PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit pada retina merupakan penyebab terbesar penurunan penglihatan pada
negara barat tetapi mungkin lebih jarang pada negara berkembang dimana kehilangan
penglihatan disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah seperti katarak dan
sikatrik pada mata. Namun, survey berbasis populasi yang dilakukan di india
menunjukkan bahwa penyakit pada retina merupakan penyebab utama dari kebutaan
dengan presentase signifikan (12,7%) dari populasi yang diteliti. Di amerika serikat
dan eropa. Insidensi tahunan untuk penyakit retina atau ablasio retina antara 6 sampai
12 per 100.000 populasi pertahun telah dilaporkan. Survey berbasis populasi pada
insidensi ablasio retina di negara berkembang masih jarang dan sedikit yang diketahui
mengenai insidensi ablasio retina di afrika.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah ekstraksi katarak yang dilakukan saat ini.
hal ini menjelaskan bahwa ablasio retina pseudofaki juga akan meningkat. Akibatnya
di negara berkembang seperti ethiophia, dimana masih kurangnya fasilitas operasi
yang optimal dan sedikitnya ahli bedah vitreoretinal, kebutaan kareana penyakit
retina seperti ablasio retina. Retinopati diabetic dan degenerasi macular terkait usia
akan meningkat, kecuali di desainstrategi untuk meningkatkan jumlah professional
terlatih dalam bidang retina.
Ablasio Retina adalah terpisahnya / terlepasnya retina dari jaringan
penyokong di bawahnya. Jaringan saraf yang membentuk bagian peka cahaya pada
retina membentuk suatu selaput tipis yang melekat erat pada jaringan penyokong di
bawahnya, Jika kedua lapisan tersebut terpisah, maka retina tidak dapat berfungsi dan
jika tidak kembali disatukan bisa terjadi kerusakan permanen, Ablasio bisa bermula di
suatu daerah yang kecil, tetapi jika tidak diobati, seluruh retina bisa terlepas. Pada
salah satu bentuk ablasio, retina betul-betul mengalami robekan. Bentuk ablasio ini
biasanya terjadi pada penderita miopia atau penderita yang telah menjalani operasi
katarak atau penderita cedera mata, Pada ablasio lainnya, retina tidak robek tetapi
terpisah dari jaringan di bawahnya. Pemisahan ini terjadi jika gerakan cairan di dalam
bola mata menarik retina atau jika cairan yang terkumpul diantara retina dan jaringan
di bawahnya mendorong retina.
Retina cenderung terkena banyak penyakit, baik yang diturunkan maupun
yang didapat, antara lain Retinoblastoma & Ablatio Retina. Ablatio Retina paling
sering terjadi pada orang di atas 40 tahun, dan sekitar dua pertiga dari pasien yang
terkena dampak rabun (rabun). Trauma pada bola mata, memar parah, lesi inflamasi,
dan operasi kadang-kadang mata seperti untuk katarak juga dapat menyebabkan
ablasi retina. (Farlex, Inc, 2012).
Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering pada bayi dan anak
yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Tiga kasus Retinoblastoma
bilateral secara khas didiagnosis pada tahun pertama kehidupan dalam keluarga dan
pada kasus sporadik unilateral di diagnosis antara umur 13 tahun. Kejadian kasus di
atas 5 tahun jarang terjadi. Usia kejadian retinoblastoma pada orang dewasa adalah
antara usia 20 - 74 tahun. Tidak ada perbedaan yang perbedaan yang menonjol antara
antara pria dan wanita. (Indian J Ophthalmol. 2010). Sebagian besar retinoblastoma
adalah mutasi sporadic tetapi sekitar 10% terjadi akibat herediter yang diwariskan
melalui kromosom. Insiden gangguan ini 1 dalam 15.000 bayi lahir hidup.
Pencegahan dan penanganan terhadap penyakit
retinoblastoma memiliki
ablasio retina
Tujuan Khusus
a. Memahami pengertian dari penyakit retino blastoma dan ablasio retina.
b. Memahami tentang penyebab dari penyakit retino blastoma dan ablasio
retina
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus
pandang. Merah pada fundus adalah warna koroid. Retina terdiri dari macam-macam
jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueller,
membrane limitans interna dan eksterna, serta sel-sel glia. Lapisan-lapisan retina dari
dalam ke luar, adalah sebagai berikut :
1) Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
badan kaca.
2) Lapisan sel saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
3) Lapisan sel ganglion, merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
4) Lapisan pleksiformis dalam, merupakan lapisan aseluler yang merupakan
tempat sinaps sel bipolar, sel amakrim dengan sel ganglion.
5) Lapisan inti dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel
Muller, lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6) Lapisan pleksiformis luar, merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat
sinaps sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7) Lapisan inti luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan sel
batang.Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
8) Lapisan fotoreseptor terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping,
dan sel kerucut, merupakan sel fotosensitif.
9) Epitel pigmen retina.
2.2 Konsep Dasar Retinoblastoma
2.2.1
Defini Retinoblastoma
Retinoblastoma adalah tumor masa kanak-kanak yang jarang namun bisa
fatal. Dua pertiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, kasus-kasus yang jarang
dilaporkan hampir disegala usia. Tumor bersifat bilateral pada sekitar 30% kasus.
Umumnya, hal ini merupakan suatu tanda dari penyakit herediter, tetapi lebih dari
sepertiga kasus-kasus keturunan terjadi unilateral. (Vaughan dan Ashburry, 2010).
Retinoblastoma merupakan tumor ganas mata yang sering ditemukan
pada masa anak. Retinoblastoma merupakan suatu bentuk keganasan intra okuler
primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan angka kejadian
sekitar1:15.0001:23.000 kelahiran hidup, merupakan 4 % dari total seluruh
keganasan pada anak-anak, sektar 1 %dari seluruh kanker pada manusia, dan
merupakan keganasan kedua terbanyak kepada semua tingkat usia setelah melanoma
maligna ( James et al, 2005).
