Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini menjelaskan mengenai sanitasi, sarana sanitasi, kesehatan


lingkungan dan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) serta karakteristik
masyarakat dalam pengelolaan sanitasi dasar.
2.1.Sanitasi Dasar
Pernyataan Mahatma Gandhi mewakili akan arti pentingnya sanitasi, yaitu:
Sanitation is more importance than independence. Kesadaran pentingnya
sanitasi di masyarakat modern dimulai dengan revolusi sanitasi pada abad 19
di London, tepatnya tahun 1852, ketika Metropolitan Water Act mensyaratkan
penyediaan air minum melalui proses penyaringan (filterisasi). Setelah itu,
John Snow membuktikan bahwa dengan menghentikan penggunaan pompa
air sungai Thames di Broad Street, maka epidemik kolera di London tahun
1855 akan reda (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
Menurut Kusnoputranto (1986), sanitasi lingkungan (Environmental
sanitary) sebagai usaha pengendalian dari semua factor-faktor lingkungan fisik
manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang
merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.
Kesadaran pentingnya sanitasi baru bermula pada pertengahan abad 19.
Walaupun kesadaran tersebut tidak langsung disertai dengan langkah nyata.
Sebagai ilustrasi, di Amerika Serikat, pemerintah federal baru menyediakan dana
pendamping bagi kegiatan sanitasi setelah era tahun 1950-an. Namun kegiatan
sanitasi baru berkembang setelah dibentuknya institusi Environmental Protection

Universitas Sumatera Utara

Agency (EPA) dan diluncurkannya Water Pollution Control Act di awal tahun
1970-an.
Pada awal tahun 1980-an PBB menetapkan tahun 1981-1990 sebagai
Dekade Air yang menunjukkan bahwa urusan air minum dan sanitasi telah diakui
penting oleh dunia. Mulai saat itu air minum dan sanitasi bukan lagi hanya urusan
negara saja, melainkan sudah menjadi tanggung jawab individu. Walaupun
Dekade Air telah lama berlalu, tetapi ternyata sanitasi tidak mendapat perhatian
oleh para pengambil keputusan di tingkat dunia. Dalam penetapan awal target
Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2000, sanitasi belum
menjadi target yang eksplisit tetapi hanya menjadi bagian dari target penanganan
permukiman kumuh. Melalui kampanye yang intensif dari berbagai aktivis air dan
sanitasi, diantara Water Sanitation, and Hygiene (WASH) Campaign, maka baru
pada Pertemuan Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002
sanitasi menjadi salah satu target utama bersama dengan air minum (Kelompok
Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
2.1.1. Pentingnya Sanitasi
Peran sanitasi terhadap peningkatan kualitas kesehatan masyarakat telah di
sepakati oleh semua pihak. Tingkat kematian bayi baru lahir sebagian terbesar
disebabkan oleh kualitas air dan sanitasi yang kurang memadai. Demikian pula
dengan tingginya kejadian diare di suatu lokasi banyak disebabkan oleh kurang
diperhatikannya kondisi sanitasi, demikian halnya yang terjadi di Desa Seuneubok
Benteng Kecamatan Banda Alam.
Secara global, WHO memperkirakan 1,8 juta penduduk meninggal setiap
tahun disebabkan diare. Sementara sekitar 5.500 anak meninggal setiap hari

Universitas Sumatera Utara

disebabkan air dan makanan yang terkontaminasi. Tingkat kematian bayi daerah
kumuh di Indonesia mencapai 121 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001.
Diperkirakan kerugian secara ekonomi baik langsung maupun tidak
langsung dari kondisi sanitasi yang kurang memadai di Indonesia mencapai 2,4
persen dari total Produk Domestik Bruto tahun 2001 (sekitar Rp. 65 Triliun) atau
sekitar Rp. 180.000/kapita/tahun. Angka ini cukup besar jika dibandingkan
misalnya dengan dana yang disediakan untuk pendidikan yang hanya Rp. 15,34
Triliun per tahun (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
Suatu studi dampak sanitasi terhadap perekonomian dengan kasus Kota Yogya
dan Medan tahun 2000 menunjukkan angka yang relatif kecil. Besaran kerugian
mencapai Rp. 100 ribu/kapita/tahun di Yogya, dan Rp. 90 ribu/ kapita/tahun di
Medan. Jika sanitasi dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis, maka tentu
saja ini juga berarti pertumbuhan ekonomi dapat terpengaruh. Secara empiris
beberapa penelitian telah membuktikan bahwa sanitasi yang memadai merupakan
salah satu persyaratan pertumbuhan ekonomi.
Mungkin yang kurang disadari adalah bahwa penyediaan air minum dan
sanitasi dapat meningkatkan pendapatan secara langsung melalui pengurangan
pengeluaran untuk air minum dan sanitasi. Kondisi air minum dan sanitasi yang
memadai juga dapat mengurangi pengeluaran untuk penanganan kesehatan dan
obat-obatan akibat penyakit. Selain itu produktivitas juga meningkat dengan
berkurangnya jumlah hari sakit.
Secara umum Program Penyehatan Air bertujuan untuk meningkatkan
kualitas air untuk berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia untuk seluruh
penduduk baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan dan meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam memakai air. Secara


khusus program penyehatan air bertujuan meningkatkan cakupan air bersih pada
masyarakat dan meningkatkan kualitas air yang aman untuk konsumsi masyarakat
(Arsyad, 2007).
Sederhananya, peningkatan kondisi pelayanan sanitasi diharapkan akan mengurangi tingkat kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan, meningkatkan
produktivitas, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya pertumbuhan
ekonomi. Diperkirakan pada tahun 2015 akan terdapat 7 miliar penduduk
dunia, dan sebagian besar pertambahan tersebut berada di negara
berkembang. Peningkatan tersebut akan menambah jumlah penduduk yang
belum mempunyai akses terhadap sanitasi yang memadai menjadi 3,4 miliar
pada tahun 2015. Untuk memenuhi target Millenium Development Goal
(MDGs), WHO memperkirakan setiap tahun sebanyak 150 juta tambahan
penduduk yang harus mendapatkan akses terhadap sanitasi. Memperhatikan
kemampuan bangsa Indonesia, maka target Millenium Development Goal
(MDGs) baru akan tercapai pada tahun 2025.
Pencantuman sanitasi dalam MDGs merupakan langkah besar namun ini
tantangan berat bagi pemerintah dan institusi internasional untuk mencapai target
tersebut. Bahkan disadari juga bahwa target tersebut sebenarnya merupakan target
yang paling ambisius di antara target Millenium Development Goal (MDGs)
lainnya. Hanya 16 persen dari negara berkembang (bandingkan dengan target air
minum yang mencapai 37 persen) yang pada saat ini dianggap dapat mencapai
target tersebut. Dengan tingkat investasi sekarang, target MDGs di Afrika baru
tercapai pada tahun 2050, Asia tahun 2025, dan Amerika Latin tahun 2040 tanpa

Universitas Sumatera Utara

kemauan politis dan komitmen nyata, target tersebut tidak akan tercapai.
Tantangan bagi bangsa Indonesia adalah bagaimana agar keberhasilan
mempromosikan target air minum dan sanitasi di tingkat internasional dapat juga
menjangkau dan menyebar di seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) di
Indonesia (Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
Pada saat ini 80 persen penduduk dunia (1,9 miliar) yang tidak mempunyai
akses terhadap sanitasi berada di pedesaan. Namun disadari bahwa pertambahan
penduduk terbesar akan berada diperkotaan khususnya di daerah permukiman
kumuh, maka perhatian terhadap daerah kumuh perkotaan sama pentingnya
dengan daerah pedesaan.
Sanitasi yang memadai diperlukan untuk melindungi kesehatan manusia dan
lingkungan. Untuk itu, telah disepakati dalam Johannesburg Summit 2002 untuk
mengurangi setengah, pada tahun 2015, proporsi penduduk yang tidak
mempunyai akses ke sanitasi dasar, yang akan mencakup kegiatan pada setiap
tingkatan untuk:
1.

Membangun dan melaksanakan sistem sanitasi rumah tangga yang efisien.

2.

Meningkatkan sanitasi di institusi publik, khususnya sekolah.

3.

Mempromosikan praktek higinitas yang aman.

4. Mempromosikan pendidikan pada kanak-kanak sebagai agen perubahan.


5.

Mempromosikan praktek dan teknologi yang dapat diterima secara sosial


budaya dan terjangkau.

6.

Menyatukan sanitasi ke dalam strategi pengelolaan sumber daya air


(Kelompok Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Fakta Penting Air Minum dan Sanitasi


Adapun yang menjadi fakta penting dari air minum dan sanitasi adalah
sebagai berikut:
1. Tahun 2000: 2,4 miliar penduduk dunia kekurangan akses terhadap sanitasi
yang memadai, dan 81 % berada di pedesaan. Selain itu, 1,1 miliar penduduk
dunia kekurangan akses terhadap air minum, dan 86 % berada di pedesaan.
2. Lebih dari 2,2 juta penduduk meninggal setiap tahun di negara berkembang,
yang sebagian besar kanak-kanak disebabkan oleh penyakit terkait dengan
kekurangan akses terhadap air minum, sanitasi yang tidak layak dan higienitas
buruk.
3. Setiap harinya 6.000 anak meninggal karena sanitasi buruk. Angka ini sama
dengan jumlah korban kecelakaan 20 pesawat Boeing setiap hari.
4. Penyediaan air dan sanitasi yang layak mengurangi kejadian berjangkitnya
wabah kolera sebesar 26 %.
5. Sanitasi buruk di sekolah mempengaruhi tingkat kehadiran khususnya anak
perempuan.
Kondisi ekonomi negara diperburuk oleh perlunya penyediaan alokasi dana
untuk penanganan kesehatan dan obat-obatan, dan hilangnya hari kerja
diakibatkan penyakit dari air minum dan sanitasi yang tidak layak (Kelompok
Kerja Air Minum Penyehatan Lingkungan, 2004).
2.1.3. Sarana Sanitasi
Di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, masalah
kesehatan lingkungan, khususnya lingkungan rumah adalah berkisar pada

Universitas Sumatera Utara

ketersediaan sanitasi berupa penyediaan air minum, jamban (WC), pembuangan


air limbah (air kotor), serta pembuangan sampah (Entjang, 2000).
2.1.4. Penyediaan Air Minum
Sesuai dengan ketentuan badan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
maupun Departemen Kesehatan R.I serta ketentuan peraturan lain yang berlaku
seperti APHA (American Public Health Association) atau Asosiasi Kesehatan
Publik Amerika Serikat, layak tidaknya air untuk kehidupan manusia ditentukan
berdasarkan persyaratan kualitas secara fisik, secara kimia dan secara biologis.
Menurut perhitungan WHO, di negara-negara maju tiap orang memerlukan
air antara 60-120 liter perhari. Untuk negara-negara berkembang termasuk
Indonesia tiap orang hanya memerlukan air 30-60 liter perhari (Notoatmodjo,
2003b). Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah
kebutuhan untuk minum. Oleh karena itu, untuk keperluan minum (termasuk
untuk memasak) air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak
menimbulkan penyakit bagi manusia.
Agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya
diusahakan

memenuhi

persyaratan-persyaratan

kesehatan

sebagaimana

disyaratkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 407 Tahun 2002 tentang
Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, yaitu:
1. Syarat fisik, artinya air minum yang sehat adalah bening (tak berwarna), tidak
berasa dan tidak berbau.
2. Syarat bakteriologis, artinya air yang sehat harus bebas dari bakteri, terutama
bakteri pathogen.

Universitas Sumatera Utara

3. Syarat kimia, artinya air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu
seperti sulfat, fluoride dan zat organik.
Sesuai dengan teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum yang
berasal dari mata air dan sumur adalah dapat diterima sebagai air yang sehat dan
memenuhi ketiga persyaratan di atas, asalkan tidak tercemar oleh kotoran-kotoran
manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau sumur air yang ada di
pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan agar tidak tercemar
dan dapat digunakan oleh penduduk (Permenkes RI, 2002).
2.1.5. Pembuangan Kotoran Manusia
Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh
tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan
dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO 2 sebagai
hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003).
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area
pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi
kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah
pokok untuk sedini mungkin diatasi. Hal ini karena kotoran manusia (faeces)
adalah sumber penyebaran penyakit yang kompleks.
Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah:
1. Tidak boleh mengotori tanah permukaan.
2. Tidak boleh mengotori air permukaan.
3. Tidak boleh mengotori air dalam tanah.

Universitas Sumatera Utara

4. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau
perkembangan vector penyakit lainnya.
5. Jamban (WC) harus terlindung dari penglihatan orang lain, dan
6. Pembuatannya mudah dan murah (Entjang, 2000).
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mencegah atau
sekurang-kurangnya mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka
pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya
pembuangan kotoran harus di tempat tertentu atau jamban yang sehat. Teknologi
pembuangan kotoran manusia untuk daerah pedesaan sudah barang tentu berbeda
dengan teknologi jamban di daerah perkotaan, di daerah pedesaan disamping
harus memenuhi persyaratan jamban sehat juga harus didasarkan pada
sosiobudaya dan ekonomi masyarakat pedesaan (Notoatmodjo, 1997).
2.1.6. Pembuangan Air Limbah
Menurut Entjang (2000), air limbah (sewage) adalah excreta manusia, air
kotor dari dapur, kamar mandi dan WC, dari perusahaan-perusahaan termasuk
pula air kotor dari permukaan tanah dan air hujan. Sewage dapat dibedakan
menjadi: domestic sewage, yaitu air limbah yang berasal dari rumah-rumah, dan
industrial sewage yaitu air limbah yang berasal dari sisa-sisa proses industri.
Sebelumnya Kusnoputranto (1986), menjelaskan bahwa air limbah atau air
buangan adalah air yang tersisa dari kegiatan manusia, baik yang berasal dari
rumah tangga, maupun kegiatan lain seperti industri, perhotelan, dan sebagainya.
Maksud pengaturan pembuangan air limbah rumah tangga adalah untuk mencegah
pengotoran sumber air rumah tangga, serta menghilangkan bau-bauan dan
pemandangan yang tidak sedap.

Universitas Sumatera Utara

Secara garis besar air limbah yang berasal dari berbagai sumber dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic waste water), yaitu
air limbah yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah
ini terdiri dari exscreta (tinja dan air seni), air bekas cucian dapur dan kamar
mandi, dan umumnya terdiri dari bahan-bahan organik.
2. Air buangan industri (industrial waste water), yang berasal dari berbagai jenis
industri akibat proses produksi. Zat-zat yang ada di dalamnya sangat
bervariasi sesuai dengan bahan baku yang dipakai oleh masing-masing
industri, antara lain nitrogen, sulfide, amoniak, lemak, garam-garam, zat
pewarna, mineral, logam berat, zat pelarut dan sebagainya.
3. Air buangan Kota Praja (munipical waste water), yaitu air buangan yang
berasal dari daerah: perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat
umum, tempat-tempat ibadah dan sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang
terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan air limbah rumah tangga.
Proses pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Penyaringan (screening), yaitu penyaringan dengan mempergunakan jalinan
kawat atau lempeng logam yang berlubang-lubang untuk menangkap bendabenda yang terapung di atas permukaan air misalnya: kayu-kayu, kertas,
ataupun kain-kain rombeng.
b. Pengendapan (sedimentation), yaitu air limbah dialirkan ke dalam bak yang
besar (sandtraf) sehingga alirannya menjadi lambat yang menyebabkan
lumpur ataupun pasirnya mengendap.

Universitas Sumatera Utara

c. Proses biologis, dalam hal ini dipergunakan mikroba-mikroba untuk


memusnahkan zat-zat organik yang terdapat di dalam air limbah baik secara
aerob maupun an-aerob.
d. Disaring dengan saringan pasir (sand filter), kemudian sewage ini dalam
alirannya dialirkan ke dalam saringan pasir.
e. Desinfeksi yaitu untuk membunuh mikroba-mikroba pathogen yang terdapat
dalam air limbah, dilakukan desinfeksi dengan kaporit (10 kg/1 juta liter
sewage).
f. Pengenceran (pembuangan), dimana pada akhirnya air limbah dibuang ke laut,
ke sungai, atau danau sehingga mengalami pengenceran (Notoatmodjo, 2003).
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, pengolahan air limbah
dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup terhadap pencemaran air
limbah, karena secara ilmiah lingkungan mempunyai daya dukung yang cukup
besar terhadap gangguan yang timbul terhadap pencemaran air limbah.
2.1.7. Pembuangan Sampah
Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi
oleh manusia atau benda yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan
manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan,
sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, atau sesuatu yang dibuang yang berasal dari kegiatan manusia
(Notoatmodjo, 2003).
Sampah mengandung prinsip-prinsip, yaitu adanya sesuatu benda atau
bahan padat, adanya hubungan langsung atau tak langsung dengan kegiatan
manusia, benda atau bahan tersebut tidak dipakai lagi. Sampah yang berasal dari

Universitas Sumatera Utara

pemukiman (domestic wastes), yaitu sampah yang terdiri dari bahan-bahan padat
sebagai hasil kegiatan rumah tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti sisasisa makanan, baik yang sudah dimasak maupun belum, bekas pembungkus
maupun kertas, plastik, daun dan sebagainya.
Entjang (2000), mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sampah adalah
semua zat/benda yang sudah tidak terpakai lagi baik berasal dari rumah-rumah
maupun sisa-sisa proses industri. Lebih lanjut dikatakan bahwa sampah dapat
dibagi dalam 2 (dua) jenis, yaitu:
1.

Garbage, adalah sisa-sisa pengolahan ataupun sisa makanan yang mudah


membusuk.

2.

Rubbish, adalah bahan-bahan sisa pengolahan yang tidak membusuk.


Rubbish ini ada yang mudah terbakar, misalnya kayu, kertas, dan ada yang
tidak bisa terbakar misalnya, kaleng, kawat dan sebagainya.

2.1.8. Kesehatan Lingkungan


Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan
tersebut antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja),
penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah),
rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan
usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik
untuk terwujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup didalamnya
(Notoatmodjo, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya,


keadaan dan makhluk hidup dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan
dan kesejahteraan serta makhluk hidup lainnya. Batasan ini menunjukkan bahwa
lingkungan hidup itu merupakan suatu sistem lingkungan yang meliputi aspek
lingkungan alam hayati, lingkungan alam non hayati, lingkungan buatan dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Hardjosumantri, 2005).
Lingkungan di sekitar manusia dikategorikan dalam lingkungan fisik
termasuk di dalamnya tanah, air dan udara, lingkungan biologi termasuk semua
organisme baik binatang, timbuh-tumbuhan maupun mikroorganisme dan
lingkungan sosial termasuk interaksi antara manusia dari makhluk sesamanya
yang meliputi factor-faktor sosial, ekonomi, kebudayaan psiko-sosial dan lain-lain
(Kusnoputranto, 1986).
Sedangkan

