Untuk Orang Tua
Untuk Orang Tua
ANAK
Islamedia.co - Menikah kemudian dikaruniai amanah putra atau putri oleh Allah
adalah sebuah kebahagian yang sangat luar biasa, namun tidak sedikit bagi para
orang tua kurang berhati-hati dalam mendidik buah hatinya. Tanpa terasa cara
mendidik yang dilakukan orang tuaakan berpengaruh negatif kepada diri anak.
Berikut 37 kebiasaan orang tua dalam mendidik anak yang dapat menghasilkan
perilaku buruk pada anak
1. Raja yang Tak Pernah Salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan tidak jarang tanpa sengaja
mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka menangis. Umumnya, yang
dilakukan oleh orang tua supaya tangisan anak berhenti adalah dengan
memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja mereka tabrak. Sambil
mengatakan, Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya
sudah cup.cupdiem ya..Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi,
sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak kita bahwa ia tidak pernah
bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia
dewasa. Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa dan terjadi suatu
kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu
benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi peringatan sanksi, atau
hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu kekeliruan atau
kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai
melawan pada kita. Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena tanpa
sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan
menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?
Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia untuk bertanggung jawab atas apa
yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya
terasa sakit): Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya,
jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.
perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat
yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si
kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau yang ekstrem kita
mengatakan, Papa/Mama hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya,
sebentaaar saja ya, Sayang. Tapi ternyata, kita pulang malam. Contah lain yang
sering kita lakukan ketika kita sedang menyuapi makan anak kita, Kalo
maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak jalan-jalan loh. Padahal secara
logika antara jalan-jalan dan cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya
sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita
istilahkan bohong kecil, dampaknya ternyata besar. Anak tidak percaya lagi
dengan kita sebagai orang tua. Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita
yang bisa dipercaya atau tidak. akibat lebih lanjut, anak menganggap semua
yang diucapkan oleh orang tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti
segala perkataan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan
pengertian:
Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo
Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini.
Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak
karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami
keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita harus
bersabar dan lakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan
anak akan memahami keadaan mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari
dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Sebaliknya bila pergi ke tempat
selain kantor, anak pasti diajak orang tuanya. Pastikan kita selalu jujur dalam
mengatakan sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita
katakan.
3. Banyak Mengancam
Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan nggak ada yang mau
menolong!
Jangan ganggu adik, nanti Mama/Papa marah!
Mengancam Anak
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan
dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita
menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih
ada kalimat tambahan .nanti Mama/Papa marah!
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola
orang tuanya; dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya mendidik, tapi
dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang tuanya. Hal ini
terjadi bila kita sering menggunakan ancaman dengan kata-kata,namun setelah
itu tidak ada tindak lanjut atau mungkin kita sudah lupa dengan ancamanancaman yang pernah kita ucapkan
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak dan sepaham
satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita, tiba-tiba ada pihak ke-3 yang
muncul dan cenderung membela si anak. Pihak ke-3 yang dimaksud seperti
kakek, nenek, om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak), dampak ke anak
tetap negatif bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut
mendidik pada saat keluarga inti mendidik; Anak akan cenderung berlindung di
balik orang yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk
memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses
pendidikan sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak. Berikan
pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh
para pihak ke-3.
9. Menakuti Anak
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua pada saat anak menangis dan
berusaha untuk menenangkannya. Kita juga terbiasa mengancam anak untuk
mengalihkan perhatiannya, Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!
Hasilnya memang anak sering kali berhenti merengek atau menangis, namun
secara tidak sadar kita telah menanamkan rasa takut atau benci pada institusi
atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita
memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak2 juga
mampu berpikir dewasa. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh
pengertian dan tataplah matanya, Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap
tidak akan membelikan permen. Biarkan anak kita yang memaksa tadi
menangis hingga diam dengan sendirinya.
10. Ucapan dan Tindakan Tidak Sesuai
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk anak. Konsisten merupakan
keseuaian antara yang dinyatakan dan tidakan. Anak memiliki ingatan yang
tajam terhadap suatu janji, dan ia sanga menghormati orang-orang yang
menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi. So,
jangan pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar
ia mengikuti permintaan kita seperti segera mandi, selalu belajar, tidak
menonton televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi
janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf,
berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa
lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. Hadiah untuk Perilaku Buruk Anak
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan yang pernah kita nyatakan. Bila
hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita telah mengajari anak untuk melawan kita.
Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat kita bersama anak di tempat
umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya menjadi teriakan dan
ada gerak perlawanan. Anak terus mencari akal agar keinginnanya dikabulkan,
bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu. Pada saat inilah kita
seringkali luluh karena tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita. Akhirnya kita
mengiyakan keinginan si Anak. Ya sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja
ya!
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak. Anak
akan mempelajarinya dna menerapkannya pada kesempatan lain bahkan
mungkin dengan cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut
dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega. Orang beefikir demikian belum
membaca buku tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita.
Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak, Sekali kite konsisten anak tak
akan pernah mencobanya lagi. Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah!
Apapun alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. Merasa Bersalah Karena Tidak Bisa Memberikan yang Terbaik
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian besar orang tua banyak
menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada bersama anak.
Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah
atas situasi ini. Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para orang tua menyetujui
perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, Biarlah dia
seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita
menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk
yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya. Sebagian besar
perilaku anak bermasalah yang pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber
dari cara berpikir orang tuanya yang seperti ini.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang
terbaik. Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial ekonomi dan waktu kita
dengan orang lain. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada
orang yang punya kelebihan pada sapek finansial tapi miskin waktu bertemu
dengan anak, dan sebaliknya. Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu; gunakan
waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga
kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, anak
akan terbiasa.
13. Mudah menyerah dan pasrah
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda, ada yang lembut dan ada
yang keras. Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki oleh sebagian orang
tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan cenderung
mengalah, pasrah. Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang flegmatis
ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin
bisa melakukanannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan
seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada anak, berikanlah waktu
untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari
target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin, ajaklah ia
untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkanlah ia memilih
hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah. Keberhasilannya untuk
melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk melakukan perubahan
lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan keberhasilan yang
dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal ini untuk
menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada
hasilnya.
19. Pendengar yang buruk
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak anaknya.
Benarkah? Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orang tua lebih suka
menyela, langsung menasehati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal
usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya
siang, dia datang di sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya
atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus
khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung
menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali
anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia amalah tidak mau
bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap
seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka mulai saat ini jadilah pendengar
yang baik. Perhatikan setiap ucapannya. Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk
menunjukkan ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. Selalu menuruti permintaan anak.
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki laki yang
ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin
anak yang sudah bertahun tahun ditunggu tunggu? Fenomena ini seringkali
menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan
pola asuh open bar, atau mo apa aja boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini
sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik
dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi, dan
tidak bisa bersosialisasi.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah pernah memberlakukan pola
asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di tunjukkan dengan menuruti segala
kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai
baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang nggak. Jika
tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya jadi anak yang egois dan
semau gue. Inilah yang dalam bahasa awam sering disebut anak manja.
21. Terlalu Banyak Larangan
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua yang
berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena biasanya
kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang Perfectionist. Orang tua jenis
ini cenderung ingin menjadikan anak kita seperti apa yang kita inginkan secara
SEMPURNA, kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita;
anak kita harus begini tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan
perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive) atau
dengan perlawanan tersembunyi (jika anak kita tipe keras) atau dengan perang
terbuka (jika anak kita tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat
perfeksionis kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang
baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan
memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai
antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan
meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk
memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam
harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri tahu
Papa/Mama.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai kebiasaan
menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong pembicaraan pada
saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera menentukan kesimpulan
akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita
belum tentu benar, dan bahan seandainya benar, cara seperti ini akan
menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat. Pada saat anak kita pulag terlambat
dan hendak menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan
ungkapan, Sudah! Nggak pake banyak alesan. Atau Ah, Papa/Mama tahu,
kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!.
Jika kita emlakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah
orang tua ST 001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami
keadaan dan menyebalkan. Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi,
dan akibat selanjutnya sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita
tuduhkan padanya. Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada
tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.
Pernahkah anda mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini.
Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya
disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif
dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita
Misalnya, Eh, biasanya anak papa/mama suka merapikan tempat tidur, kenapa
hari ini nggak ya?
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia
tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan
kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih banyak
dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, ah kamu ini anak bau
kencur, tau apa kamu soal hidup. Atau, kamu tau nggak, kalo papa/mama ini
sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin
papa/mama!.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi
dengan anak mengalami jalan buntu. Meskipun maksud kita adalah untuk
menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak adalah
semacam kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau
mendengarkan nasehat orang yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan juga banyaknya
pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar, namun untuk saat ini,
kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi
dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan
berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim.
Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu.
Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses
pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya lagi, bila
orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang
sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, kamu emang nggak becus ngedidik
anak, dan kemudian dibalas enak aja lo ngomong begitu, nah kamu sendiri,
selama ini kemana aja?!. Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga, akankah
menyelesaikan masalah? Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan
menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan
karena kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya.
Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung jawab kita selaku orang tua
secara berimbang.keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan
adalah kerja sama tim, da bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu,
semua orang sama sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita
dengan berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu
mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah menjadi
budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip
keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi Dita ketika Rafiq menangis.
Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si Nenek
selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. Kamu ini
gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah ama adiknya. Begitulah
ucapan yang keluar dari mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan
pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa
percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak
melawan atas ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua
bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela
menjadi makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar
dan memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang
lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya
terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak
mengenal konteks usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun
usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil
keputusan. Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing anak, buat aturan
main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai dengan
suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang menyakiti
anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang
kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara
destruktif. Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya
atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka
memukul temannya pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di
rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit,
memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat seperti cambuk,
sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka
cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang selama
ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut
kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung menyakiti dan
menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin tersebut akan
membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam pada
orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang
tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada anak
kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak
kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak
supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah kita
memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang
diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti.
Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya,
seperti mengurangi waktu main game, atau bermain sepeda.
32. Mengejek
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah
membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk
tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya
kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan
yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia
menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan materi bercanda yang tidak
membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika
seolah-olah kitalah yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n
menghormati kita sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari
bercanda yang bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat
ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya?
Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah ayas kejadian yang
baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan kita
berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya
dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, Tumben
hari gini sudah pulang, atau Sering2 aja pulang malem! atauMemang kamu
pikir Mama/Papa in satpam yang jaga pintu tiap malam?.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya
tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak
dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin
berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak
menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja,
Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang