Anda di halaman 1dari 31

ASKEP THYPOID

A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan
urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella
thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan
paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever,
enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang
disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral
melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah
suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat
menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2. Etiologi
Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua
sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan
carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi
salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
3. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan
5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui
Feses.

Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi
kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia
bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada
patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat
pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
4. Manifestasi Klinik
Masa tunas typhoid 10 14 hari
a. Minggu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan
gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare,
perasaan tidak enak di perut.
b. Minggu II
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor,
pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.
5. Komplikasi
a. Komplikasi intestinal
1) Perdarahan usus

2) Perporasi usus
3) Ilius paralitik
b. Komplikasi extra intestinal
1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,
tromboplebitis.
2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3) Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4) Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5) Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6) Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer,
sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.
6. Penatalaksanaan
a. Perawatan.
1) Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi
perdarahan usus.
2) Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi
perdarahan.
b. Diet.
1) Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2) Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3) Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
c. Obat-obatan.
1) Klorampenikol
2) Tiampenikol

3) Kotrimoxazol
4) Amoxilin dan ampicillin
7. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari
toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah
(yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari
makanan pedas
8. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium,
yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan
limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal
bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.
Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal
setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah
negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil
biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1) Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah
yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif
kembali.
3) Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam
darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4) Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan
kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat
pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat
infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3) Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien
sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3. Penyakit penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang
tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

4. Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.
5. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya
pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7. Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung
hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
8. Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi
karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular
salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1. Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies
yang lain.
2. Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa
daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari
strain lain.
9. Tumbuh kembang pada anak usia 6 12 tahun
Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan
dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan
berat badan 2 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex
sekundernya.
Perkembangan menitik beratkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk
perubahan sosial dan emosi.

a. Motorik kasar
1) Loncat tali
2) Badminton
3) Memukul
4) motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan
keleluasaan.
b. Motorik halus
1) Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
2) Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
c. Kognitif
1) Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
2) Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
3) Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
4) Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang
d. Bahasa
1) Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
2) Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan
kata depan
3) Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
4) Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan
10. Dampak hospitalisasi
Hospitalisasi atau sakit dan dirawat di RS bagi anak dan keluarga akan menimbulkan
stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stress tergantung pada persepsi anak dan keluarga
terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.
Penyebab anak stress meliputi ;
a. Psikososial

Berpisah dengan orang tua, anggota keluarga lain, teman dan perubahan peran
b. Fisiologis
Kurang tidur, perasaan nyeri, imobilisasi dan tidak mengontrol diri
c. Lingkungan asing
Kebiasaan sehari-hari berubah
d. Pemberian obat kimia
Reaksi anak saat dirawat di Rumah sakit usia sekolah (6-12 tahun)
a. Merasa khawatir akan perpisahan dengan sekolah dan teman sebayanya
b. Dapat mengekspresikan perasaan dan mampu bertoleransi terhadap rasa nyeri
c. Selalu ingin tahu alasan tindakan
d. Berusaha independen dan produktif
Reaksi orang tua
a. Kecemasan dan ketakutan akibat dari seriusnya penyakit, prosedur, pengobatan dan dampaknya
terhadap masa depan anak
b. Frustasi karena kurang informasi terhadap prosedur dan pengobatan serta tidak familiernya
peraturan Rumah sakit
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar
oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui
makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur.
Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas,
tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid adalah :
a. Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.

b. Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
c. Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
d. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
e. Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau
informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan
keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1
Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan hipertermia dan muntah.
Tujuan
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tandatanda dehidrasi tidak ada
Intervensi
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan
suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam
yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan
klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan
tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
Tujuan
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi

Kriteria hasil
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus
normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir
tidak pucat.
Intervensi
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah
baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien
makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi
lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan
laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat
antiemetik seperti (ranitidine).
Diagnosa 3
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan
Hipertermi teratasi
Kriteria hasil
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi
komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres
dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan
keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.
Diagnosa 4
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria hasil

Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.


Intervensi
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien
seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang
yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin
sesuai indikasi.
Diagnosa 5
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta
febris.
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor
tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.
Diagnosa 6
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi
yang tidak adekuat
Tujuan
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta
dalam pengobatan.
Intervensinya

Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan
kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila
ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih
berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa
yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien
4. Evaluasi
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan
gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan
terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang
penyakitnya.

TYPHOID ABDOMINALIS
A. Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi
dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid
abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan
lebih banyak menyerang pada anak usia 12 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun
( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif
1999).
Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan
dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran
(FKUI. 1999).
B. Etiologi
a) Salmonella thyposa, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak bersepora
mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
antigen O (somatic, terdiri darizat komplekliopolisakarida)
antigen H(flagella)
antigen V1 dan protein membrane hialin.
b) Salmonella parathypi A
c) salmonella parathypi B
d) Salmonella parathypi C
e) Faces dan Urin dari penderita thypus (Rahmad Juwono, 1996).

C. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5 F
yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui
Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke
dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk
ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman
berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel
retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan
bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia.
Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena
membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi
dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang.
D. Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal
tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
Perasaan tidak enak badan
Lesu
Nyeri kepala
Pusing
Diare
Anoreksia
Batuk
Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1. DEMAM
Demam berlangsung 3 minggu
Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan
malam hari
Minggu II : Demam terus
Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur - angsur
2. GANGGUAN PADA SALURAN PENCERNAAN
Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai
tremor
Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
Terdapat konstipasi, diare
3. GANGGUAN KESADARAN
Kesadaran yaitu apatis somnolen

Gejala lain ROSEOLA (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
(Rahmad Juwono, 1996).
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah tepi : dapat ditemukan leukopenia,limfositosis relatif, aneosinofilia,
trombositopenia, anemia
Biakan empedu : basil salmonella typhii ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam
minggu pertama sakit
Pemeriksaan WIDAL - Bila terjadi aglutinasi
1/200- Diperlukan titer anti bodi terhadap antigeno yang bernilai 4 kali antara masa akut dan
konvalesene mengarahatau peningkatan kepada demam typhoid (Rahmad Juwono, 1996).
F. Penatalaksanaan
Terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1) Perawatan
Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
2 jam untuk mencegah dekubitus. Posisi tubuh harus diubah setiap
Mobilisasi sesuai kondisi.
2) Diet
Makanan diberikan secara bertahap sesuai dengan keadaan penyakitnya (mula-mula air-lunakmakanan biasa)
Makanan mengandung cukup cairan, TKTP.
Makanan harus menagndung cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh mengandung
banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan banyak gas.
3) Obat
Antimikroba
Kloramfenikol
Tiamfenikol
Co-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulkametoksazol)
Obat Symptomatik
Antipiretik
Kartikosteroid, diberikan pada pasien yang toksik.
Supportif : vitamin-vitamin.
Penenang : diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikiatri (Rahmad Juwono, 1996).
G. Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra intestinal.
Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis, dan
tromboflebitie.

Darah : anemia hemolitik, tromboritopenia, sindrom uremia hemolitik


Paru : pneumoni, empiema, pleuritis.
Hepar dan kandung empedu : hipertitis dan kolesistitis.
Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
Tulang : oeteomielitis, periostitis, epondilitis, dan arthritis.
Neuropsikiatrik : delirium, meningiemus, meningitie, polineuritie, perifer, sindrom GuillanBarre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering
terjadi pada keadaan tokremia berat dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien
kurang sempurna (Rahmad Juwono, 1996).
H. Pencegahan
1. Usaha terhadap lingkungan hidup :
a. Penyediaan air minum yang memenuhi
b. Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c. Pemberantasan lalat.
d. Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
2. Usaha terhadap manusia.
a. Imunisasi
b. Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Mansjoer, Arif
1999).
MANAJEMEN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas
Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, no. Registerasi, status
perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, tanggal MR.
2. Keluhan Utama
pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan kembung, nafsu makan
menurun, panas dan demam.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah tidak pernah, apakah
menderita penyakit lainnya.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia, mual, muntah, diare,
perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor),
gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid atau sakit yang lainnya.
4. Riwayat Psikososial
Psiko sosial sangat berpengaruh sekali terhadap psikologis pasien, dengan timbul gejala-gejala
yang dalami, apakah pasien dapat menerima pada apa yang dideritanya.
5. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola pesepsi dan tatalaksana kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan masalah dalam kesehatannya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme

Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah kotor, dan rasa pahit
waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi berubah.
3) Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta pasien akan mengalami
keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
4) Pola tidur dan aktifitas
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang meningkat, sehingga pasien
merasa gelisah pada waktu tidur.
5) Pola eliminasi
Kebiasaan dalam buang BAK akan terjadi refensi bila dehidrasi karena panas yang meninggi,
konsumsi cairan yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
6) Pola reproduksi dan sexual
Pada pola reproduksi dan sexual pada pasien yang telah atau sudah menikah akan terjadi
perubahan.
7) Pola persepsi dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi pengetahuan dan kemampuan
dalam merawat diri.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.
9) Pola penanggulangan stress
Stres timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi masalah penyakitnya.
10) Pola hubungan interpersonil
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan peran serta
mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama sakit.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Timbulnya distres dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan menjadi cemas dan takut akan
kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan terganggu.
6. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Biasanya pada pasien typhoid mengalami badan lemah, panas, puccat, mual, perut tidak enak,
anorexia.
2) Kepala dan leher
Kepala tidak ada bernjolan, rambut normal, kelopak mata normal, konjungtiva anemia, mata
cowong, muka tidak odema, pucat/bibir kering, lidah kotor, ditepi dan ditengah merah, fungsi
pendengran normal leher simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
3) Dada dan abdomen
Dada normal, bentuk simetris, pola nafas teratur, didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan.
4) Sistem respirasi
Apa ada pernafasan normal, tidak ada suara tambahan, dan tidak terdapat cuping hidung.
5) Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien dengan typoid yang ditemukan tekanan darah yang meningkat akan tetapi
bisa didapatkan tachiardi saat pasien mengalami peningkatan suhu tubuh.
6) Sistem integumen
Kulit bersih, turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak, akral hangat.
7) Sistem eliminasi

Pada pasien typoid kadang-kadang diare atau konstipasi, produk kemih pasien bisa mengalami
penurunan (kurang dari normal). N -1 cc/kg BB/jam.
8) Sistem muskuloskolesal
Apakah ada gangguan pada extrimitas atas dan bawah atau tidak ada gangguan.
9) Sistem endokrin
Apakah di dalam penderita thyphoid ada pembesaran kelenjar toroid dan tonsil.
10) Sistem persyarafan
Apakah kesadarn itu penuh atau apatis, somnolen dan koma, dalam penderita penyakit thypoid.
B. Diagnosa keperawatan
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran
cairan yang berlebihan (diare/muntah).
C. Intervensi dan Implementasi
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhsi
Tujuan : suhu tubuh normal/terkontrol.
Kriteria hasil : Pasien melaporkan peningkatan suhu tubuh
Mencari pertolongan untuk pencegahan peningkatan suhu tubuh.
Turgor kulit membaik
Intervensi :
Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang peningkatan suhu tubuh
R/ agar klien dan keluarga mengetahui sebab dari peningkatan suhu dan membantu mengurangi
kecemasan yang timbul.
Anjurkan klien menggunakan pakaian tipis dan menyerap keringat
R/ untuk menjaga agar klien merasa nyaman, pakaian tipis akan membantu mengurangi
penguapan tubuh.
Batasi pengunjung
R/ agar klien merasa tenang dan udara di dalam ruangan tidak terasa panas.
Observasi TTV tiap 4 jam sekali
R/ tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien
2,5 liter / 24 jam Anjurkan pasien untuk banyak minum, minum
R/ peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan yang banyak
Memberikan kompres dingin
R/ untuk membantu menurunkan suhu tubuh
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian tx antibiotik dan antipiretik
R/ antibiotik untuk mengurangi infeksi dan antipiretik untuk menurangi panas.
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat
Kriteria hasil : - Nafsu makan meningkat

- Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan


Intervensi
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang manfaat makanan/nutrisi.
R/ untuk meningkatkan pengetahuan klien tentang nutrisi sehingga motivasi untuk makan
meningkat.
Timbang berat badan klien setiap 2 hari.
R/ untuk mengetahui peningkatan dan penurunan berat badan.
Beri nutrisi dengan diet lembek, tidak mengandung banyak serat, tidak merangsang, maupun
menimbulkan banyak gas dan dihidangkan saat masih hangat.
R/ untuk meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
Beri makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
R/ untuk menghindari mual dan muntah.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antasida dan nutrisi parenteral.
R/ antasida mengurangi rasa mual dan muntah.
Nutrisi parenteral dibutuhkan terutama jika kebutuhan nutrisi per oral sangat kurang.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bed rest
Tujuan : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Kriteria hasil : Kebutuhan personal terpenuhi
Dapat melakukan gerakkan yang bermanfaat bagi tubuh.
memenuhi AKS dengan teknik penghematan energi.
Intervensi :
Beri motivasi pada pasien dan kelurga untuk melakukan mobilisasi sebatas kemampuan (missal.
Miring kanan, miring kiri).
R/ agar pasien dan keluarga mengetahui pentingnya mobilisasi bagi pasien yang bedrest.
Kaji kemampuan pasien dalam beraktivitas (makan, minum).
R/ untuk mengetahui sejauh mana kelemahan yang terjadi.
Dekatkan keperluan pasien dalam jangkauannya.
R/ untuk mempermudah pasien dalam melakukan aktivitas.
Berikan latihan mobilisasi secara bertahap sesudah demam hilang.
R/ untuk menghindari kekakuan sendi dan mencegah adanya dekubitus.
4. Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan cairan yang
berlebihan (diare/muntah)
Tujuan : tidak terjadi gangguan keseimbangan cairan
Kriteria hasil : Turgor kulit meningkat
Wajah tidak nampak pucat
Intervensi :
Berikan penjelasan tentang pentingnya kebutuhan cairan pada pasien dan keluarga.
R/ untuk mempermudah pemberian cairan (minum) pada pasien.
Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan.
R/ untuk mengetahui keseimbangan cairan.
2,5 liter / 24 jam. Anjurkan pasien untuk banyak minum
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan.
Observasi kelancaran tetesan infuse.

R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan dan mencegah adanya odem.


Kolaborasi dengan dokter untuk terapi cairan (oral / parenteral).
R/ untuk pemenuhan kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi (secara parenteral).
D. Evaluasi
Dari hasil intervensi yang telah tertulis, evaluasi yang diharapkan :
Dx : peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi salmonella typhii
Evaluasi : suhu tubuh normal (36 o C) atau terkontrol.
Dx : gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia.
Evaluasi : Pasien mampu mempertahankan kebutuhan nutrisi adekuat.
Dx : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest
Evaluasi : pasien bisa melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) optimal.
Dx : gangguan keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran
cairan yang berlebihan (diare/muntah)
Evaluasi : kebutuhan cairan terpenuhi
DAFTAR PUSTAKA
Dangoes Marilyn E. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. EGC, Jakarta.
Lynda Juall, 2000, Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Media Aesculapis, Jakarta.
Rahmad Juwono, 1996, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3, FKUI, Jakarta.
Sjaifoellah Noer, 1998, Standar Perawatan Pasien, Monica Ester, Jakarta.

A. Tinjauan Teoritis Demam Typoid


1. Pengertian
Demam typoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran cerna dengan
gejala demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna dan gangguan kesadaran.
(Mansjoer, 2000: 432).
Demam typoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia,
perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan
ulserasi nodus peyer di distal ileum. Disebabkan salmonella thypi, ditandai adanya demam 7
hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (Soegijanto, 2002: 1).
Demam typoid adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang di awali di selaput lendir usus, dan
jika tidak di obati secara progresif akan menyerbu jaringan di seluruh tubuh. (Tambayong,
2000: 143).

