Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
Agency (EPA) dan diluncurkannya Water Pollution Control Act di awal tahun
1970-an.
Pada awal tahun 1980-an PBB menetapkan tahun 1981-1990 sebagai
Dekade Air yang menunjukkan bahwa urusan air minum dan sanitasi telah diakui
penting oleh dunia. Mulai saat itu air minum dan sanitasi bukan lagi hanya urusan
negara saja, melainkan sudah menjadi tanggung jawab individu. Walaupun
Dekade Air telah lama berlalu, tetapi ternyata sanitasi tidak mendapat perhatian
oleh para pengambil keputusan di tingkat dunia. Dalam penetapan awal target
Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, sanitasi belum
menjadi target yang eksplisit tetapi hanya menjadi bagian dari target penanganan
permukiman kumuh. Melalui kampanye yang intensif dari berbagai aktivis air dan
sanitasi, diantara Water Sanitation, and Hygiene (WASH) Campaign, maka baru
pada Pertemuan Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002
sanitasi menjadi salah satu target utama bersama dengan air minum (Kelompok
Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
2.1.1. Pentingnya Sanitasi
Peran sanitasi terhadap peningkatan kualitas kesehatan masyarakat telah di
sepakati oleh semua pihak. Tingkat kematian bayi baru lahir sebagian terbesar
disebabkan oleh kualitas air dan sanitasi yang kurang memadai. Demikian pula
dengan tingginya kejadian diare di suatu lokasi banyak disebabkan oleh kurang
diperhatikannya kondisi sanitasi, demikian halnya yang terjadi di Desa Seuneubok
Benteng Kecamatan Banda Alam.
Secara global, WHO memperkirakan 1,8 juta penduduk meninggal setiap
tahun disebabkan diare. Sementara sekitar 5.500 anak meninggal setiap hari
disebabkan air dan makanan yang terkontaminasi. Tingkat kematian bayi daerah
kumuh di Indonesia mencapai 121 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001.
Diperkirakan kerugian secara ekonomi baik langsung maupun tidak
langsung dari kondisi sanitasi yang kurang memadai di Indonesia mencapai 2,4
persen dari total Produk Domestik Bruto tahun 2001 (sekitar Rp. 65 Triliun) atau
sekitar Rp. 180.000/kapita/tahun. Angka ini cukup besar jika dibandingkan
misalnya dengan dana yang disediakan untuk pendidikan yang hanya Rp. 15,34
Triliun per tahun (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
Suatu studi dampak sanitasi terhadap perekonomian dengan kasus Kota Yogya
dan Medan tahun 2000 menunjukkan angka yang relatif kecil. Besaran kerugian
mencapai Rp. 100 ribu/kapita/tahun di Yogya, dan Rp. 90 ribu/ kapita/tahun di
Medan. Jika sanitasi dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, maka tentu
saja ini juga berarti pertumbuhan ekonomi dapat terpengaruh. Secara empiris
beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sanitasi yang memadai merupakan
salah satu persyaratan pertumbuhan ekonomi.
Mungkin yang kurang disadari adalah bahwa penyediaan air minum dan
sanitasi dapat meningkatkan pendapatan secara langsung melalui pengurangan
pengeluaran untuk air minum dan sanitasi. Kondisi air minum dan sanitasi yang
memadai juga dapat mengurangi pengeluaran untuk penanganan kesehatan dan
obat-obatan akibat penyakit. Selain itu produktivitas juga meningkat dengan
berkurangnya jumlah hari sakit.
Secara umum Program Penyehatan Air bertujuan untuk meningkatkan
kualitas air untuk berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia untuk seluruh
penduduk baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan dan meningkatkan
kemauan politis dan komitmen nyata, target tersebut tidak akan tercapai.
Tantangan bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana agar keberhasilan
mempromosikan target air minum dan sanitasi di tingkat internasional dapat juga
menjangkau dan menyebar di seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) di
Indonesia (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
Pada saat ini 80 persen penduduk dunia (1,9 miliar) yang tidak mempunyai
akses terhadap sanitasi berada di pedesaan. Namun disadari bahwa pertambahan
penduduk terbesar akan berada diperkotaan khususnya di daerah permukiman
kumuh, maka perhatian terhadap daerah kumuh perkotaan sama pentingnya
dengan daerah pedesaan.
Sanitasi yang memadai diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia dan
lingkungan. Untuk itu, telah disepakati dalam Johannesburg Summit 2002 untuk
mengurangi setengah, pada tahun 2015, proporsi penduduk yang tidak
mempunyai akses ke sanitasi dasar, yang akan mencakup kegiatan pada setiap
tingkatan untuk:
1.
