Anda di halaman 1dari 20

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS PRESTASI JARAK TINGGAL LANDAS PESAWAT BOEING 737-800NG SECARA


TEORITIS DAN BERDASARKAN OPERATING MANUAL

Penyusun :
HARDIANSYAH
NIM

: 12050026

TEKNIK PENERBANGAN
SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI ADISUTJIPTO
YOGYAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, pesawat terbang merupakan sarana transportasi yang paling cepat untuk
memindahkan manusia atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu,
jumlah kebutuhan akan sarana transportasi ini setiap tahunnya terus meningkat. Industri
penerbangan yang berfungsi merancang, memproduksi, dan mengembangkan teknologi
dalam sebuah pesawat, memiliki andil yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan ini.
Raksasa Industri penerbangan seperti Boeing dan Airbus telah banyak memproduksi pesawat
yang lebih efektif dan efisien dalam transportasi udara, mulai dari segi jumlah kapasitas
penumpang, penggunaan bahan bakar, jarak yang ditempuh, serta kenyamanan telah sangat
membantu dalam sistem transportasi ini. Oleh karena itu, banyak maskapai penerbangan yang
percaya dan akhirnya menggunakan pesawat-pesawat hasil produksi raksasa industri ini.
Namun, hal yang paling penting dalam rancangan suatu pesawat adalah tingkat keamanan
atau faktor keselamatan pesawat tersebut ketika dioperasikan.
Peran operation manual suatu pesawat sangat penting bagi suatu maskapai penerbangan
dalam mengoperasikan pesawat tersebut. Salah satu isi di dalam operation manual pesawat
Boeing 737-400 adalah data unjuk kerja atau prestasi terbang (flight performance) pesawat
tersebut sepanjang lintas terbangnya. Di antara data prestasi terbang terdapat informasi yang
cukup penting untuk diketahui dalam mengoperasikan pesawat Boeing 737-800NG.
Informasi tersebut adalah kurva prestasi tinggal landas (takeoff performance) Boeing 737800NG. Kurva tersebut berisikan data jarak tinggal landas Boeing 737-800NG dengan
beberapa variabel input seperti temperatur udara luar, tinggi bandara/landasan, berat pesawat,
posisi flap, kondisi angin, dan kemiringan landasan. Dengan kurva ini dapat diketahui
prestasi tinggal landas Boeing 737-800NG dengan berbagai kondisi dan input yang
diinginkan.
Banyak data yang terdapat di dalam operation manual kurang bersifat user-friendly.
Untuk dapat membantu maskapai penerbangan dalam menganalisis prestasi tinggal landas
pesawat yang dimiliki dibutuhkan data yang universal, independen, mudah diakses dan
dimengerti serta disertai metode analisis yang praktis dan cukup. Untuk itu perlu dibuat suatu
perhitungan tertentu dengan persamaan dan bentuk yang lebih mudah dalam menganalisis
prestasi tinggal landas suatu pesawat. Perlu suatu metode tersendiri untuk menganalisis

prestasi tinggal landas sehingga metode tersebut dapat digunakan terhadap pesawat apa pun
dan dalam kondisi apa.
Dengan begitu, diharapkan pada masa yang akan datang, kecelakaan- kecelakaan
terhadap pesawat Boeing 737 seri -800NG dapat dihindari bahkan tidak terjadi lagi terutama
pada saat pesawat tinggal landas. Begitu juga dengan pesawat udara transport tipe yang lain,
dengan adanya metode yang mudah dan akurat, diharapkan dapat membantu maskapai
penerbangan dalam menganalisis prestasi tinggal landas pesawat tipe lain yang dimilikinya
sehingga tingkat kecelakaan pun dapat diminimalisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Berapa jarak tinggal landas pesawat Boeing 737-800NG dengan beberapa variasi input
seperti tinggi landasan, posisi flap, kecepatan angin dan kemiringan landasan.
2. Bagaimana perbandingan jarak tinggal landas hasil perhitungan dengan jarak tinggal
landas berdasarkan operation manual milik P.T. Garuda Indonesia.
3. Bagaimana analisis perbandingan dalam jarak tinggal landas tersebut.
1.2 Batasan Masalah

Analisis dilakukan terhadap pesawat Boeing 737-400.