WHO dalam Akademi

Kesehatan

Lingkungan

(1992),

mendefinisikan Ilmu Kesehatan Lingkungan sebagai ilmu dan ketrampilan yang


memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha pengendalian semua faktor yang ada
dalam lingkungan fisik manusia yang diperkirakan akan menimbulkan hal-hal
yang merugikan fisik manusia, kesehatan manusia serta kelangsungan hidupnya.
Pernyataan WHO tersebut di atas juga menegaskan tentang pentingnya
peranan gatra lingkungan dalam mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan
sanitasi lingkungan oleh masyarakat sangat berhubungan dengan kondisi
masyarakat itu sendiri yang antara lain ialah faktor predisposisi yang terdiri dari
unsur

pengetahuan,

sikap,

kepercayaan,

nilai

tradisi,

pendidikan

dan

pendapatan/status ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

2.1.9. Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan


Gordon dan Le Riche yang merintis Medical Ecology menuliskan bahwa
dasar-dasar kesehatan lingkungan adalah sebagai berikut:
a.

Penyakit itu merupakan hasil dari keadaan yang tidak seimbang antara
penyebab penyakit dan manusia.

b.

Keadaan alami dan kelanjutan dari ketidakseimbangan tersebut di atas


tergantung kepada karakteristik dan sifat alami dari host dan agent.

c.

Karakteristik dan sifat-sifat alami dari host dan agent secara langsung
akan saling berhubungan dan tergantung kepada sifat-sifat lingkungan
fisik, biologi, sosial dan ekonomi (Moeljohardjo, 1995).
Ryadi (1984), mengatakan bahwa kesehatan lingkungan itu merupakan

bagian dari dasar-dasar kesehatan masyarakat modern yang meliputi semua aspek
manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, yang terikat dalam bermacammacam ekosistem dengan tujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilainilai kesehatan manusia (atau semua organisme) pada tingkat yang setinggitingginya dengan jalan memodifikasi tidak hanya faktor sosial dan lingkungan
fisiknya saja namun juga terhadap semua sifat-sifat dan kelakuan-kelakuan
lingkungan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenangan, kesehatan dan
keselamatan organisme hidup atau umat manusia.
2.1.10. Upaya Dalam Menjaga Kesehatan Lingkungan
Secara umum, lingkungan atau environment adalah tempat pemukiman
dengan segala sesuatunya di mana organisme-organisme hidup. Seringkali
lingkungan didefinisikan sebagai kumpulan dari kondisi eksternal dan
pengaruhnya terhadap kehidupan serta perkembangan suatu organisme, perilaku

Universitas Sumatera Utara

manusia atau masyarakat. Lingkungan juga merupakan semua yang berada di


wilayah eksternal jasmani manusia, di antaranya adalah keadaan fisik, biologis,
sosial, budaya, dan semua hal yang dapat mempengaruhi status kesehatan dalam
suatu populasi.
Sedangkan sanitasi lingkungan (enviromental sanitation) adalah bagian dari
general public health/kesehatan masyarakat secara umum (Sutomo, 1995) yang
meliputi prinsip-prinsip usaha untuk meniadakan atau menguasai faktor-faktor
lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit melalui kegiatan-kegiatan yang
ditujukan untuk: (1) Sanitasi air (Water sanitation). (2) Sanitasi makanan (Food
sanitation), (3) Pembuangan sampah (Sewage and excrets disposal), (4) Sanitasi
udara (Air sanitation), dan (5) Pengendalian vector dan binatang mengerat (Vector
and rodent controle).
Secara umum dalam bidang kesehatan telah dikenal konsep hygiene dan
sanitasi. Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh
kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya
penyakit karena pengaruh lingkungan tersebut dan membuat kondisi kesehatan
lingkungan sedemikian rupa sehingga pemeliharaan kesehatan menjadi terjamin.
Sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada
pengawasan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia, jadi sanitasi itu lebih mengutamakan upaya pencegahan.
Sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan cara mengeliminasi atau mengontrol
faktor-faktor lingkungan (Entjang, 2000).
Bertolak dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka dapatlah
disimpulkan bahwa mungkin beberapa gatra lingkungan akan mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara

derajat kesehatan masyarakat apabila konsep tentang higiene dan sanitasi


(lingkungan) tidak diterapkan secara tepat. Oleh karena itu, maka Martopo et.al,
(1992) menyatakan bahwa yang terpenting adalah mengutamakan sanitasi
lingkungan sebagai jawaban alternatif terhadap dampak lingkungan pada
kesehatan. Tindakan-tindakan itu antara lain berupa upaya-upaya preventif
terhadap berbagai macam faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia.
Keadaan kesehatan lingkungan dewasa ini masih belum mencapai kondisi
yang diharapkan, karena belum terpenuhinya kebutuhan sanitasi dasar, yaitu
sanitasi yang minimal diperlukan untuk menyehatkan lingkungan pemukiman,
misalnya penyediaan air bersih, sarana pembuangan kotoran manusia dan lainlain. Kemajuan teknologi sering kali mengakibatkan penurunan dari kualitas
lingkungan hidup manusia (Kusnoputranto, 1986).

2.2. Perilaku Masyarakat


Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu
sendiri. Perilaku merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti
pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan lain-lain.
Gejala-gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, fasilitas
dan faktor-faktor sosial budaya yang ada di lingkungannya (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku menurut Skinner dalam Notoatmodjo, (2000) merupakan hasil
hubungan antara perangsang (stimulus) dan respon. Secara lebih operasional,
perilaku dapat diartikan sebagai respon organisme atau seseorang terhadap adanya

Universitas Sumatera Utara

stimulus atau rangsangan dari luar subjek tersebut. Respon tersebut dapat berupa
respon pasif ataupun respon aktif.
Menurut Blum (1994) dalam Notoatmodjo (2003), bahwa perilaku dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yakni knowledge (pengetahuan), attitude (sikap),
practice (tindakan). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk dapat
berpengaruh terhadap suatu kejadian penyakit, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sikap adalah suatu keadaan mental atau kecenderungan seseorang untuk
bereaksi terhadap suatu tindakan atau lingkungannya, sikap yang muncul antara
individu terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman
serta latar belakang pendidikan, perilaku dalam bentuk practice berupa respons
terhadap segala bentuk kegiatan yang pernah diberikan. Pengetahuan dalam
bentuk practice (tindakan) atau dapat disebut dengan istilah matra psikomotor
yang biasanya berkaitan dengan keterampilan yang bersifat manual dan motorik.
Menurut Kwik (1974) dalam Notoatmodjo (1993), mengatakan bahwa
perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan
dipelajari. Pada dasarnya bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan
tindakan saja, namun demikian tidak berarti bahwa perilaku tersebut hanya dapat
dilihat dari sikap dan tindakan saja. Sedangkan perilaku manusia adalah hasil
pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungan yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Dapat juga diartikan sebagai suatu
kegiatan yang dapat diamati secara langsung maupun dengan menggunakan alat.
Batasan perilaku menurut Notoatmodjo (2003), dari pandangan biologis
merupakan suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang bersangkutan. Jadi
perilaku manusia pada hakekatnya adalah aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk

Universitas Sumatera Utara

kepentingan analisis perilaku perlu diketahui apa yang dikerjakan oleh organisme
tersebut, baik yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Pada
dasarnya di alam ini perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tidak
bersyarat atau pembawaan, dan perilaku bersyarat yang diperoleh dari
pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses pendidikan. Perilaku tidak
bersyarat pada umumnya berlatarbelakang genetik/keturunan.
Menurut Green (1980) yang dikutip Notoatmodjo (1993), beberapa faktor
yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap kesehatan antara lain faktor
pendukung, yaitu karakteristik individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan
dan pendapatan, pengetahuan dan sikap, faktor pemungkin yaitu ketersediaan
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, sarana kesehatan lingkungan, dan
faktor penguat yaitu kebijakan, pengawasan dan pemantauan.
Perilaku masyarakat merupakan respons masyarakat terhadap stimulus yang
berupa materi atau objek dan selanjutnya setelah objek diketahui dan disadari
sepenuhnya akan menimbulkan respons yang lebih jauh lagi, yang berupa
tindakan (action) terhadap objek tadi. Namun di dalam kenyataannya stimulus
yang diterima oleh objek dapat langsung menimbulkan tindakan Artinya
seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa mengetahui terlebih dahulu
terhadap makna stimulus yang diterimanya. Jadi perilaku masyarakat pada
hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada masyarakat itu sendiri.
Di dalam berperilaku, masyarakat diperlukan proses belajar sehingga akan
terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan ke arah yang lebih
dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu atau mayarakat. Sanitasi
mempunyai aspek sosial ekonomi dan budaya yang sangat kompleks dalam

Universitas Sumatera Utara

mencegah penyakit yang terjadi di masyarakat. Sanitasi dasar sangat diperlukan


untuk menyehatkan lingkungan pemukiman seperti penyediaan air bersih, sarana
pembuangan kotoran manusia dan lain-lain.
Secara teori perubahan perilaku atau seseorang menerima atau mengadopsi
perilaku baru dalam kehidupannya melalui 3 (tiga) tahap :
2.2.1

Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Sebagian


besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran (mata
dan telinga). Beberapa pengalaman dan penelitian menyatakan perilaku tidak
didasari pengetahuan dan kesadaran seseorang tidak akan berlangsung lama.
Pengetahuan juga dapat diartikan sebagai kumpulan informasi yang dipahami,
yang diperoleh dari proses belajar selama hidup dan dapat dipergunakan sewaktuwaktu sebagai alat penyesuaian diri, baik terhadap diri sendiri maupun
lingkungannya (Supriyadi, 1993).
Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orang
tua, teman, buku dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002).
Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang
sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya
mobilitas informasi tentang objek tersebut di lingkungannya.
Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari
oleh seseorang. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang
ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan indrawi. Pengetahuan muncul