Retinoblastoma adalah tumor mata langka masa kecil yang muncul di
retina dan merupakan keganasan intraokular yang paling umum dari masa bayi dan
masa kanak-kanak . Ini dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering terjadi
pada anak-anak yang lebih muda, biasanya sebelum usia dua tahun (Isabelle Aerts,
2006)
2.2.2
Etiologi
Penyakit ini biasanya disebabkan oleh mutasi germinal yang dapat diturunkan
ke generasi selanjutnya atau Karen mutasi somatic (mayoritas. Sekitar 66% kasus)
pada sel retina tunggal yang tidak dapat ditrasnmisikan secara genetic ( James et al,
2005).
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada
DNA (Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1
sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif
sebelum diferensiasi berakhir.( http://repository.usu.ac.id)
Umumnya
retinoblastoma
(95%)
didiagnosa
dibawah
usia
tahun.
Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma yang terjadi oleh karena
adanya mutasi genetik (gen RB1) dan retinoblastoma sporadik. Retinoblastoma yang
diturunkan secara genetik terbagiatas 2 tipe, yaitu retinoblastoma yang muncul pada
anak yang membawa gen retinoblastoma dari salah satu atau kedua orang tuanya
(familialretinoblastoma), dan retinoblastoma yang muncul oleh karena adanya mutasi
baru,yang biasanya terjadi pada sel spermaayahnya atau bisa juga dari sel telur ibunya
(sporadic heritableretinoblastoma). Kedua tipe retinoblastoma yang diturunkan
secara genetik ini biasanya ditemukan bersifat bilateral, dan muncul dalam tahun
pertama kehidupan, jumlahnya sekitar6%. Sedangkan retinoblastoma sporadic
biasanya bersifat unilateral, dan muncul setelah tahun pertama kehidupan, jumlahnya
96% ( med.unhas.ac.id/jurnal/2011)
2.2.3 Patofisiologi
Retinoblastoma dipicu oleh beberapa factor, antara lain : genetik maupun
pengaruh dari lingkungan ( Berpolusi, terpapar bahan kimia, sinar UV, radiasi ) dan
infeksi virus ini menyebabkan kesalahan replikasi, gerakan atau perbaikan sel.
Retinoblastoma biasanya disebabkan oleh mutasi germinal yang dapat
diturunkan ke generasi selanjutnya atau karena mutasi somatic ( Sekitar 66% kasus )
pada sel retina tunggal yang tidak dapat ditransmisikan secara genetic. Gen
retinoblastoma telah dilokalisasi dan produk gen diperkirakan mengontrol diferensiasi
sel retina. Penyakit ini muncul bila individu memiliki defek homozigot pada gen
retinoblastoma. Pada retinoblastoma turunan, satu kesalahan gen diturunkan dan
lainnya timbul dengan mutasi somatic spontan pada retina ( James et al, 2005 ).
Retinoblastoma terjadi karena mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada
DNA ( Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1
sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif
sebelum diferensiasi berakhir.
Pada keadaan retinoblastoma terjadi kehilangan kedua kromosom dari satu
alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom 13q14 yang berfungsi
sebagai protektif keganasan dan sering hilang pada beberapa tumor manusia dan
berpotensi mengandung gen supresor tumor (TSG). Bisa karena mutasi atau
diturunkan. Mutasi terjadi akibat perubahan pada rangkaian basa DNA. Peristiwa ini
dapat timbul karena kesalahan replikasi, gerakan, atau perbaikan sel. Mutasi dalam
sebuah sel benih akan ditransmisikan kepada turunan sel tersebut. Sejumlah factor,
termasuk virus, zat kimia, sinar ultraviolet, dan radiasi pengion, akan meningkatkan
laju mutasi. Mutasi kerap kali mengenai sel somatic dan kemudian ditentukan kepada
generasi sel berikutnya dalam suatu generasi.
Retinoblastoma dapat terjadi secara endofitik dan eksofiatik. Retinoblastoma
endofitik ditandai
Eksofiatik dimana pertumbuhan tumor keluar dari lapisan retina/ sub retina. Kedua
keadaan tersebut, dapat menyebabkan terjadi leukocoria. Leukocoria merupakan
keadaan yang tampak, akibat dari bayangan permukaan tumor yang tumbuh, hal ini
dapat menimbulkan penurunan visus mata sehingga terjadi gangguan pada
penglihatan. Keadaan dimana tumor telah mencapai area macular akan menimbulkan
strabismus yang sebabkan ketidakmampuan untuk fiksasi sehingga mata mengalami
deviasi dan berpengaruh terhadap penurunan lapang pandang. Massa tumor yang
semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda - tanda peradangan
vitreus yang menyerupai endoftalmitis. Adanya peningkatan ukuran tumor
pengetahuan perawatan post operasi dan juga resiko terjadi infeksi. Perubahan fisik
mata setelah operasi juga dlihat mengingat berpengaruh terhadap gambaran diri
pasien.
2.2.4 Komplikasi
1. Ablasio Retina (Lepasnya Retina)
Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel
pigmen retina (RIDE). keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan
dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia
setengah baya atau lebih tua.
2. Glukoma (Peninggian tekanan bola mata)
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang
tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan
mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan
menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola
mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan
menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf
mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
3. Kebutaan
4. Adanya metatase ke : Lamina kribosa, saraf optik yang infiltrasi ke vaginal
5.
6.
7.
8.
a. Strabismus (18%-22%)
b.
Hipopion
c.
Hyphema
d.
Heterochromia
e.
walaupun sudah diberikan obat mata dan pada kondisi gelap terlihat seolah bersinar
seperti kucing jadi anak tersebut bisa terindikasi penyakit retinoblastoma.
2.2.6 Klasifikasi Retinoblastoma
Golongan
Penjelasan
II
III
IV
- Prognosis meragukan
- Tumor multiple sampai ora serata
Penjelasan
Tenang
Glaukoma
Ekstraokuler
Tahapan
Kelompok 1:
Sangat Jinak
Penjelasan
Tumor tunggal, kurang dari 4 disc diameter (DD), pada atau
dibelakang ekuator. Tumor multiple, tidak lebih dari 4 DD,
Kelompok 2:
Jinak
Kelompok 3:
Tidak Terlalu
Jinak
Kelompok 4:
Ganas
Kelompok 5:
Sangat Ganas
vitreous seeding.
dengan
pengobatan.