Variasi input dilakukan hanya pada tinggi landasan saja, posisi flap saja, kecepatan
angin saja, atau kemiringan landasan saja.
Pada saat tinggal landas pesawat tidak mengalami kerusakan mesin (all engines
operating).
Kondisi cuaca pada saat tinggal landas normal (tidak ada gangguan cuaca seperti
hujan, badai, kabut, salju dan lainnya).
Model atmosfer yang dipakai dalam analisis adalah model International Standard
Atmosphere (ISA).
Gaya dorong thrust dari brake release sampai dengan tinggi terbang 35 ft adalah
konstan (TTO = 88900 kN).
Tidak ada pengurangan berat, seperti berat bahan bakar atau yang lainnya, pada saat
tinggal landas (WTO = konstan).

Selama ground run pilot menjaga sikap pesawat dalam satu garis lurus,

sehingga hanya komponen kecepatan angin yang paralel dengan lintasan


pesawat yang dapat mempengaruhi jarak dan lama tinggal landas.
1.2 Tujuan
1. Menghitung jarak tinggal landas pesawat Boeing 737-800NG dengan beberapa variasi
input seperti tinggi landasan, posisi flap, kecepatan angin dan kemiringan landasan.
2. Mengetahui perbandingan jarak tinggal landas hasil perhitungan dengan jarak tinggal
landas berdasarkan operation manual milik P.T. Garuda Indonesia.
3. Menganalisi perbandingan dalam jarak tinggal landas tersebut.
1.3 Manfaat
Dengan adanya penelitian prestasi jarak tinggal landas ini diharapkan dapat digunakan
terhadap pesawat apa pun dan dalam kondisi apa pun.
Dengan begitu, diharapkan pada masa yang akan datang, kecelakaan- kecelakaan
terhadap pesawat Boeing 737 seri -800 dapat dihindari bahkan tidak terjadi lagi terutama
pada saat pesawat tinggal landas. Begitu juga dengan pesawat udara transport tipe yang
lain, dengan adanya metode yang mudah dan akurat, diharapkan dapat membantu
maskapai penerbangan dalam menganalisis prestasi tinggal landas pesawat tipe lain yang
dimilikinya sehingga tingkat kecelakaan pun dapat diminimalisasi.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA/LANDASAN TEORI
2.1 Safety Assessment Process
Proses penilaian keselamatan adalah hal-hal yang meliputi apa saja yang dibutuhkan dan
apa saja yang mendukung dalam proses pengembangan pesawat. Proses ini memerlukan
sebuah metodelogi untuk mengevaluasi fungsi-fungsi pesawat dan performa dari sistem yang
didesain dalam hubungannya dengan resiko-resiko yang wajar. Proses penilaian keselamatan
bersifat kualitatif dan dapat menjadi kuantitatif. Proses ini haruslah direncanakan dan diatur
sesuai kebutuhan yang relevan dengan semua kondisi kegagalan yang telah teridentifikasi dan
semua kondisi kegagalan yang telah diprediksi sebelumnya.(SAEARP54.1996.13)
2.1.1

Tujuan safety assessment process


Proses penilaian keselamatan ini bertujuan untuk mengintegrasi sistem kedalam bentuk

laporan. Dalam semua kasus sistem yang telah terintegrasi, proses penilaian keselamatan
adalah dasar yang penting dalam memenuhi tujuan keselamatan, safety assessment process
selalu dilakukan berurutan dengan sistem pengembangan pesawat, safety assessment process
bertujuan untuk mengevaluasi setiap fase pengembangan pesawat, untuk memberikan
masukan kepada pengembang dan desainer pesawat untuk memperbaiki dan mengembangkan
sistemnya, agar tujuan sertifikasi sebuah pesawat diperoleh.
2.1.2