Universitas Sumatera Utara

ketika seseorang menggunakan indra atau akal budinya untuk mengenali benda
atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya.
Pengetahuan tentang keadaan sehat dan sakit adalah pengalaman seseorang
tentang keadaan sehat dan sakitnya seseorang yang menyebabkan seseorang
tersebut bertindak untuk mengatasi masalah sakitnya dan bertindak untuk
mempertahankan kesehatannya atau bahkan meningkatkan status kesehatannya.
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang paling
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behavior) dan pengetahuan
dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan
pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang
tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan yang di dalamnya
mencakup 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.
3. Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (Analysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi suatu objek terhadap komponen-komponennya.
5. Sintesis (Syntesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru.

Universitas Sumatera Utara

6. Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan


justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoatmodjo,
2003).
Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menyatakan tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman
pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan
tersebut di atas (Notoatmodjo, 2003).
2.2.2

Sikap
Brigham dalam Wachidanijah, (2002) memberikan gambaran bahwa

terbentuknya sikap melalui adanya proses belajar mengajar dengan cara


mengamati orang lain, melalui pengamatan, hubungan yang terkondisi,
pengalaman langsung dan mengamati perilaku diri sendiri. Sikap yang terbentuk
dengan mengamati orang lain dapat menimbulkan sikap yang positif apabila
menyenangkan atau dapat sebaliknya.
Menurut Notoatmodjo (2003) sikap adalah reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup. Menurut Notoatmodjo (2003) bahwa sikap merupakan kesiapan
seseorang untuk bertindak sebagai objek di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
Allport (dalam Notoatmodjo, 2003) mengemukakan sikap dapat bersifat
positif dan dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan
adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu, sedangkan sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindar, membenci, tidak

Universitas Sumatera Utara

menyukai objek tertentu. Sikap tersebut mempunyai 3 (tiga) komponen pokok,


yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi
memegang peranan penting. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung
atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan pendapat atau
pernyataan responden terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan
pendapat responden.
2.2.3

Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh

setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar
tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan
banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap
stimulus tersebut.
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak
dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis.
Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari

Universitas Sumatera Utara

berbagai pihak (Notoatmodjo, 2003). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap,


tindakan juga terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1.

Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek


sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

2.

Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang


benar sesuai dengan contoh.

3.

Mekanisme (mechanism) diartikan apabila seseorang telah dapat melakukan


sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4.

Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang


dengan baik, artinya tindakan itu juga sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
keberadaan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2.3. Karakteristik Masyarakat


2.3.1. Pendidikan
Pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam mewujudkan
masyarakat

maju,

adil

dan

makmur,

serta

memungkinkan

masyarakat

mengembangkan diri baik dari aspek jasmaniah dan rohaniah berdasarkan


Pancasila dan UUD 1945. (UUD, 1945).
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan dating. ( pasal 1 ayat 1 UU No. 2 1989 ). Pendidikan harus dapat menyentuh
aspek setiap warga Negara guna terselenggaranya pendidikan nasional secara

Universitas Sumatera Utara

utuh, terpadu dan dinamis. Dengan demikian yang dimaksud pendidikan nasional
adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang
berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 ( pasal 1 ayat 2 ).
Sistem pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari
semua satuan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan lainnya untuk
mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional (pasal 1 ayat 3 ). Hal ini
perlu diikuti dengan jenis pendidikan yang dikelompokkan sesuai dan kekhususan
baik informal maupun formal.
Pendidikan formal adalah suatu proses penyampaian bahan/materi
pendidikan oleh pendidik kepada sasaran didik guna mencapai perubahan tingkah
laku (Notoatmodjo, 1993). Tingkat pendidikan formal merupakan dasar
pengetahuan, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin besar kemampuan
untuk menyerap dan menerima infomasi, sehingga pengetahuan dan wawasannya
lebih luas. Selain itu tingkat pendidikan merupakan salah satu factor yang
melatarbelakangi pengetahuan, yang selanjutnya akan mempengaruhi prilaku
seseorang.
Pendidikan secara umum adalah sama, yang membedakan batasan
pendidikan menjadi spesifik adalah materi pendidikannya. Tingkat pendidikan
masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan memiliki peranan penting dalam
proses penyehatan lingkungan serta proses perubahan sikap, menuju hidup
berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan hidup yang sehat.
Seseorang yang ingin hidup maju dan berkembang dalam usahanya haruslah
memiliki pengetahuan, ketrampilan serta sikap rasional yang diperolah melalui
pendidikan. Tanpa pendidikan, seseorang akan sulit untuk maju dan bersaing

Universitas Sumatera Utara

dengan msyarakat sekitarnya, serta sulit menerima dan menyesuaikan diri dengan
perubahan dan tidak mempu memantau lebih jauh kedepan. Semakin tinggi
pendidikan seseorang, semakin rasional orang itu dalam memberikan tanggapan
terhadap tantangan yang ada.
Hal ini dikatakan Husin (1993) bahwa dengan pendidikan formal yang
terbatas orang kurang mampu berfikir kritis, tidak mempunyai tujuan dan masa
depan yang baik, memiliki daya abstraksi yang terbatas, serta sikap mental yang
terikat oleh sikap kesederhanaan. Selanjutnya menambahkan bahwa secara
rasional ada kecendrungan bahwa orang yang memiliki pendidikan yang memadai
lebih cepat menerima ide baru melalui berbagai media yang ada serta dapat
beradaptasi dengan perkembangan yang timbul di tengah masyarakat. Orang yang
berpendidikan juga tidak akan tertinggal oleh perkembangan informasi yang
semakin melaju dengan perkembangan zaman.
2.3.2

Pendapatan.
Pendapatan yang dimaksud disini adalah jumlah penghasilan bersih dari

kepala keluarga yang merupakan penerimaan kotor rumah tangga dari berbagai
incame per bulan dikurangi dengan biaya-biaya riil. Bagi kepala keluarga yang
berstatus pegawai, disamping gaji yang diperoleh setiap bulan, juga termasuk
pendapatan yang diperoleh melalui usaha-usaha lainnya.
Untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan kesehatan masyarakat
diperlukan adanya dana, yang tentunya dapat bersumber dari pemerintah dan
masyarakat. Tingginya biaya kesehatan akan menjadi beban berat bagi
pemerintah, sehingga perlu adanya bantuan dan partisipasi masyarakat, terutama

Universitas Sumatera Utara

dalam upaya pembangunan pengelolaan kesehatan lingkungan masyarakat itu


sendiri. Pada dasarnya, sasaran utama pembangunan bidang kesehatan ditujukan
kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah baik masyarakat desa maupun
masyarakat

perkotaan.

Masyarakat

yang

tergolong

dalam

kelompok

berpenghasilan rendah adalah penduduk yang kurang memperoleh kebutuhan


pokok dalam jumlah yang cukup yaitu; pakaian, air minum, pendidikan, angkutan
dan fasilitas kesejahteraan lainnya. Kemiskinan atau rendahnya penghasilan ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan rata-rata per jiwa penduduk dalam
ruang lingkup sosial budaya masyarakat.
Bila ditinjau dari factor sosial ekonomi, maka pendapatan merupakan salah
satu factor yang mempengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai sanitasi
dasar. Faaktor lain yang mempengaruhi yaitu : jenis pekerjaan, pendidikan formal
kepala keluarga.
2.3.3

Budaya
Manusia sebagai makhluk hidup, dalam melakukan aktivitas kehidupan

sehari-hari selalu melakukan hubungan satu dengan lainnya, sehingga


kepribadian, kecakapan dan ciri-ciri kegiatannya menjadi kepribadian individu
yang sebenarnya. Dengan demikian kehidupan manusia dalam masyarakat
memiliki 2 fungsi yaitu berfungsi sebagai obyek dan subjek. Berkaitan dengan
proses hubungan antara satu individu dengan individu yang lain, biasanya tidak
terlepas dari sosial budaya masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1996)
bahwa budaya masyarakat mempunyai wujud yaitu tata kelakuan, komplek
aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan sebagai benda hasil karya manusia.

Universitas Sumatera Utara

Aktivitas sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih
dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Bentuk-bentuk aktivitas sosial yang
dilakukan oleh individu, dapat berupa organisasi formal, organisasi non formal
maupun tanpa suatu organisasi apa pun. Namun semua bentuk aktivitas sosial
tersebut, merupakan suatu gambaran dari interaksi sosial individu dengan
lingkungan sekitarnya.
Aktivitas sosial individu dipengaruhi oleh aspek sosial budaya yang dapat
mempengaruhi status kesehatan antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial
ekonomi. Selanjutnya Notoatmodjo (2005), mengatakan model-model aktivitas
sosial yang sering dilakukan oleh masyarakat desa adalah aktivitas sosial tanpa
organisasi antara lain dapat berupa, perkumpulan desa, acara keagamaan, arisan
perkumpulan suku, pesta adat perkawinan, berjualan, bersawah, berkebun,
sedangkan aktivitas sosial yang organisasi non formal adalah seperti PKK dan
karang taruna.
Manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya selalu berupaya untuk
mengadakan perubahan-perubahan. Dengan sifatnya yang kreatif dan dinamis
manusia terus berevolusi meningkatkan kualitas hidup yang semakin terus maju.
Kenyataan menunjukkan bahwa pada zaman purbakala manusia hidup di pohonpohon atau gua-gua. Hidupnya bergantung dengan alam. Alamlah yang
mengendalikan manusia.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai