Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue. Penyakit ini ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Masa inkubasi virus ini adalah 2-10 hari di dalam tubuh
vektor dan akan muncul di kelenjar liur nyamuk dan siap menginfeksi manusia
yang tergigit.4
Demam berdarah dengue (DBD) memiliki manifestasi klinis berupa
demam 2 - 7 hari disertai dengan manifestasi perdarahan, jumlah trombosit <
100.000 /mm3, adanya tanda-tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit >
20 % dari nilai normal, dan atau efusi pleura, dan atau ascites, dan atau
hypoproteinemia/albuminemia.5 Dengue Shock Syndrome adalah demam berdarah
dengue derajat III dan IV yang ditandai adanya renjatan/syok.6
B. Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Virus dengue disebarkan melalui
vektor utamanya nyamuk Aedes aegypti. Genom virus dengue menyandi 10
produk gen yaitu C (capsid), prM (matrix), E (envelope), dan protein-protein
nonstruktural termasuk NS-1, NS-2A, NS-2B, NS-3, NS-4A, NS-4B, dan NS-5.
NS-1 merupakan satu-satunya dengan bentuk terlarut yang dapat dideteksi dalam
sirkulasi. Beberapa protein nonstruktural juga memainkan peran dalam

memodifikasi sistem imun, seperti NS-2A, NS-2B dan NS-4B yang berpengaruh
pada jalur sinyal interferon 1 dengan menginduksi produksi sitokin, NS-5
menginduksi produksi interleukin 8. NS-3 berfungsi ganda dalam aktivitas
helicase (melepas rantai DNA) dan protease, di mana aktivitas proteasenya
memerlukan NS-2B sebagai kofaktor. Dalam replikasi virus, NS-5 berfungsi
sebagai S-adenosine methyltransferase dan RNA-dependent RNA polymerase. 5,7
Protein E berinteraksi dengan reseptor seluler sehingga memprakarsai
proses masuknya virus dan rangkaian asam aminonya menentukan aktivitas
penetralisiran antibodi yang menggolongkan virus Dengue (DEN) menjadi 4
serotipe: DEN-1, 2, 3 dan 4. Terdapat 4 serotipe virus Dengue yaitu DEN-1, DEN2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau
demam berdarah dengue. DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1
dan DEN-4. 5,7 Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas,
akan menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang
bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai daya
antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang
meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu dari mereka.7

Gambar 1. Virus Dengue


C. Epidemiologi
Epidemi demam berdarah dengue sering terjadi di Amerika, Eropa,
Australia, dan Asia hingga awal abad 20. Sekarang demam berdarah dengue
endemik pada Asia tropis, Kepulauan Asia Pasifik, Australia bagian utara, Afrika
tropis, Karibia, Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Demam berdarah dengue
sering terjadi pada orang yang bepergian ke daerah ini. Pada daerah endemi, orang
dewasa seringkali menjadi imun, akan tetapi anak-anak dan pendatang lebih
rentan untuk terkena virus ini.8
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.1
Berdasarkan Kemenkes RI pada tahun 2015, jumlah penderita, incidense
rate per 100.000 penduduk, kasus meninggal, dan case fatality rate (%) demam
berdarah dengue pada tahun 2014 pada negara Indonesia , terdapat 100.347 kasus

dengan incidence rate per 100.000 penduduk adalah sebesar 39,80%. Jumlah
kasus meninggal akibat penyakit DBD adalah sebanyak 907 orang dengan case
fatality rate sebesar 0,90%. Pada provinsi Kalimantan Selatan sendiri, dengan
jumlah penduduk sebesar 3.913.908 jiwa, terdapat 828 kasus dengan incidence
rate per 100.000 penduduk adalah sebesar 21,16%. Jumlah kasus meninggal
akibat penyakit DBD adalah sebanyak 17 orang dengan case fatality rate sebesar
2,05%.9
D. Klasifikasi
Berdasarkan WHO tahun 2014, kriteria klinis infeksi virus dengue dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: 2
1. Kriteria klinis demam dengue
Penyakit yang didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus
berlangsung 2 - 7 hari, kemudian turun secara cepat. Demam secara
mendadak disertai dua gejala klinis yang tidak spesifik atau lebih seperti:
nyeri kepala, nyeri retroorbita, mialgia, athralgia, ruam, dan terdapat
manifestasi perdarahan.2
2. Kriteria klinis demam berdarah dengue
Berdasarkan kriteria WHO 2014, diagnosis DBD ditegakkan bila hal di
bawah ini dipenuhi:2
1. Terdapat kriteria klinis demam dengue
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
uji bendung positif
petekie, ekimosis, atau purpura
Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk.
Untuk membedakannya dapat dilakukan penekanan pada bintik
merah yang dicurigai dengan kaca obyek atau penggaris plastik
6

