Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit pada retina merupakan penyebab terbesar penurunan penglihatan pada
negara barat tetapi mungkin lebih jarang pada negara berkembang dimana kehilangan
penglihatan disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah seperti katarak dan
sikatrik pada mata. Namun, survey berbasis populasi yang dilakukan di india
menunjukkan bahwa penyakit pada retina merupakan penyebab utama dari kebutaan
dengan presentase signifikan (12,7%) dari populasi yang diteliti. Di amerika serikat
dan eropa. Insidensi tahunan untuk penyakit retina atau ablasio retina antara 6 sampai
12 per 100.000 populasi pertahun telah dilaporkan. Survey berbasis populasi pada
insidensi ablasio retina di negara berkembang masih jarang dan sedikit yang diketahui
mengenai insidensi ablasio retina di afrika.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah ekstraksi katarak yang dilakukan saat ini.
hal ini menjelaskan bahwa ablasio retina pseudofaki juga akan meningkat. Akibatnya
di negara berkembang seperti ethiophia, dimana masih kurangnya fasilitas operasi
yang optimal dan sedikitnya ahli bedah vitreoretinal, kebutaan kareana penyakit
retina seperti ablasio retina. Retinopati diabetic dan degenerasi macular terkait usia
akan meningkat, kecuali di desainstrategi untuk meningkatkan jumlah professional
terlatih dalam bidang retina.
Ablasio Retina adalah terpisahnya / terlepasnya retina dari jaringan
penyokong di bawahnya. Jaringan saraf yang membentuk bagian peka cahaya pada
retina membentuk suatu selaput tipis yang melekat erat pada jaringan penyokong di
bawahnya, Jika kedua lapisan tersebut terpisah, maka retina tidak dapat berfungsi dan
jika tidak kembali disatukan bisa terjadi kerusakan permanen, Ablasio bisa bermula di
suatu daerah yang kecil, tetapi jika tidak diobati, seluruh retina bisa terlepas. Pada
salah satu bentuk ablasio, retina betul-betul mengalami robekan. Bentuk ablasio ini
biasanya terjadi pada penderita miopia atau penderita yang telah menjalani operasi
katarak atau penderita cedera mata, Pada ablasio lainnya, retina tidak robek tetapi

terpisah dari jaringan di bawahnya. Pemisahan ini terjadi jika gerakan cairan di dalam
bola mata menarik retina atau jika cairan yang terkumpul diantara retina dan jaringan
di bawahnya mendorong retina.
Retina cenderung terkena banyak penyakit, baik yang diturunkan maupun
yang didapat, antara lain Retinoblastoma & Ablatio Retina. Ablatio Retina paling
sering terjadi pada orang di atas 40 tahun, dan sekitar dua pertiga dari pasien yang
terkena dampak rabun (rabun). Trauma pada bola mata, memar parah, lesi inflamasi,
dan operasi kadang-kadang mata seperti untuk katarak juga dapat menyebabkan
ablasi retina. (Farlex, Inc, 2012).
Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering pada bayi dan anak
yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Tiga kasus Retinoblastoma
bilateral secara khas didiagnosis pada tahun pertama kehidupan dalam keluarga dan
pada kasus sporadik unilateral di diagnosis antara umur 13 tahun. Kejadian kasus di
atas 5 tahun jarang terjadi. Usia kejadian retinoblastoma pada orang dewasa adalah
antara usia 20 - 74 tahun. Tidak ada perbedaan yang perbedaan yang menonjol antara
antara pria dan wanita. (Indian J Ophthalmol. 2010). Sebagian besar retinoblastoma
adalah mutasi sporadic tetapi sekitar 10% terjadi akibat herediter yang diwariskan
melalui kromosom. Insiden gangguan ini 1 dalam 15.000 bayi lahir hidup.
Pencegahan dan penanganan terhadap penyakit

retinoblastoma memiliki

karakteristik dalam mengatasi masalah yang sangat komprehensif. Aspek pengobatan


retinoblastoma dapat dilakukan secara local dan melalui pengobatan sistemik untuk
jenis ekstrokular, regional, dan metastatic. Karena itu seorang perawat diharapkan
mampu memahami tentang proses penyakit retinoblastoma.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang konsep dasar dan
asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnose medis retinoblastoma dan
1.2.2

ablasio retina
Tujuan Khusus
a. Memahami pengertian dari penyakit retino blastoma dan ablasio retina.
b. Memahami tentang penyebab dari penyakit retino blastoma dan ablasio
retina

c. Memahami dan menyebutkan tanda dan gejala dari penyakit penyakit


retino blastoma dan ablasio retina.
d. Memahami patofisiologi dari dari penyakit retino blastoma dan ablasio
retina.
e. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan
dari penyakit retino blastoma dan ablasio retina.
f. Memahami dna menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan retino
blastoma dan ablasio retina

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Retina

Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus
pandang. Merah pada fundus adalah warna koroid. Retina terdiri dari macam-macam
jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueller,
membrane limitans interna dan eksterna, serta sel-sel glia. Lapisan-lapisan retina dari
dalam ke luar, adalah sebagai berikut :
1) Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
badan kaca.
2) Lapisan sel saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah retina.
3) Lapisan sel ganglion, merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
4) Lapisan pleksiformis dalam, merupakan lapisan aseluler yang merupakan
tempat sinaps sel bipolar, sel amakrim dengan sel ganglion.

5) Lapisan inti dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel
Muller, lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6) Lapisan pleksiformis luar, merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat
sinaps sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
7) Lapisan inti luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan sel
batang.Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
8) Lapisan fotoreseptor terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping,
dan sel kerucut, merupakan sel fotosensitif.
9) Epitel pigmen retina.
2.2 Konsep Dasar Retinoblastoma
2.2.1

Defini Retinoblastoma
Retinoblastoma adalah tumor masa kanak-kanak yang jarang namun bisa

fatal. Dua pertiga kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, kasus-kasus yang jarang
dilaporkan hampir disegala usia. Tumor bersifat bilateral pada sekitar 30% kasus.
Umumnya, hal ini merupakan suatu tanda dari penyakit herediter, tetapi lebih dari
sepertiga kasus-kasus keturunan terjadi unilateral. (Vaughan dan Ashburry, 2010).
Retinoblastoma merupakan tumor ganas mata yang sering ditemukan
pada masa anak. Retinoblastoma merupakan suatu bentuk keganasan intra okuler
primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak, dengan angka kejadian
sekitar1:15.0001:23.000 kelahiran hidup, merupakan 4 % dari total seluruh
keganasan pada anak-anak, sektar 1 %dari seluruh kanker pada manusia, dan
merupakan keganasan kedua terbanyak kepada semua tingkat usia setelah melanoma
maligna ( James et al, 2005).
Retinoblastoma adalah tumor mata langka masa kecil yang muncul di
retina dan merupakan keganasan intraokular yang paling umum dari masa bayi dan
masa kanak-kanak . Ini dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering terjadi
pada anak-anak yang lebih muda, biasanya sebelum usia dua tahun (Isabelle Aerts,
2006)
2.2.2

Etiologi

Penyakit ini biasanya disebabkan oleh mutasi germinal yang dapat diturunkan
ke generasi selanjutnya atau Karen mutasi somatic (mayoritas. Sekitar 66% kasus)
pada sel retina tunggal yang tidak dapat ditrasnmisikan secara genetic ( James et al,
2005).
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada
DNA (Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1
sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif
sebelum diferensiasi berakhir.( http://repository.usu.ac.id)
Umumnya

retinoblastoma

(95%)

didiagnosa

dibawah

usia

tahun.

Retinoblastoma terdiri atas dua tipe, yaitu retinoblastoma yang terjadi oleh karena
adanya mutasi genetik (gen RB1) dan retinoblastoma sporadik. Retinoblastoma yang
diturunkan secara genetik terbagiatas 2 tipe, yaitu retinoblastoma yang muncul pada
anak yang membawa gen retinoblastoma dari salah satu atau kedua orang tuanya
(familialretinoblastoma), dan retinoblastoma yang muncul oleh karena adanya mutasi
baru,yang biasanya terjadi pada sel spermaayahnya atau bisa juga dari sel telur ibunya
(sporadic heritableretinoblastoma). Kedua tipe retinoblastoma yang diturunkan
secara genetik ini biasanya ditemukan bersifat bilateral, dan muncul dalam tahun
pertama kehidupan, jumlahnya sekitar6%. Sedangkan retinoblastoma sporadic
biasanya bersifat unilateral, dan muncul setelah tahun pertama kehidupan, jumlahnya
96% ( med.unhas.ac.id/jurnal/2011)
2.2.3 Patofisiologi
Retinoblastoma dipicu oleh beberapa factor, antara lain : genetik maupun
pengaruh dari lingkungan ( Berpolusi, terpapar bahan kimia, sinar UV, radiasi ) dan
infeksi virus ini menyebabkan kesalahan replikasi, gerakan atau perbaikan sel.
Retinoblastoma biasanya disebabkan oleh mutasi germinal yang dapat
diturunkan ke generasi selanjutnya atau karena mutasi somatic ( Sekitar 66% kasus )
pada sel retina tunggal yang tidak dapat ditransmisikan secara genetic. Gen
retinoblastoma telah dilokalisasi dan produk gen diperkirakan mengontrol diferensiasi

sel retina. Penyakit ini muncul bila individu memiliki defek homozigot pada gen
retinoblastoma. Pada retinoblastoma turunan, satu kesalahan gen diturunkan dan
lainnya timbul dengan mutasi somatic spontan pada retina ( James et al, 2005 ).
Retinoblastoma terjadi karena mutasi gen RB1, yang terletak pada lengan
panjang kromosom 13 pada locus 14 (13q14) dan kode protein pRB, yang berfungsi
sebagai supresor pembentukan tumor. pRB adalah nukleoprotein yang terikat pada
DNA ( Deoxiribo Nucleid Acid) dan mengontrol siklus sel pada transisi dari fase G1
sampai fase S. Jadi mengakibatkan perubahan keganasan dari sel retina primitif
sebelum diferensiasi berakhir.
Pada keadaan retinoblastoma terjadi kehilangan kedua kromosom dari satu
alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom 13q14 yang berfungsi
sebagai protektif keganasan dan sering hilang pada beberapa tumor manusia dan
berpotensi mengandung gen supresor tumor (TSG). Bisa karena mutasi atau
diturunkan. Mutasi terjadi akibat perubahan pada rangkaian basa DNA. Peristiwa ini
dapat timbul karena kesalahan replikasi, gerakan, atau perbaikan sel. Mutasi dalam
sebuah sel benih akan ditransmisikan kepada turunan sel tersebut. Sejumlah factor,
termasuk virus, zat kimia, sinar ultraviolet, dan radiasi pengion, akan meningkatkan
laju mutasi. Mutasi kerap kali mengenai sel somatic dan kemudian ditentukan kepada
generasi sel berikutnya dalam suatu generasi.
Retinoblastoma dapat terjadi secara endofitik dan eksofiatik. Retinoblastoma
endofitik ditandai