2.
3.
6.
memenuhi
persyaratan-persyaratan
kesehatan
sebagaimana
disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 407 Tahun 2002 tentang
Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, yaitu:
1. Syarat fisik, artinya air minum yang sehat adalah bening (tak berwarna), tidak
berasa dan tidak berbau.
2. Syarat bakteriologis, artinya air yang sehat harus bebas dari bakteri, terutama
bakteri pathogen.
3. Syarat kimia, artinya air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu
seperti sulfat, fluoride dan zat organik.
Sesuai dengan teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum yang
berasal dari mata air dan sumur adalah dapat diterima sebagai air yang sehat dan
memenuhi ketiga persyaratan di atas, asalkan tidak tercemar oleh kotoran-kotoran
manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau sumur air yang ada di
pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan agar tidak tercemar
dan dapat digunakan oleh penduduk (Permenkes RI, 2002).
2.1.5. Pembuangan Kotoran Manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh
tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan
dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO 2 sebagai
hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003).
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi
kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
pokok untuk sedini mungkin diatasi. Hal ini karena kotoran manusia (faeces)
adalah sumber penyebaran penyakit yang kompleks.
Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah:
1. Tidak boleh mengotori tanah permukaan.
2. Tidak boleh mengotori air permukaan.
3. Tidak boleh mengotori air dalam tanah.
4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau
perkembangan vector penyakit lainnya.
5. Jamban (WC) harus terlindung dari penglihatan orang lain, dan
6. Pembuatannya mudah dan murah (Entjang, 2000).
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah atau
sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka
pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya
pembuangan kotoran harus di tempat tertentu atau jamban yang sehat. Teknologi
pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah barang tentu berbeda
dengan teknologi jamban di daerah perkotaan, di daerah pedesaan disamping
harus memenuhi persyaratan jamban sehat juga harus didasarkan pada
sosiobudaya dan ekonomi masyarakat pedesaan (Notoatmodjo, 1997).
2.1.6. Pembuangan Air Limbah
Menurut Entjang (2000), air limbah (sewage) adalah excreta manusia, air
kotor dari dapur, kamar mandi dan WC, dari perusahaan-perusahaan termasuk
pula air kotor dari permukaan tanah dan air hujan. Sewage dapat dibedakan
menjadi: domestic sewage, yaitu air limbah yang berasal dari rumah-rumah, dan
industrial sewage yaitu air limbah yang berasal dari sisa-sisa proses industri.
Sebelumnya Kusnoputranto (1986), menjelaskan bahwa air limbah atau air
buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik yang berasal dari
rumah tangga, maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan, dan sebagainya.
Maksud pengaturan pembuangan air limbah rumah tangga adalah untuk mencegah
pengotoran sumber air rumah tangga, serta menghilangkan bau-bauan dan
pemandangan yang tidak sedap.
Secara garis besar air limbah yang berasal dari berbagai sumber dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic waste water), yaitu
air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah
ini terdiri dari exscreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar
mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.
2. Air buangan industri (industrial waste water), yang berasal dari berbagai jenis
industri akibat proses produksi. Zat-zat yang ada di dalamnya sangat
bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing
industri, antara lain nitrogen, sulfide, amoniak, lemak, garam-garam, zat
pewarna, mineral, logam berat, zat pelarut dan sebagainya.
3. Air buangan Kota Praja (munipical waste water), yaitu air buangan yang
berasal dari daerah: perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat
umum, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang
terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.
Proses pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Penyaringan (screening), yaitu penyaringan dengan mempergunakan jalinan
kawat atau lempeng logam yang berlubang-lubang untuk menangkap bendabenda yang terapung di atas permukaan air misalnya: kayu-kayu, kertas,
ataupun kain-kain rombeng.
b. Pengendapan (sedimentation), yaitu air limbah dialirkan ke dalam bak yang
besar (sandtraf) sehingga alirannya menjadi lambat yang menyebabkan
lumpur ataupun pasirnya mengendap.
pemukiman (domestic wastes), yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan padat
sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti sisasisa makanan, baik yang sudah dimasak maupun belum, bekas pembungkus
maupun kertas, plastik, daun dan sebagainya.
Entjang (2000), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sampah adalah
semua zat/benda yang sudah tidak terpakai lagi baik berasal dari rumah-rumah
maupun sisa-sisa proses industri. Lebih lanjut dikatakan bahwa sampah dapat
dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
1.
2.
Kesehatan
Lingkungan
(1992),
pengetahuan,
sikap,
kepercayaan,
nilai
tradisi,
pendidikan
dan
pendapatan/status ekonomi.
Penyakit itu merupakan hasil dari keadaan yang tidak seimbang antara
penyebab penyakit dan manusia.
b.
c.
Karakteristik dan sifat-sifat alami dari host dan agent secara langsung
akan saling berhubungan dan tergantung kepada sifat-sifat lingkungan
fisik, biologi, sosial dan ekonomi (Moeljohardjo, 1995).
Ryadi (1984), mengatakan bahwa kesehatan lingkungan itu merupakan
bagian dari dasar-dasar kesehatan masyarakat modern yang meliputi semua aspek
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, yang terikat dalam bermacammacam ekosistem dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilainilai kesehatan manusia (atau semua organisme) pada tingkat yang setinggitingginya dengan jalan memodifikasi tidak hanya faktor sosial dan lingkungan
fisiknya saja namun juga terhadap semua sifat-sifat dan kelakuan-kelakuan
lingkungan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenangan, kesehatan dan
keselamatan organisme hidup atau umat manusia.
2.1.10. Upaya Dalam Menjaga Kesehatan Lingkungan
Secara umum, lingkungan atau environment adalah tempat pemukiman
dengan segala sesuatunya di mana organisme-organisme hidup. Seringkali
lingkungan didefinisikan sebagai kumpulan dari kondisi eksternal dan
pengaruhnya terhadap kehidupan serta perkembangan suatu organisme, perilaku
stimulus atau rangsangan dari luar subjek tersebut. Respon tersebut dapat berupa
respon pasif ataupun respon aktif.
Menurut Blum (1994) dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni knowledge (pengetahuan), attitude (sikap),
practice (tindakan). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk dapat
berpengaruh terhadap suatu kejadian penyakit, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sikap adalah suatu keadaan mental atau kecenderungan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu tindakan atau lingkungannya, sikap yang muncul antara
individu terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman
serta latar belakang pendidikan, perilaku dalam bentuk practice berupa respons
terhadap segala bentuk kegiatan yang pernah diberikan. Pengetahuan dalam
bentuk practice (tindakan) atau dapat disebut dengan istilah matra psikomotor
yang biasanya berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik.
Menurut Kwik (1974) dalam Notoatmodjo (1993), mengatakan bahwa
perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan
dipelajari. Pada dasarnya bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan
tindakan saja, namun demikian tidak berarti bahwa perilaku tersebut hanya dapat
dilihat dari sikap dan tindakan saja. Sedangkan perilaku manusia adalah hasil
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dapat juga diartikan sebagai suatu
kegiatan yang dapat diamati secara langsung maupun dengan menggunakan alat.
Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2003), dari pandangan biologis
merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Jadi
perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk
kepentingan analisis perilaku perlu diketahui apa yang dikerjakan oleh organisme
tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Pada
dasarnya di alam ini perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tidak
bersyarat atau pembawaan, dan perilaku bersyarat yang diperoleh dari
pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses pendidikan. Perilaku tidak
bersyarat pada umumnya berlatarbelakang genetik/keturunan.
Menurut Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (1993), beberapa faktor
yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap kesehatan antara lain faktor
pendukung, yaitu karakteristik individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan
dan pendapatan, pengetahuan dan sikap, faktor pemungkin yaitu ketersediaan
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, sarana kesehatan lingkungan, dan
faktor penguat yaitu kebijakan, pengawasan dan pemantauan.
Perilaku masyarakat merupakan respons masyarakat terhadap stimulus yang
berupa materi atau objek dan selanjutnya setelah objek diketahui dan disadari
sepenuhnya akan menimbulkan respons yang lebih jauh lagi, yang berupa
tindakan (action) terhadap objek tadi. Namun di dalam kenyataannya stimulus
yang diterima oleh objek dapat langsung menimbulkan tindakan Artinya
seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu
terhadap makna stimulus yang diterimanya. Jadi perilaku masyarakat pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada masyarakat itu sendiri.
Di dalam berperilaku, masyarakat diperlukan proses belajar sehingga akan
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu atau mayarakat. Sanitasi
mempunyai aspek sosial ekonomi dan budaya yang sangat kompleks dalam
Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini
ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda
atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang
tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang
tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk
mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya.
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang paling
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) dan pengetahuan
dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan
pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang di dalamnya
mencakup 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.
3. Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (Analysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi suatu objek terhadap komponen-komponennya.
5. Sintesis (Syntesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.
Sikap
Brigham dalam Wachidanijah, (2002) memberikan gambaran bahwa
Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh
setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar
tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan
banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap
stimulus tersebut.
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak
dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.
Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari
2.
3.
4.
maju,
adil
dan
makmur,
serta
memungkinkan
masyarakat
utuh, terpadu dan dinamis. Dengan demikian yang dimaksud pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 ( pasal 1 ayat 2 ).
Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari
semua satuan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional (pasal 1 ayat 3 ). Hal ini
perlu diikuti dengan jenis pendidikan yang dikelompokkan sesuai dan kekhususan
baik informal maupun formal.
Pendidikan formal adalah suatu proses penyampaian bahan/materi
pendidikan oleh pendidik kepada sasaran didik guna mencapai perubahan tingkah
laku (Notoatmodjo, 1993). Tingkat pendidikan formal merupakan dasar
pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuan
untuk menyerap dan menerima infomasi, sehingga pengetahuan dan wawasannya
lebih luas. Selain itu tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang
melatarbelakangi pengetahuan, yang selanjutnya akan mempengaruhi prilaku
seseorang.
Pendidikan secara umum adalah sama, yang membedakan batasan
pendidikan menjadi spesifik adalah materi pendidikannya. Tingkat pendidikan
masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan memiliki peranan penting dalam
proses penyehatan lingkungan serta proses perubahan sikap, menuju hidup
berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan hidup yang sehat.
Seseorang yang ingin hidup maju dan berkembang dalam usahanya haruslah
memiliki pengetahuan, ketrampilan serta sikap rasional yang diperolah melalui
pendidikan. Tanpa pendidikan, seseorang akan sulit untuk maju dan bersaing
dengan msyarakat sekitarnya, serta sulit menerima dan menyesuaikan diri dengan
perubahan dan tidak mempu memantau lebih jauh kedepan. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, semakin rasional orang itu dalam memberikan tanggapan
terhadap tantangan yang ada.
Hal ini dikatakan Husin (1993) bahwa dengan pendidikan formal yang
terbatas orang kurang mampu berfikir kritis, tidak mempunyai tujuan dan masa
depan yang baik, memiliki daya abstraksi yang terbatas, serta sikap mental yang
terikat oleh sikap kesederhanaan. Selanjutnya menambahkan bahwa secara
rasional ada kecendrungan bahwa orang yang memiliki pendidikan yang memadai
lebih cepat menerima ide baru melalui berbagai media yang ada serta dapat
beradaptasi dengan perkembangan yang timbul di tengah masyarakat. Orang yang
berpendidikan juga tidak akan tertinggal oleh perkembangan informasi yang
semakin melaju dengan perkembangan zaman.
2.3.2
Pendapatan.
Pendapatan yang dimaksud disini adalah jumlah penghasilan bersih dari
kepala keluarga yang merupakan penerimaan kotor rumah tangga dari berbagai
incame per bulan dikurangi dengan biaya-biaya riil. Bagi kepala keluarga yang
berstatus pegawai, disamping gaji yang diperoleh setiap bulan, juga termasuk
pendapatan yang diperoleh melalui usaha-usaha lainnya.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan masyarakat
diperlukan adanya dana, yang tentunya dapat bersumber dari pemerintah dan
masyarakat. Tingginya biaya kesehatan akan menjadi beban berat bagi
pemerintah, sehingga perlu adanya bantuan dan partisipasi masyarakat, terutama
perkotaan.
Masyarakat
yang
tergolong
dalam
kelompok
Budaya
Manusia sebagai makhluk hidup, dalam melakukan aktivitas kehidupan
Aktivitas sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih
dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Bentuk-bentuk aktivitas sosial yang
dilakukan oleh individu, dapat berupa organisasi formal, organisasi non formal
maupun tanpa suatu organisasi apa pun. Namun semua bentuk aktivitas sosial
tersebut, merupakan suatu gambaran dari interaksi sosial individu dengan
lingkungan sekitarnya.
Aktivitas sosial individu dipengaruhi oleh aspek sosial budaya yang dapat
mempengaruhi status kesehatan antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial
ekonomi. Selanjutnya Notoatmodjo (2005), mengatakan model-model aktivitas
sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat desa adalah aktivitas sosial tanpa
organisasi antara lain dapat berupa, perkumpulan desa, acara keagamaan, arisan
perkumpulan suku, pesta adat perkawinan, berjualan, bersawah, berkebun,
sedangkan aktivitas sosial yang organisasi non formal adalah seperti PKK dan
karang taruna.
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk
mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis
manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju.
Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohonpohon atau gua-gua. Hidupnya bergantung dengan alam. Alamlah yang
mengendalikan manusia.