Demam typoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh infeksi salmonella typhi.
( Ovedoff, 2002: 514).
2. Etiologi
Menurut Lewis, Et al (2000: 192) Penyakit demam typoid disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi.
Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421) etiologi dari demam typoid adalah
Salmonella typhi, sedangkan demam paratipoid disebabkan oleh organisme yang termasuk
dalam spesies salmonella enteretidis bioseratife para typhi B, salmonella enteretidis bioseratife
C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama salmonella paratyphi A, salmonella
schottmueller dan salmonella hirscfeldii.
Menurut Ruth F, Craven dan Constance J, Hirni (2002: 1011) tentang penyebab dari demam
typoid adalah bakteri Salmonella typhi.
3. Patofisiologi
Kuman salmonella thypi masuk bersama makanan/ minuman setelah berada di dalam usus halus
mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus (terutama plak peyer) dan jaringan limfoid
mesenterika. Setelah menyebabkan keradangan dan nekrosis setempat kuman lewat pembuluh
darah limfe masuk ke darah (bakterimia primer) menuju organ retikuloendotelial system (RES)
terutama hati dan limfa. Di tempat ini kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES dan kuman yang
tidak difagosit berkembang biak. Pada akhir masa inkubasi 5-9 hari kuman kembali masuk ke
darah menyebar keseluruh tubuh (bakteremia sekunder) dan sebagian kuman masuk ke organ
tubuh terutama limpa, kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut di keluarkan kembali
dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.
Dalam masa bakteremia ini kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimia nya sama
dengan somatik antigen (lipopolisakarida), yang semula diduga bertanggung jawab terhadap
terjadinya gejala-gejala dari demam typoid. (Suriadi, 2001: 281).
Demam typoid disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya yang merangsang
sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjut zat
pirogen yang beredar di darah mempengaruhi pusat termoregulasi di hipotalamus yang
mengakibatkan timbulnya gejala demam.
4. Tanda dan Gejala
Menurut Ruth F Craven dan constance J, Hirnie (2002: 1011) tanda dan gejala demam typoid
adalah sakit kepala, panas, sakit perut, diare dan muntah.
Gejala-gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,
mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.


Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah
typoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran berupa samnolen koma, sedangkan reseolae jarang ditemukan
pada orang Indonesia. (Mansjoer, 1999: 422).
Menurut Ngastiyah (2005: 237), demam typoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang
dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,
sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi mungkin
ditemukan gejala prodromal, perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan
tidak bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya ditemukan, yaitu:
a. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu bersifat febris remitten dan suhu tidak
tinggi sekali. Minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, menurun pada pagi
hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun
dan normal kembali.
b. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah
tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat
ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa membesar disertai nyeri dan peradangan.
c. Gangguan Kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu apatis sampai samnolen. Jarang terjadi supor, koma
atau gelisah (kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan pengobatan). Gejala lain yang
juga dapat ditemukan, pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintikbintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu pertama
demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan epistaksis.
d. Relaps
Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam typoid, akan tetapi berlangsung
ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali,
terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organorgan yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti.
5. Komplikasi
Menurut Ngastiyah (2005: 241), komplikasi pada demam typoid dapat terjadi pada usus halus,
umumnya jarang terjadi bila terjadi sering fatal diantaranya adalah:
a. Perdarahan Usus, bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan nyeri
perut dengan tanda-tanda renjatan.

b. Perforasi Usus, timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara
dirongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma. Pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis, biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus halus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense
musculair) dan nyeri tekan.
Komplikasi di usus halus, terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu
meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan lain-lain, terjadi karena infeksi sekunder yaitu
Bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan makanan yang kurang
dan respirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut David Ovedoff (2002: 514), pemeriksaan khusus yang diperiksa adalah:
a. Jumlah leukosit (biasanya terdapat leukopenia).
b. Selama minggu pertama, biakan darah positif pada 90% penderita.
c. Biakan tinja menjadi positif pada minggu kedua dan ketiga.
d. Biakan sum-sum tulang sering berguna bila biakan darah negatif.
e. Titer agglutinin (tes widal terhadap antigen somatic (O) dan flagel (A) meningkat selama
minggu ketiga, positif semua dan kadang-kadang negatif semua bisa mungkin terjadi pada tes
widal).
Menurut Arif Mansjoer, dkk (1999: 421), biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi
biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typoid. Peningkatan uji titer widal empat lipat
selama 2-3 minggu memastikan diagnosis demam typoid.
Menurut Rachmat Juwono (1999: 436) bahwa pemeriksaan Laboratorium melalui:
1. Pemeriksaan leukosit
Pemeriksaan leukosit ini tidaklah sering dijumpai, karena itu pemeriksaan jumlah leukosit ini
tidak berguna untuk diagnosis demam typoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam
typoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
3. Biakan darah
Biakan darah positif memastikan demam typoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam typoid.
4. Uji widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pasien demam typoid, juga pada orang
yang pernah ketularan salmonella typhi dan juga para orang yang pernah divaksinasi terhadap

demam typoid.
Dari pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai > 1/200 atau peningkatan
> 4 kali antara masa akut dan konvalensens mengarah kepada demam typoid, meskipun dapat
terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan menemukan kuman salmonella typhi pada biakan empedu
yang diambil dari darah klien. (Mansjoer, 2000: 433).
Akibat infeksi oleh kuman salmonella typhi pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu:
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen (berasal dari tubuh kuman).
b. Aglutinin H, berasal dari rangsangan antigen H (berasal dari flagella kuman).
c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis,
makin tinggi titernya makin besar klien menderita typoid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal
Faktor yang berhubungan dengan klien:
a. Keadaan umum: gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien
sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
b. Penyakit-penyakit tertentu: ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typoid yang
tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
c. Pengobatan dini dengan antibiotika: pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat
menghambat pembentukan antibodi.
d. Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid: obat-obat tersebut dapat menghambat
terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
e. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa: seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer
aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1
tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu
titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
f. Infeksi klien dengan klinis/ subklinis oleh salmonella sebelumnya: keadaan ini dapat
mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
g. Reaksi anamnesa: keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella
thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typoid pada seseorang yang pernah
tertular salmonella dimasa lalu.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Copstead, et al (2000: 170) Pilihan pengobatan mengatasi kuman Salmonella typhi
yaitu ceftriaxone, ciprofloxacin, dan ofloxacin. Sedangkan alternatif lain yaitu trimetroprin,
sulfametoksazol, ampicilin dan cloramphenicol.
Pengobatan demam typoid terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Perawatan
Pasien demam typoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama
14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah perdarahan usus. Mobilisasi pasien
dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam typoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya
nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan
untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus, karena ada pendapat bahwa
usus perlu di istirahatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat
dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan selai kasar) dapat
diberikan dengan aman pada pasien demam typoid.
3. Obat
Obat-obatan antimikroba yang sering dipergunakan, ialah:
a. Kloramfenikol, dosis hari pertama 4 kali 250 mg, hari kedua 4 kali 500 mg, diberikan selama
demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 kali 250
mg selama 5 hari kemudian.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam typoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi
hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan
tiamfenikol demam pada demam typoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ampicilin dan Amoxilin, efektifitas keduanya lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.
Indikasi mutlak penggunaannya adalah klien demam typoid dengan leukopenia. Dosis 75-150
mg/kg berat badan, digunakan sampai 7 hari bebas demam.
d. Kontrimoksazol (kombinasi trimetroprin dan sulfametaksazol), efektifitas nya kurang lebih
sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7
hari bebas demam turun setelah 5-6 hari.
e. Sepalosporin generasi ketiga, beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sepalosporin generasi
ketiga antara lain sefoperazon, cefriaxone, cefotaxim efektif untuk demam typoid.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam typoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal
belum diketahui dengan pasti.

Selain dengan pemberian antibiotik, penderita demam typoi d juga diberikan obat-obat
simtomatik antara lain:
a. Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin setiap klien demam typoid karena tidak
berguna.
b. Kortikosteroid
Klien yang toksit dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam pengobatan selama 5
hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran klien menjadi baik, suhu badan cepat
turun sampai normal, tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat
menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps. (Sjaifoellah, 1996: 440).
8. Prognosis
Prognosis demam typoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada
anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% rata-rata 5,7 %. (Sjaifoellah, 1996: 441).
Sedangkan menurut Ngastiyah (2005: 236), umunya prognosis demam typoid pada anak baik,
asal pasien cepat berobat. Mortalitas pada pasien yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi
tidak baik bila terdapat gambaran klinis yang berat seperti:
a. Demam tinggi (hiperpireksia) atau febris continue.
b. Kesadaran sangat menurun (supor, koma atau delirium).
c. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis perforasi.
B. Tinjauan Teoritis Keperawatan Demam Typoid
1. Pengkajian Keperawatan Menurut Doenges (1999: 476-485) adalah:
a. Aktivitas dan Istirahat.
Gejala: Kelemahan, kelelahan, malaise, merasa gelisah dan ansietas, pembatasan aktivitas/ kerja
sehubungan dengan proses penyakit.
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi (respon demam, proses inflamasi dan nyeri), bradikardi relatif, hipotensi
termasuk postural, kulit/membran mukosa turgor buruk, kering, lidah kotor.
c. Integritas Ego
Gejala: Ansietas, gelisah, emosi, kesal misal perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan.
Tanda: Menolak, perhatian menyempit.
d. Eliminasi
Gejala: Diare/konstipasi.
Tanda: Menurunnya bising usus/tak ada peristaltik meningkat pada konstipasi/adanya peristaltik.

e. Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual dan muntah.
Tanda: Menurunnya lemak subkutan, kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk, membran
mukosa pucat.
f. Hygiene
Tanda: Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri, bau badan.
g. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Hepatomegali, Spenomegali, nyeri epigastrium.
Tanda: Nyeri tekan pada hipokondilium kanan atau epigastrium.
h. Keamanan
C, penglihatan kabur, gangguan mental delirium/ psikosis.C-40Gejala: Peningkatan suhu tubuh
38
i. Interaksi Sosial
Gejala: Menurunnya hubungan dengan orang lain, berhubungan dengan kondisi yang di alami.
j. Penyuluhan/ Pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2001-2002) yaitu:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat ditempat tidur/ tirah baring.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual,
muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake kurang
akibat mual, muntah, anoreksia atau output yang berlebihan akibat diare.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis
berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.

Intervensi:
1) Monitor suhu tubuh minimal tiap 2 jam.
Rasional: Mengetahui perubahan suhu, suhu 38,9-41,1C menunjukkan proses inflamasi.
2) Jelaskan upaya untuk mengatasi hipertermi dan bantu klien/ keluarga dalam melaksanakan
upaya tersebut, seperti: dengan memberikan kompres dingin pada daerah frontal, lipat paha dan
aksila, selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh, tingkatkan intake cairan
dengan perbanyak minum.
Rasional: Membantu mengurangi demam.
3) Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi) setiap 2-3 jam.
Rasional: Tanda-tanda vital dapat memberikan gambaran keadaan umum klien.
4) Monitor penurunan tingkat kesadaran.
Rasional: Menentukan intervensi selanjutnya untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
6) Anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien.
Rasional: Untuk mempercepat proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian obat antipiretik dan antibiotik.
Rasional: Obat antiperitik untuk menurunkan panas dan antibiotik mengobati infeksi basil
salmonella typhi.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Intervensi:
1) Berikan bantuan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berupa makanan, minuman, ganti
baju dan perhatikan kebersihan mulut, rambut, genetalia dan kuku.
Rasional: Pemberian bantuan pada klien dapat menghindari timbulnya komplikasi yang
berhubungan dengan pergerakan yang melanggar program tirah baring.
2) Libatkan keluarga dalam pemenuhan ADL.
Rasional: Partisipasi keluarga sangat penting untuk mempermudah proses keperawatan dan
mencegah komplikasi lebih lanjut.
3) Jelaskan tujuan tirah baring untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses
penyembuhan
Rasional: Istirahat menurunkan mobilitas usus juga menurunkan laju metabolisme dan infeksi.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/
pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Intervensi:
1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, turgor kulit, nadi adekuat, tekanan

darah ortostatik) jika diperlukan.


Rasional: Perubahan status hidrasi, membran mukosa, turgor kulit menggambarkan berat
ringannya kekurangan cairan.
2) Monitor tanda-tanda vital
Rasional: Perubahan tanda vital dapat menggambarkan keadaan umum klien.
3) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitung intake kalori harian.
Rasional: Memberikan pedoman untuk menggantikan cairan.
4) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan.
Rasional: Keluarga sebagai pendorong pemenuhan kebutuhan cairan klien.
5) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian cairan IV.
Rasional: Pemberian cairan IV untuk memenuhi kebutuhan cairan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Intervensi:
1) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
Rasional: Mengetahui penyebab pemasukan yang kurang sehingga dapat menentukan intervensi
yang sesuai dan efektif.
2) Monitor adanya penurunan berat badan.
Rasional: Kebersihan nutrisi dapat diketahui melalui peningkatan berat badan 500 gr/minggu.
3) Monitor lingkungan selama makan.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stress dan lebih kondusif untuk makan.
4) Monitor mual dan muntah.
Rasional: Mual dan muntah mempengaruhi pemenuhan nutrisi.
5) Libatkan keluarga dalam kebutuhan nutrisi klien.
Rasional: Meningkatkan peran serta keluarga dalam pemenuhan nutrisi untuk mempercepat
proses penyembuhan.
6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
Rasional: Protein dan vitamin C dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.
7) Berikan makanan yang terpilih.
Rasional: Untuk membantu proses dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan
pasien.
Rasional: Membantu dalam proses penyembuhan.

e. Diare berhubungan dengan peradangan pada dinding usus halus.


Intervensi:
1) Monitor tanda dan gejala diare.
Rasional: Untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan.
2) Identifikasi faktor penyebab diare.
Rasional: Mengetahui penyebab diare sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
3) Observasi turgor kulit secara rutin.
Rasional: Turgor kulit jelek dapat menggambarkan keadaan klien.
4) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.
Rasional: Untuk membantu dalam proses penyembuhan.
5) Anjurkan pasien untuk makan makanan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika
memungkinkan.
Rasional: Makanan rendah serat dan tinggi protein dapat membantu mengatasi diare.
6) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal.
Rasional: Untuk melanjutkan intervensi dan pemberian obat berikutnya.
7) Evaluasi intake makanan yang masuk.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat perkembangan klien.
8) Kolaborasi dengan tim medis lain dalam pemberian cairan IV.
Rasional: Untuk membantu mempercepat proses penyembuhan.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Intervensi:
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, lamanya, intensitas dan karakteristik nyeri.
Rasional: Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/ terjadi
komplikasi.
2) Kaji ulang faktor yang meningkatkan nyeri dan menurunkan nyeri.
Rasional: Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor yang memperberat (seperti
stress, tidak toleran terhadap makanan) atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi, serta
membantu dalam membuat diagnosis dan kebutuhan terapi.
3) Beri kompres hangat pada daerah nyeri.
Rasional: Untuk menghilang nyeri.
4) Kolaborasi dengan tim medis lainnya dalam pemberian obat analgetik.
Rasional: Analgetik dapat membantu menurunkan nyeri.

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis


berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Intervensi:
1) Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya.
Rasional: Mengetahui pengetahuan ibu tentang penyakit demam typoid.
2) Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien.
Rasional: Agar ibu klien mengetahui tentang penyakit demam typoid, penyebab, tanda dan
gejala, serta perawatan dan pengobatan penyakit demam typoid.
3) Beri kesempatan keluarga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti.
Rasional: Supaya keluarga lebih memahami tentang penyakit tersebut.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah usaha untuk menilai keefektifan asuhan keperawatan yang telah diberikan
kepada klien dengan demam typoid.
Hasil evaluasi yang diharapkan adalah:
a. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi salmonella typhi.
Evaluasi:
1) Suhu tubuh dalam batas normal (36,6-37,5 C).
2) Klien tidak demam lagi.
3) Klien tidak gelisah.
4) Turgor kulit baik.
5) Kesadaran compos mentis.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keharusan istirahat di tempat tidur/ tirah baring.
Evaluasi:
1) Kebutuhan mandi, makan, minum, eleminasi, ganti pakaian, kebersihan mulut, rambut, kuku
dan genetalia terpenuhi.
2) Klien berpartisipasi dalam tirah baring.
3) Klien mobilisasi secara bertahap.
c. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual, muntah/
pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.
Evaluasi:
1) Masukan dan haluaran cairan seimbang.
2) Turgor kulit baik, membran mukosa lembab.
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
kurang akibat mual, muntah, anoreksia, atau output yang berlebihan akibat diare.
Evaluasi:
1) Klien dapat menghabiskan makanan yang disediakan.

2) Klien tidak lagi mual, dan muntah.


3) Menunjukkan berat badan stabil atau peningkatan berat badan sesuai saran dengan nilai
laboratorium normal dan tidak ada tanda-tanda mal nutrisi.
e. Diare berhubungan dengan peradangan pada usus halus.
Evaluasi:
1) Tidak mengalami diare.
2) Turgor kulit baik.
f. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi pada usus halus.
Evaluasi:
1) Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
2) Tampak rileks dan mampu tidur atau istirahat secara adekuat.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi penyakit, kebutuhan pengobatan dan prognosis
berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
Evaluasi:
Keluarga klien mengerti tentang penyakit anaknya.

Anda mungkin juga menyukai