Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari
timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon
stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga
kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan
bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal
tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat
terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik
(Monaco and Lawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis dan
subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada epidermis
dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu terjadi
pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak
ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk menggabungkan
bagian luka dan mengembalikan fungsinya.

1.2 Tujuan
1.Memahami teori tentang proses penyembuhan luka
2.Memahami jenis-jenis luka, fase-fase penyembuhan luka, gangguan-gangguan
selama proses penyembuhan luka, dan proses luka yang kronik

1.3 Manfaat
1.Dapat mengaplikasikan teori penyembuhan luka pada klinis
2.Dapat melakukan manajemen luka dengan baik dan legeartis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ

1.
2.
3.
4.

Respon stres simpatis


Perdarahan dan pembekuan darah
Kontaminasi bakteri
Kematian sel
Luka memiliki beberapa karakter mekanik di antaranya:
1.Luka memiliki kekuatan yang kecil pada 2-3 minggu pertama
(fase inflamasi dan proliferasi)

2.Pada minggu ke-3, kekuatan luka meningkat karena adanya


remodelling
3.Luka memiliki 50% kekuatannya pada saat 6 minggu, dan
sisanya dalam beberapa minggu setelahnya
4.Kekuatan terus bertambah perlahan hingga 6-12 bulan
5.Kekuatan maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko,
2007)

2.2 Jenis luka


Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu :
2.2.1

Berdasarkan waktu penyembuhan luka


a. Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan proses
penyembuhan.
b. Luka kronis, yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses

2.2.2

penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.


Berdasarkan proses terjadinya
a. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang
tajam dan kerusakan sangat minimal. Misal, yang terjadi akibat
pembedahan.
b. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu
tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak,
perdarahan dan bengkak.
c. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan
benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda seperti
peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang
kecil.
e. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi jika kekuatan trauma melebihi
kekuatan regang jaringan.
f. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ
tubuh. Biasanya pada bagian awal masuk luka diameternya kecil,
tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan melebar (Samper ,2007;
libby, 2011).
g. Luka gigitan (Vulnus Marsom), yaitu luka yang ditimbulkan akibat
gigitan binatang seperti anjing, kucing, monyet, ular, serangga.

h. Luka Bakar (Combustio), merupakan kerusakan kulit tubuh yang


disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh air panas, radiasi,
listrik dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan jaringan bawah
kulit (Julia, 2000; Sudjatmiko, 2010).

2.2.3

Berdasarkan Derajat Kontaminasi


a. Luka bersih (Clean Wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam luka.
Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
c. Luka terkontaminasi (Contamined Wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.

2.3 Penutupan luka


Tujuan utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas kulit
sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan fungsi
(Monaco and Lawrence, 2003). Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3
kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan
pada luka (David, 2004).
2.3.1.1 Penutupan luka primer (Intensi Primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila luka
segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka dibuat secara

aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan penutupan dengan


baik seperti dengan penjahitan. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama,
jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal. Parutan
yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil (David, 2004).
2.3.1.2 Penutupan luka sekunder (Intensi Sekunder)
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan secara
alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel.
Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam
intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu cukup lama dan meninggalkan
parut yang kurang baik, terutama jika lukanya terbuka lebar (Mallefet and Dweck,
2008).
2.3.1.3 Penutupan luka primer tertunda (Intensi Tersier)
Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan

pada

luka

yang

terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas tegas
sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan
pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila
luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi
(debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit dan dibiarkan sembuh secara
primer. Cara ini disebut penyembuhan primer tertunda.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas
dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and Evans, 2004).

Gambar 1. Macam-macam proses penutupan luka

2.4 Fase penyembuhan luka


Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat
luka. Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan
luka terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler
yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel
mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya
platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka
(clot) dan juga mengeluarkan substansi vasokonstriktor yang mengakibatkan
pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel
yang akan menutup pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit,
dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris
(local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator
: histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan
masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal
lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit
(terutama netrofil) ke ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan
fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian
akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding
dengan netrofil pada proses penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping
fagositosis adalah (MacKay and Miller, 2003):
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis

Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema, hangat
pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke4.

Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi (Mallefet and Dweck, 2008)


2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol adalah
proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai
kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin
yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka
(Diegelmann and Evans, 2004).
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan
menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat
besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan
menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses
rekonstruksi jaringan.

Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas
sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah
terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam
daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan
beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan
proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan baru (Mallefet and
Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan
baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh
fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga
fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel
dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut
sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas
sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses
fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003):
a.

Proliferasi

b.

Migrasi

c.

Deposit jaringan matriks

d.

Kontraksi luka

Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka,


mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses penyembuhan luka.
Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat
(preparat steroid) mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya
ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka
merupakan suatu respons untuk memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di
daerah luka, karena biasanya pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan
turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan
proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet
dan makrofag (growth factors).

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan


keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk
barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast,
pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan
mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan
baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi
myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan.
Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan
dengan defek luka minimal (David, 2004; Monaco and Lawrence, 2003).

Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)


3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai
kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah menyempurnakan
terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan
berkualitas. Fibroblast sudah mulai meninggalkan jaringan grunalasi, warna
kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10
setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan

10

dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen)
yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih
matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan
terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang
berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan
kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome
atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing
individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet and Dweck, 2008;
Schwartz and Neumeister, 2006).

Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)

11

Gambar 5. Tahapan penyembuhan luka. Pada individu sehat, penyembuhan


berlangsung secara berurutan melalui tiga fase yang saling tumpang tindih: (1)
fase inflamasi, (2) fase proliferatif, dan (3) fase remodelling. Stress dapat
mempengaruhi perkembangan melalui tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh
dan beberapa neuroendokrin. Review saat ini berfokus pada peran interaktif
glukokortikoid dan sitokin (misalnya IL-8, IL-1, IL-1, IL-6, TNF-, dan IL-10).
Namun, sitokin tambahan, kemokin, dan faktor pertumbuhan yang penting untuk
penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2
(CCL2), granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), protein
chemotactic monosit-1 (MCP-1), makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -l),
faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-
(TNF-), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan plateletderived (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)

2.5 Penyembuhan Luka di Jaringan Tertentu

12

2.5.1

Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait dan

overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal pertama yang
terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui peran sel-sel
inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah neutrofil. Sel-sel inflamasi
akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24 jam pertama setelah cedera.
Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis segera setelah menginfiltrasi luka dan
kemudian mengeluarkan sitokin selama proses apoptosis itu, dimana sitokinsitokin tersebut berperan dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju
jaringan luka 2 hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru. Proses
reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka terbentuk. Keratinosit
dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed pada permukaan antara dermis
luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini difasilitasi oleh produksi protease spesifik
seperti kolagenase dari sel epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler.
Angiogenesis masiv akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan
nutrien jaringan untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast
akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu
menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang
diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan diferensiasi sel
epitelial memperbaiki integritas barier epitel.
Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis miofibroblas,
sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi involusi bertahap dari
jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit (Modero and Khosrotehrani, 2010).

2.5.2

Fase Penyembuhan Pada Tulang


Penyembuhan fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang

komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan bentuk
tulang.

13

Proses penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan


didominasi oleh fase pembentukan formasi tulang. Selama fase penyembuhan,
kalus eksternal terbatas pada kapsula fibrosa yang tersusun oleh jaringan granulasi
yang tidak beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut ditandai invasi invasi sel
mesenkimal yang berdiferensiasi menjadi kondrosit untuk pembentukan tulang
rawan dan osteoblast untuk pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan
hematoma selanjutnya akan digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe
I akan meningkat sampai 5 hari setelah fraktur, tetapi kolagen tipe III adalah yang
dominan dalam menyusun jaringan.
Fase reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang
intramembran dari regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi pembuluh
darah dan pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya biasa ditemukan
hari 14 setelah fraktur.
Fase remodelling ditandai terbentuknya formasi endochondral trabekular
yang dihubungkan dengan osteoblast dan TRAP-positive settlement pada rongga
sumsum tulang, penyatuan fragmen dan regenerasi celah sumsum tulang. Hal ini
sesuai dengan data percobaan dari model percobaan fraktur pada kelinci yang
menunjukkan

peningkatan

jumlah

tulang

trabekular

dengan

penyusun

dominannya kolagen tipe I, sedang kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan
didaerah puasat dari trabekula. Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar
(Coulibaly et al, 2010).

2.6 Gangguan Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan
luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan

14

sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang

akan

mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ, dan
kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat
seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan
nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

2.7 Perawatan Luka


Hasil penelitian tentang perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan luka
yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Laju epitelisasi luka yang
ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih
cepat pada suasana lembab daripada kering. Perawatan luka lembab tidak
meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis
balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering.
Lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan
melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka
dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan
rangsangan bagi perkembangan balutan lembab.
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berdasarkan kebiasaan
melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan
antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja, karena efek toksinnya terhadap sel
sehat. Untuk membersihkan luka hanya diperlukan normal saline. Citotoxic agent
seperti povidine iodine, dan asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan
untuk membersihkan luka, karena dapat menghambat penyembuhan dan
mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat
dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dengan tidak
terlalu banyak manipulasi gerakan. Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan
dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan

15

sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga
normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia, 2000):
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien

2.8 Komplikasi Penyembuhan Luka


2.8.1 Tetanus
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukkan diri dengan
gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotosin spesifik dari kuman anaerob Clostridium tetani.
Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi luka, baik luka besar maupun kecil, luka
nyata maupun luka tersembunyi. Jenis luka yang mengundang tetanus adalah
luka-luka

seperti Vulnus

laceratum (luka

robek), Vulnus

punctum (luka

tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi,
luka tali pusat.
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis
kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan
dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi
eksotoksin antara lain neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah
yang menimbulkan gejala gejala penyakit tetanus.
Istilah tetanus prone wound yaitu luka yang cenderung menyebabkan
penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka
dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic,
luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka
superfisial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang
di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical desinfektansia
atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan dengan

16

pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit
dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena, operasi bedah pada
saluran cerna mulai dari mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa
inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 12 hari, akan
tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Bertambah
pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang ditimbulkannya .
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah
diserangnya. Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka
itu akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan
perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan perawatan
intensif yang sudah lengkap.
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat
perhatian yang utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara
benar dan tepat.
c. Mengobati

penderita

tetanus

dengan

perawatan

intensif

secara

multidisipliner.

A. Tanda tanda dan gejala gejala klinis


Gejala pertama biasanya rasa sakit pada luka, diikuti trismus (kaku rahang,
sukar membuka mulut lebar lebar), rhisus sardonicus (wajah setan). Kemudian
diikuti kaku buduk, kaku otot perut, gaya berjalan khas seperti robot, sukar
menelan, dan laringospasme. Pada keadaan yang lebih berat terjadi epistothonus
(posisi cephalic tarsal), di mana pada saat kejang badan penderita melengkung dan
bila ditelentangkan hanya kepada dan bagian tarsa kaki saja yang menyentuh
dasar tempat berbaring.

17

Dapat terjadi spasme diafragma dan otot otot pernapasan lainnya. Pada
saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga
subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.

B. Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi
stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.

18

Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
Stadium 1

trisnus

Stadium 2

opisthotonus

Stadium 3

kejang rangsang

Stadium 4

kejang spontan

C. Prinsip prinsip Umum Profilaksis


1.Pertimbangan individual penderita.
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis
terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat
imunisasi.
2.Debridemen.
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda
asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
3.Imunisasi aktif.
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis
sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut.
DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada
usia 2 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara
umur 5 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
4.Tetanus Toksoid.
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3
bulan berturut turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah
suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian
booster di atas.

19

Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
Sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
5.Imunisasi Pasif.
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)
maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan
nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM
(setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM.
Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya
pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status
imunisasi.Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan
sekali kali secara IV.

6.Tindakan profilaksis
Mendapat IA yang lengkap
Belum
Jenis Luka

sebagian

Ringan, bersih

Mulai

IA

melengkapi

atau 1

tahun
atauIA

toks. 0,5 cc hingga

20

5
5 10 tahun

> 10 tahun

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

lengkap
Berat,

bersih,

atau cenderung ATS 1500 IU


tetanus

ATS 1500 IU

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Cenderung
tetanus,
debrimen

ATS 1500 IU

terlambat,m

Toks. 0,5 cc

atau

tidak Hingga

bersih

ATS 1500 IU
lengkap

ABT

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

Toks. 0,5 cc

ABT

ABT

Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak anak dosis ATS

dosis dewasa

IA

Imunisasi aktif (dengan toksoid)

Toks

Toksoid (vaksin serap tetanus)

ABT

antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

D. Penatalaksanaan Tetanus
Terdiri atas

1.

Pemberian antitoksin tetanus

2.

Penatalaksanaan luka

3.

Pemberian antibiotika

4.

Penanggulangan kejang

5.

Perawatan penunjang

6.

Pencegahan komplikasi

21

1. Pemberian antitoksin tetanus.


Antitoksin serum kuda (ATS) diberikan bila human antitoksin tidak ada,
dosisnya untuk profilaksis 1500 3000 unit bagi orang dewasa, anak anak
sesuai umur.
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah
sebesar 10.000 20.000 IU IM dan untuk anak anak sebesar 10.000 IU IM,
untuk hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU 6000 IU IM dan bagi
anak anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik selama 2
5 hari berturut turut.
2. Penatalaksanaan luka.
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam
setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci
dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.
Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
3. Pemberian antibiotika.
Obat pilihannya adalah Penisilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak anak
adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Bila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis
pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam 4
dosis.
Pengobatan

dengan

antibiotika

ditujukan

untuk

bentuk

vegetatif clostridium tetani, jadi sebagai pengobatan radikal, yaitu untuk


membunuh kuman tetanus yang masih ada dalam tubuh, sehingga tidak ada lagi
sumber eksotoksin.
ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan dengan
susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf pusat akan
menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak dapat

22

menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka sumbernya


yaitu kuman clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan antibiotik.
4. Penanggulangan Kejang.
Dahulu dilakukan isolasi karena suara dan cahaya dapat menimbulkan
serangan kejang. Saat ini prinsip isolasi sudah ditinggalkan, karena dengan
pemberian anti kejang yang memadai maka kejang dapat dicegah.
Jenis Obat

Dosis Anak anak

Dosis Orang Dewasa

Mula mula 60 100 mg IM,


Fenobarbital

kemudian 6 x 30 mg per oral.

(Luminal)

Maksimum 200 mg/hari

Klorpromazin

4 6 mg/kg BB/hari, mula mula

(Largactil)

IM, kemudian per oral

3 x 100 mg IM

3 x 25 mg IM

Mula mula 0,5 1 mg/kg BB


IM, kemudian per oral 1,5 4
Diazepam

mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6

(Valium)

dosis

3 x 10 mg IM
3 x 500 100 mg per

Klorhidrat

rectal

Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant)
ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang
perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang
ahli anestesi.
2.8.2 Keloid Dan Jaringan Parut Hipertropik
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya
menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.

23

Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral
wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid,
sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan
dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka
(Sjamsuhidajat and Jong, 1997).

2.9 Luka Kronik


2.9.1 Definisi
Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui tahapan
penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3 bulan (Broderick,
2009). Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik
serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik pasien sehat maupun mereka
yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus
dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena,
ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka operasi lama. (Sudjatmiko, 2010)
2.9.2 Patologi Luka Kronik
Proses patologi dari luka kronik antara lain (Broderick, 2009):
a. Pemanjangan fase inflamasi
b. Penuaan sel (sel tua yang kurang viabel), dimana terjadi perubahan
kemampuan sel untuk berproliferasi.
c. Kekurangan reseptor faktor pertumbuhan (growth factor)
d. Tidak terdapat perdarahan awal yang dapat memicu kaskade penyembuhan
luka

24

e.

Peningkatan kadar protease (enzim yang memakan protein).

2.9.3Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki
peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus dekubitus.
Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan kuku, dan sepatu
khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk perawatan kaki diabetik akibat
neuropati diabetik. Penggunaan verban kompresi dan stoking penting dan efektif
dalam mengobati ulkus vena. (Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan
jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan
perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010) Fokus
utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir adalah
mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga dapat menciptakan
lingkungan yang lembab untuk membantu penyembuhan luka.

Winter

menunjukkan pada model hewan bahwa proses reepitelialisasi luka akut berjalan
1,5 kali lebih cepat jika luka ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek
bermakna dalam studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun
penerapannya masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit
dan dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan dalam
teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang dapat mengobati
kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali penutupan luka dengan bahan
yang mengandung asam hyaluronat, yang secara khusus membantu penyembuhan
luka. (Harding and Morris, 2002)
e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal

25

Fungsi normal faktor pertumbuhan adalah untuk menarik bermacam tipe


sel ke daerah luka, menstimulasi proliferasi selular, memacu angiogenesis, serta
mengatur sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler. Penggunaan faktor
pertumbuhan secara topikal belum memiliki hasil dramatis seperti yang
diaharapkan sebelumnya. Hal ini tidak mengejutkan mengingat proses
penyembuhan luka sangatlah kompleks. Sampai saat ini hanya platelet derived
growth factor yang telah diijinkan penggunaannya untuk mengobati ulkus kaki
yang tidak terinfeksi samai dengan ukuran 5 cm 2 pada penderita kaki diabetik
(becaplermin, Regranex). Penelitian telah menunjukkan bahwa platelet derived
growth factor juga memiliki manfaat dalam mengobati ulkus dekubitus. Meski
belum berlisensi, granulocyte colony stimulating factor telah diteliti bermanfaat
dalam mengobati ulkus kaki yang terinfeksi pada pasien diabetes, mempercepat
penyembuhan selulitis serta menurunkan kebutuhan penggunaan antibiotik. Selain
itu, fibroblast growth factor dinilai dapat mengobati ulkus decubitus dan
epidermal growth factor dapat digunakan pada ulkus vena di kaki. Di masa yang
akan datang faktor pertumbuhan dapat diberikan secara bertahap, dalam
kombinasi, atau pada interval waktu tertentu agar semakin mendekati proses
penyembuhan luka yang normal. Keragaman faktor pertumbuhan dan jenis luka
kronis menunjukkan bahwa faktor-faktor tersebut memiliki potensi sebagai
pengobatan baru jika kebutuhan individual pasien dapat dikenali.
f. Penanganan faktor lokal dan sistemik yang dapat menghambat penyembuhan
luka
Misalnya gangguan vaskular, edema, diabetes, malnutrisi, tekanan lokal,
dan gravitasi.
g. Penggunaan Vacuum Assisted Closure (VAC)
VAC adalah suatu pendekatan noninvasive yang bertujuan membantu
penutupan luka melalui pemberian secara topical tekanan subatmosferik atau
tekanan negatif ke permukaan luka. Mekanisme kerjanya adalah mengurangi
eksudat,

merangsang

angiogenesis,

mengurangi

kolonisasi

bakteri

dan

menngkatkan pembentukan jaringan granulasi. Keuntungan menggunakan VAC

26

adalah kita dapat menutup luka dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil
dapat epitelisasi sendiri. (Harding and Morris, 2002)

27

BAB III
KESIMPULAN
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan waktu penyembuhan luka, proses terjadinya,
dan derajat kontaminasi. Sementara itu proses penutupan pada luka terbagi
menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta
perlakuan pada luka, yaitu primer, sekunder, dan tersier
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat
luka. Fase hemostasis dan inflamasi ditandai dengan adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak yang bertujuan
menghentikan perdarahan dan sterilisasi. Selanjutnya pada fase proliferasi,
fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Selanjutnya fase remodelling
yang bertujuan menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas.
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan
luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi. Perawatan luka sebaiknya dijaga pada kondisi
lingkungan

yang

lembab

karena

mempercepat

epitelisasi.

Komplikasi

penyembuhan luka di antaranya keloid dan jaringan parut hipertrofik.


Luka kronik merupakan luka yang tidak menyembuh melalui tahapan
penyembuhan luka yang normal, dalam waktu kurang lebih 3 bulan (Broderick,

28

2009) Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik
serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik pasien sehat maupun mereka
yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus
dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena,
ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka operasi lama.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Broderick, Nancy. Understanding Chrinic Wound Healing. Vol 34, No.10;
2009.
2. Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah.
Jakarta : EGC; 2000.
3. David LD. Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 6-8; 2004.
4. Diegelmann RF and Evans MC. Wound healing: an overview of acute, fibrotic
and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9; 2004.
5. Harding, KG; Morris, G K patel. Science, medicine, and the future Healing
chronic wounds. BMJ Vol 324; 2002.
6. Julia S. Garner. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections
Hospital Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for
Disease Control; 2000.
7. Libby Swope Wiersema. List of Surgical Wound Classifications Last; 2011.
8. MacKay D and Miller AL. Nutritional support for wound healing. Alt med rev.
8(4): 360-1; 2003.
9. Mallefet P and Dweck A.C. Mechanisms involved in wound healing. Biomed
Scient. 609-15; 2008.
10. Mangram AJ, Horan TC, et al. Guideline for prevention of surgical site
infection. Infect Control Hosp Epidemiol ;20:247-80; 1999.
11. Metcalfe, Anthony D and Ferguson, Mark W.J. Tissue engineering of
replacement skin: the crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic
development, stemcells and regeneration. J. R. Soc. Interface vol 4, 413-437;
2007.
12. Monaco JL and Lawrence WT. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30: 1-12; 2003.
13. Samper Gimenez. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc ESP
Oftamol; 82: 645-648; 2007.
14. Schwartz BF and Neumeister M. The mechanics of wound healing. In Future
Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9; 2006.
15. Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta: EGC. 3: 72-81; 1997.

30

16. Sudjatmiko, Gentur. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi.


Jakarta: Yayasan Khasanah Kebajikan; 2010.

31

Anda mungkin juga menyukai