Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH PRESENTASI KASUS PERSIAPAN

MORBUS HANSEN

Disusun Oleh:
Rhezza Imam Morgandha
1102009242
Narasumber:
dr. Dian Andriani, SpKK, M.Biomed, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT MOHAMMAD RIDWAN MEURAKSA

BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. MA
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 41 tahun (Binjai, 29 Agustus 1979)
Agama
: Kristen
Pendidikan
: SMP
Alamat
: Jln.Muroli 1 no.30 rt.06. rw.013, kel.cempaka putih barat
Suku Bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
: Sopir KOPAJA
Tanggal masuk RS : 13 Agustus 2015
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMRM pada tanggal 13
Agustus 2015, pukul 13.00 WIB secara autoanamnesis.
Keluhan Utama:
Terdapat bercak kemerahan berukuran seperti biji jagung di lengan kanan atas sejak 1
tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan :
Rambut pada alis dan bulu mata rontok dan tangan sering kaku sejak 3 bulan yang
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengatakan sejak 1 tahun yang lalu timbul lesi pada lengan atas pasien.
Lesi tersebut dirasakan gatal terutama ketika pasien dalam keadaan berkeringat,
kemudian pasien berobat ke puskesmas, di puskesmas pasien diberikan obat gatal,
namun dirasakan gatal tidak berkurang dan semakin menyebar. Kemudian pada kaki
muncul keluhan serupa sekitar 3 bulan yang lalu, pasien sering menggaruknya dan
bahkan sempat sampai terluka. Pada rambut alis dan bulu mata pasien juga rontok
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan tidak terdapat kelemahan pada lengan,
tangan, tungkai, maupun kakinya, Namun pasien merasakan baal pada daerah lengan
atas sampai tangan kanan. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami kelainan kulit
seperti ini.
Pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang memiliki keluhan
serupa dengan pasien. Aktivitas sehari-hari pasien adalah di terminal senen karena
profesi pasien sebagai sopir kopaja. Pasien dalam sehari mandi 2 kali, menggunakan
sabun, dan setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih. Riwayat penggunaan
alat mandi atau handuk bersama dengan anggota keluarga lainnya tidak ada. Sehari-

hari pasien tidak memelihara binatang atau pun berkontak dengan binatang. Riwayat
bercocok tanam, berkebun, atau bermain di tempat tanah dikatakan pasien tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
DM (-), Alergi(-), Hipertensi(-), Asma(-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
DM (-), Alergi(-), Hipertensi(-), Asma(-)
STATUS GENERALIS (13 Agustus 2015)
Kesadaran
: compos mentis
Keadaan umum
: Tampak Sakit Ringan
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 kali/menit
Nafas
: 24 kali/menit
Suhu
: Afebris
Kepala
: Normocephale
Mata
: Madarosis
Hidung
: Sadlenose
Jantung
: tidak diperiksa
Paru
: tidak diperiksa
Abdomen
: tidak diperiksa
Ekstremitas
: tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat
KGB
: tidak ada pembesaran KGB
STATUS NEUROLOGIS
- GCS : 15 (E4M6V5)
-Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
-Kekuatan motorik :
5555 5555
5555 5555
+2 +2
- Refleks fisiologis:
+2 +2

STATUS DERMATOLOGIKUS

Pada regio Brachii sinistra terdapat plak


hiperpigmentasi

multiple

berukuran

lentikular hingga lumular dengan batas


tegas terdistribusi unilateral, Pada sebagian
permukaan plak terdapat krusta.
Pada

region

carpal

dextra

terdapat

plak

hipopigmentasi berukuran 2x3 cm dengan batas


tegas terdistribusi soliter.

Pada
region
facialis tampak Madarosis pada kedua
mata.

Pada hidung terlihat makula hiperpigmentasi berukuran milier dengan batas tegas,
terdistribusi merata.

RESUME
Pasien laki-laki, 41th, sejak 1 tahun yang lalu timbul lesi pada lengan atas
pasien. Lesi tersebut dirasakan gatal terutama ketika pasien dalam keadaan
berkeringat, kemudian pasien berobat ke puskesmas, di puskesmas pasien diberikan
obat gatal, namun dirasakan gatal tidak berkurang dan semakin menyebar. Kemudian
pada kaki muncul keluhan serupa sekitar 3 bulan yang lalu, pasien sering
menggaruknya dan bahkan sempat sampai terluka. Pada rambut alis dan bulu mata
pasien juga rontok sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan tidak terdapat
kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, maupun kakinya, Namun pasien merasakan
baal pada daerah lengan atas sampai tangan kanan. Pasien sebelumnya belum pernah
mengalami kelainan kulit seperti ini.
DIAGNOSIS
Morbus Hansen Multibasilar
DIAGNOSIS BANDING
Tinea Vesikolor
PEMERIKSAAN ANJURAN
Kerokan kulit KOH
PENGOBATAN/TATALAKSANA:
-

Non-medikamentosa
o Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan
o Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan
o Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali
berkeringat
o Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah
penularan
o Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran, dengan melakukan
pengecekan setiap hari
o Tanggap akan efek samping obat dan reaksi obat dan segera berobat ke
dokter.

Medikamentosa
4

o MDT-MB program WHO (12-18 bulan)


Hari ke-1 (dari 28 hari)
Rifampisin 1x 600 mg/hari
DDS 1x100mg/hari
Klofazimin 1x300mg/hari
Hari ke-2 sampai 28 (dari 28 hari)
DDS 1x100 mg/hari
Klofazimin 1x50mg/hari
PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam

: Bonam
: Dubia ad Bonam
: Bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol, bersifat
intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di medium
artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2
a. Patogenesis
5

Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit


kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan
menimbulkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun
tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M.
leprae memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang
terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang
lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih
dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat infeksinya. 1,3,4,5

Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5


Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu
yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel
ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-, TNF, IL-2, IL-6, IL-12
serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di
kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M.
leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.1,3,5
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag
gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang
biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra
yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
6

ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll).

Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun4


Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai
saat ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung
antarkulit yang erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara
inhalasi) diyakini menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya
bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5
tahun setelah pertama kali terinfeksi.
b. Tanda dan Gejala
Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang. Bila imunitas
baik, maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid.
Sementara jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe
lepromatosa.
Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadi beberapa kelas sebagai
berikut:

Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling


Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang
stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid
borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak
stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I)
tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali
sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang
menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB).

Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO


Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari
pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah
oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan
LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam
multibasilar.1
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia)
dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah
tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai
dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan
permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris,
kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin
mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus,
papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai
tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan
saraf biasanya lebih luas. 1,3

Gambar 5. Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra3


Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995
WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan
kerusakan saraf.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1
Lesi Kulit
(makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)

Kerusakan Saraf

Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
Jumlah : 1-5 lesi
Jumlah : 1-5 lesi
Warna : Hipopigmentasi / Distribusi
:
-

eritema
Distribusi : asimetris
Anestesia : jelas

simetris
Anestesia

kurang jelas

Hanya satu cabang saraf

Banyak
saraf

Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan


fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada
lepra mirip dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal :
dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll)
sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat
diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran diagnosis banding.
Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk

cabang

rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang
suhu).
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer
harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi
otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi
atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer
yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan
fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle
test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n.
radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehlneelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga
kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling
aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui
subepidermal clear zone yang mengandung sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan
basil (solid + nonsolid).1,3,4
Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman
hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di
subepidermal clear zone.1,4
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit
tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
- Uji MLPA
10

- Uji ELISA
- M. leprae dipstick test
- M. leprae flow test1
d. Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi
setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi
kusta, antara lain:
Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)
Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi +
komplemen). Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak
terjadi perubahan tipe. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur
dan mati ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan
banyak antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan mengaktivasi sistem
komplemen. Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan dapat menyerang
berbagai organ. Karakteristik reaksi ENL adalah ditemukannya nodus
eritematosa yang nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai.1,3,5
Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)
Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan tipe
tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga
sebagai reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Pada reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi
perpindahan tipe ke arah tuberkoloid yang terjadi secara cepat dan mendadak.
Biasanya reaksi ini terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik
reaksi reversal adalah lesi yang sudah ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi
baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala neuritis akut yang memerlukan
tatalaksana sesegera mungkin. 1,3,5

11

Gambar 6. Patogenesis Reaksi ENL dan Reaksi Reversal5


TATALAKSANA KUSTA
a. Obat Utama1 :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali
dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964).
Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT
karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi
kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi
relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau
100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin
merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

12

b. Obat alternatif:1
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan
pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi
daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg.
Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT6 :
1. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens
kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.
2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline
sebelumnya)
3. Pengobatan MDT yang fleksibel
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang
berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka
konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun
pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait
dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus
diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang
tidak membaik
d. MDT untuk Multibasilar

13

Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.7


Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.1,8,9
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
14

Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan


secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut
RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.

e. MDT untuk Pausibasilar

15

Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.7


Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,
dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. 1,8,9 Pengonsumsian
Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan
didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan
dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.
Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC
tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan
relaps.
16

f. Pengobatan Lesi Tunggal


Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg +
Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).
g. Pengobatan Situasi Khusus
1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
-

6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah


dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan

(3) claritromisin 500 mg


18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah
dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,

ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.


2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti
regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400
mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen
pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS,
dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.
h. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan
sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi
lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan
bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara
total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.
i. Pengobatan Reaksi kusta1,9
1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
17

Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1


Minggu pemberian
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
11-12

Dosis prednisone harian yang dianjurkan


40 mg
30 mg
20 mg
15 mg
10 mg
5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan.


Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedatif juga dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi
1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan
sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan
klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12
minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100
mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik
diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.
j. Kecacatan1,9
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi
kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi.
Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya
kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju,
memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,
mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Tabel 2. Derajat kecacatan1
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0
Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1
Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas
Tingkat 2
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0
Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1
Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus
18

sedikit berkurang
Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea

Tingkat 2

keruh) dan/atau visus sangat terganggu


Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti
penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan
luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung
diri lain yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan
kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit
telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang
dapat terjadi.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin :
Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2010. hal. 73-83
2. Anonim. Louisiana Office of Public Health - Infectious Disease Control
Manual : Hansens Disease (Leprosy). Revised :2004. Available from:
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectiousepi/EpiManual/LeprosyManual.pdf
3. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24).
Learning from Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response.
Los

Angeles:

Elsevier;

2010.

Available

from

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
4. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansens Disease (Leprosy). Medscape
reference:

2012;32(1):27-37.

Available

from

http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4
5. Misch E A et al. Journal American Society for Microbiology (ASM) :
Microbiol.

Mol.

Biol.

Rev.

2010;74:589-620.

Available

from

http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F1.expansion.html
19

6. WHO Seventh Expert Committee. Leprosy elimination. [Available from :


http://www.who.int/lep/resources/expert/en/index2.html ] cited on May 4,
2013 at 5:00 pm.
7. McDougall AC,

Yuasa

Y.

Atlas

Kusta.

[Avaliable

from

http://www.smhf.or.jp/data01/atlas_indonesia.pdf] cited on May 4, 2013 at


5:00 pm.
8. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : RSCM, 2007. Halaman 147.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. Eigth Report. [Available from :
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75151/1/WHO_TRS_968_eng.pdf]
cited on May 4, 2013 at 5:00 pm.
10. Daili EMSS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi 2. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003.

20

Anda mungkin juga menyukai