transparan, atau dengan meregangkan kulit. Jika bintik merah


menghilang saat penekanan/peregangan kulit berarti bukan
petekie.7
perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),
atau perdarahan dari tempat lain, saluran gastrointestinal
(hematemesis atau melena)
3. Trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l)
4. Terdapat minimal satu tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:2
peningkatan hematokrit 20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
penurunan hematokrit 20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia/albuminemia.
3. Kriteria klinis sindrom syok dengue
Semua kriteria di atas untuk DBD ditambah dengan bukti kegagalan
sirkulasi yang dimanifestasikan oleh nadi cepat dan lemah dan tekanan nadi
sempit (mmHg), keringat dingin, dan kegelisahan.2
Berdasarkan World Health Organization, Regional Office for South-East
Asia tahun 2011, Infeksi virus dengue dan derajat beratnya DBD/DHF (Dengue
Haemorrhagic Fever) dapat dibagi menjadi berikut.10
Derajat

Gejala

Laboratorium

*
DD

Demam disertai 2 atau lebih tanda: 1. Leukopenia


1.
2.
3.
4.
5.

sakit kepala,
nyeri retro-orbital,
mialgia,
artralgia/nyeri tulang,
rash,
7

(wbc

5000sel/mm3)
2. Trombositopenia
(jumlah

trombosit

<150.000sel/mm3)

6. manifestasi perdarahan
7. tidak ada bukti plasma leakage

DBD

plasma leakage
II

Grade

ditambah

III

<100.000sel/mm3
2. Peningkatan

Hematokrit 20%
Grade I atau II ditambah kegagalan 1. Trombositopenia
sirkulasi (kulit dingin dan lembab
serta gelisah, hipotensi)

DBD

IV

<100.000sel/mm3
2. Peningkatan

Hematokrit 20%
perdarahan 1. Trombositopenia

spontan

DBD

Hematokrit (5%-10%)
4. Tidak
ada
bukti

kehilangan plasma
Demam dan manifestasi perdarahan 1. Trombositopenia
(tes torniquet positif) dan bukti

DBD

3. Peningkatan

<100.000sel/mm3
2. Peningkatan

Hematokrit 20%
Grade III ditambah Syok berat 1. Trombositopenia
disertai dengan tekanan darah dan
nadi tidak terukur

<100.000sel/mm3
2. Peningkatan

Hematokrit 20%
*DBD derajat III dan IV disebut Sindrom Syok Dengue (SSD)
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue
atau sindrom syok dengue (SSD).6
Gambaran klinis untuk DBD terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis
dan fase pemulihan.2
1. Fase febris
Fase febris biasanya terjadi demam mendadak tinggi 2 7 hari,
disertai muka kemerahan, eritema kulit, dan sakit kepala. Dapat juga
terdapat nyeri di area retroorbita, otot, sendi, dan tulang. Pada fase ini
dapat pula ditemukan ruam berbentuk makulopapuler yang muncul

setelah demam hari ke 3 dan ke 4. Ruam ini sering terlihat pada wajah,
leher, dan bagian tubuh lainnya yang nantinya akan memudar pada
akhir fase febris. 2
2. Fase kritis
Setelah fase febris, akan terjadi fase kritis pada hari 3 4 setelah
demam. Pada fase ini, kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya
kebocoran dapat menyebabkan terjadinya hipotensi. Pada fase ini,
hemostasis abnormal dan kebocoran plasma dapat mengakibatkan
syok, perdarahan, dan akumulasi cairan di pleura, dan abdomen.
Timbulnya kebocoran plasma ini biasanya berlangsung selama 36 48
jam. 2
3. Fase pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi fase pemulihan yang berupa
pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler secara
perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan umum penderita
membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan diuresis
membaik. 2

Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue


Terdapat pentingnya pemantauan demam pada demam berdarah dengue.
Pada demam dengue, setelah suhu reda, klinis dan nafsu makan membaik. Pada
demam berdarah dengue, setelah suhu turun, klinis dapat memburuk, lemah,
gelisah, tangan kaki dingin, nafas cepat, diuresis berkurang, serta tidak ada nafsu
makan.11
Tanda-tanda bahaya (warning sign) yang harus diwaspadai yang mengarah
pada demam berdarah dengue berat adalah sebagai berikut:2
Muntah berulang
Efusi pleura / ascites pada pencitraan
Perdarahan kecil dari tempat yang berbeda, hemoptisis minimal,
hematemesis, hematuria, meningkatkan aliran menstruasi, gusi

berdarah, dll
Nyeri perut atau ketidaknyamanan pada daerah perut
Palpitasi, sesak napas
Disfungsi hati atau hepatomegali
Penurunan output urin
Kadar HCT yang tinggi (>45%)
10

Penurunan cepat jumlah trombosit


Ekstremitas dingin
Tekanan nadi sempit
Denyut nadi cepat
Hipotensi

F. Vektor dan Cara Penularan


Vektor utama DBD adalah nyamuk rumah yang disebut Aedes Aegypti,
sedangkan vektor potensialnya yang lain adalah Aedes Albopictus yang banyak
ditemukan di semak-semak sekitar rumah. Nyamuk dewasa betina Aedes aegypti
menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan, baik di dalam rumah
ataupun di luar rumah. Untuk menjadi kenyang, nyamuk betina memerlukan 2-3
kali hinggap dan menghisap darah (multiple biters). Penghisapan darah dilakukan
dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit
(08.00-12.00) dan sebelum matahari tenggelam (15.00-17.00).12
Dari beberapa cara penularan virus dengue, cara penularan yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan
inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti
dengan respon imun.13
G. Patofisiologi
Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk
Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama, namun
spesies lain seperti Ae.albopictus, Ae.polynesiensis dan Ae. niveus juga dianggap
sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae.aegypti semuanya mempunyai daerah
11

distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun mereka merupakan


host yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya mereka merupakan vektor
epidemi yang kurang efisien dibanding Ae.aegypti.7
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia
menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut (viremia)
yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Nyamuk menjadi
infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita yang sedang viremia (periode
inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama hidupnya. Setelah melalui periode
inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi
dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk tersebut menggigit dan
mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel
Kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpatikus, sumsum tulang serta
paru-paru.5,7
Walaupun demam dengue dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi
mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis.
Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan
kebocoran plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue
hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh
terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran darah dan
ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum timbul
gejala) dan berakhir setelah lima hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi
antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik

12

makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan mengaktifasi
sel T sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Proses tersebut akan
menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala
sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.13
Pada DBD, teori yang kini dianut luas adalah teori immunologic
enchancement atau antibody dependent enhancement (ADE). Berdasarkan teori
ini, bila ada antibodi yang spesifik untuk satu jenis virus maka antibodi
tersebut dapat mencegah penyakit oleh virus tersebut, tetapi kalau didalam
tubuh seseorang terdapat antibodi yang tidak mampu menetralisir virus
tersebut justru dapat menimbulkan manifestasi penyakit yang berat. Pada
infeksi dengue didapatkan kedua tipe antibodi tersebut. Yang pertama
antibodi yang dapat menetralisir virus secara spesifik, sedang yang kedua
antibodi non neutralisasi yang memacu replikasi virus. Teori infection
enhancing

antibody

berdasarkan

pada

peran

sel

fagosit mononuklear

merangsang terbentuknya antibodi non netralisasi. Virus mempunyai target


serangan yaitu pada sel fagosit seperti makrofag, monosit, dan sel kupfer.
Antigen virus dengue lebih banyak terdapat pada sel makrofag yang beredar
dibanding dengan sel makrofag yang tinggal menetap di jaringan. Pada
makrofag yang dilingkupi oleh antibodi non netralisasi, antibodi tersebut akan
bersifat opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel mudah terinfeksi. Lebih
banyak sel yang terinfeksi akan menjadi aktif dan mengeluarkan berbagai

13

substansi sitokin proinflamasi dan tromboplastin yang akan meningkatkan


permeabilitas kapiler dan akan mengaktivasi faktor koagulasi.4,14
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji tourniquet
Uji tourniquet dilakukan dengan menggembungkan manset tensimeter
pada titik tengah antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik dan dipertahankan
selama lima menit. Uji tourniquet dianggap positif ketika terdapat 10 atau lebih
petekie per satu area inci (2,8 cm x 2,8 cm) di lengan bawah bagian depan (volar)
termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti). Pada DBD, tes biasanya memberikan tes
positif yang pasti dengan 20 petechiae atau lebih. Akan tetapi, tes ini mungkin
negatif atau hanya sedikit positif pada fase Dengue Shock Syndrome (DSS).2,7
Pada hari ke-2 demam, uji tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan
spesifisitas 77,8%, dan pada hari ke-3 demam memiliki nilai sensitivitas 98,7%
dan spesifisitas 74,2%.7

Gambar 3. Cara menghitung hasil uji tourniquet.7


2. Laboratorium

14

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka


demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar sel darah putih, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru.6
a. Jumlah sel darah putih
Pada tahap awal demam, jumlah sel darah putih biasanya normal, akan
tetapi dapat menurun cepat pada perjalanan penyakit. Apabila terjadi leukopenia,
dapat dicurigai terjadi infeksi dengue. 16
b. Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran pembuluh
darah. Penilaian hematokrit ini merupakan indikator yang peka akan terjadinya
perembesan plasma, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara
berkala.

Pada

umumnya

penurunan

trombosit

mendahului

peningkatan

hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% (misalnya nilai


Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
perembesan plasma. 7
c. Jumlah trombosit:
Trombositopenia umumnya terlihat pada infeksi dengue pada fase awal
demam, jumlah trombosit biasanya dalam rentang normal akan tetapi dapat
menurun dengan cepat pada perjalanan penyakit sampai ke fase akhir demam atau
sampai pada hari pertama fase pemulihan. 16

15

Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari ke 3-7 sakit.


Pemeriksaan trombosit perlu diulang setiap 4-6 jam sampai terbukti bahwa jumlah
trombosit dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah membaik.7
3. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan imunoserologi IgG dan IgM merupakan isotipe untuk
diagnosis pada infeksi dengue. Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue
berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan
viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik
humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM. Pada
infeksi dengue primer, antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar
antibodi yang telah ada jadi meningkat.13
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer, antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder, antibodi IgG meningkat pada hari
kedua. Oleh karena itu, diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan
dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima. Diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG
dan IgM yang cepat. 13

16

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan NS-1. Antigen


NS-1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan.
Sensitivitas antigen NS-1 berkisar 63%-93,4% dengan spesifisitas 100% sama
tingginya dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1
tidak menyingkirkan adanya infeksi virus dengue.6

Gambar 4. Respon primer dan sekunder pada infeksi dengue


4. Pemeriksaan Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemithoraks kanan
tetapi apabila terjadi kebocoran plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemithoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan. Ascites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.6
I. Tatalaksana

17

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue. Prinsip utama adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat
diturunkan hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus agar tidak jatuh
ke dalam kondisi syok. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan
oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen

cairan

melalui

intravena

hemokonsentrasi secara bermakna.6

18

untuk

mencegah

dehidrasi

dan

Gambar 5. Algoritma penatalaksanaan infeksi dengue15

19

Tatalaksana untuk infeksi dengue dibagi menjadi berdasarkan 3 grup:15


Pasien Grup A
a) Kriteria pasien :
- pasien yang tidak memiliki warning sign
- dapat mentoleransi volume cairan oral dengan adekuat/cukup
- dapat mengeluarkan urin paling tidak 1 kali tiap 6 jam
b) Tes laboratorium yang diperlukan :
- hitung darah lengkap (FBC)
- hematokrit (HCT)
c) Perawatan : disarankan untuk:
- bed rest dengan cukup/adekuat
- intake cairan dengan cukup
- paracetamol maksimal 4gr/hari pada dewasa dan disesuaikan untuk anakanak.
Pada pasien yang memiliki nilai hematokrit stabil dapat dirawat di rumah.
d) Monitoring :
Review perkembangan penyakit setiap hari :
- penurunan hitung sel darah putih (AL)
- defervescence
- warning sign (hingga keluar dari fase kritis)
Disarankan untuk kembali ke rumah sakit apabila terdapat perkembangan
munculnya warning sign dan diberikan saran tertulis untuk manajemen
penanganan di rumah.
Pasien Grup B
a) Kriteria pasien :
- pasien dengan co-existing kondisi seperti kehamilan, balita, usia lanjut, DM,
gagal ginjal.
- keadaan sosial seperti tinggal sendirian, tinggal jauh dari rumah sakit.

20

b) Tes laboratorium :
- hitung darah lengkap (FBC)
- hematokrit (HCT)
c) Perawatan :
Dilakukan dengan memberikan cairan oral. Jika intoleran, diberikan terapi
cairan intravena 0,9% salin atau Ringers Laktat dalam laju yang terkontrol.
d) Monitoring :
- memonitor pola suhu tubuh
- memonitor volume cairan yang masuk dan keluar
- memonitor output urin (volume dan frekuensi)
- memonitor warning sign
- memonitor hematokrit, sel darah putih, trombosit
Selain itu, terdapat kriteria lain pasien grup B yakni pasien yang memiliki
warning sign.
a) Tes laboratorium :
- hitung darah lengkap (FBC)
- hematokrit (HCT)
b) Perawatan :
- Melihat nilai hematokrit sebelumnya sebelum terapi cairan diberikan.
- Memberikan larutan isotonik seperti 0,9% salin, Ringers Laktat.
Dimulai dengan 5-7ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian dikurangi
menjadi 3-5ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian dikurangi menjadi 23ml/kg/jam atau kurang, sesuai dengan respon klinis pasien.
c) Pemeriksaan kembali status klinis dan pengulangan hematokrit
Jika hematokrit tetap atau kenaikannya minimal, lanjutkan dengan 23ml/kg/jam selama 2-4 jam.

21

Jika vital sign memburuk atau hematokrit meningkat secara cepat,


tingkatkan menjadi 5-10ml/kg/jam selama 1-2 jam
d) Pemeriksaan kembali status klinis dan pengulangan hematokrit dan
menilai kembali laju infus cairan sesuai dengan pengurangan cairan intravena
secara bertahap ketika kebocoran plasma berkurang hingga akhir fase kritis.
Hal tersebut diindikasikan melalui output urin dan atau intake cairan yang
adekuat dan penurunan hematokrit di bawah nilai batas pada pasien yang
stabil.
e) Monitoring:
- vital sign dan perfusi perifer (1-4 jam hingga pasien keluar dari fase
kritis)
- output urin (tiap 4-6jam)
- hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan dan selanjutnya tiap
6-12 jam)
- glukosa darah
- fungsi organ lain (sepert kondisi ginjal, hati, koagulasi sesuai indikasi)
Pasien Grup C
a) Kriteria pasien :
- pasien dengan kebocoran plasma yang parah disertai syok, dan atau
akumulasi cairan dengan respirasi distress.
- pasien dengan perdarahan yang parah.
- pasien dengan gangguan organ (organ impairment)
b) Tes laboratorium :

22

- hitung darah lengkap (FBC)


- hematokrit (HCT)
- pemeriksaan fungsi organ sesuai indikasi.
Pada kondisi syok terkompensasi:
a) Perawatan untuk syok terkompensasi (compensated shock)
Resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik 5-10ml/kg/jam
selama 1 jam. Periksa kembali status pasien.
b) Jika keadaan pasien membaik :
- cairan intavena harus dikurangi secara bertahap menjadi 5-7ml/kg/jam
selama 1-2 jam, kemudian 3-5ml/kg/jam selama 2-4 jam, kemudian 23ml/kg/jam selama 2-4 jam dan kemudian dikurangi lagi sesuai dengan
status hemodinamik.
- cairan intavena dapat dipertahankan higga 24-48 jam

c) Jika kondisi pasien masih belum stabil :


- periksa hematokrit setelah bolus pertama
- jika hematokrit meningkat/ tetap tinggi (>50%), berikan bolus kedua dengan
cairan kristaloid 10-20ml/kg/jam selama 1 jam. Jika tidak ada perbaikan
setelah bolus kedua kurangi laju menjadi 7-10/ml/kg/jam selama 1-2 jam
dan lanjutkan pengurangan laju sebagaimana disebutkan di atas.
- jika hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan perdarahan dan diperlukan
cross-match dan transfusi darah dengan segera.

