Anda di halaman 1dari 3

Urgensi Tanggulangi AIDS di Indonesia

Oleh : Tri Irwanda M *


(Artikel Opini ini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 4 Desember 2014)
Seakan menjadi ritual setiap 1 Desember, media beramai-ramai mengangkat isu seputar HIV
dan AIDS. Ya, 1 Desember diperingati setiap tahunnya sebagai Hari AIDS Sedunia (HAS). Dunia
internasional mengenalnya sebagai World AIDS Day dengan tujuan menumbuhkan kesadaran
terhadap wabah AIDS di seluruh dunia. Konsep ini digagas pada pertemuan menteri kesehatan
sedunia tahun 1988.
Pikiran Rakyat pun mengangkat isu AIDS pada 1 Desember 2014 melalui artikel berjudul Gawat
Darurat AIDS yang ditulis Uud Wahyudin, doktor komunikasi kesehatan dari Universitas
Padjadjaran. Artikel tersebut dengan baik menguraikan tiga strategi yang dapat diperankan
Kemenkes RI dalam menanggulangi AIDS, yaitu gerakan pemberdayaan, strategi binasuasana,
dan advokasi.
Dilihat dari aspek komunikasi kesehatan, tulisan tersebut sangat berharga. Namun sayangnya,
tulisan itu terkesan mereduksi peran Kemenkes dari aspek promosi kesehatan saja seperti
dalam Permenkes RI No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Akibatnya,
peran Kemenkes RI yang justru sangat besar dalam pembuatan kebijakan teknis terkait layanan
medis, menjadi kurang terlihat.
Ketimbang menjadi sebuah refleksi pada Hari AIDS Sedunia seperti yang dimaksudkan oleh
penulisnya, artikel tersebut cenderung lebih berupa klise karena gagasan yang ada di dalamnya
telah terlalu sering dipakai. Berbagai strategi yang dikutip oleh Uud Wahyudin, yaitu
pemberdayaan, binasuasana, dan advokasi sesungguhnya telah lama berlangsung, jauh
sebelum Permenkes No. 21/ 2013 itu diterbitkan.
Sebagai informasi, melalui Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006 telah terbentuk Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. Di lembaga ini, Menteri Kesehatan menjadi Wakil Ketua I
merangkap anggota, di bawah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua. KPA
Nasional bertugas antara lain menetapkan kebijakan dan mengkoordinasikan berbagai kegiatan
terkait pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat nasional. Di tingkat daerah,
tentu saja tugas itu diemban oleh KPA Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

Tanpa bermaksud mengesampingkan permenkes tersebut, gerakan pemberdayaan seperti


penyebaran informasi dalam kampanye HIV dan AIDS di Indonesia telah berlangsung cukup
lama. Namun dalam pelaksanaannya, penyebaran informasi yang terjadi justru seringkali
kontraproduktif dengan upaya menghilangkan label penyakit kotor seperti yang disarankan
dalam artikel tersebut.
Betapa tidak, slogan seperti jauhi virusnya bukan orangnya pada saat yang bersamaan masih
dibalut dengan simbol-simbol yang berlawanan dengan maksud kampanye. Kita dengan mudah
melihat simbol tengkorak atau tulisan bernuansa kematian dalam pesan kampanye. Alih-alih
memengaruhi orang untuk berempati pada Orang dengan HIV dan AIDS (Odha), kampanye
koersif seperti itu justru membuat stigma (cap buruk) kepada Odha kian besar.
Dalam hal strategi binasuasana, Uud menyarankan salah satunya melalui peningkatan peran
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Perlu diketahui, KDS bagi Odha pun telah lama bergerak,
bahkan lebih dari satu dekade. Mereka umumnya berjejaring atau menjadi bagian dari LSM.
Yayasan Spiritia, sebuah LSM yang bergerak dalam isu AIDS, mencatat setidaknya terdapat 235
KDS di 158 Kab/ kota di Indonesia pada akhir Desember 2012.
Jika perannya perlu ditingkatkan lagi, maka pertanyaannya adalah peran seperti apa lagi yang
perlu ditingkatkan oleh KDS? Sesuai kapasitasnya, KDS selama ini telah bekerja keras
mendorong peningkatan mutu hidup Odha serta melakukan pencegahan positif melalui
perubahan perilaku dan berbagai kegiatan produktif.
Demikian pula halnya dengan strategi advokasi di mana Kemenkes sebagai bagian dari KPA
Nasional sebenarnya telah lama mengemban mandat itu. Dalam Strategi dan Rencana Aksi
Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010 2014, terdapat banyak mandat advokasi
yang memerlukan intervensi struktural dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan
berbagai pemangku kepentingan. Kementerian Kesehatan menjadi salah satu penanggung
jawab utama kegiatan tersebut.
Dalam konteks ini, adakalanya persoalan justru muncul dari lingkungan pemerintahan sendiri.
Jika indikasi komitmen pemerintah diukur dari besarnya anggaran, maka tantangan besar masih
harus dihadapi. Seperti diketahui, dukungan anggaran penanggulangan AIDS di Indonesia
sebagian besar masih bersumber dari lembaga donor internasional, seperti Global Fund.
Perlu diakui dalam beberapa tahun terakhir program advokasi yang dilaksanakan tampaknya
mulai membuahkan hasil. Pendanaan dari dalam negeri (domestik) mulai meningkat. Sebagai
gambaran, pada tahun 2004 alokasi anggaran HIV dan AIDS sebesar 87 milyar rupiah atau

sekitar 22 persen dan pada 2008 lalu sudah mencapai 198 milyar rupiah atau sebesar 39
persen.
Menyambut ajakan Uud Wahyudin agar Kemenkes mengimplementasikan secara serius strategi
penanggulangan AIDS di Indonesia, maka program pencegahan yang konkrit menjadi sangat
penting. Saat ini, Indonesia menghadapi potensi penularan HIV yang sangat tinggi dari praktik
hubungan seksual berisiko berlainan jenis (heteroseks).
Kemenkes RI pada 2012 pernah melansir data sekitar 6,7 juta laki-laki di Indonesia diperkirakan
menjadi pelanggan seks. Mereka pun memiliki istri atau pasangan. Potensi penularan HIV
menjadi tinggi mengingat rendahnya tingkat penggunaan kondom di kalangan mereka. Inilah
fenomena yang menjelaskan mengapa ibu rumah tangga banyak yang terinfeksi HIV. Menurut
hemat penulis, isu ini yang sesungguhnya penting untuk menjadi refleksi Hari AIDS Sedunia.
Selama sikap pemerintah dan masyarakat masih menutup mata dengan fakta di atas, selama itu
pula pengendalian HIV dan AIDS menghadapi tantangan berat. Dengan kata lain, selama
program penanggulangan AIDS belum berhasil mengintervensi kalangan laki-laki pembeli seks,
Indonesia akan menghadapi situasi yang lebih gawat darurat AIDS. *******

Tri Irwanda M, bekerja sebagai Media Relations Officer di Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Jawa Barat (2006
2013). Kini aktif dalam kajian komunikasi dan sosial di lembaga Bengkel Komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai