PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari
timbulnya luka antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon
stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga
kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi
dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan
bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal
tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat
terhambat akibat banyak faktor, baik yang bersifat lokal maupun sistemik
(Monaco and Lawrence, 2003).
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis dan
subkutis, itu suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada epidermis
dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu terjadi
pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak
ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk menggabungkan
bagian luka dan mengembalikan fungsinya.
1.2 Tujuan
1.Memahami teori tentang proses penyembuhan luka
2.Memahami jenis-jenis luka, fase-fase penyembuhan luka, gangguan-gangguan
selama proses penyembuhan luka, dan proses luka yang kronik
1.3 Manfaat
1.Dapat mengaplikasikan teori penyembuhan luka pada klinis
2.Dapat melakukan manajemen luka dengan baik dan legeartis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
1.
2.
3.
4.
2.2.2
2.2.3
pada
luka
yang
terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas tegas
sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan
pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila
luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi
(debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit dan dibiarkan sembuh secara
primer. Cara ini disebut penyembuhan primer tertunda.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan luas
dibandingkan dengan penyembuhan primer (Diegelmann and Evans, 2004).
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta
terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai
pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya eritema, hangat
pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke4.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas
sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah
terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam
daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan
beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan
proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan baru (Mallefet and
Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan
baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh
fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga
fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel
dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut
sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan aktifitas
sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses
fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003):
a.
Proliferasi
b.
Migrasi
c.
d.
Kontraksi luka
10
dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen)
yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih
matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan
terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang
berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka.
Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan
kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome
atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing
individu, lokasi, serta luasnya luka (David, 2004; Mallefet and Dweck, 2008;
Schwartz and Neumeister, 2006).
11
12
2.5.1
Kulit
Fase penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait dan
overlap: inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal pertama yang
terjadi setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui peran sel-sel
inflamasi. Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah neutrofil. Sel-sel inflamasi
akan secara masiv menginfiltrasi luka pada 24 jam pertama setelah cedera.
Neutrofil akan memasuki tahap apoptosis segera setelah menginfiltrasi luka dan
kemudian mengeluarkan sitokin selama proses apoptosis itu, dimana sitokinsitokin tersebut berperan dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju
jaringan luka 2 hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru. Proses
reepitelisasi ini dimulai beberapa jam setelah formasi luka terbentuk. Keratinosit
dari tepi luka akan bermigrasi melintasi wound bed pada permukaan antara dermis
luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini difasilitasi oleh produksi protease spesifik
seperti kolagenase dari sel epidermal untuk mendegradasi matrix ekstraseluler.
Angiogenesis masiv akan terjadi seiring kebutuhan akan suplai oksigen dan
nutrien jaringan untuk penyembuhan luka. Kemudian beberapa dari fibroblast
akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas. Sel kontraktile ini akan membantu
menyambung jarak antar tepi luka. Disaat bersamaan growth factors yang
diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan proliferasi dan diferensiasi sel
epitelial memperbaiki integritas barier epitel.
Fase terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis miofibroblas,
sel endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi involusi bertahap dari
jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit (Modero and Khosrotehrani, 2010).
2.5.2
komplek dan proses regenerasi unik dalam mengembalikan fungsi dan bentuk
tulang.
13
peningkatan
jumlah
tulang
trabekular
dengan
penyusun
dominannya kolagen tipe I, sedang kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan
didaerah puasat dari trabekula. Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar
(Coulibaly et al, 2010).
14
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang
akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ, dan
kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat
seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan
nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
15
sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga
normal dan tepi luka menyatu.
Adapun tujuan dari perawatan luka antara lain (Dudley, 2000; Julia, 2000):
1. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka
2. Absorbsi drainase
3. Menekan dan imobilisasi luka
4. Mencegah luka dan jaringan epitel baru dari cedera mekanis
5. Mencegah luka dari kontaminasi bakteri
6. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
7. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
seperti Vulnus
laceratum (luka
robek), Vulnus
punctum (luka
tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi,
luka tali pusat.
Diyakini bahwa Penyakit tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu sejenis
kuman gram positif yang dalam keadaan biasa berada dalam bentuk spora dan
dalam suasana anaerob berubah menjadi bentuk vegetatif yang memproduksi
eksotoksin antara lain neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin. Toksin inilah
yang menimbulkan gejala gejala penyakit tetanus.
Istilah tetanus prone wound yaitu luka yang cenderung menyebabkan
penyakit tetanus antara lain luka dengan patah tulang terbuka, luka tembus, luka
dengan berisi benda asing, terutama pecahan kayu, luka dengan infeksi pyogenic,
luka dengan kerusakan jaringan yang luas, luka bakar luas grade II dan III, luka
superfisial yang nyata berkontaminasi dengan tanah atau pupuk kotoran binatang
di mana luka itu terlambat lebih dari 4 jam baru mendapat topical desinfektansia
atau pembersihan secara bedah, abortus dengan septis, melahirkan dengan
16
pertolongan persalinan yang tidak adekuat, pemotongan dan perawatan tali pusat
tidak adekuat, gigitan binatang dengan banyak jaringan nekrotik, ulserasi kulit
dengan jaringan nekrotik, segala macam tipe gangrena, operasi bedah pada
saluran cerna mulai dari mulut sampai anus, otitis media puralenta. Masa
inkubasi penyakit tetanus tidak selalu sama tapi pada umumnya 8 12 hari, akan
tetapi dapat juga 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan. Bertambah
pendek masa inkubasi bertambah berat penyakit yang ditimbulkannya .
Penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan pada orang yang telah
diserangnya. Angka kematian penderita tetanus sangat tinggi sekitar 50 %, angka
itu akan bertambah besar pada rumah sakit yang belum lengkap peralatan
perawatan intensifnya, mungkin lebih rendah pada rumah sakit dengan perawatan
intensif yang sudah lengkap.
Oleh sebab itu pencegahan penyakit ini sangat penting dan perlu mendapat
perhatian yang utama. Usaha yang ditempuh mengatasi penyakit ini adalah :
a. Memberikan kekebalan aktif kepada semua orang
b. Melakukan tindakan profilaksis tetanus terhadap orang yang luka secara
benar dan tepat.
c. Mengobati
penderita
tetanus
dengan
perawatan
intensif
secara
multidisipliner.
17
Dapat terjadi spasme diafragma dan otot otot pernapasan lainnya. Pada
saat kejang penderita tetap dalam keadaan sadar. Suhu tubuh normal hingga
subfebris. Sekujur tubuh berkeringat.
B. Stadium Tetanus
Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi
stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.
Stadium klinis pada anak. Terdiri dari :
Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang,
dan belum ada kejang spontan.
Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan
belum ada kejang spontan.
18
Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan
kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
Stadium 1
trisnus
Stadium 2
opisthotonus
Stadium 3
kejang rangsang
Stadium 4
kejang spontan
19
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
Sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.
5.Imunisasi Pasif.
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)
maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan
nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM
(setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM.
Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya
pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status
imunisasi.Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan
sekali kali secara IV.
6.Tindakan profilaksis
Mendapat IA yang lengkap
Belum
Jenis Luka
sebagian
Ringan, bersih
Mulai
IA
melengkapi
atau 1
tahun
atauIA
20
5
5 10 tahun
> 10 tahun
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
lengkap
Berat,
bersih,
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Cenderung
tetanus,
debrimen
ATS 1500 IU
terlambat,m
Toks. 0,5 cc
atau
tidak Hingga
bersih
ATS 1500 IU
lengkap
ABT
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
Toks. 0,5 cc
ABT
ABT
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU.
Pada anak anak dosis ATS
dosis dewasa
IA
Toks
ABT
D. Penatalaksanaan Tetanus
Terdiri atas
1.
2.
Penatalaksanaan luka
3.
Pemberian antibiotika
4.
Penanggulangan kejang
5.
Perawatan penunjang
6.
Pencegahan komplikasi
21
dengan
antibiotika
ditujukan
untuk
bentuk
22
(Luminal)
Klorpromazin
(Largactil)
3 x 100 mg IM
3 x 25 mg IM
(Valium)
dosis
3 x 10 mg IM
3 x 500 100 mg per
Klorhidrat
rectal
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle relaxant)
ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan di ruang
perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah pengawasan seorang
ahli anestesi.
2.8.2 Keloid Dan Jaringan Parut Hipertropik
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat kolagen
yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen disini teranyam
teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka, sebelumnya
menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi bedah.
23
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar satu
tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat predileksi
merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang, daerah rahang
bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang dilihat di bagian sentral
wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya dilakukan
penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan dan salep
madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah terjadinya keloid,
sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan bebat tekan dan
dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses penyembuhan luka
(Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
24
e.
2.9.3Penatalaksanaan
a. Perawatan Dasar
Perawatan yang baik dan penggunaan kasur anti dekubitus memiliki
peranan dalam mengurangi tekanan pada pasien dengan ulkus dekubitus.
Demikian pula debridemen kalus secara teratur, perawatan kuku, dan sepatu
khusus untuk mengurangi tekanan penting untuk perawatan kaki diabetik akibat
neuropati diabetik. Penggunaan verban kompresi dan stoking penting dan efektif
dalam mengobati ulkus vena. (Harding and Morris, 2002)
b. Debridement yang adekuat
Luka kronik umumnya memiliki banyak jaringan parut, debris, dan
jaringan nekrotik yang menghambat penyembuhan. (Sudjatmiko, 2010)
c. Penanganan infeksi
Pada luka kronik harus dicurigai adanya infeksi. Kultur jaringan dan
perhitungan kwantitatif sebaiknya dilakukan. (Sudjatmiko, 2010)
d. Penutupan luka yang baik
Desikasi merupakan faktor yang seringkali menyebabkan gangguan
penyembuhan luka dan epitelisasi pada luka kronik. (Sudjatmiko, 2010) Fokus
utama dari perawatan luka kronis dalam beberapa tahun terakhir adalah
mengembangkan metode penutupan luka yang baik sehingga dapat menciptakan
lingkungan yang lembab untuk membantu penyembuhan luka.
Winter
menunjukkan pada model hewan bahwa proses reepitelialisasi luka akut berjalan
1,5 kali lebih cepat jika luka ditutup. Penutupan luka belum menunjukkan efek
bermakna dalam studi klinis terhadap pasien dengan luka kronis, namun
penerapannya masih memiliki manfaat bagi pasien dengan mengurangi rasa sakit
dan dengan meningkatkan kenyamanan serta efektivitas biaya. Kemajuan dalam
teknologi penutupan luka belum dapat menemukan zat yang dapat mengobati
kelainan pada kaskade penyembuhan luka, kecuali penutupan luka dengan bahan
yang mengandung asam hyaluronat, yang secara khusus membantu penyembuhan
luka. (Harding and Morris, 2002)
e. Penggunaan faktor pertumbuhan topikal
25
merangsang
angiogenesis,
mengurangi
kolonisasi
bakteri
dan
26
adalah kita dapat menutup luka dengan lebih cepat, bahkan pada luka yang kecil
dapat epitelisasi sendiri. (Harding and Morris, 2002)
27
BAB III
KESIMPULAN
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan waktu penyembuhan luka, proses terjadinya,
dan derajat kontaminasi. Sementara itu proses penutupan pada luka terbagi
menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta
perlakuan pada luka, yaitu primer, sekunder, dan tersier
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat
luka. Fase hemostasis dan inflamasi ditandai dengan adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak yang bertujuan
menghentikan perdarahan dan sterilisasi. Selanjutnya pada fase proliferasi,
fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Selanjutnya fase remodelling
yang bertujuan menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas.
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan
luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi. Perawatan luka sebaiknya dijaga pada kondisi
lingkungan
yang
lembab
karena
mempercepat
epitelisasi.
Komplikasi
28
2009) Luka kronik dapat disebabkan oleh pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik
serta dapat mengenai semua kelompok umur, baik pasien sehat maupun mereka
yang memiliki beberapa penyakit penyerta. Contoh luka kronik antara lain: ulkus
dekubitalis, ulkus diabetik, luka yang mengalami desikasi lama, ulkus stasis vena,
ulkus radiasi, luka traumatik, atau luka operasi lama.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Broderick, Nancy. Understanding Chrinic Wound Healing. Vol 34, No.10;
2009.
2. Dudley HAF, Eckersley JRT, et al. Pedoman Tindakan Medik dan Bedah.
Jakarta : EGC; 2000.
3. David LD. Wound Closure Manual. Minnesota: Ethicon inc. pp: 6-8; 2004.
4. Diegelmann RF and Evans MC. Wound healing: an overview of acute, fibrotic
and delayed healing. Front in Biosci. 9:283-9; 2004.
5. Harding, KG; Morris, G K patel. Science, medicine, and the future Healing
chronic wounds. BMJ Vol 324; 2002.
6. Julia S. Garner. Guideline For Prevention of Surgical Wound Infections
Hospital Infections Program Centers for Infectious Diseases Center for
Disease Control; 2000.
7. Libby Swope Wiersema. List of Surgical Wound Classifications Last; 2011.
8. MacKay D and Miller AL. Nutritional support for wound healing. Alt med rev.
8(4): 360-1; 2003.
9. Mallefet P and Dweck A.C. Mechanisms involved in wound healing. Biomed
Scient. 609-15; 2008.
10. Mangram AJ, Horan TC, et al. Guideline for prevention of surgical site
infection. Infect Control Hosp Epidemiol ;20:247-80; 1999.
11. Metcalfe, Anthony D and Ferguson, Mark W.J. Tissue engineering of
replacement skin: the crossroads of biomaterials, wound healing, embryonic
development, stemcells and regeneration. J. R. Soc. Interface vol 4, 413-437;
2007.
12. Monaco JL and Lawrence WT. Acute wound healing: an overview. Clin
Plastic Surg. 30: 1-12; 2003.
13. Samper Gimenez. Orbital Penetrating Wound By A Bull Horn, Arch Soc ESP
Oftamol; 82: 645-648; 2007.
14. Schwartz BF and Neumeister M. The mechanics of wound healing. In Future
Direction in Surgery. Southern Illinois. pp: 78-9; 2006.
15. Sjamsuhidajat, R and Jong, W D. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi.
Jakarta: EGC. 3: 72-81; 1997.
30
31