MODUL HIPERSENSITIVITAS
SISTEM IMUNOLOGI
Kelompok 4
Ketua
Fitra Hadi
Sekretaris
Anggota
Anjar Puspitaningrum
Egy Herliansyah
Febridayanti Nur F
Lidya Marathus Shalihah
Mustika Apriyanti
Nursigit
Rini Astin Triana
Trias Murni N
2012/2013
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR.................................................................................................. 5
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................... 6
1.1
LATAR BELAKANG...................................................................................... 6
1.2
TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................. 6
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................ 7
2.1
Skenario.................................................................................................... 7
2.2
Kata sulit................................................................................................... 7
2.3
2.4
Mind map.................................................................................................. 7
2.5
Pertanyaan................................................................................................ 8
BAB 3 Jawaban.................................................................................................... 9
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
BAB 4 PENUTUP................................................................................................. 38
4.1
KESIMPULAN............................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 39
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan ridhoNya sehingga kelompok 4 bisa menyelesaikan laporan PBL pertama untuk modul imunologi
dasar pada sistemImunologi
Dalam penyusunan laporan ini, berdasarkan hasil brainstorming kelompok, dan mengacu
pada buku-buku serta website di internet. Masalah yang menyangkut pada skenario dua pada
modul imunologi dasar, kami kemukakan dalam pembahasan laporan yang telah disusun.
Dan tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Busjra sebagai pembimbing
kelompok 4atas tutorial yang membantu pada saat diskusi kelompok kami, sehingga dapat
terselesaikannya laporan PBL modul dasar imunologi ini.
Akhir kata, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dengan suatu harapan
yang tinggi, semoga laporan yang sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya.
Wassalam.wr.wb
Jakarta, 28 Mei 2013
Kelompok 4
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1LATAR BELAKANG
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel, molekul dan
jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang
dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnnya terhadap mikroba disebut respon
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya
yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2009).
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi atau kerusakan jaringan,
tubuh manusia dibekali sistem pertahanan untuk melindungi dirinya. Sistem pertahanan tubuh
yang dikenal sebagai mekanisme imunitas alamiah ini, merupakan tipe pertahanan yang
mempunyai spektrum luas, yang artinya tidak hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik.
Selain itu, di dalam tubuh manusia juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang
hanya diekspresikan dan dibangkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang
terakhir ini, dapat, dapat dikelompokkan manjadi imunitas yang didapat secara aktif dan
didapat secara pasif.
Respon imun seseorang terhadap terhadap unsur-unsur patogen sangat bergantung pada
kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat
pada permukaan unsur patogen dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk
menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini, dalam respon imun diperlukan tiga hal, yaitu
pertahanan, homeostatis dan pengawasan. Fungsi pertahanan ditujukan untuk perlawanan
terhadap infeksi mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi
komponen-komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan dibutuhkan untuk
menghancurkan sel-sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan
perkataan lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu sistem agar tubuh dapat
mempertahankan keseimbangan antara lingkungan di luar dan di dalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh,
berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut
hipersensitivitas atau dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh
baik humoral maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. Aktivitas berlebihan
oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Arwin dkk, 2008)
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1Skenario
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun, dibawa ke rumah sakit , dengan keluhan sesak
nafas yang dirasakan sejak semalam. Keluhan juga disertai pilek dan batuk berdahak.
Penderita sudah sering mengalami hal yang sama sejak berusia 1 tahun. Riwayat pada
keluarga, ayahnya menderita dermatitis.
2.2Kata sulit
Dermatitis : peradangan pada kulit yang terjadi karena faktor eksogen atau
endogen
Patomekanism
e
DEFINISI
HIPERSENSITIVITAS
Penatalaksana
an
DD
Klasifikasi
Komplikasi
Pemeriksaan
2.5Pertanyaan
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi hipersensitivitas ?
2. Jelaskan patomekanisme hipersensitivitas ?
3. Jelaskan DD pada skenario ?
4. Jelaskan penatalaksanaan penyakit pada skenario ?
5. Jelaskan pemeriksaan pada hipersensitivitas ?
6. Jelaskan komplikasi penyakit pada skenario ?
7. Jelaskan hubungan penyakit pada skenario dengan riwayat penyakit pada keluarga?
8. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi hipersensitivitas ?
BAB 3
Jawaban
(Sherwood)
Respon
hipersensitivitas
Hipersensitivitas tipe cepat, respon yang muncul setelah tekena pajanan oleh
alergen dalam waktu sekitar 20 menit.
Hipersensitivitas tipe lambat, respon yang belum muncul sampai 1 hari atau lebih
setelah terkena pajanan.
Perbedaan pada waktu ini disebabkan oleh perbedaan mediator yang berperan. Reaksi
alergi tipe cepat melibatkan sel B dan dipicu oleh interaksi antibodi dengan antigen,
sedangkan reaksi alergi tipe lambat akan melibatkan sel T dan ini merupakan imunitas
selular yang bersifat lebih lambat responnya terhadap antigen.
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada tempat, alergen, dan mediator yang
terlibat. Jika reaksi terbatas disaluran napas atas setelah menghirup alergen (misalnya
serbuk sari) bahan kimia yang dibebaskan memicu gejala hay-feverseperti hidung
7
tersumbat akibat edema lokal yang dipicu oleh histamin serta bersin dan pilek akibat
bertambahnya sekresi mukus. Jika reaksi terkonsentrasi di bronkiolus, maka terjadi
asma sebagai respon terhadap SRS-A menyebabkan kontraksi otot polos di dinding
bronkiolus sehingga pasien sulit bernapas akibat konstriksi saluran napas. Jika terjadi
pada kulit, terjadinya pelepasan histamin yang diinduksi oleh alergi menyebabkan
pembengkakan lokal berupa urtika (biduran). Pada saluran cerna, reaksi alergi
memberikan respon terhadap alergen berupa diare.
HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT
Sebagian alergen (contohnya toksin poison ivysejenis tanaman, dan bahan kimia
tertentu yang sering mengenai kulit seperti kosmetik dan bahan pembersih rumah
tangga) memicu hipersensitivitas tipe lambat yang respon imunnya diperantarai oleh
sel T.
Umumnya respon ditandai oleh erupsi kulit tipe lambat yang mencapai puncak
intensitasnya 1 3 hari setelah kontak dengan alergen yang sel T telah tersensitisasi
sebelumnya. Toksik Poison Ivy tidak merusak kulit ketika berkontak, tetapi
mengaktifkan sel T yang spesifik terhadap toksin tersebut, termasuk pembentukan
komponen pengingat.
Pada pajanan berikutnya dengan toksin yang sama, sel T telah aktif berdifusi ke kulit
dalam waktu 1-2 hari, berikatan dengan toksin yang ada. Interaksi yang terjadi
menyebabkan kerusakan jaringan dan keluhan subyektif yang khas untuk penyakit ini.
A TIPE I HIPERSENSITIVITAS
B HIPERSENSITIVITAS TIPE II
Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau sitolisis.
Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen yang terdapat
di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di sel tertentu bisa
berupa mikroba atau molekul-molekul kecil lain (hapten). Ketika pertama kali datang,
antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan antibodi IgG dan IgM.
Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama di permukaan sel
sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen tersebut. Ketika sel efektor
(seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic ataupun sel NK) mendekat,
kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran tersebut akan dihancurkan
olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada sel sasaran itu sendiri,
sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel,
toksik=merusak, lisis=menghancurkan).
10
D HIPERSENSITIVITAS TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini
tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini
timbul lebih dari12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini
disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa
berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan
kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.
12
suatu
alergen
dan
menghilang
setelah
60
menit.
2) reaksi fase lambat, yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama
beberapa hari. Reaksi fase lambat ini terjadi dengan infiltrasi eosinofil serta sel
peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai
dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.
Senyawa vasoaktif yang dilepaskan oleh sel mast atau basofil, yaitu:
Mediator
Histamin
s
primer
Faktor kemotaktik eosinofilik a
(respons
Senyawa lain yang juga dilepaskan yaitu
substansiawal)
reaksi lambat anafilaksis yang
Pada kasus asma, menyebabkan sekresi berlebihan dan kelenjar mukus bronkus
dan spasme bronkus.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:
13
Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau basofil.
Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul
yang
menimbulkan reaksi.
Fase efektor, yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek mediator-
dan inflamasi. Neutrofil ditarik dan mengeliminasi kompleks. Bila neutrofil terkepung
di jaringan akan sulit untuk memakan kompleks dan akan melepas granulnya (angry
cell). Kejadian ini menimbulkan banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator, antara lain enzim-enzim
yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Manifestasi klinisnya antara lain lupus
eritamatosis sistemik, penyakit serum, artritis reumatoid, infeksi malaria, virus, dan
lepra.
4
Reaksi
Reaktan imun
Tipe I
Antibodi IgE
Permeabilitas vaskuler
meningkat, antibodi,
sel, dan komplemen
masuk ke jaringan.
15
Tipe II
Tipe III
Antibodi
IgE/IgM
Antibodi IgG
Tipe IV
Limfosit T
Membunuh bakteri
Anemia hemolitik
Mobilisasi polimorf ke
tempat infeksi
Menghancurkan virus,
membunuh sel
terinfeksi
Glomerulonefritis,
vaskulitis
Penolakan cangkokan,
tuberkulosis, lepra
(Underwood, 1999)
Jadi secara ringkas reaksi hipersensitivitas dibagi lebih lanjut kedalam empat tipe, tiga
tipe merupakan variasi pada cidera yang diperantai oleh antibodi, sedangkan tipe
keempat diperantarai oleh sel:
Penyakit tipe I diakibatkan oleh antibodi IgE yang diabsorbsi pada sel mast atau
basofil, ketika molekul IgE ini berikatan pada antigen sepsifiknya (alergen),
Molekul akan dipicu untuk melepaskan amina vasoaktif dan mediator lain yang
kemudian memengaruhi permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos di
berbagai organ.
Gangguan tipe II disebabkan oleh antibodi humoral yang berikatan pada jaringan
tertentu atau antigen permukaan sel dan menyebabkan proses patologis dengan
memudahkan sel mengalami fagositosis atau lisis yang diperantai oleh komplemen.
Gangguan tipe III paling baik dianggap sebagai penyakit komplek imun, antibodi
mengikat antigen untuk membentuk kompleks antigen-antibodi yang besar yang
mengendap di berbagai pembuluh darah dan mengaktivasi komplemen. Kompleks
imun serta fragmen aktivasi komplemen juga menarik perhatian neutrofil. Pada
akhirnya, komplemen yang diaktivasi serta pelepasan enzim neutrofilik dan
molekul toksik lain (misalnya, metabolit oksigen) inilah yang menyebabkan
Mekanisme Imun
Alergen mengikat silang
Gangguan Prototipe
Anafilaksis, beberapa
antibodi IgEpelepasan
radang lain.
IgG atau IgM berikatan
Anemia hemolitik
terhadap Antigen
autoimun,
Jaringan Tertentu
permukaan
eritroblastosis fetalis,
Penyakit Goodpasture,
Pemfigus vulgaris
komplemen ayau
sitotoksisitas yang
diperantarai oleh sel
yang bergantung
III Penyakit
antibodi
Kompleks antigen-
Kompleks Imun
antibodimengaktifkan
sickness, lupus
komplemenmenarik
eritematosus sistemik,
perhatian
bentuk tertentu
neutrofilpelepasan
glomerulonrfritis akut
Tuberkulosis,dermatitis
Hipersensitivitas
tersensitisasipelepasan
kontak, penolakan
Selular (Lambat)
transplan
17
Rhinitis Alergi
Definisi :
Inflamasi mukosa hidung yang ditandai oleh salah satu gejala bersin, gatal,rinorea,
hidung tersumbat. Inflamasi yg diinduksi respon imun yg dimediasi Ig E thd
alergen tertentu.
Klasifikasi :
Menurut ARIA (Alergic Rhinitis and its Impact on Asthma) 2008
-Intermiten
Gejala < 4 hari/minggu atau < 4 mgg berturut-turut
- Persisten
Gejala > 4 hari/minggu atau > 4 mgg berturut-turut
- Ringan
Tidur normal
-Sedang - berat
Terdapat gangguan tidur
Terdapat gangguan aktifitas harian
Penurunan produktifitas kerja/sekolah
Gejala mengganggu
ekstrinsik.
Dua hal tersebut yang bisa menyebabkan penyakit asma bronkial yaitu :
1. Faktor Intrinsik ( asma non imunologi / asma non alergi ) :
Infeksi : Parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal.
Fisik : Cuaca yang dingin, perubahan temperatur secara dratis.
Iritan : Kimia.
Polusi udara : Karbondioksida, asap rokok, parfum.
Emosional : rasa takut, cemas dan tegang.
Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. (Suriadi, 2001 : 7)
2. Faktor Ekstrinsik ( asma imunologik / asma alergi) :
a. Inhalasi (menghirup )alergen ( seperti halnya debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang ).
b. Reaksi antigen-antibodi.
Penyakit asma bronkial ini merupakan salah satu penyakit kronik (menahun)
serta juga penyakit paru dan juga dengan pasien terbanyak di dunia.
Diperkirakan berkisar 300 juta orang di dunia menderitapenyakit asma jenis
ini. Angka ini akan jauh lebih besar jika kriteria diagnosanya diperlonggar
atau ditambahi. Di Indonesia negara kita tercinta ini, diperkirakan sampai 10
persen penduduk ( kurang lebih sekitar 12 juta orang ) mengidap dalam
berbagai jenis penyakit asma.
Selanjutnya kita melangkah ke tanda gejala penyakit asma bronkiale ini.
Tanda serta gejalanya terbagi dalam dua kategori yaitu kategori stadium dini
dan stadium kronik (lanjut).
1. Stadium Dini.
Bila pada stadium dini ini faktor hipersekresi yang lebih menonjol maka
tanda dan gejala yang didapatkan adalah :
Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang
timbul.
Suara wheezing belum ada.
Wheezing.
Stadium Kronik ( Lanjut )Tanda dan gejala penyakit asma bronkial pada
stadium tingkat lanjut ini adalah :
19
Batuk, ronchi
Sesak nafas berat dan dada seolah olah tertekan.
Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan.
Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest).
Thorak seperti barel chest.
Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus.
Sianosis.
Hasil Blood Gas Analisis Pa O2 kurang dari 80%.
Rontgen paru terdapat adanya peningkatan gambaran bronchovaskuler
kanan dan kiri.
Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik.
Beberapa
pemeriksaan
penunjang
diperlukan
dalam
membantu
menegakkan diagnosa
penyakit
asmaini
yaitu
diantaranya
:
20
Penatalaksanaan Asma
3.6
3.12
3.13
3.14
3.17
2. Menghilangkan hipoksemi
3.18
3.19
4. Mencegah kekambuhan
3.20 Serangan asma berat dapat menimbulkan kematian, terutama bila terlambat
ditanggulangi atau penanggulangan yang tidak adekuat.Resikoini juga meningkat bila
ada komplikasi. Faktor yang meningkatkan resiko kematian pada asma adalah :
3.21
3.22
3.23
3.24
3.25
21
3.26
3.27
3.28
3.29
3.30
3.31 Deraj
at Asma
3.34
3.35 Asma
Intermiten
3.32
Obat Pengontrol
(harian)
3.36
3.37
3.33 Obat
Pelega
3.38
Tidak perlu
3.39 - Bronkodilato
r singkat, yaitu
inhalasi agonis
beta2 bila perlu
3.40 - Intensitas
pengobatan
tergantung
beratnya
serangan
3.41 - Inhalasi
agonis beta2 atau
Na-kromolin
dipakai sebelum
aktivitas
atau
pajanan allergen
3.42
3.43 Asma
Persisten
Ringan
3.44
3.45
- Inhalasi
kortikosteroid
200500g/Nakromolin/
nedrokromil atau teofilin
lepas lambat
3.48
3.49 - Inhalasi
agonis beta2 aksi
singkat bila perlu
dan
tidak
melebihi 3-4 kali
sehari.
3.46
3.47
- Dosis
kortikosteroid
dapat
dinaikkan menjadi 800
mg atau ditambahkan
bronkodilator
kerja
22
3.52
3.53
- Inhalasi
kortikosteroid 800-2000
mcg
3.54
3.55
- Bronkodilato
r aksi lama terutama
untuk untuk mengontrol
asma malam, berupa
agonis beta 2 aksi lama
inhalasi, oral atau teofilin
lepas lambat
3.58
3.59 Asma
Persisten
Berat
3.60
3.61
- Inhalasi
kortikosteroid 800-2000
mcg atau lebih
3.56
3.57 - Inhalasi
agonis
beta2
hirup
aksi
singkat bila perlu
dan
tidak
melebihi 3-4 kali
sehari
3.66
3.67 Agonis beta 2
hirup
(kerja
pendek) bila ada
gejala
3.62
3.63
- Bronkodilato
r aksi lama, berupa
agonis beta2 inhalasi
atau
oralatau
teofilinlepas lambat
3.64
3.65
- Kortikosteroi
d oral jangka panjang
3.68
3.69
3.701. Bronkodilator
3.71
a. Agonis2
lebih dari 12 jam, seperti salmeterol, formoterol, bambuterol dan lain-lain. Bentuk
aerosol dan inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama dengan dosis yang
jauh lebih kecil yaitu sepersepuluh dosis oral dan pemberiannya lokal.
3.73
b. Metilxantin
c. Antikolinergik
3.76
3.77
3.78 Antiinflamasi menghambat inflamasi jalan napas dan mempunyai efek supresi
dan profilaksis.
3.79
a. Kortikosteroid
3.80
b. Natrium kromolin (sodium cromoglycate) merupakan antiinflamasi
nonsteroid.
3.81
3.82
3.84
3.83 BERATNY
A SERANGAN
3.88
3.89
3.85
3.86
TERAPI
3.97
RINGAN
3.90
- Aktivita
s hampir normal.
3.91
3.92
dalam
penuh.
Bicara
kalimat
3.93
3.94
- Denyut
nadi <100/menit
3.98
3.87
LOKASI
3.107
Terbaik:
3.108
rumah
Di
3.99
- Agonis
Beta2 isap (MDI) 2
isap boleh diulangi
1 jam kemudiqan
atau tiap 20 menit
dalam 1jam
3.100 Alternatif:
3.101
3.102
- Agonis
beta2 oral dan atau
3x1/2 1 tablet
24
3.95
(2mg) oral
3.96
0%)
(APE>6
3.103
3.104
- Teofilin
75-150 mg
3.105
3.106
- Lama
terapi
menurut
kebutuhan
3.109
3.120
3.110 SEDANG
3.121 Terbaik:
3.111
3.122
3.125
3.126
mas
Puskes
3.127
3.112
- Hanya
mampu berjalan
jarak dekat
3.113
3.114
- Bicara
dalam kalimat
terputus-putus
3.123
- Agonis
Beta-2 secara
nebulisasi 2,5
5mg, dapat diulangi
sampai dengan 3
kali dalam 1jam
pertama dan dapat
dilanjutkan setiap 14 jam kemudian
3.128
- Klinik
rawat jalan
3.129
3.130
- Unit
Gawat Darurat
3.131
3.124
3.115
3.132
- Praktek
dokter umum
3.116
- Denyut
nadi 100-120/menit
3.133
3.117
3.118
40-60%)
3.134
- Dirawat
RS bila tidak
respons dalam 2-4
jam
(APE
3.119
3.135
3.145
3.136 BERAT
3.146 Terbaik:
3.137
3.147
3.160
3.161
- Unit
Gawat Darurat
3.162
3.138
- Sesak
pada istirahat
3.148
- Agonis
beta-2 secara
nebulisasi dapat
3.163
- Rawat
bila tidak ada
25
3.139
3.140
- Bicara
dalam kata-kata
terputus
3.141
3.142
- Denyut
nadi >120 L/menit
diulangi s.d
3kalidalam 1jam
pertama selanjutnya
dapat diulangi
setiap 1-4 jam
kemudian
3.149
3.150
- Teofilin
iv dan infus
3.143
3.144
- (APE <
40% atau
100L/menit)
responns dalam 2
jam maksimal 3
jamm
3.164
3.165
- Pertimb
angkan rawat ICU
bila cenderung
memburuk
Progresif
3.151
3.152
- Steroid
iv dapat diulang/ 812jam
3.153
3.154
- Agonis
beta 2 sk/iv /6jam
3.155
3.156
- Oksigen
4 liter/menit
3.157
3.158
- Pertimb
angkan nebulisasi
ipratropiumbromide
20 tetes
3.159
3.176
3.166
3.167 MENGANC
AM JIWA
3.184
3.177 Terbaik:
3.185
ICU
3.178
3.168
3.169
- Kesadar
an menurun
3.170
3.171
3.179
- Lanjutk
an terapi
sebelumnya
3.180
Kelelah
3.181
Pertimb
26
an
3.172
3.182
3.173
Sianosis
3.174
3.175
napas
Henti
3.183
- Pertimb
angkan anastesi
umum untuk terapi
pernapasan intensif.
Bila perlu dilakukan
kurasan bronco
alveolar (BAL)
3.186
3.187
3.188
3.189 Terapi awal yaitu
3.190
3.191
2. Agonis2 (salbutamol 5mg atau feneterol 2,5 mg atau terbutalin 10mg)
inhalasi nebulasi dan pemberiannya dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam.
Dapat diberikan secara subkutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau
terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% dan diberikan perlahan.
3.192
3. Aminofilin bolus iv 5-6 mg/kg BB, jjikasudah menggunakan obat ini
dalam 12jam sebelumnya cukup diberikan setengah dossis
3.193
3.194
4. Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg iv jika tidak ada respon segera
atau pasien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
3.195
3.196 Respon terhadap terapi awal baik, jika didapatkan keadaan berikut :
3.197
3.198
3.199
3.200 Jika respon tidak ada atau tidak baik terhadap terapi awal maka sebaiknya
pasien dirawat di rumah sakit.
3.201 Terapi asma kronik adalah sebagai berikut
27
3.202
1. Asma ringan: agonis2 inhalasi bila perlu atau agonis 2 oral sebelum
exercise atau terpapar allergen.
3.203
2. Asma sedang: antiinflamasi setiap hari dan agonis2 inhalasi bila perlu.
3.204
3. Asma berat: steroid inhalasi setiap hari, teofilin slow release atau agonis
2 long acting, steroid oral selang sehari atau dosis tunggal harian dan agonis2
inhalasi sesuai kebutuhan.
3.205 Penatalaksanaan yang baik dapat membuat asma menjadi terkontrol yaitu
gejala penyakit berkurang dan faal paru menjadi optimal, kriteria asma yang
terkontrol adalah :
3.206 1.
3.207 2.
Eksaserbasi jarang
3.208 3.
Kebutuhan2-agonis minimal
3.209 4.
3.210 5.
3.211 6.
3.212 7.
3.213
3.214
3.215
mungkin dan biaya pengobatan rasional serta pasien dapat mempertahankan pola
hidup normal.
3.216
3.217
3.218
3.219
Penatalaksanaan
1. Terapi Non-farmakologi
Terapi non-farmakologi yang paling ideal adalah dengan menghindari
3.222
a. Medikamentosa-
Terapi
medikamentosa
yaitu
antihistamin,
obat-obatan
berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja
histamin.Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
3.224
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih
besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan
berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio
efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari,
serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata,
namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
3.225
3.226
3.227
3.228
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun
pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya
rinitis medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk
menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernapasan.
3.229
a.
3.230
Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan
obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat
ini pada pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini
29
antara lain hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala,
kekeringan membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau
tirotoksikosis. Dekongestan oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek
sentral. Pada kombinasi dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat,
namun efek samping juga bertambah.
3.231
b. Dekongestan intranasal
3.232
3.235
Preparat Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit
alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi
kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik.
Telah diketahui bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti
interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor- (TNF-), dan granulocytemacrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat
sintesis khemokin IL-8, regulated on activation normal T cell expressed and secreted
(RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1 (MIP-1), dan monocyt
chemoattractant protein-1.
3.236
3.237
a.
3.238
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid,
efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian
kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung dapat
diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi
hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat
yang menonjol.
3.239
3.240
b. Kortikosteroid oral/IM
3.241
Kortikosteroid
oral/IM
(misalnya
deksametason,
hidrokortison,
Jika
memungkinkan,
kortikosteroid
intranasal
digunakan
untuk
menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup
ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian
kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak
kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
3.242
3.243
3.244
Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).
3.246
reseptor CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
3.247
3.248
c.
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
3.249
31
3.250
d.
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang tidak dapat
dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi juga meningkatkan titer
antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi, hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi
dan hiposensitisasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang
gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi
tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan (Mulyarjo, 2006).
3.252
3.253
3.254
3.255
3.256
3.251
o
o
o
o
3.257
Pertimbangkan Imunoterapi spesifik
3.258 Bila ada perbaikan turunkan ke tahap sebelumnya, kalau memburuk naikkan ke tahap
berikutnya.
32
3.259
NOMOR 5 ( Lidya )
3.260
1. Asma bronchiale
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
Akut :
-
Dehidrasi
Gagal nafas
Infeksi saluran nafas
Kronis :
Kor-pulmonale
PPOK
Pneumotorak
Atelektasis
2. Rinitis alergica
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
-
35
3.261
NOMOR 7 ( Nursigit )
36
Dari segi waktu timbulnya reaksi, termasuk reaksi tipe segera (immediate),
walaupun reaksi yang timbul bervariasi antara beberapa detik atau menit pada tipe i
hingga beberapa jam pada tipe ii dan iii.
37
3.262
Faktor Internal
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam
lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis
(misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan.
Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
2) Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin
sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma
kehidupan setempat.
3) Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.
b. Fakor Eksternal
1)
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,
stress) atau beban latihan (lari, olah raga).
Apel
4,7
Telur12,7 %
Kentang
2,6
Susu 12,2 %
Coklat
Kacang 5,3 %
Babi
1,5
Sapi
3,1
Gandum
3)
4,7 %
2,1
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat
menimbulkan reaksi alergi.
4) sengatan serangga
5) latihan jasmani
Faktor lainya :
Defisiensi sel T
Penurunan jummlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum
IgE pada penyakit eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang
disusui dengan asi dan dengan susu bubuk.
39
Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisis reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan
aktifasi penahan sel T oleh histamin akan meningkatkan jumlah IgE.
Faktor lingkungan
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas
mukosa sehingga meningkatkan pemasukan antigen dan respon IgE.
IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal
obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah
merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah
merah
IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga menyebabkan
kerusakan ginjal
Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus
mempunyai ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya
dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks
imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.
Defek genetik yang memudahkan produksi antibodi dengan afinitas rendah
yang dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil,
sehingga individu bersangkutan mudah menderita penyakit kompleks imun
Kelas imunoglobulin
Pembersihan kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas imunoglobulin yang
membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan
dikeluarkan secara perlahan-lahan dari sirkulasi, tetapi tidak halnya dengan
IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan tidak dapat disingkirkan
cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai
jaringan misalnya ginjal, paru dan otak.
permeabilitas pembuluh darah
peningkatan permeabilitas vaskuler dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya oleh peningktan penglepasan vasoactive amine. Semua hal yang
berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya
komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan
kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vaskuler.
40
Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengendap
dalam glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam
dinding pencabangan arteri dan di tempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pad
pleksus choroid dimana terdapat turbulensi.
41
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Jadi penyakit pada skenario menunjukkan gejala hipersensitivitas I. Karena pada
skenario anak tersebut menunjukkan gejala asma dan ayahnya menderita dermatitis.
Dimana gejala tersebut merupakan penyakit alergi pada hipersensitivitas tipe I yang
merupakan reaksi cepat dan pada suatu keadaan bisa menyebabkan anafilaksis
alergi, dimana alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun berupa
IgE dan penyakit alergi seperti, asma, dan dermatitis atopi.
42
DAFTAR PUSTAKA
Boedina, Siti. Imunologi : diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi 3, 1996.
Fakultas kedokteran UI.
Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group.
World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy
clinical immunol : S147-S276.
Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan
Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Buku Ajar Patologi Robbins,Ed. 7,Vol. 1,Buku Kedokteran EGC
http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/hyper00.htmhttp://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matk
ul/Mikrobiologi/h-p.pdf,
http://marizal-co-ass.blogspot.com/2010/04/reaksi-hipersensitivitas-pada-imunologi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
43