dengan pertumbuhan tumor ke dalam vitreous, sedangkan

Eksofiatik dimana pertumbuhan tumor keluar dari lapisan retina/ sub retina. Kedua
keadaan tersebut, dapat menyebabkan terjadi leukocoria. Leukocoria merupakan
keadaan yang tampak, akibat dari bayangan permukaan tumor yang tumbuh, hal ini
dapat menimbulkan penurunan visus mata sehingga terjadi gangguan pada
penglihatan. Keadaan dimana tumor telah mencapai area macular akan menimbulkan
strabismus yang sebabkan ketidakmampuan untuk fiksasi sehingga mata mengalami
deviasi dan berpengaruh terhadap penurunan lapang pandang. Massa tumor yang
semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria, tanda - tanda peradangan
vitreus yang menyerupai endoftalmitis. Adanya peningkatan ukuran tumor

berpengaruh terhadap peningkatan Tekanan Intra Okular ( TIO ) sehingga mata


tampak menonjol ( Proptosis ). Hal ini dapat menimbulkan nyeri akut. Jika sel-sel
tumor terlepas dan masuk ke segmen anterior mata, akan menyebabkan glaucoma
atau tanda peradangan berupa hipopion atau hifema. Pada anak yang mengalami
Retinolastoma terjadi pembatasan aktivitas karena keadaan penyakitnya sehingga
proses sosialisasi terganggu, baik dalam kesehariannya maupun saat bermain.
Dampak yang dapat terjadi pada anak anak adalah resiko terjadi gangguan tumbuh
kembang.
Pertumbuhan tumor ini dapat menyebabkan metastase melalui darah, nervus
optikus ke otak, sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal, dan metastasis jauh ke
sumsum tulang melalui pembuluh darah. Metastase ke mata yang lain tersebut
menyebabkan mata menonjol, strabismus dan leukokoria sama keadaannya seperti
pada mata terdahulunya. Terjadi nyeri hebat pada otak, dan secara lebih spesifik pada
cerebelum menyebabkan terjadinya gangguan ingatan. Selain itu, metastasenya juga
mengenai nervus Optikus yang berdampak pada masalah sensori persepsinya.
Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat menonjol ke badan kaca.
Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan. Warna iris tidak normal.
Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe preaurikuler dan submandibula serta
secara hematogen ke sumsum tulang dan visera, terutama hati. ( Istiqomah, 2004 )
Retinoblastoma dapat ditangani melalui tindakan operasi dan kemoterapi.
Kemoterapi yang dijalani oleh penderita RB juga dapat menimbulkan beberapa
keadaan sebagai efek dari penatalaksanaannya, yakni antara lain : mual/ muntah,
alopesia, degradasi sumsum tulang, dan kulit mengalami hiperpigmentasi. Keadaan
mual/ muntah menyebabkan kesulitan pada pasien untuk makan, dan degradasi
sumsum tulang berakibat terhadap gangguan pada produksi eritrosit sehingga
kekurangan kadar eritrosit. Hal ini berdampak pada rendahnya kadar oksigen ( O 2)
yang ditransport ke kapiler. Penatalaksanaan tindakan operasi melalui dua tahapan,
yakni : pre operasi dan post operasi. Masalah yang dapat timbul pada pre operasi
adalah kurangnya pengetahuan mengenai prosedur/ tindakan operasi. Pada keadaan
post operasi ada beberapa yang perlu menjadi perhatian perawat, salah satunya yakni

pengetahuan perawatan post operasi dan juga resiko terjadi infeksi. Perubahan fisik
mata setelah operasi juga dlihat mengingat berpengaruh terhadap gambaran diri
pasien.
2.2.4 Komplikasi
1. Ablasio Retina (Lepasnya Retina)
Ablasio adalah suatu keadaan lepasnya retina sensoris dari epitel
pigmen retina (RIDE). keadaan ini merupakan masalah mata yang serius dan
dapat terjadi pada usia berapapun, walaupun biasanya terjadi pada orang usia
setengah baya atau lebih tua.
2. Glukoma (Peninggian tekanan bola mata)
Glaukoma adalah salah satu jenis penyakit mata dengan gejala yang
tidak langsung, yang secara bertahap menyebabkan penglihatan pandangan
mata semakin lama akan semakin berkurang sehingga akhirnya mata akan
menjadi buta. Hal ini disebabkan karena saluran cairan yang keluar dari bola
mata terhambat sehingga bola mata akan membesar dan bola mata akan
menekan saraf mata yang berada di belakang bola mata yang akhirnya saraf
mata tidak mendapatkan aliran darah sehingga saraf mata akan mati.
3. Kebutaan
4. Adanya metatase ke : Lamina kribosa, saraf optik yang infiltrasi ke vaginal
5.
6.
7.
8.

scheat sampai ke subarachnoid dan intrakranial menjadi tumor otak.


Jaringan koroid (metastase melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh)
Pembuluh emisari/tumor menjalar ke posterior orbita.
Infiltrasi sel tumor
DM tipe I

2.2.5 Manifestasi Klinis


1. Pasien umur < 5 tahun
a. Leukokoria (54%-62%)

a. Strabismus (18%-22%)

b.

Hipopion

c.

Hyphema

d.

Heterochromia

e.

