dicapai dalam beberapa hari sampai
minggu.
Bila hidung sangat tersumbat, kortikosteroid topikal tidak mudah mencapai mukosa
hidung, sehingga kadang diperlukan pemakaian dekongestan topikal misalnya
oxymetazolin atau kortikosteroid oral selama kurang dari seminggu sebelum
pemakaian kortikosteroid topikal.
Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat
dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basophil, mencegah
switching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi
transepitel dari sel mast, basofil dan eosinofil, menekan ekspresi GM-CSF, IL-6,
IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung
dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis
eosinofil.
Preparat yang termasuk kortikosteroid topikal adalah budesonide, beklometason,
flunisolide, flutikason, mometason furoat dan triamcinolone acetonide. Preparat
kortikosteroid topikal yang baru tidak diabsorpsi secara bermakna oleh mukosa
hidung sehingga dapat mengurangi dan bahkan menghilangkan efek samping
sistemik seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan pada anak, dan gangguan
densitas tulang serta mata.
Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada
penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama.
c. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau
multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
33

hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO 3
25% atau triklor asetat.
d. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama, serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan
sub-lingual.
Imunoterapi akan meningkatkan sel Th1 dalam memproduksi IFN y, sehingga aktifitas
sel B akan terhambat dan selanjutnya pembentukan IgE akan tertahan. Selain itu
imunoterapi akan menurunkan produksi molekul inflamasi seperti IL-4, IL-5, PAF,
ICAM 1 dan akumulasi sel eosinofil.
e. Terapi masa depan
IL-5 reseptor antagonis dan IL-5 monoklonal antibodi sudah dapat digunakan untuk
penderita asma dan mungkin dapat berperan juga dalam mengatasi rinitis alergi.
Kombinasi antihistamin dengan anti leukotrien lebih efektif untuk mengatasi rinitis
alergi dibandingkan hanya menggunakan satu obat saja. Anti IgE terapi berupa
recombinant humanized monoclonal IgG antibodi bekerja langsung pada Fe dari IgE
sehingga terjadi penurunan IgE di sirkulasi.
f. Edukasi Pasien
Memberikan edukasi pada pasien utnuk menghindari bahan-bahan yang merupakan
allergen.
2.11. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
1. Polip hidung.
2. Otitis media efusi
3. Rinosinusitis
4. Sinusitis paranasal

34

5. Gangguan fungsi tuba eustachius


2.12. Prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk
sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi
pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang. Prognosis yang terjadi
dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh maupun anomali
anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda
dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan
jarang ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

35

BAB V
KESIMPULAN
Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang
disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada di
udara. Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus
cair seperti air bening. Seringkali gejala meliputi mata, yaitu : berair, kemerahan dan gatal.
RA merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya allergic shiner, allergic salute
dan allergic crease.
Pemeriksaan alergi dengan tes kulit (tes cukit) terhadap berbagai allergen mungkin
dapat menunjang penegakan diagnosis RA.Bila hasil belum dapat mengetahui mungkin
diperlukan tes alergi intra dermal. Pemeriksaan kadar lgE di darah meningkat (tidak
spesifik). Pemeriksaan terhadap lgE spesifik terhadap alergen tertentu.
Pengobatan rhinitis alergi bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Namun
yang terpenting adalah dengan menghindari alergen pemicu.

36

DAFTAR PUSTAKA
1. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Bergstrm SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:
http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?
topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU.
3. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck
Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
4. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic
Rhinitis. 2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
5. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
6. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
7. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis
8. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

37

Anda mungkin juga menyukai