Khas
gambaran
histopatologis
Pada tumor intraokuler yang sudah mencapai seluruh vitreus dan visus nol,
dilakukan enukleasi. Jika tumor telah keluar kebulbus okuli tetapi masih
terbatas di rongga orbita, dilakukan kombinasi eksenterasi, radioterapi dan
kemoterapi. Klien harus terus dievaluasi seumur hidup karena 20-90% klien
retinoblastoma bilateral akan menderita tumor ganas primer, terutama
osteosarkoma. Pada kasus bilateral semakin sering digunakan terapi
konservatif dengan radioterapi baik dengan plak epiksera maupun eksternal
beam dan teknik-teeknik fotokoagulasi untuk mempertahankan mata yang
keparahannya lebih ringan
2.4 Asuhan Keperawatan Retinoblastoma
2.4.1 Pengkajian
1. Demografi : Retinoblastoma unilateral dan bilateral paling banyak pada
kelompok usia 0 5 tahun sebanyak 40.6% dan 46.9%.
2. Keluhan Utama : Keluhan dapat berupa perubahan persepsi penglihatan,
demam, kurang nafsu makan, gelisah, cengeng, nyeri pada luka post operasi,
terjadi infeksi pada luka post op, serta perawatan dan pengobatan lanjutan dari
tindakan operasi. Umumnya pasien datang dengan keluhan mata merah dan
sakit 31.3%, leukokoria 28.1%, strabismus 21.9% dan proptosis 18.8%.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang: Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa
berupa bintik putih pada mata tepatnya pada retina, terjadi pembesaran, mata
merah dan besar.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu: Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan
kemungkinan memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi
ditempat lain misal: pernapasan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga: Berkaitan erat dengan penyakit keturunan
memberikan kerusakan pada seluruh lapis kelopak ataupun bola mata. Trauma
sebelumnya dapat juga memberikan kelainan pada mata tersebut sebelum
meminta pertolongan
7. Penyakit Mata Sebelumnya: Kadang-kadang dengan mengetahui riwayat
refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan yang banyak dalam badan
kaca.
f. Pemeriksaan tekanan bola mata: Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata
2.4.2
Pre Operatf
No
Data
1.
Data objektif :
- Penilaian Visus s/d
Etiologi
Mutasi pada sel
Masalah
Resiko tinggi Injury
1/60
Adanya massa tumor
Tekanan bola mata
meningkat
Leukokoria
retina
Retino Blastoma
Endofitik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous
Leukocaria
Penurunan visus
mata
Keterbatasan lapang
pandang
2.
3.
4.
Data subyektif :
Klien mengeluh sakit
di daerah mata
seperti ditusuk-tusuk
Data obyektif :
Skala nyeri 8 10
Tekanan darah
meningkat, takikardi
Klien rewel
Data subyektif :
Ibu klien sering
menanyakan apakah
anakny bisa sembuh,
apakah kemoterapi
satu-satunya obat,
bagaimana nanti
perawatan setelah
operasi
Data objektif :
Anak merasa takut
Tampak gelisah
Sering menangis
Anak menolak
makan
Massa membesar
Nyeri akut
Menekan jaringan
sekitar mata
Nyeri
Kurang info
mengenai penyakit
dan cara
pengobatannya
Kurang pengetahuan
Retino Blastoma
Endofitik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous
Leukocaria
Penurunan visus
mata
5.
Data objektif:
Belum dapat
menangkap bola
kecil dan
melemparkannya
kembali
Belum dapat
melompat dengan
satu kaki
Anak tidak dapat
berjinjit
Dilakukan tindakan
pembedahan
Mutasi pada sel
retina
Risiko Gangguan
Tumbuh Kembang
Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/
Tumbuh keluar
lapisan retina / sub
retina
Proses sosialisasi
terganggu
Pembatasan
Aktivitas
Post Op
No
1.
Data
Data subjektif :
Klien mengeluh
mual dan
muntah
Klien mengeluh
diare
Data objektif :
Turgor kulit
buruk
Ubun-ubun
cekung
Mukosa bibir
kering
Etiologi
efek samping
Kemoterapi
Mual /muntah, diare
Dehidrasi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Masalah
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
2.
Data subjektif :
Mengeluh nyeri
Mengeluh sakit
kepala
Data objektif :
Aktivitas kurang
Ekspresi
meringis
Sering menangis
Nyeri Akut
Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/
Tumbuh keluar lapisan
retina / sub retina
Peningkatan Ukuran
Massa Tumor
Peningkatan TIO
Mata menonjol
3.
6.
2.4.3
Data subjektif :
- Pasien mengeluh
badan panas
Data objektif :
- RR > 22
- Suhu > 37,5
Data objektif :
- Tidak akurat
mengikuti instruksi
- Keluarga Nampak
murung
- Keluarga gelisah
Kompresi/dekstruksi
pada jaringan saraf
Operasi
Resiko Infeksi
Post Operasi
Insisi Jaringan
Resiko Infeksi
Operasi
Cemas
Post Operasi
Kurang informasi
mengenai penyakit
anaknya
Diagnosa Keperawatan
1. Pre Op
a. Resiko injury berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
b. Ketakutan pada anak berhubungan dengan hospitalisasi
c. Resiko Gangguan Tumbuh Kembang berhubungan dengan pembatasan
aktivitas
d. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan massa pada jaringan
sekitar
2.4.5
Intervensi Keperawatan
Pre Op
No
Diagnosa keperawatan
Dx
1.
Kriteria hasil
Tujuan:
Tidak terjadi trauma
pada pasien
Kriteria Hasil:
Pasien tidak terjatuh
Intervensi
Rasional
1. Mengidentifikasikan
adakah
3. Mencegah
anak
terjatuh
saat
pengawasan minimal
keseimbangan, gerakan
terkoordinasi, perilaku
pencegahan jatuh,
kejadian jatuh, tidak
ada tanda tanda
2.
mengalai trauma
Tujuan :
Ketakutan dapat
berkurang
Kriteria Hasil :
Pasien tidak merasa
takut, gelisah, pasien
tidak sering menangis
Keluarga ikut
terapeutikmelalui
kegelisahan pasien
2. Membuat kedekatan dan
teknik
komunikasi
kepercayaan klien
berpartisipasi dalam
pemberian makan, dan
aktivitas anak.
tambahan.
3.
Tujuan:
Tidak terjadi
keterlambatan
perkembangan.
Kriteria Hasil:
Nyaman dalam proses
hospitalisasi, tidak
terjadi regresi, tidak
ngompol
1. Meningkatkan kemampuan
anak
2. Mempersiapkan anak untuk mendapat
kontrol diri.
2. Mengorientasikan situasi rumah
sakit.
3. Upaya mencegah / meminimalkan
dampak perpisahan
4. Keluarga dapat membantu proses
perawatan selama hospitalisasi
5. Menurunkan tingkat kejenuhan
selama hospitalisasi.
6. Metode permainan merupakan
cara alamiah bagi anak untuk
mengungkapkan konflik dalam
4.
Tujuan
Nyeri teratasi
1.
Kriteria hasil :
Menunjukkan
kemampuan
2.
mengontrol nyeri,
melaporkan nyeri
3.
berkurang
menggunakan
merasakan rasa
4.
berhubungan dengan
keterbatasan kognitif
terhadap informasi
1.
memahami informasi
tentang penyakit
telah tercapai
kebisingan
Pilih dan lakukan penanganan
tepat.
3.
tentang pengobatan.
4.
keluarga
menyatakan
penyakit, kondisi,
Kriteria hasil :
Keluarga pasien
pemahaman tentang
5.
Tujuan :
Ibu klien mengerti dan
berkurang
Kurang pengetahuan
manajemen nyeri,
5.
Post Op
1.
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan
ktidakmampuan pemasukan
makanan berhubungan
dengan fartor biologis dan
psikologis
Tujuan;
Pasien akan mampu
memenuhi kebutuhan
nutrisi sesuai
kebutuhan tubuh
Kriteria Hasil;
Menunjukkan
peningkatan
badan
kebutuhan
5. Berikan info tentang kebutuhan nutrisi
ideal
tanda
tanda
akibat
insisi
Tujuan:
Pasien akan terbebas
dari rasa nyeri.
Kriteria hasil:
Menunjukkan/mela
tahun,
dengan
porkan
hilangnya
menggunakan
nyeri maksimal
Menunjukkan
tindakan
mampu
berpartisipasi dalam
aktifitas/tidur/istira
dengan
reposisi)
dan
aktivitas
strategi
nonfarmakologis
relaksasi
dan
aktifitas
hiburan
sesuai
indikasi
untuk
situasi
terjadi
penyebaran
infeksi
prosedur
sama,
mencerminkan
anak.
2. meningkatkan
relaksasi
dan
perhatian.
tehnik-tehnik
seperti
memberikan
Tujuan:
Tidak
selama
mungkin
3. Karena
individu.
yang
ketrampilan
nyeri
penggunaan
peringkat
maksimal
Menunjukkan
3.
yang
santai,
hat
instruksi
1. Ciptakan
tindakan
pembedahan
lingkungan
ruanganyang
dan
dan
mengurangi
dan
sesudah
pembedahan.
Kriteria Hasil:
RR normal (16
kali/
melakukan tindakan.
4. Lakukan teknik aseptic dan disinfeksi
secara tepat dalam merawat luka.
5. Kolaborasi pemberian antibiotic.
22
menit
pengetahuan
keluarga
berhubungan
dengan
kurang
informasi
penyakit anaknya
terpapar
mengenai
Tujuan:
Keluarga akan
meningkatkan
pengetahuanya
Kriteria Hasil:
Keluarga dapat
mengikuti instruksi,
tidak kebingungan dan
tidak murung lagi,
tampak tenang dan
Keluarga dapat
menjawab dan
menjelaskan mengenai
penyakit anaknya
infeksi silang
4. Mencegah kontaminasi pathogen.
5. Mencegah pertumbuhan dan
perkembangan kuman.
- 37,5 oC )
Kurangnya
),
Temperatur normal ( 37
6.
transmisi kuman.
3. Melindungi klien dari sumber-
kepada keluarga
3. Beri informasi pada pasien
penyajian infomasi
3. Meningkatkan pengetahuan
pemberian informasi
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel
berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori dari lapisan epitel berpigen retina
dibawahnya karena retina neurosensori. Bagian retina yang mengandung batang dan kerucut,
terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu
melakukan aktifitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C.Smeltzer,
suzanne, 2002).
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan sensoris retina dan lapisan
epitelia pigmen retina (Kapita selekta kedokteran ed.3 jilid 1).
Ablasio retina adalah pele[asan retina dari lapisan epitelium neurosensoris retina dan
lapisan epitelia pigmen retina (Donna D. Ignativicius, 1991)
Ablatio retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah posterior mata
yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga mengakibatkan kebocoran cairan
sehingga antara koroid dan retina kekurangan cairan (Barbara L. Christensen, 2000).
Lepasnya retinal/sel kerucut dan batang sel choroid sehingga bagian ini mengalami
gangguan nutrisi dari charoid yang bila berlangsung lama akan mengakibat gangguan fungsi
yang tetap (Prof. Dr. Sidharta Ilyas, dr. Ramatjandra Illyas, 2004).
Jaringan saraf yang membentuk bagian peka cahaya pada retina membentuk suatu selaput
tipis yang melekat erat pada jaringan penyokong di bawahnya.
Jika
kedua
lapisan
tersebut terpisah, maka retina tidak dapat berfungsi dan jika tidak kembali disatukan bisa
terjadi kerusakan permanen.
2.5.2
Etiologi
Retina merupakan selaput transparan di bagian belakang mata yang mengolah bayangan
yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio retina seringkali dihubungkan
dengan adanya robekan atau lubang pada retina, sehingga cairan di dalam mata merembes
melalui robekan atau lubang tersebut dan menyebabkan terlepasnya retina dari jaringan di
bawahnya.
Hal tersebut bisa terjadi akibat:
a.
b.
c.
d.
e.
Trauma
Proses penuaan
Diabetes berat
Penyakit peradangan,
tetapi ablasio retina sering kali terjadi secara spontan.