Spontaneous globe perforation

1. Pasien umur > 5 tahun


Leukokoria (35%) * Inflamasi (2%-10%)
Penurunan visus (35%) * Floater (4%)
Strabismus (15%) * Pain (4%)
Gejala retinoblastoma dapat menyerupai penyakit lain dimata. Bila letak tumor
dimakula, dapat terlihat gejala awal strabismus. Massa tumor yang semakin
membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria (pada pupil), tanda-tanda
peradangan di vitreus (Vitreous seeding) yang menyerupai endoftalmitis. Bila sel-sel
tumor terlepas dan masuk ke segmen anterior mata , akan menyebabkan glaucoma
atau tanda-tanda peradangan berupa hipopion atau hifemia. Pertumbuhan tumor ini
dapat menyebabkan metastasis dengan invasi tumor melalui nervus optikus ke otak
(lobus oksipitalis), melalui sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal ke telinga
(limpatogen), dan metastasis jauh ke sumsum tulang melalui pembuluh darah
(hematogen). Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat menonjol kebadan
kaca. Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan. Warna iris tidak
normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe preaurikular dan
submandibula dan, hematogen, ke sumsum tulang dan visera (lapisan yang berada
pada dinding abdomen yang nanti ke organ/ melekat), terutama hati.
Kanker retina ini pemicunya adalah faktor genetik atau pengaruh lingkungan dan
infeksi virus. Gejala yang ditimbulkan retinoblastoma adalah timbulnya bercak putih
di bagian tengah mata atau retina, membuat mata seolah-olah bersinar bila terkena
cahaya. Kemudian kelopak mata menurun dan pupil melebar, penglihatan terganggu
atau mata kelihatan juling. Tapi apabila stadium berlanjut mata tampak menonjol
(eksotalmus). Jadi apabila terihat tanda-tanda berupa mata merah, berair, bengkak,

walaupun sudah diberikan obat mata dan pada kondisi gelap terlihat seolah bersinar
seperti kucing jadi anak tersebut bisa terindikasi penyakit retinoblastoma.
2.2.6 Klasifikasi Retinoblastoma
Golongan

Penjelasan

- Tumor soliter/multiple kurang dari 4 diameter papil.


- Terdapat pada atau dibelakang ekuator

II

- Prognosis sangat baik


Satu atau beberapa tumor berukuran 4-10 diameter papil

III

- Tumor ada didepan ekuator atau tumor soliter berukuran >10


diameter papil

IV

- Prognosis meragukan
- Tumor multiple sampai ora serata

- Prognosis tidak baik


- Setengah retina terkena benih di badan kaca
- Prognosis buruk

Terdapat tiga stadium dalam retinoblastoma:


Stadium

Penjelasan

Tenang

Pupil lebar, dipupil tampak refleks kuning yang disebut


automatic cats eye.

Glaukoma

Oleh karena tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan


intraokular meninggi.
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar
menyebabakan eksoftalmus kemudian dapt pecah
kedepan sampai keluar dari rongga orbita disertai nekrose
diatasnya

Ekstraokuler

Tahapan retinoblastoma menurut Wong (2009), adalah

Tahapan
Kelompok 1:
Sangat Jinak

Penjelasan
Tumor tunggal, kurang dari 4 disc diameter (DD), pada atau
dibelakang ekuator. Tumor multiple, tidak lebih dari 4 DD,

Kelompok 2:

semua pada atau dibelakang ekuator


Tumor tunggal, 4-10 DD, pada atau dibelakang ekuator.

Jinak
Kelompok 3:

Tumor multiple 4-10 DD, di belakang ekuator.


Setiap lesi anterior sampai ekuator tumor tunggal lebih besar

Tidak Terlalu

dari 10 DD, di belakang ekuator.

Jinak
Kelompok 4:

Tumor multiple, beberapa lebih besar dari 10 DD. Sedikit

Ganas
Kelompok 5:

lesi memanjang dari anterior sampai ora serrata.


Tumor massive melibatkan lebih dari bagian retina,

Sangat Ganas

vitreous seeding.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Ultrasonography, adalah metode yang nyaman untuk mengkonfirmasi
kehadiran tumor, mendeteksi kalsifikasi dan mengukur dimensi tumor.

2. CT lebih sensitif dibandingkan ultrasonografi dalam mendeteksi kalsifikasi.


di samping itu, menunjukkan grossinvolvement dari saraf optik, orbital dan
penyuluhan SSP, dan adanya pinealoblastoma
3. MRI, meskipun dalam tidak dapat mendeteksi kalsifikasi, lebih unggul ct
untuk evaluasi saraf optik dan untuk mendeteksi suatu pinealoblastoma
terutama ketika agen kontras digunakan.
4. Funduskopi, di bawah anestesi umum sampai usia empat atau lima tahun,
sebaiknya dilakukan setiap bulan selama tahun pertama setelah akhir
pengobatan. Interval antara pemeriksaan kemudian dapat secara bertahap
ditingkatkan menjadi satu pemeriksaan setiap tiga bulan, bahkan dalam kasus
retinoblastoma unilateral (karena risiko keterlibatan bilateral akhir) .
Tujuannya adalah untuk mendeteksi tumor baru dan komplikasi okular
berhubungan

dengan

pengobatan.

Khas

gambaran

histopatologis

Retinoblastoma yang biasanya dijumpai adanya Flexner-Wintersteiner


rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang. Keduanya dijumpai pada derajat
2.2.8

terbatas pada diferensiasi sel retina.


Penatalaksanaan
Jika satu mata yang terserang, pengobatan bergantung pada kalsifikasi tumor:
1. Golongan I dan II dengan pengobatan local (radiasi, cryotherapy,
fotokoagulasi laser). Kadang-kadang digabung dengan kemoterapi.
2. Jika tumor besar (golongan IV dan V) mata harus dienukleasi segera. Mata
tidak terkena dilakukan radiasi sinar X dan kemoterapi.