Analisis dalam safety assessment process


Proses penilaian keselamatan memerlukan analisis yang berdasarkan fakta-fakta

sebenarnya, yang mana fakta-fakta tersebut berkaitan dalam kelayakan suatu penerbangan.
Proses nya meliputi penilaian secara spesifik pada sistem pengembangan yang sedang berjalan
dan hubungan sistem tersebut dengan sistem lain yang saling berkaitan. Adapun analisis dalam

safety assessment process adalah sebagai berikut:


a. Functional Hazard Assessment (FHA)
Functional Hazard Assessment adalah analisis yang berfungsi menguji pesawat dan
fungsi sistem untuk mengidentifikasi potensi kegagalan dan mengklasifikasikan

resikonya berdasarkan keadaan kegagalan yang spesifik. FHA dilakukan saat proses
pengembangan dan akan memberikan hasil sebagai fungsi baru atau gagal.
b. Preliminary System Safety Assessment (PSSA)
Adalah analisis yang berfungsi menentukan secara spesifik apa saja yang dibutuhkan
di dalam sistem dan mengetahui arsitektur sistem seperti apa yang memenuhi kriteria
keselamatan. Sistem ini dijalankan di sepanjang proses pengembangan sistem.
c. System Safety Assessment (SSA)
Adalah analisis yang berfungsu mengumpulkan, menganalisis dan memverifikasi data
dari sistem dalam bentuk dokumen sebagai sebuah hasil pelaksanaan/implementasi.
Sistem ini ada oleh karena dua sistem sebelumnya yakni FHA dan PSSA.
d. Common Cause Analysis (CCA)
Common Cause Analysis Adalah analisis yang bertujuan menetapkan, memvalidasi
dan memilah apa saja yang dibutuhkan oleh sistem-sistem dan memastikan semua
yang dibutuhkan tersedia sesuai kebutuhan (SAEARP54.1996.15).
2.1.3

Gambaran safety assessment process


Gambaran safety assessment process ditunjukkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1 Diagram tingkatan atas safety assessment process (SAEARP4761)

Gambar diatas merupakan diagram tingkatan atas (Meliputi: Functional Hazard Assessment,
Preliminary System Safety Assessment, and System Safety Assessment process merupakan
bagian dari proses pengembangan yang berulang ini. Safety assessment process dimulai
dengan desain konsep dan menentukan apa saja dan metode atau cara penilaian keselamatan
yang berhubungan dengan prosesnya. Biasanya proses pengembangan akan terus dilakukan
secara berulang. Safety assessment yang dibutuhkan untuk proses tersebut. Jika desain
diubah, perubahan juga harus dilakukan pada proses. Perubahan ini akan membuat perubahan
juga pada apa saja yang diperlukan pada proses. Proses penilaian ini selesai jika desain telah
sesuai dengan syarat keselamatan yang dibutuhkan. Siklus pengembangan ditampilkan pada
gambar bagian atas yang menggambarkan hubungan secara berurutan dari proses
keselamatan sampai ke proses pengembangan. Proses keselamatan berhubungan dengan
proses desain yang ditunjukan dalam kotak dalam diagram. (SAEARP54.1996.16)
2.2 Crosswind
Crosswind merupakan kondisi angin yang memiliki komponen tegak lurus terhadap garis
atau arah perjalanan yang dapat mempengaruhi aerodinamika. Dalam penerbangan,
crosswind adalah komponen dari angin yang bertiup di landasan pacu, membuat pendaratan
dan take-off

lebih sulit daripada jika angin bertiup lurus searah landasan pacu. Jika

crosswind cukup kuat, hal itu dapat merusak kestabilan pesawat itu saat mendarat. Pesawat
yang lebih kecil sering tidak dibatasi oleh kemampuan mereka untuk mendarat di crosswind,
tetapi kemampuan untuk taxi yang aman berkurang.

Cara paling aman untuk menangani crosswinds adalah dengan mengurangi kecepatan
untuk mengurangi efek dari gaya angkat dan untuk mengarahkan ke arah crosswind tersebut.