Pada bayi prematur, ablasio retina bisa terjadi akibat retinopati akibat prematuritas.
Selama proses terlepasnya retina, perdarahan dari pembuluh darah retina yang kecil bisa
menyebabkan kekeruhan pada bagian dalam mata yang dalam keadaan normal terisi oleh
humor vitreus. Jika terjadi pelepasan makula, akan terjadi gangguan penglihatan pusat lapang
pandang.
Faktor resiko terjadinya ablasio retina adalah:
a. Rabun jauh
b. Riwayat keluarga dengan ablasio retina
c. Diabetes yang tidak terkontrol
d. Trauma.
2.5.3 Patofisiologi
Ablasio retina adalah pemisahan sensory retina dari epitel berpigmen. Pemisahan dari
dua dinding retina akan membentuk ruang sub retina. Cairan akan berkumpul di ruang
subretina. Ablasio retina dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu regmatogenosa,ablasio traksional,
dan ablasi eksudatif. Ablasio retina didahului dengan gejala ablasio vitreous posterior
termasuk floater dan cahaya berkilat. Dengan onset ablasio retina itu sendiri pasien
menyadari perkembangan progresif kerusakan lapang pandang yang sering dideskripsikan
sebagai bayangan atau tirai. Jika macula terlepas maka akan terjadi penurunan tajam
penglihatan bermakna. Pada ablasio retina dibutuhkan perbaikan dengan melakukan
pembedahan. Prinsip utama pada pembedahan adalah menutup robekan penyebab pada retina
dan memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina dengan cara
menginduksi inflanasi didaerah tersebut dengan pembekuan local menggunakan crayoprobe
atau laser.
Karena terjadi robekan pada retina, vitreous yang mengalami ikuifikasi dapat memasuki
ruang subretina dan menyebabkan ablasio retina. Proses sklerosis menyebabkan retina
menjadi degenerative menimbulkan robekan demikian pula pada orang tua dengan miopi
tinggi sering menimbulkan degenerasi kistoid yang mudah pecah. Retina yang tertarik oleh
serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina seperti pada retinopati proliferative dapat
menyebabkan ablasio retina traksional. Ablasio sekunder dapat terjadi karena adanya
penyebab penyakit lain seperti tumor koroid atau retina yang tumbuh kedepan sehingga
lepasnya retina disusul timbulnya eksudasi oleh karena rangsangancairan ini mengumpul
didalam celah potensial menyebabkan ablasio retina.
2.5.4
Klasifikasi
tetap berkumpul, lapisan sensoris akan terlepas dari lapisan epitel pigmen.
Manifestasi Klinis
Gejala Dini : Floaters dan fotopsia.
Gangguan lapangan Pandang
Melihat seperti tirai.
Visus menurun tanpa disertai rasa nyeri.
Pada pemeriksaan fundus okuli : tampak retina yang terlepas berwarna pucat dengan
2.5.6
pembuluh darah retina yang berkelok kelok disertai / tanpa robekan retina
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan oftalmologi
1) Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea
ikut terangkat.
2) Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup tabir
dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina, pada
lapangan pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.
Pemeriksaan lapang pandangan dapat dilakukan dengan:
1) Pemeriksaan konfrontasi, yaitu pemeriksaan dengan melakukan perbandingan
lapang pandangan pasien dengan si pemeriksa sendiri.
2) Pemeriksaan perimeter atau kampimetri, Lapang pandangan normal adalah 90
derajat temporal, 50 derajat atas, 50 derajat nasal dan 65 derajat ke bawah.
3) Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
pemeriksaan funduskopi.
2.5.7 Penatalaksanaan
1. Kolaborasi Intervensi Bedah
Prinsip Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali
lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina. Penanganannya dilakukan dengan
pembedahan, pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara:
1) Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasio retina
regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada superior retina. Teknik
pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam
vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina. Jika robekan dapat ditutupi
oleh gelembung gas, cairan subretinal akan menghilang 1- 2
hari.
Pasien
harus
mempertahankan posisi kepala selama 7-10 hari untuk meyakinkan gelembung terus
menutupi robekan retina. Keuntungan dari tindakan ini adalah pasien tidak perlu
dirawat inap dan mencegah komplikasi yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan
prosedur buckling. Kerugiannya adalah kepala pasien harus dalam posisi tertentu
dalam 7 10 hari, dan mempunyai tingkat keberhasilan lebih rendah dibandingkan
dengan skleral buckle.
2) Scleral buckle ( Pelibatan Sklera )
Operasi jenis ini sampai sekarang masih merupakan pilihan untuk ablasi tipe
regmatogenosa, terutama jika tidak ada komplikasi. Buckle biasanya berupa silicon
berbentuk spons atau padat tergantung dari lokasi dan jumlah robekan retina.Silikon
tersebut dipasangkan melingkari bola mata dengan tujuan membentuk cekukan
kedalam pada dinding bola mata untuk menutupi rongga yang terjadi akibat robeknya
retina. Jika robekan telah tertutup, maka cairan dalam retina akan menghilang secara
spontan dalam jangka waktu 1 2 hari. Prosedur ini lebih sering dilakukan dengan
anestesi lokal dan pasca operasi pasien tidak harus dalam posisi tertentu pasien dapat
melakukan aktivitas seperti biasa kecuali aktivitas yang dapat melukai kepala.
3) Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat
diabetes, ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus (perdarahan viterus) atau
hemoragik vitreus.Pada dasarnya vitrektomi merupakan tindakan pengeluaran cairan
vitreus kemudian digantikan dengan gas khusus yaitu SFG
( Sulfoheksafliurid).
Secara perlahan gas tersebut akan diserap dan digantikan kembali dengan cairan yang
diproduksi oleh mata itu sendiri. Cara pelaksanaan vitrektomi yaitu dengan membuat
insisi kecil pada bola mata kemudian memasukkan instrument ke dalam rongga
viteus,setelah instrument di masukkan viterus di pindahkan dengan menggunakan
vitreus culter kemudian dilanjutkan dengan teknik sayatan tractional bands dan air
fluid exchange yakni memasukkan cairan silikon untuk menempelkan kembali retina.
Pada operasi vitrektomi kepala pasien harus berada dalam posisi tertentu untuk
menjaga agar retina tetap menempel.Terkadang vitrektomi dapat dilakukan bersamaan
dengan pemasangan sklera buckle.
Operasi-operasi tersebut diatas bisa dilakukan dengan menggunakan bius lokal
maupun general, tergantung pada kesehatan penderita dan waktu yang diperkirakan
diperlukan untuk merekatkan kembali retina.Pada penderita dengan lepasnya retina
sederhana biasanya soudah dibolehkan berjalan sehari setelah operasi dan tidak perlu
rawat inap di rumah sakit.Tetapi setelah pulang pasien memerlukan salep dan obat
tetes untuk merawat mata pasca pembedahan,dan terkadang diperlukan kacamata atau
lensa kontak bila setalah pembedahan retina ternyata penglihatan terganggu.
Bila retina robek tetapi belum lepas, maka lepasnya retina itu dapat dicegah
dengan tindakan laser atau menggunakan tindakan kriopeksi.
1) Laser
Pembedahan laser digunakan untuk menutup lubang atau robekan pada retina
yang biasanya ditemukan sebelum terjadinya ablasio.Sinar laser yang digunakan
adalah yang mampu menciptakan lingkungan yang terbakar pada retina, Laser
akan menempatkan luka bakar kecil di sekeliling pinggir robekan. Luka bakar ini
akan menimbulkan jaringan parut yang mengikat pinggiran robekan dan
mencegah cairan lewat dan berkumpul di bawah retina
2) Kriopeksi
Kriopeksi merupakan teknik membekukan dinding bagian belakang mata yang
terletak di belakang robekan retina.Cara kerja kriopeksi yaitu dapat merangsang
pembentukan jaringan parut dan merekatkan pinggir robekan retina dengan
dinding belakang bola mata. Teknik ini digunakan bersamaan dengan penyuntikan
gelembung udara dan kepala dipertahankan pada posisi tertentu untuk mencegah
penimbunan kembali cairan di belakang retina. Kriopeksi biasanya dilakukan pada
pasien berobat jalan dan hanya memerlukan pembiusan local pada mata.
Penempelan kembali retina yang sukses, terdiri dari penempelan robekan retina,
2.
3.
informasi secara akurat dan tenangkan hati klien untuk mengurangi kecemasan klien.
Perawatan Postoperasi
Tanda vital dan TIO. Pemantauan tanda vital perlu dilakukan tiap 15-30 menit (atau
sesuai kebijakan rumah sakit) sampai kondisi klien stabil. Monitor TIO minimal 24 jam
secara ketat. Perawatan mata. Adanya drainase, harus segera dilaporkan pada
ofthalmologist. Balutan tidak boleh dilepas tanpa order khusus. Kedua mata dibalut
selama 5-6 hari dan setelah boleh dilepas balutan mata diganti minimal 1 kali sehari.
Bantu aktivitas sehari hari klien untuk mencegah hentakan atau pergerakan kepala yang
berlebihan. Berikan kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan memberikan
kenyamanan. Visus tidak dapat kembali dengan segera karena pembengkakan post op
dan efek dilatasi tetes mata. Visus meningkat bertahap dalam beberapa minggu samapi
bulan. Jelaskan pada klien agar membatasi membaca dan menulis untuk mencegah
pergerakan
mata
yang
berlebihan.
Posisi dan aktivitas klien. Posisi dan tingkat yang diizinkan setelah pembedahan
diberikan oleh dokter. Kepala diposisikan sedemikian rupa sehingga daerah yang
diperbaiki menggantung, mencegah dorongan gravitasi merusak daerah operasi. Jika gas
(sulfaheksafluorid) digunakan untuk membantu penyatuan retina kembali, maka klien
diatur dalam posisi yang memungkinkan gas mengangkat retina. Pembatasan aktivitas
yang sama juga dilakukan pada klien yang menggunakan minyak silikon.
Memposisikanklien pada abdomen dengan kepala menoleh ke arah mata yang dioperasi
sering dianjurkan, sehingga klien berbaring dengan mata yang tidak dioperasi berada
dibawah. Posisi ini dipertahankan beberapa hari sampai gas diabsorpsi. Hindari gerakan
menghentakkan kepala ( menyisir rambut, membungkuk, mengejan, bersin, batuk,
muntah ) dan batasi aktivitas yang berlebihan hingga tercapai penyembuhan. Perawat
perlu membantu aktivitas sehari-hari klien untuk mencegah hentakan atau pergerakan
kepala yang berlebihan. Medikasi, Klien kadang memerlukan antiemetik atau obat batuk
yang yang dianjurkan serta laksatif (jika perlu). Nyeri, Klien mungkin mengalami nyeri
pascaoperasi. Analgesik seperti meperidi atau asetaminofen dan kodein biasanya
diresepkan. Tindakan non-farmakologis seperti distraksi atau imajinasi terbimbing dapat
dilakukan pada kondisi ini. Peningkatan nyeri secara mendadak atau nyeri yang
2.5.8
Web Of Causation
Inflamasi
Perubahan degenerative
intraokuler/tumor
dalam vitreus
Konsentrasi as.hidlorunat
Vitreus menjadi cair
Peningkatan cairan
eksudatif/ serosa
membengkak ke depan
Tarikan Retina
MK: Nyeri
Penurunan tajam pandang sentral
ditandai
Robekan
retina
dengan :
MK:Ketakutan
pada dipersepsikan
anak
Sel-sel
Retina dan
-floater
sebagai
titik-titik
hitam kecil/rumah laba-labadarah terlepas
- bayangan berkembang/tirai
bergerak
Retina
terlepas dari
dilapang pandang
epitel berpigmen
Rencana
Oprerasi
MK: Resiko
injury
f. Pola-pola Fungsi Kesehatan, Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post
ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai berikut :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup: Bagaimana persepsi pasien tentang hidup
sehat, dan apakah dalam melaksanakan tata laksana hidup sehat penderita
-
sakit.
Pola aktifitas dan latihan: Apa saja kegiatan sehari-hari sebelum masuk rumah
sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum dan
cara berpikir dan jalan pikiran pasien mengenai sakit yang sedang dialami
Pola penanggulangan stress: Bagaimana pasien memecahkan masalah yang
jernih.
Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang telah masuk
Pre Operatif
1) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest total selama pre operasi.
3) Gangguan body image berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.
2.
Post Operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina
3) Resiko injury berhubungan dengan kemungkinan jahitan hasil operasi rusak kembali
4) Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan program teapeutik yang
berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang aktivitas yang
diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi dan perawatan tindak
lanjut
mengontrol cemas
Vital sign dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji tingkat ansietas : ringan,sedang,berat,panic
2. Berikan kenyaman dan ketentraman hati
3. Berikan penjelasan mengenai prosedur perawatan,perjalanan penyakit &
progno-sisnya.
4. Berikan/tempatkan alat pemanggil yang mudah dijangkau oleh klien
5. Gali intervensi yang dapat menurunkan ansietas.
6. Berikan aktivitas yang dapat menurunkan kecemasan/ketegangan.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest total selama pre dan post
operasi
Kriteria hasil :
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TIO, tekanan
-
Intervensi :
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
3. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan
progran terapi yang tepat.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
5. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
6. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
7. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual.
3) Gangguan body image (konsep diri) berhubungan dengan penurunan tajam
penglihatan.
Kriteria hasil :
- Body image positif
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi sosial
Intervensi :
1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
5. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
2.
Post Operatif
Intervensi:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri sesuai advis dokter.
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina
Kriteria hasil :
-
Intervensi :
1.
Intervensi :
1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
3. Membatasi pengunjung
4. Memberikan penerangan yang cukup
5. Menganjurkan keluarga mendampingi pasien
4) Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan program teapeutik yang
berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang aktivitas yang
diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi dan perawatan
tindak lanjut
Kriteria Hasil :
-
Intervensi :
1. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit, komplikasi dan pengobatan
motivasi
berkesinambungan
pasien
untuk
melanjutkan
pengobatan
yang
BAB 3
STUDI KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN
An. AG ( 4 thn ) dengan Retinoblastoma
Pengkajian Kasus
An. AG ( laki laki ) berusia 4 tahun masuk rumah sakit tanggal 31 September 2015.
Anak terlihat rewel dan menangis mengeluh kesakitan saat digendong ibunya sambil
bersembunyi di lengan ibunya. Mata kanan putih bercahaya, dan menurut orang tuanya hal
ini muncul sejak 3 minggu sebelum MRS dimana lebih jelas tampak pada malam hari, dan
diketahui 3 hari sebelum MRS, pasien merasa nyeri hebat pada mata kiri. Alasan utama
orang tua membawa anaknya adalah karena mata kiri pasien tidak dapat melihat lagi dan
adanya nyeri hebat, mata kiri pasien terlihat membesar kurang lebih
menjelaskan bahwa tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang menular maupun
penyakit seperti yang dialami oleh anaknya.keluarga terlihat gelisah dan ketakutan akan
keadaan anaknya. Pasien sering mengompol 8x/hari dan sering menghisap jari. Kesadaran
compos mentis, TD : 100/ 80 mmHg, Nadi 124 kali/mnt, S: 37C, RR: 20x/mnt, skala
nyerinya 10. Dari pengkajian mata, tampak adanya leukokoria, Visus OD : nol, Visus OS :
kesan (+).
3.2 Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan
N
o
Masalah
1 Nyeri akut
Etiologi
Data Penunjang
Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/ Tumbuh
keluar lapisan retina / sub
retina
Peningkatan Ukuran Massa
Tumor
Peningkatan TIO
Mata menonjol
Nyeri Akut
2 Resiko Gangguan
perkembangan
Data Subjektif : -.
Data Objektif :
Px belum dapat menangkap bola
kecil dan melemparkannya
kembali
Px belum dapat melompat
dengan satu kaki
Px tidak dapat berjinjit
Pembatasan aktivitas
Proses sosialisasi terganggu
Resiko Gangguan
Perkembangan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi/ destruksi jaringan syaraf intraorbita akibat
pembesaran massa tumor, ditandai dengan :
Data Subjektif : Ibu pasien mengatakan 3 hari sebelum MRS, anaknya merasakan
nyeri hebat pada mata kanan.
Data Objektif : Saat dikaji, skala nyeri 10. Pasien tampak rewel dan menangis
kesakitan saat digendong oleh ibunya. Nadi 124 kali/mnt.
2. Resiko Gangguan perkembangan berhubungan dengan pembatasan aktivitas dalam
proses hospitalisasi, ditandai dengan :
Data Objektif : Saat dikaji Px belum dapat menangkap bola kecil dan
melemparkannya kembali, Px belum dapat melompat dengan satu kaki, dan Px
tidak dapat berjinjit.
No. Diagnosa
keperawatan
Dx
1.
Nyeri berhubungan
dengan perlukaan akibat
Peningkatan Ukuran
Massa Tumor
Kriteria hasil
Tujuan
Intervensi
: Pasien akan terbebas 1. Minta klien melokalisasi nyeri dengan
Rasional
yang
mempunyai kesulitan
memahami
skala
atau
aktifitas/tidur/istirahat dengan
maksimal
Menunjukkan
ketrampilan
aktifitas
penggunaan
relaksasi
hiburan
dan
pada
tubuh
menggunakan
2.
sesuai
(misalnya:
reposisi)
dan
aktivitas
hiburan.
3.
sedih, menghasilkan
peringkat nyeri yang
sama,
mungkin
mencerminkan
peringkat
4.
dengan
menggunakan
strategi
intensitas
dan
memfokuskan
5.
Rencanakan
untuk
memberikan
kembali perhatian.\
3. Karena tehnik-tehnik
seperti
relaksasi,
pernapasan berirama,
dan
distraksi
dapa
membantu
nyeri
dapat
lebih
ditoleransi.
4. Pelatihan
mungkin
diperluakn
untuk
membantu
anak
berfokus
pada
tindakan
yang
diperlukan.
5. Untuk
meghindari
timbulnya nyeri yang
lebih lanjut
2.
Resiko Gangguan
perkembangan
berhubungan dengan
pembatasan aktivitas
Tujuan:
Tidak
1. Memaksimalkan
terjadi
keterlambatan
manfaat
hospitalisasi 1. Meningkatkan
anak.
perkembangan.
2. Mempersiapkan anak untuk mendapat
Kriteria Hasil:
kemampuan kontrol
diri.
2. Mengorientasikan
situasi rumah sakit.
meminimalkan
dampak perpisahan
4. Keluarga dapat
membantu proses
perawatan selama
hospitalisasi
5. Menurunkan tingkat
kejenuhan selama
6. Lakukan
permainan.
pendekatan
melalui
metode
hospitalisasi.
6. Metode permainan
merupakan cara
alamiah bagi anak
untuk
mengungkapkan
konflik dalam dirinya
ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S.B ( 39 thn ) dengan Ablasio Retina
1. Kasus dan Pengkajian
Tn. S.B. seorang wiraswasta (39 tahun) datang ke poliklinik mata RSUA
dengan keluhan 3 minggu terakhir pandangan mata kanannya berubah. Tn.
S.B merasa tiba - tiba ada yang menutupi sebagian pandangan mata kanannya,
penglihatan mata kanannya seperti ada asap, ada bintik-bintik hitam dan
kadang-kadang ada kilatan cahaya yang terjadi. Tn. S.B mengatakan
perubahan tersebut terjadi secara tiba tiba dalam waktu 3 minggu terakhir
tanpa disertai rasa sakit. Tn. S.B terlihat nampak tegang dan gelisah, dan
mengatakan khawatir sekali serta takut mata kanannya lama kelamaan akan
menjadi buta. Tn. S.B mengaku bahwa dirinya selama ini menderita rabun
jauh sejak kelas 3 SMA, jarang menggunakan kacamata (kacamata digunakan
sesuai kebutuhan) dan jarang melakukan pemeriksaan karena kesibukkan
pekerjaan.
Hasil Pemeriksaan yang dilakukan Ns. Arifin ditemukan data sebagai berikut :
Inspeksi : mata simetris kiri kanan, palbebra tidak ada kelainan,
konjungtiva merah muda, skelera putih, pupil isokor, kornea bening
transparan, iris cokelat terang tidak ada kelainan, dan lensa tidak ada
kekeruhan.
Pemeriksaan Visus dan lapang pandang :
Visus OD 6/ 30 dan OS 6/10
Lapang pandang OD : temporal 45 derajat, atas 20 derajat, nasal 35
derajat, 45 derajat. Lapang pandang OS : temporal 90 derajat, atas 50
Diagnosa medis :
Masalah
1.
Keperawatan
Gangguan persepsi Traksi
DS :
Pasien
mengatakan
menutupi
sebagian
ada
pandangan
Etiologi
vitreous,
robekan
pada
retina
Floater
Kerusakan pada
terjadi.
makula
DO :
o Visus OD 6/ 15 dan OS 6/10
o Lapang pandang :
OD : temporal 45 derajat, atas
20 derajat, nasal 35 derajat, 45
Muncul
bayangan
atau
tirai
derajat.
OS : temporal 90 derajat, atas
Penurunan visus
dan
bawah 65 derajat.
o Funduskopi :
Ditemukan warna diskus pucat
dan atrofik, retina terlihat
berwarna
abu
abu,
terlihat
bergelombang,
seperti
pembuluh
dengan
gelombang
pandang
lapang
koroid
terlihat
normal,
berbentuk
menit, RR 18 x/ menit.
DS :
Axietas
Traksi
robekan
retina
vitreous,
pada
Floater
Muncul
bayangan
atau
tirai
Penurunan visus
dan
lapang
pandang
Krisis Situasi.
3. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : visual b.d penurunan visus dan lapang
pandang
2. Anxietas b.d krisis situasi.
4. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensorik
penglihatan
berhubungan dengan
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Retinoblastoma merupakan tumor ganas mata yang sering ditemukan pada
masa anak ( James et al, 2005 ). Retinoblastoma merupakan suatu bentuk
keganasan intra okuler primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak,
dengan angka kejadian sekitar 1:15.000 1: 23.000 kelahiran hidup, dan
merupakan 4 % dari total seluruh keganasan pada anak-anak, sekitar 1 % dari
seluruh kanker pada manusia, dan merupakan keganasan kedua terbanyak pada
semua tingkat usia setelah melanoma maligna.
Ablatio Retina adalah pemisahan retina neurosensorik dari lapisan epitel
berpigmen akibat beretraksinya humor vitreus yang sebagian besar kasus terjadi
karena robekan / lubang pada retina. Robekan pada retina dapat terjadi karena
proses degenerasi baik berupa penipisan retina atau penyusutan Corpus Vitreous.
Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang professional kepada
pasien retinoblastoma dan ablasio retina melalui pendekatan proses keperawatan
yang terdiri dari pengkajian keperawatan, menentukan diagnose keperawatan,
merencanakan
tindakan
keperawatan,
mengimplementasikan
tindakan
keperawatan dan melakukan evaluasi agar semua kebutuhan dasar klien dapat
terpenuhi.
4.2 Saran
4.2.1 Informasi mengenai retinoblastoma dan ablasio retina yang telah
didapatkan oleh mahasiswa diharapkan tidak hanya sekedar diketahui,
praktik keperawatan.
Pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan retinoblastoma harus
memperhatikan pada sumber daya dan kesiapan mental yang dimiliki oleh
pasien untuk mencegah timbulnya komplikasi yang yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2.
EGC. Jakarta.
Corwin, Elizabeth. J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
(2000). Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed. 8.
EGC. Jakarta.
Darling, V.H. & Thorpe, M.R. (1996). Perawatan Mata. Yayasan Essentia Media.
Yogyakarta.
Doengoes, Marylin E.. (1989). Nursing Care Plans. F.A Davis Company. USA
Philadelphia.
Ilyas, Sidarta. (2000). Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. FKUI Jakarta.
Istiqomah, Indriana N. (2005). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata.
EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Mansjoer, A. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Media Aesculapius
FKUI Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. (1985). Pathofisiologi Konsep klinik Proses-Proses
Penyakit. EGC. Jakarta.
Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Smeltzer, S.C, Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.
Wijana, Nana. (1983). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI Jakarta