MORBUS HANSEN
Disusun Oleh:
Rhezza Imam Morgandha
1102009242
Narasumber:
dr. Dian Andriani, SpKK, M.Biomed, MARS
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. MA
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 41 tahun (Binjai, 29 Agustus 1979)
Agama
: Kristen
Pendidikan
: SMP
Alamat
: Jln.Muroli 1 no.30 rt.06. rw.013, kel.cempaka putih barat
Suku Bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
: Sopir KOPAJA
Tanggal masuk RS : 13 Agustus 2015
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMRM pada tanggal 13
Agustus 2015, pukul 13.00 WIB secara autoanamnesis.
Keluhan Utama:
Terdapat bercak kemerahan berukuran seperti biji jagung di lengan kanan atas sejak 1
tahun yang lalu.
Keluhan Tambahan :
Rambut pada alis dan bulu mata rontok dan tangan sering kaku sejak 3 bulan yang
lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengatakan sejak 1 tahun yang lalu timbul lesi pada lengan atas pasien.
Lesi tersebut dirasakan gatal terutama ketika pasien dalam keadaan berkeringat,
kemudian pasien berobat ke puskesmas, di puskesmas pasien diberikan obat gatal,
namun dirasakan gatal tidak berkurang dan semakin menyebar. Kemudian pada kaki
muncul keluhan serupa sekitar 3 bulan yang lalu, pasien sering menggaruknya dan
bahkan sempat sampai terluka. Pada rambut alis dan bulu mata pasien juga rontok
sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan tidak terdapat kelemahan pada lengan,
tangan, tungkai, maupun kakinya, Namun pasien merasakan baal pada daerah lengan
atas sampai tangan kanan. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami kelainan kulit
seperti ini.
Pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang memiliki keluhan
serupa dengan pasien. Aktivitas sehari-hari pasien adalah di terminal senen karena
profesi pasien sebagai sopir kopaja. Pasien dalam sehari mandi 2 kali, menggunakan
sabun, dan setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih. Riwayat penggunaan
alat mandi atau handuk bersama dengan anggota keluarga lainnya tidak ada. Sehari-
hari pasien tidak memelihara binatang atau pun berkontak dengan binatang. Riwayat
bercocok tanam, berkebun, atau bermain di tempat tanah dikatakan pasien tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya
DM (-), Alergi(-), Hipertensi(-), Asma(-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
DM (-), Alergi(-), Hipertensi(-), Asma(-)
STATUS GENERALIS (13 Agustus 2015)
Kesadaran
: compos mentis
Keadaan umum
: Tampak Sakit Ringan
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 88 kali/menit
Nafas
: 24 kali/menit
Suhu
: Afebris
Kepala
: Normocephale
Mata
: Madarosis
Hidung
: Sadlenose
Jantung
: tidak diperiksa
Paru
: tidak diperiksa
Abdomen
: tidak diperiksa
Ekstremitas
: tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat
KGB
: tidak ada pembesaran KGB
STATUS NEUROLOGIS
- GCS : 15 (E4M6V5)
-Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
-Kekuatan motorik :
5555 5555
5555 5555
+2 +2
- Refleks fisiologis:
+2 +2
STATUS DERMATOLOGIKUS
multiple
berukuran
region
carpal
dextra
terdapat
plak
Pada
region
facialis tampak Madarosis pada kedua
mata.
Pada hidung terlihat makula hiperpigmentasi berukuran milier dengan batas tegas,
terdistribusi merata.
RESUME
Pasien laki-laki, 41th, sejak 1 tahun yang lalu timbul lesi pada lengan atas
pasien. Lesi tersebut dirasakan gatal terutama ketika pasien dalam keadaan
berkeringat, kemudian pasien berobat ke puskesmas, di puskesmas pasien diberikan
obat gatal, namun dirasakan gatal tidak berkurang dan semakin menyebar. Kemudian
pada kaki muncul keluhan serupa sekitar 3 bulan yang lalu, pasien sering
menggaruknya dan bahkan sempat sampai terluka. Pada rambut alis dan bulu mata
pasien juga rontok sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan tidak terdapat
kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, maupun kakinya, Namun pasien merasakan
baal pada daerah lengan atas sampai tangan kanan. Pasien sebelumnya belum pernah
mengalami kelainan kulit seperti ini.
DIAGNOSIS
Morbus Hansen Multibasilar
DIAGNOSIS BANDING
Tinea Vesikolor
PEMERIKSAAN ANJURAN
Kerokan kulit KOH
PENGOBATAN/TATALAKSANA:
-
Non-medikamentosa
o Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan
o Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan
o Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali
berkeringat
o Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah
penularan
o Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran, dengan melakukan
pengecekan setiap hari
o Tanggap akan efek samping obat dan reaksi obat dan segera berobat ke
dokter.
Medikamentosa
4
: Bonam
: Dubia ad Bonam
: Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol, bersifat
intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di medium
artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2
a. Patogenesis
5
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll).
Kerusakan Saraf
Pausibasilar (PB)
Multibasilar (MB)
Jumlah : 1-5 lesi
Jumlah : 1-5 lesi
Warna : Hipopigmentasi / Distribusi
:
-
eritema
Distribusi : asimetris
Anestesia : jelas
simetris
Anestesia
kurang jelas
Banyak
saraf
cabang
rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang
suhu).
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer
harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi
otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi
atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer
yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan
fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle
test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n.
radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehlneelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga
kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling
aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui
subepidermal clear zone yang mengandung sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan
basil (solid + nonsolid).1,3,4
Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman
hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di
subepidermal clear zone.1,4
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit
tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
- Uji MLPA
10
- Uji ELISA
- M. leprae dipstick test
- M. leprae flow test1
d. Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi
setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi
kusta, antara lain:
Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)
Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi +
komplemen). Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak
terjadi perubahan tipe. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur
dan mati ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan
banyak antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan mengaktivasi sistem
komplemen. Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan dapat menyerang
berbagai organ. Karakteristik reaksi ENL adalah ditemukannya nodus
eritematosa yang nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai.1,3,5
Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)
Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan tipe
tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga
sebagai reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas
tipe lambat. Pada reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi
perpindahan tipe ke arah tuberkoloid yang terjadi secara cepat dan mendadak.
Biasanya reaksi ini terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik
reaksi reversal adalah lesi yang sudah ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi
baru. Pada tipe ini, juga dapat muncul gejala neuritis akut yang memerlukan
tatalaksana sesegera mungkin. 1,3,5
11
12
b. Obat alternatif:1
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan
pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi
daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg.
Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT6 :
1. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens
kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.
2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline
sebelumnya)
3. Pengobatan MDT yang fleksibel
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang
berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka
konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun
pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait
dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus
diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang
tidak membaik
d. MDT untuk Multibasilar
13
15
sedikit berkurang
Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea
Tingkat 2
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin :
Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2010. hal. 73-83
2. Anonim. Louisiana Office of Public Health - Infectious Disease Control
Manual : Hansens Disease (Leprosy). Revised :2004. Available from:
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectiousepi/EpiManual/LeprosyManual.pdf
3. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24).
Learning from Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response.
Los
Angeles:
Elsevier;
2010.
Available
from
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
4. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansens Disease (Leprosy). Medscape
reference:
2012;32(1):27-37.
Available
from
http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4
5. Misch E A et al. Journal American Society for Microbiology (ASM) :
Microbiol.
Mol.
Biol.
Rev.
2010;74:589-620.
Available
from
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F1.expansion.html
19
Yuasa
Y.
Atlas
Kusta.
[Avaliable
from
20