2.2.1

Crosswind Effect to Aircraft Landing

2.2.1.1

Approach And Landing


Banyak landasan pacu atau area pendaratan pesawat dibuat ketika angin bertiup

menyilang bukan searah terhadap arah pendaratan. Semua pilot harus siap untuk mengatasi
situasi ini. Prinsip-prinsip dasar yang sama dan faktor-faktor yang terlibat dalam pendekatan
normal dan arahan berlaku untuk crosswind approach and landing. Oleh karena itu, hanya
prosedur tambahan yang diperlukan untuk mengoreksi pergeseran angin yang dibahas di sini.
Pendaratan crosswind yang sedikit lebih sulit untuk dilakukan daripada lepas landas,
terutama karena masalah yang berbeda yang terlibat dalam mempertahankan kontrol akurat
dari pesawat saat kecepatan menurun daripada meningkatkan seperti pada lepas landas. Ada
dua metode yang biasa digunakan untuk crosswind approach and landing, yaitu metode the
crab dan sideslip. Meskipun metode the crab mungkin lebih mudah bagi pilot untuk
dipertahankan selama pendekatan akhir, membutuhkan penilaian tingkat tinggi dan waktu
dalam menghilangkan the crab segera sebelum menyentuh landasan. Metode sideslip
dianjurkan dalam banyak kasus, meskipun kombinasi kedua metode dapat digunakan.

Gambar 2.2 Metode the crab (FAA-H-8083-3A)

Metode

sideslip

akan

mengkompensasi crosswind dari sudut


manapun, tetapi yang lebih penting,
memungkinkan pilot untuk secara bersamaan menjaga ground track pesawat dan sumbu
longitudinal sejajar dengan garis tengah landasan pacu sepanjang pendekatan akhir, round
out (flare), touchdown, dan roll setelah mendarat. Hal ini untuk mencegah pesawat mendarat
dalam gerakan ke samping dan memaksakan beban salah satu sisi yang merusak landing
gear. Untuk menggunakan metode sideslip, pilot mengikuti arah heading pesawat dengan
garis tengah landasan pacu, mencatat tingkat dan arah pergeseran, dan kemudian segera

berlaku koreksi dengan menurunkan sayap melawan angin. Jumlah sayap harus diturunkan
tergantung pada tingkat pergeseran.

Gambar 2.3 Metode sideslip (FAA-H-8083-3A)

Ketika sayap diturunkan, Pesawat akan cenderung berubah ke arah itu. Hal ini
kemudian diperlukan untuk secara bersamaan menerapkan tekanan berlawanan kemudi yang
cukup untuk mencegah pergantian dan menjaga sumbu longitudinal pesawat ini selaras
dengan landasan pacu. Dengan kata lain, drift dikendalikan dengan aileron, dan pos dengan
kemudi. Pesawat sekarang akan sisi-tergelincir ke angin cukup bahwa kedua jalur
penerbangan resultan dan jalur tanah sejajar dengan landasan pacu. Jika crosswind yang
berkurang, koreksi crosswind ini berkurang sesuai, atau pesawat akan mulai menjauh dari
jalur pendekatan yang diinginkan.
Untuk memngoreksi crosswind yang kuat, slip ke angin meningkat dengan
menurunkan sayap untuk melawan angin cukup banyak. Sebagai akibatnya, hal ini dapat
mengakibatkan kecenderungan yang lebih besar pada pesawat untuk mengubah arah. Sejak
perbelokan tidak diinginkan, kemudi rudder harus diterapkan untuk menjaga sumbu
longitudinal pesawat ini selaras dengan landasan pacu. Dalam beberapa pesawat, mungkin
tidak ada pergerakan kemudi rudder yang cukup tersedia untuk mengimbangi kecenderungan
belokan yang kuat disebabkan oleh bank yang besar.
Jika bank yang diperlukan berlawanan dengan kemudi rudder penuh tidak akan
mencegah belokan, angin terlalu kuat untuk secara aman mendaratkan pesawat pada landasan
pacu tertentu dengan kondisi-kondisi angin ini. Sejak kemampuan pesawat itu akan
terlampaui, sangat penting bahwa pendaratan yang dilakukan pada landasan pacu lebih
menguntungkan baik di bandara itu atau di bandara alternatif Flaps dapat dan harus
digunakan selama sebagian pendekatan karena mereka cenderung memiliki efek stabilisasi di

pesawat. Sejauh mana flaps harus diperpanjang akan membuat perbedaan dengan
karakteristik penanganan pesawat, serta kecepatan angin.

Gambar 2.4 Crosswind Landing (FAA-H-8083-3A)

Gambar 2.5 Crosswind Landing Techniques (Airbus Landing Technique Crosswind)

Crabbed Approach
- Arah pesawat membentuk sudut terhadap arah pendaratan
- Arah heading pesawat menghadap ke arah angin (crosswind)
Sideslip Approach

- Pesawat searah pendaratan


- Penggunaan Rudder dan aileron untuk menghadapi crosswind
2.2.1.2

Crosswind Roundout (Flare)

Umumnya, Rondout dapat dibuat seperti pendekatan pendaratan normal, tetapi


penerapan koreksi crosswind dilanjutkan sebagai keperluan untuk mencegah pergeseran.
Sejak kecepatan udara menurun sebagai Rondout proses, kontrol penerbangan secara
bertahap menjadi kurang efektif. Akibatnya, koreksi crosswind yang ditahan akan menjadi
tidak memadai. Bila menggunakan metode wing-low/sideslip, perlu untuk secara bertahap
meningkatkan defleksi kemudi dan ailerons untuk menjaga jumlah yang tepat dari koreksi
pergeseran. Jangan sejajarkan sayap; menjaga sayap melawan angin turun sepanjang
roundout tersebut. Jika sayap diratakan, pesawat akan mulai melayang dan touchdown akan
terjadi saat melayang. Ingat, tujuan utama adalah untuk mendaratkan pesawat tanpa
menundukkan setiap beban sisi yang dihasilkan dari menyentuh landasan sambil bergeser.
2.2.1.3

Crosswind Touchdown

Jika metode The crab dari koreksi pergeseran telah digunakan di seluruh pendekatan
akhir dan roundout, the crab harus dibatalkan secara instan sebelum touchdown dengan
menerapkan kemudi untuk menyelaraskan sumbu longitudinal pesawat dengan arah dari
gerakan. Ini membutuhkan tindakan yang tepat waktu dan akurat. Kegagalan untuk mencapai
hal ini akan mengakibatkan beban samping yang parah yang dikenakan pada landing gear.
Jika metode sayap-rendah digunakan, koreksi crosswind (aileron ke dalam angin dan
kemudi berlawanan) harus dipertahankan selama roundout, dan touchdown dibuat pada roda
utama melawan angin. Selama kondisi gusty atau angin tinggi, penyesuaian yang cepat harus
dibuat dalam koreksi crosswind untuk memastikan bahwa pesawat tidak melayang seperti
pesawat mendarat. Sebagai momentum ke depan menurun setelah kontak awal, berat pesawat
akan menyebabkan roda utama melawan arah angin untuk secara bertahap menyelesaikan ke
landasan. Pada pesawat memiliki kemudi nosewheel saling berhubungan dengan kemudi,
nosewheel mungkin tidak selaras dengan landasan pacu seperti roda mendarat karena kemudi
yang berlawanan sedang diadakan di koreksi crosswind. Untuk mencegah meliuk ke arah
nosewheel yang offset, tekanan kemudi korektif harus segera santai seperti nosewheel
menyentuh bawah.

2.2.1.4

Crosswind After-Landing Roll

Selama roll setelah mendarat, perhatian khusus harus diperhatikan untuk


mempertahankan arah kontrol dengan menggunakan rudder atau kemudi nosewheel, sambil
menjaga sayap melawan angin upwind dari kenaikan dengan menggunakan aileron. Ketika
sebuah pesawat masuk ke airborne, pesawat akan bergerak dengan massa udara di mana ia
terbang tanpa arah heading dan kecepatan pesawat. Ketika pesawat berada di landasan, tidak
tersedia untuk bergerak dengan massa udara (crosswind) karena hambatan yang diciptakan
oleh gesekan landasan pada roda.
Karakteristik, pesawat memiliki profil atau sisi daerah yang lebih besar, di belakang
roda pendaratan utama daripada bagian depan. Dengan roda utama bertindak sebagai pivot
point dan luas permukaan yang lebih besar terkena crosswind belakang pivot point itu,
pesawat akan cenderung untuk mengubah atau weathervane menjadi angin. Aksi angin di
pesawat terbang selama pendaratan crosswind adalah hasil dari dua faktor. Salah satunya
adalah angin alami, yang bertindak dalam arah massa udara bepergian, sementara yang lain
disebabkan oleh pergerakan pesawat dan bertindak sejajar dengan arah gerakan. Akibatnya,
crosswind memiliki komponen headwind yang bertindak di landasan trek pesawat dan
komponen crosswind bertindak 90 ke trek-nya.
Angin resultan atau relatif adalah suatu tempat antara dua komponen. Sebagai
kecepatan maju pesawat ini menurun selama roll setelah mendarat, komponen headwind
berkurang dan angin relatif memiliki lebih dari komponen crosswind. Semakin besar
komponen crosswind, semakin sulit untuk mencegah weathervaning.
Mempertahankan kontrol di atas landasan adalah bagian penting setelah rollmendarat, karena efek weathervaning angin di pesawat. Selain itu, beban sisi tire's landing
gear dari kontak dengan runway yang akan menggeser pesawat sering menghasilkan roll
yang berlebihan dalam tiga putaran roda pada pesawat . Faktor-faktor dasar yang terlibat
menikung adalah sudut dan beban samping.
Cornering Angle adalah perbedaan sudut antara arah ban dan jalan. Setiap kali beban
bantalan ban dan arah menuju berbeda, beban sisi dibuat. Hal ini disertai dengan distorsi ban.
Meskipun beban sisi berbeda dalam berbagai ban dan tekanan udara, itu benar-benar tidak
tergantung kecepatan, dan mempertimbangkan jarak , sebanding arah dengan sudut menikung
dan berat yang didukung oleh ban, 10 dari Cornering Angle akan membuat beban sisi sama
dengan setengah berat badan didukung; setelah 20 beban sisi tidak meningkat dengan
meningkatnya Cornering Angle. Untuk setiap sayap-tinggi, ketiga roda pesawat, terdapat
Cornering Angle di mana roll-over tidak bisa dihindari.

Roll-over

sumbu menjadi garis yang menghubungkan hidung dan roda utama. Pada

sudut yang lebih rendah, roll-over dapat dihindari dengan menggunakan ailerons, kemudi,
atau nosewheel tetapi tidak di rem. Sementara pesawat melambat selama roll afterlanding,
semakin banyak aileron diterapkan untuk menjaga sayap melawan angin dari gaya angkat.
Sejak pesawat melambat, terdapat sedikit aliran udara di sekitar ailerons dan mereka menjadi
kurang efektif. Pada saat yang sama, angin relatif menjadi lebih besar dari crosswind dan
mengerahkan gaya angkat yang lebih besar di upwind wing. Ketika pesawat akan berhenti,
kontrol aileron harus dipegang sepenuhnya ke arah angin.

Figure 2.6 Kendali direksional crosswind landing

2.2.1.5

Maximum Safe Crosswind Velocities

Lepas landas dan pendaratan dalam kondisi crosswind tertentu tidak disarankan atau
bahkan berbahaya. Jika crosswind cukup besar untuk menjamin koreksi penyimpangan yang
ekstrim, kondisi pendaratan berbahaya mungkin terjadi. Oleh karena itu, lepas landas dan
mendarat kemampuan sehubungan dengan kondisi angin harus dilaporkan hal yang mengenai
permukaan dan arah mendarat yang tersedia harus dipertimbangkan.

Gambar 2.7 Crosswind Chart (FAA-H-8083-3A)

Sebelum pesawat mendapat sertifikat tipe oleh badan - badan seperti Federal
Aviation Administration (FAA), penerbangan pesawat itu harus diuji untuk memenuhi

persyaratan tertentu. Di antaranya adalah demonstrasi kendali yang memuaskan dengan


tingkat yang luar biasa dari keterampilan atau kewaspadaan pada saat pilot dihadapkan
pada 90 crosswinds hingga kecepatan sama dengan 0,2 VSO. Ini berarti kecepatan
angin dari dua persepuluh kecepatan stall pesawat yang dengan penggunaan power off
dan landing gear atau flaps bawah. Peraturan tersebut mengharuskan kecepatan
crosswind yang ditunjukkan disertakan pada plakat di sertifikat pesawat setelah 3 Mei
1962.
Komponen headwind dan komponen crosswind untuk situasi tertentu dapat
ditentukan dengan mengacu pada bagan komponen crosswind. Sangat penting bahwa
pilot menentukan komponen crosswind maksimum setiap pesawat yang mereka
terbangi, dan menghindari operasi dalam kondisi angin yang melebihi kemampuan
pesawat.

Gambar 2.8 Crosswind and Headwind Component (FAA-H-8083-3A)

Kesalahan umum dalam kinerja pendekatan crosswind dan pendaratan adalah:


o Mencoba untuk mendarat di crosswinds yang melebihi maksimum
menunjukkan komponen crosswind pesawat.
o kompensasi yang tidak memadai untuk angin melayang pada gilirannya dari
kaki dasar untuk pendekatan akhir, sehingga undershooting atau overshooting.
o kompensasi yang tidak memadai untuk drift angin pada pendekatan akhir.
o Pendekatan yang tidak steril.
o Kegagalan untuk mengkompensasi peningkatan hambatan selama kejatuhan
mengakibatkan tingkat wastafel berlebihan dan / atau terlalu rendah kecepatan
udara.

o Touchdown sementara hanyut kecepatan udara yang berlebihan pada


touchdown.
o Kegagalan untuk menerapkan input kontrol penerbangan yang tepat selama
peluncuran.
o Kegagalan untuk mempertahankan arah kontrol pada peluncuran.
o pengereman berlebihan
2.3 The New Development Project N219 Aircraft
Indonesia adalah negara kepulauan dengan total lebih dari 17.000 pulau, pulau besar dan
kecil. Ribuan orang tinggal di desa-desa di lingkungan pegunungan di antara beberapa
gunung yang sangat tinggi seperti di provinsi Papua dan Papua Barat. Air transportasi adalah
satu-satunya mode transportasi yang digunakan oleh penduduk desa untuk pergi ke tempattempat lain, pemerintah mensubsidi operasi penerbangan yang disebut Penerbangan Perintis
atau penerbangan perintis.
Untuk menyediakan operasi penerbangan tersebut, diperlukan sebuah pesawat yang kuat
yang memenuhi persyaratan operasi di lingkungan yang kritis tersebut. The N219 dirancang
untuk memenuhi kebutuhan penerbangan perintis karakteristik geografis yang ekstrim, di
mana mayoritas lapangan udara yang landasan yang sangat pendek, landasan pacu tak
beraspal dan terletak di daerah dataran tinggi. N219 akan menjadi modus yang paling cocok
transportasi untuk membuka daerah terisolir, meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat serta untuk menjaga pertahanan dan keamanan.

Gambar 2.9 The New Development Project N219 Aircraft

N219 adalah generasi baru pesawat multi-tujuan, yang sedang dirancang untuk
memiliki kapasitas 19 penumpang dengan terbesar kabin penampang di kelasnya, terbukti tinggi penduduknya dan mesin yang efisien, muka avionik suite, gigi siklus landing tetap tri,
kargo yang luas pintu untuk kemampuan multi-peran dan konfigurasi perubahan cepat. N219
menyediakan keuntungan untuk operator dalam hal baik biaya teknis dan operasional.

N219 dapat dilengkapi dengan peralatan yang sesuai untuk memenuhi berbagai
operasi misi seperti, Pasukan Transportasi, VIP Transport, Cargo Transport, Surveillance dan
Search & Rescue atau evakuasi medis. Kemajuan proyek N219 telah mencapai tahap proses
manufaktur rinci bagian ditandai dengan inaugration pertama upacara pemotongan di lini
produksi. N219 direncanakan akan menggelar pada pertengahan 2015 dan mendapatkan
sertifikasi di tahunan 2016.
Pesawat N219 adalah twin turbo baling-baling, un-bertekanan pesawat. Pesawat ini
memiliki sayap tinggi, ekor rendah dan badan pesawat dipasang roda tiga landing konfigurasi
gigi tetap. Pesawat akan disertifikasi sesuai dengan Peraturan Indonesia Keselamatan
Penerbangan Sipil (PKPS) Bagian 23 / FAR Bagian 23 pesawat kategori Commuter. Ini akan
cocok untuk mengangkut penumpang pada rute pendek ke menengah dengan siang atau
malam hari operasi. Standar tata letak tempat duduk akan menjadi salah satu (1) percontohan,
satu (1) co-pilot, satu (1) kursi petugas (pilihan) dan 19 kursi penumpang. WC opsional akan
berlokasi di belakang sisi kanan dari kabin penumpang. Kompartemen bagasi akan berlokasi
di hidung depan dan belakang dari daerah badan pesawat.
N219 Aircraft :
Power plant :

Engine

Take Off Power

Propeller

Maximum Aircraft Altitude

PT6A-42
2 x 850 SHP
4 blades

Performance:

24,000 ft

Maximum Operating Speed

210

Kts at 10,000 ft

condition

Stall Speed

60 Kts at landing

Maximum Take-Off Weight


15,500 lbs

Maximum Landing Weight


15,300 lbs

Take-off Distance

Landing Distance (MTOW, ISA, SL)

430 nm

493 nm

Maximum Cruise Speed/Econimical


210/190 knots

Stall Speed

Max Range @Available Payload

59 knots

831 nm

Cruise Altitude

10,000 ft

2.4 Crosswind pada CASR Part 23


Part 23.233 Directional Stability and Control
(a) A 90 degree cross-component of wind velocity, demonstrated to be safe
taxiing, takeoff, and landing must be established and must be not less than

for

0.2 VS0.

Part 23.745 Nose/Tail Wheel Steering


(a) If nose/tail wheel steering isinstalled, it must be demonstrated that its use
does

not require exceptional pilot skill during takeoff and landing, in

crosswinds, or in the event of an engine failure; or its use must belimited to

low

speed maneuvering.
Part 23.1585 Operating Procedures
(a) For all airplanes, information concerning normal, abnormal (if applicable), and
emergency procedures and other pertinent information necessary for safe operation
and the achievement of the scheduled performance must be furnished, including - (2)

The maximum demonstrated values of crosswind for takeoff and landing, and
procedures and information pertinent to operations in crosswinds;
2.5 Data Arah dan Kecepatan Angin

Gambar 2.10 Data Kecepatan dan arah angin bandara (sumber BMKG online)

BAB III
PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
3.1.1

Study Literature
Metode pengumpulan oleh penulis yang akan dilakukan dengan membaca dan

mengutip buku-buku referensi untuk dijadikan data acuan dalam menyelesaikan penelitian
ini.
3.1.2

Study Observation
Metode pengumpulan data penulis yang akan dilakukan dengan melakukan pengamatan

langsung mengenai proses atau pengerjaan penentuan safety yang biasa dilakukan, sehingga
penulis bisa mengaplikasikan proses tersebut ke penelitian penulis

3.1.3

Interview
Metode pengumpulan data penulis yang akan dilakukan dengan melakukan

mewaeancarai atau bertanya ke-pembimbing maupun orang-orang yang mengerti mengenai


penelitian penulis.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1

PT. Dirgantara Indonesia


Tanggal 15 Februari-1April 2016

3.2.2

Badan Meteorologi dan Geofisika


Tanggal 1-12 Februari 2016

DAFTAR PUSTAKA

Airbus. 2008. Flight Operation Briefing Note landing Technique Crosswind Landing.
Cadex France. Airbus
Faderal Aviation Administration. 2004. FAA H-8083-3A. Airplane Flying Handbook.
Washington D.C., U.S. Departement of Transportation
Krause, Shari Stamford. 1996. Aircraft Safety Accident Investigations, Analyses, and
Applications. U.S.A, McGraw-Hill
Peterson, Michael A. 1992. Fault Tree Anlysis Procedure (Section V) for SAE
Document ARP. Arizona, Honeywell
Republic of Indonesia Ministry of Transportation. 2001. Civil Aviation Safety
Regulation PART 23 Airworthiness Standard: Normal, Utility, Acrobatic, and Commuter
Category Airplanes. Jakarta, Republic of Indonesia Ministry of Transportation
Science Applications International Corporation. 1993. CAFTA+ User's Manual.
California, Science Applications International Corp.
Smith, D.J and Simpson Kenneth. 2004. Functional Safety. Elsevier, Britian

Society of Automotive Engineers Inc.. 1996. SAE ARP 4761 Guidelines and Methods
for Conducting the Safety Assessment Process on Civil Airborne Systems and Equipment.
Warrendale, PA, SAE International
Society of Automotive Engineers Inc.. 1996. SAE ARP 4754 Certification
Considerations for Highly-integrated or Complex Aircraft Systems. Warrendale, PA, SAE
International

Anda mungkin juga menyukai