23

Pada kondisi syok hipotensi


a) Perawatan untuk syok hipotensi (hypotensive shock)
Resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid atau koloid 20ml/kg
sebagai bolus selama 15 menit.
b) Jika kondisi pasien membaik :
Berikan cairan kristaloid atau koloid 10ml/kg/ jam selama 1 jam kemudian
dilakukan pengurangan sebagaimana disebutkan di atas.
c) Jika kondisi pasien masih belum stabil :
- menilai kembali hematokrit yang diambil sebelum bolus pertama
- jika hematokrit tersebut rendah (< 40% pada anak-anak dan perempuan
dewasa; <45% pada laki-laki dewasa), hal ini mengindikasikan perdarahan,
dan diperlukan cross-match dan transfusi darah dengan segera.
- jika hematokrit tersebut tinggi dibandingkan dengan nilai batas, ganti dengan
koloid intravena 10-20ml/kg sebagai bolus kedua selama 30 menit hingga 1
jam, lalu periksa kembali kondisi setelah bolus kedua.
- apabila keadaan pasien membaik, kurangi laju menjadi 7-10mlkg/jam selama
1-2 jam, kemuadian kembali ke kristaloid intavena dan kurangi laju infus.
- apabila keadaan pasien belum stabil, ulangi hematokrit setelah bolus kedua.
- jika hematokrit meningkat atau tetap tinggi (> 50%), lanjutkan infus koloid
10-20ml/kg sebagai bolus ketiga selama 1 jam kemudian kurangi hingga 710ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti kembali menjadi larutan
kristaloid dan kurangi laju infus.

24

- jika hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan perdarahan, dan


diperlukan cross-match dan transfusi darah dengan segera.
Pada kondisi perdarahan:
Perawatan komplikasi perdarahan:
Berikan 5-10ml/kg sel darah merah (RBC) segar atau 10-20ml/kg darah
(whole blood) segar.
Tatalaksana DF/ DHF di rumah sakit
Memonitor pasien terutama pada fase kritikal (trombositopenia sekitar
100.000 sel/mm3)
Indikasi transfusi platelet adalah pada demam berdarah dengue adalah
sebagai berikut:2
a. Trombosit kurang dari 10 000 sel / mm3 dan tidak ada manifestasi
perdarahan (profilaksis transfusi trombosit).
b. Perdarahan dengan atau tanpa trombositopenia.
Indikasi rawat inap pada infeksi dengue adalah:11
a.
b.

Terdapat tanda kegawatan


Pada pemantauan dijumpai
w kadar Ht berkala meningkat
w trombosit < 100.000 sel/mm3
w perdarahan spontan
Kriteria memulangkan pasien pada infeksi dengue adalah:11
a. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
b. Tampak perbaikan klinis
c. Tiga hari syok teratasi
d. Nafsu makan membaik

25

e. Jumlah trombosit cenderung meningkat (>50.000/ul), tidak perlu


ditunggu sampai normal
f. Hematokrit stabil
g. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
J. Komplikasi
Komplikasi dari infeksi dengue berupa:6
a. Asidosis metabolik
b. Imbalance elektrolit
c. Efusi pleura dan asites
d. Edema pulmonal
e. ARDS
f. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial

g. Sindrom hemofagositik
K. Pencegahan
Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari tiga hal yaitu
peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, diagnosis dini dan
pengobatan dini, dan peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit
DBD. Program yang dilakukan adalah gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) secara massal dan nasional. Dalam memberantas jentik nyamuk Aedes
aegypti atau yang dikenal dengan PSN DBD dilakukan dengan cara:17

26

1. Pengendalian Fisik
Pemberantasan dengan cara ini dikenal sebagai kegiatan 3M. Program 3M
di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1992 dengan berdasar pada
Keputusan Menkes No. 581/Menkes/SK/VII/92. Program 3M pada dasarnya
adalah pengembangan dari program PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)
yang memfokuskan ke arah perbaikan fisik.18
Kegiatan 3M yang pertama yaitu menguras adalah kegiatan menguras
tempat tempat penampungan air seperti bak air untuk mandi, tandon air,
drum yang berisi air. Kegiatan menguras dilakukan minimal satu kali dalam
seminggu untuk mencegah perkembangan nyamuk menjadi nyamuk dewasa.
Hal ini karena siklus metamorfosis nyamuk memakan waktu minimal
seminggu.17
Kegiatan 3M yang berikutnya adalah menutup tempat tempat
penampungan air. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah nyamuk Aedes
aegypti meletakkan telurnya di tempat penampungan air tersebut. Kegiatan
menutup tempat penampungan air dilakukan minimal untuk tempat
penampungan air yang susah untuk dikuras ataupun dikubur tetapi akan lebih
baik lagi apabila kegiatan menutup ini dilakukan untuk semua tempat
penampungan air yang mungkin untuk ditutup. 17
Kegiatan 3M yang terakhir adalah mengubur barang barang bekas
ataupun tempat yang dapat menjadi penampungan air saat hujan. Kegiatan
mengubur ini tidak terbatas hanya untuk barang barang bekas seperti kaleng
tetapi juga untuk lobang di tanah yang bias menampung air. Kegiatan

27

mengubur ini lebih bagus apabila minimal seminggu sekali karena berpatokan
dari siklus nyamuk. 17
Pengembangan program 3M sampai saat ini sudah banyak dilakukan
seperti yang terbaru adalah 3M plus, yaitu 3M diatas ditambah dengan
memakai repellent, tidak tidur pada jam jam dimana nyamuk DBD
berkeliaran, memakai kelambu saat tidur, memelihara ikan pemakan jentik di
tempat tempat yang susah untuk dikuras, dan lain sebagainya.17
2. Pengendalian Biologis.
Pengendalian secara biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi
untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agent biologis yang sudah digunakan
dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DB/DBD adalah dari
kelompok bakteri, predator seperti ikan pemakan jentik dan cyclop (Copepoda).1
Predator larva di alam cukup banyak, namun yang bisa digunakan untuk
pengendalian larva vektor DBD tidak banyak jenisnya, dan yang paling mudah
didapat dan dikembangkan masyarakat serta murah adalah ikan pemakan jentik.
Di Indonesia ada beberapa ikan yang berkembang biak secara alami dan bisa
digunakan adalah ikan kepala timah dan ikan cetul. Namun ikan pemakan jentik
yang terbukti efektif dan telah digunakan di kota Palembang untuk pengendalian
larva DBD adalah ikan cupang. Meskipun terbukti efektif untuk pengendalian
larva Aedes aegypti, namun sampai sekarang belum digunakan oleh masyarakat
secara luas dan berkesinambungan.1
Jenis

predator

lainnya

yang

dalam

penelitian

terbukti

mampu

mengendalikan larva DBD adalah dari kelompok Copepoda atau cyclops. Jenis ini

28

sebenarnya jenis Crustacea dengan ukuran mikro. Namun jenis ini mampu
memakan larva vektor DBD.1
3. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program
pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian
vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus
merugikan. Insektisida kalau digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat
waktu dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran. Penggunaan
insektisida dalam jangka tertentu secara akan menimbulkan resistensi vektor.
Insektisida untuk pengendalian DD/DBD harus digunakan dengan bijak dan
merupakan senjata pamungkas.1

L. Prognosis
Prognosis DBD terletak pada pengenalan tanda-tanda bahaya secara awal
dan pemberian cairan larutan garam isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal
pengganti volume plasma sesuai dengan berat ringan penyakit. Prognosis DBD
derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara
cepat maka pasien dapat ditolong. Pada DBD, kematian telah terjadi pada 40-50%
pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif yang adekuat, kematian
dapat ditekan <1% kasus.7

29

Anda mungkin juga menyukai