Pada tumor intraokuler yang sudah mencapai seluruh vitreus dan visus nol,
dilakukan enukleasi. Jika tumor telah keluar kebulbus okuli tetapi masih
terbatas di rongga orbita, dilakukan kombinasi eksenterasi, radioterapi dan
kemoterapi. Klien harus terus dievaluasi seumur hidup karena 20-90% klien
retinoblastoma bilateral akan menderita tumor ganas primer, terutama
osteosarkoma. Pada kasus bilateral semakin sering digunakan terapi
konservatif dengan radioterapi baik dengan plak epiksera maupun eksternal
beam dan teknik-teeknik fotokoagulasi untuk mempertahankan mata yang
keparahannya lebih ringan
2.4 Asuhan Keperawatan Retinoblastoma
2.4.1 Pengkajian
1. Demografi : Retinoblastoma unilateral dan bilateral paling banyak pada
kelompok usia 0 5 tahun sebanyak 40.6% dan 46.9%.
2. Keluhan Utama : Keluhan dapat berupa perubahan persepsi penglihatan,
demam, kurang nafsu makan, gelisah, cengeng, nyeri pada luka post operasi,
terjadi infeksi pada luka post op, serta perawatan dan pengobatan lanjutan dari
tindakan operasi. Umumnya pasien datang dengan keluhan mata merah dan
sakit 31.3%, leukokoria 28.1%, strabismus 21.9% dan proptosis 18.8%.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang: Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa
berupa bintik putih pada mata tepatnya pada retina, terjadi pembesaran, mata
merah dan besar.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu: Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan
kemungkinan memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi
ditempat lain misal: pernapasan.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga: Berkaitan erat dengan penyakit keturunan

dalam keluarga, misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderita


penyakit yang sama.
6. Riwayat Trauma Sebelum Atau Sesudah Ada Keluhan: Trauma dapat

memberikan kerusakan pada seluruh lapis kelopak ataupun bola mata. Trauma
sebelumnya dapat juga memberikan kelainan pada mata tersebut sebelum
meminta pertolongan
7. Penyakit Mata Sebelumnya: Kadang-kadang dengan mengetahui riwayat

penyakit mata sebelumnya akan dapat meenerangkan tambahan gejala-gejala

penyakit yang dikeluhkan penderita. Seperti glaukoma yang mengakibatkana


TIO meningkat.
8. Penyakit Lain Yang Sedang Diderita: Bila sedang menderita penyakit lain

dengan keadaan yang buruk, dapat pula memperburuk keadaan klien.


9. Riwayat Psikologi
- Reaksi pasien dana keluarganya terhadap gangguan penglihatan yang dialami
pasien : cemas, takut, gelisah, sering menangis, sering bertanya.
- Mekanisme koping
10. Pemeriksaan Khusus Mata
a. Pemeriksaan Tajam Penglihatan: Pada retinoblastoma, tumor dapat
menyebar luas di dalam bola mata sehingga dapat merusak semua organ di
mata yang menyebabkan tajam penglihatan sangat menurun
b. Pemeriksaan Gerakan Bola Mata: Pembesaran tumor dalam rongga mata
akan menekan saraf dan bahkan dapat merusak saraf tersebut dan apabila
mengenai saraf III, IV dan VI maka akan menyebabkan mata juling.
c. Pemeriksaan susunan mata luar dan lakrimal: Pemeriksaan dimulai dari
kelopak mata, sistem lakrimal, konjungtiva, kornea, bilik mata depan, iris,
lensa dan pupil. Pada retinoblastoma didapatkan : Leukokoria ( reflek
pupil yang berwarna putih ), Hipopion ( terdapatnya nanah di bilik mata
depan ), Hifema ( terdapatnya darah pada pembuluh darah, biasanya
terjadi karena trauma ) dan Uveitis
d. Pemeriksaan pupil: Leukokoria (reflek pupil yang berwarna putih)
merupakan keluhan dan gejala yang paling sering ditemukan pada
penderita dengan retinoblastoma.
e. Pemeriksaan Funduskopi: Menggunakan oftalmoskopi untuk pemeriksaan
media, papi saraf optik, dan retina.

Pada retinoblastoma ditemukan

refleksi tak ada (atau gelap) akibat perdarahan yang banyak dalam badan
kaca.
f. Pemeriksaan tekanan bola mata: Pertumbuhan tumor ke dalam bola mata
2.4.2

menyebabkan tekanan bola mata meningkat


Analisa Data

Pre Operatf
No
Data
1.
Data objektif :
- Penilaian Visus s/d

Etiologi
Mutasi pada sel

Masalah
Resiko tinggi Injury

1/60
Adanya massa tumor
Tekanan bola mata
meningkat
Leukokoria

retina
Retino Blastoma
Endofitik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous
Leukocaria
Penurunan visus
mata
Keterbatasan lapang
pandang

2.

3.

4.

Data subyektif :
Klien mengeluh sakit
di daerah mata
seperti ditusuk-tusuk
Data obyektif :
Skala nyeri 8 10
Tekanan darah
meningkat, takikardi
Klien rewel
Data subyektif :
Ibu klien sering
menanyakan apakah
anakny bisa sembuh,
apakah kemoterapi
satu-satunya obat,
bagaimana nanti
perawatan setelah
operasi
Data objektif :
Anak merasa takut
Tampak gelisah
Sering menangis
Anak menolak
makan

Massa membesar

Nyeri akut

Menekan jaringan
sekitar mata
Nyeri

Kurang info
mengenai penyakit
dan cara
pengobatannya

Kurang pengetahuan

Mutasi pada sel


retina

Ketakutan pada anak

Retino Blastoma
Endofitik
Tumor tumbuh

ke dalam vitreous
Leukocaria
Penurunan visus
mata

5.

Data objektif:
Belum dapat
menangkap bola
kecil dan
melemparkannya
kembali
Belum dapat
melompat dengan
satu kaki
Anak tidak dapat
berjinjit

Dilakukan tindakan
pembedahan
Mutasi pada sel
retina

Risiko Gangguan
Tumbuh Kembang

Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/
Tumbuh keluar
lapisan retina / sub
retina
Proses sosialisasi
terganggu
Pembatasan
Aktivitas

Post Op
No
1.

Data
Data subjektif :
Klien mengeluh
mual dan
muntah
Klien mengeluh
diare
Data objektif :
Turgor kulit
buruk
Ubun-ubun
cekung
Mukosa bibir
kering

Etiologi
efek samping
Kemoterapi
Mual /muntah, diare
Dehidrasi
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Masalah
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

2.

Data subjektif :
Mengeluh nyeri
Mengeluh sakit
kepala
Data objektif :
Aktivitas kurang
Ekspresi
meringis
Sering menangis

Mutasi pada sel retina

Nyeri Akut

Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/
Tumbuh keluar lapisan
retina / sub retina
Peningkatan Ukuran
Massa Tumor
Peningkatan TIO
Mata menonjol

3.

6.

2.4.3

Data subjektif :
- Pasien mengeluh
badan panas
Data objektif :
- RR > 22
- Suhu > 37,5
Data objektif :
- Tidak akurat
mengikuti instruksi
- Keluarga Nampak
murung
- Keluarga gelisah

Kompresi/dekstruksi
pada jaringan saraf
Operasi

Resiko Infeksi

Post Operasi
Insisi Jaringan
Resiko Infeksi
Operasi

Cemas

Post Operasi
Kurang informasi
mengenai penyakit
anaknya

Diagnosa Keperawatan
1. Pre Op
a. Resiko injury berhubungan dengan keterbatasan lapang pandang
b. Ketakutan pada anak berhubungan dengan hospitalisasi
c. Resiko Gangguan Tumbuh Kembang berhubungan dengan pembatasan
aktivitas
d. Nyeri akut berhubungan dengan penekanan massa pada jaringan
sekitar

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif


terhadap informasi
2. Post Op
a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
denganketidakmampuan pemasukan makanan berhubungan dengan
faktor biologis dan psikologis
b. Nyeri berhubungan dengan kompresi/ destruksi jaringan syaraf
c. Risiko tinggi Infeksi berhubungan dengan adanya insisi jaringan
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurang
terpapar informasi mengenai penyakit anaknya

2.4.5

Intervensi Keperawatan
Pre Op

No

Diagnosa keperawatan

Dx
1.

Resiko injury berhubungan


dengan keterbatasan lapang
pandang

Kriteria hasil
Tujuan:
Tidak terjadi trauma
pada pasien
Kriteria Hasil:
Pasien tidak terjatuh

Intervensi

Rasional

1. Lakukan pengkajian resiko jatuh

1. Mengidentifikasikan

adakah

2. Memantau dan manipulasi lingkungan

resiko terjadi jatuh


2. meminimalisir penyebab jatuh

fisik untuk memfasilitasi keamanan


3. Pasang pagar pengaman tempat tidur
jika meninggalkan anak sendirian

yang dibuktikan oleh

3. Mencegah

anak

terjatuh

saat

pengawasan minimal

keseimbangan, gerakan
terkoordinasi, perilaku
pencegahan jatuh,
kejadian jatuh, tidak
ada tanda tanda
2.

Ketakutan pada anak


berhubungan dengan
hospitalisasi

mengalai trauma
Tujuan :
Ketakutan dapat
berkurang
Kriteria Hasil :
Pasien tidak merasa
takut, gelisah, pasien
tidak sering menangis
Keluarga ikut

1. Perkenalkan diri dan jalin hubungan

1. Untuk mengurangi ketakutan dan

terapeutikmelalui

kegelisahan pasien
2. Membuat kedekatan dan

teknik

komunikasi

sesuai umur anak


2. Pertahankan kontak mata, temani klien

kepercayaan klien

untuk duduk dan berbicara

3. Mengajak peran serta aktif

3. Diskusikan dengan keluarga bahwa


pengawasan dan pengobatan dapat
mencegah kehilangan penglihatan

keluarga dalam keberhasilan terapi


4. Agar anak merasa lebih nyaman

berpartisipasi dalam
pemberian makan, dan
aktivitas anak.

tambahan.

dan tidak rewel

4. Ciptakan lingkungan yang nyaman


sesuai karakteristik anak

5. Agar anak merasa lebih nyaman di


rumah sakit

5. Lakukan terapi bermain

3.

Resiko Gangguan Tumbuh


Kembang berhubungan
dengan pembatasan
aktivitas dalam proses
hospitalisasi

Tujuan:
Tidak terjadi
keterlambatan
perkembangan.
Kriteria Hasil:
Nyaman dalam proses
hospitalisasi, tidak
terjadi regresi, tidak
ngompol

1. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi

1. Meningkatkan kemampuan

anak
2. Mempersiapkan anak untuk mendapat

kontrol diri.
2. Mengorientasikan situasi rumah

perawatan di rumah sakit


3. Melibatkan orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak
4. Berikan kesempatan anak mengambil
keputusan dan melibatkan orang tua
dalam perencanaan kegiatan
5. Buat jadwal untuk prosedur terapi dan
latihan.
6. Lakukan pendekatan melalui metode
permainan.

sakit.
3. Upaya mencegah / meminimalkan
dampak perpisahan
4. Keluarga dapat membantu proses
perawatan selama hospitalisasi
5. Menurunkan tingkat kejenuhan
selama hospitalisasi.
6. Metode permainan merupakan
cara alamiah bagi anak untuk
mengungkapkan konflik dalam

4.

Nyeri akut berhubungan


dengan penekanan massa
pada jaringan sekitar

Tujuan
Nyeri teratasi

1.

komprehensif termasuk lokasi,

Kriteria hasil :
Menunjukkan
kemampuan

Lakukan pengkajian nyeri secara


karakteristik, durasi, frekuensi,

2.

kualitas dan faktor presipitasi


Gunakan teknik komunikasi

dirinya yang tidak disadari


1. Mendapatkan data mengenai
karakteristik nyeri
2. Untuk menjlin hubungan saling
percaya dengan klien
3. Meningkatkan rasa nyaman pasien

mengontrol nyeri,
melaporkan nyeri
3.

berkurang
menggunakan
merasakan rasa

4.

nyaman setelah nyeri

berhubungan dengan
keterbatasan kognitif
terhadap informasi

1.

memahami informasi
tentang penyakit

prognosis dan program


pengobatan

telah tercapai

kebisingan
Pilih dan lakukan penanganan

Berikan penilaian tentang tingkat

1. Menentukan cara menyampaikan

pengetahuan pasien tentang

informasi pada keluarga klien

proses penyakit yang spesifik

2. Memberikan informasi pada


keluarga pasien sehubungan dengan

penyakit, kondisi, prognosis dan

ketidaktahuan /harapan yang akan

pilihan terapi dengan cara yang

datang dan memberikan dasar fakta

tepat.

untuk membuat pilihan informasi

3.

Hindari harapan kosong

tentang pengobatan.

4.

Rujuk pasien pada grup atau

4. Memberikan penguatan pada

agensi di komunitas lokal, dengan

keluarga

menyatakan
penyakit, kondisi,

mempengaruhi nyeri seperti suhu

2. Jelaskan patofisiologi dari

Kriteria hasil :
Keluarga pasien
pemahaman tentang

dengan teapt sesuai karakteristiknya


5. Mengkaji ulang apakah tujuan

farmakologi dan inter personal)


Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

5.
Tujuan :
Ibu klien mengerti dan

pengalaman nyeri pasien


Kontrol lingkungan yang dapat

nyeri (farmakologi, non

berkurang

Kurang pengetahuan

4. Melakukan penanganan nyeri

ruangan, pencahayaan dan

manajemen nyeri,

5.

terapeutik untuk mengetahui

cara yang tepat

Post Op

1.

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan
ktidakmampuan pemasukan
makanan berhubungan
dengan fartor biologis dan
psikologis

Tujuan;
Pasien akan mampu

1. Kaji adanya alergi makanan


2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk

memenuhi kebutuhan

menentukan jumlah kalori dan nutrisi

nutrisi sesuai

yang dibutuhkan pasien


3. Berikan makanan terpilih (yang sudah

kebutuhan tubuh

dikonsultasikan ahli gizi)


4. Kaji kemampuan ibu klien untuk

Kriteria Hasil;
Menunjukkan
peningkatan

memberikan nutrisi pada anak sesuai


berat

badab sesuai tujuan,


berat

badan

kebutuhan
5. Berikan info tentang kebutuhan nutrisi

1. Menentukan pantangan dalam diit


klien
2. Menentukan diit yang tepat untuk
klien
3. Untuk mencapai berat badan ideal
4. Menilai kemampuan keluarga
5. Agar keluarga di rumah mampu
meberikan diit sesuai kebutuhan
klien

ideal

dengan tinggi badan,


mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi, tidak
tampak
malnutrisi,

tanda
tanda

tanda vital dalam batas


normal
2.

Nyeri berhubungan dengan


perlukaan
jaringan

akibat

insisi

Tujuan:
Pasien akan terbebas
dari rasa nyeri.
Kriteria hasil:
Menunjukkan/mela

1. Minta klien melokalisasi nyeri dengan

1. anak usia toddler atau anak yang

menunjuk gambar wajah. Catat nomor

mempunyai kesulitan memahami

dibawah wajah yang dipilihnya pada

skala nyeri pada gambar atau

catatan pengkajian nyeri.

pada tubuh mereka. Untuk anak


usia

tahun,

dengan

porkan

hilangnya

menggunakan

nyeri maksimal
Menunjukkan
tindakan

gembira atau sedih, menghasilkan

mampu
berpartisipasi dalam
aktifitas/tidur/istira
dengan

2. Berikan tindakan kenyamanan dasar


(misalnya:
hiburan
3. Lakukan

reposisi)

dan

aktivitas

strategi

nonfarmakologis

untuk membantu klien mengatasi nyeri

relaksasi

dan

aktifitas

hiburan

sesuai

indikasi

untuk

situasi

selama nyeri aktual.


5. Rencanakan
untuk

terjadi

penyebaran

infeksi

prosedur

sama,

mencerminkan

anak.
2. meningkatkan

relaksasi

dan

perhatian.
tehnik-tehnik

seperti

memberikan

relaksasi, pernapasan berirama,

analgesik dengan rute traumatik yang

dan distraksi dapa membantu

paling kecil jika mungkin

nyeri dapat lebih ditoleransi


4. Pelatihan mungkin diperluakn
untuk membantu anak berfokus
pada tindakan yang diperlukan
5. Untuk meghindari timbulnya

Tujuan:
Tidak
selama

mungkin

3. Karena

individu.

invasif insisi jaringan tubuh

yang

anak dengan menggunakan strategi

ketrampilan

dengan prosedur tindakan

nyeri

peringkat intensitas nyeri dari

4. Bantu atau minta orangtua membantu

penggunaan

Resiko infeksi berhubungan

peringkat

membantu memfokuskan kembali

maksimal
Menunjukkan

3.

yang

sama tanpa kata-kata afek, seperti

santai,

hat

instruksi

1. Ciptakan

tindakan
pembedahan

lingkungan

ruanganyang

bersih dan bebas dari kontaminasi


lingkungan luar.
2. Jaga area kesterilan luka operasi.

nyeri yang lebih lanjut


1. Mengurangi kontaminasi

paparan pasien terhadap agen


infeksius.
2. Mencegah

3. Cuci tangan sebelum dan sesudah

dan

dan

mengurangi

dan

sesudah

pembedahan.
Kriteria Hasil:
RR normal (16
kali/

melakukan tindakan.
4. Lakukan teknik aseptic dan disinfeksi
secara tepat dalam merawat luka.
5. Kolaborasi pemberian antibiotic.

22

menit

pengetahuan

keluarga

berhubungan

dengan

kurang

informasi
penyakit anaknya

terpapar
mengenai

Tujuan:
Keluarga akan
meningkatkan
pengetahuanya
Kriteria Hasil:
Keluarga dapat
mengikuti instruksi,
tidak kebingungan dan
tidak murung lagi,
tampak tenang dan
Keluarga dapat
menjawab dan
menjelaskan mengenai
penyakit anaknya

infeksi silang
4. Mencegah kontaminasi pathogen.
5. Mencegah pertumbuhan dan
perkembangan kuman.

- 37,5 oC )
Kurangnya

sumber infeksi dan mencegah

),

Temperatur normal ( 37

6.

transmisi kuman.
3. Melindungi klien dari sumber-

1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga

1. Menilai sejauh mana pemahaman

mengenai penyakit retinoblastoma


2. Rencanakan
pemberian informasi

keluarg mengeni penyakit


2. Persipkan leaflet, poster untuk

kepada keluarga
3. Beri informasi pada pasien

penyajian infomasi
3. Meningkatkan pengetahuan

4. Evaluasi kembali pemahaman keluarga

keluarga mengenai penyakit


4. Menilai sejauh mana keberhasilan

terhadap informasi yang disampaikan

pemberian informasi

2.5 Konsep Dasar Ablasio Retina


2.5.1 Definisi

Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel
berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori dari lapisan epitel berpigen retina
dibawahnya karena retina neurosensori. Bagian retina yang mengandung batang dan kerucut,
terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu
melakukan aktifitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan (C.Smeltzer,
suzanne, 2002).
Ablasi retina adalah suatu keadaan terpisahnya lapisan sensoris retina dan lapisan
epitelia pigmen retina (Kapita selekta kedokteran ed.3 jilid 1).
Ablasio retina adalah pele[asan retina dari lapisan epitelium neurosensoris retina dan
lapisan epitelia pigmen retina (Donna D. Ignativicius, 1991)
Ablatio retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah posterior mata
yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga mengakibatkan kebocoran cairan
sehingga antara koroid dan retina kekurangan cairan (Barbara L. Christensen, 2000).
Lepasnya retinal/sel kerucut dan batang sel choroid sehingga bagian ini mengalami
gangguan nutrisi dari charoid yang bila berlangsung lama akan mengakibat gangguan fungsi
yang tetap (Prof. Dr. Sidharta Ilyas, dr. Ramatjandra Illyas, 2004).
Jaringan saraf yang membentuk bagian peka cahaya pada retina membentuk suatu selaput
tipis yang melekat erat pada jaringan penyokong di bawahnya.

Jika

kedua

lapisan

tersebut terpisah, maka retina tidak dapat berfungsi dan jika tidak kembali disatukan bisa
terjadi kerusakan permanen.

2.5.2

Etiologi

Retina merupakan selaput transparan di bagian belakang mata yang mengolah bayangan

yang difokuskan di retina oleh kornea dan lensa. Ablasio retina seringkali dihubungkan
dengan adanya robekan atau lubang pada retina, sehingga cairan di dalam mata merembes
melalui robekan atau lubang tersebut dan menyebabkan terlepasnya retina dari jaringan di
bawahnya.
Hal tersebut bisa terjadi akibat:
a.
b.
c.
d.
e.

Trauma
Proses penuaan
Diabetes berat
Penyakit peradangan,
tetapi ablasio retina sering kali terjadi secara spontan.
Pada bayi prematur, ablasio retina bisa terjadi akibat retinopati akibat prematuritas.

Selama proses terlepasnya retina, perdarahan dari pembuluh darah retina yang kecil bisa
menyebabkan kekeruhan pada bagian dalam mata yang dalam keadaan normal terisi oleh
humor vitreus. Jika terjadi pelepasan makula, akan terjadi gangguan penglihatan pusat lapang
pandang.
Faktor resiko terjadinya ablasio retina adalah:
a. Rabun jauh
b. Riwayat keluarga dengan ablasio retina
c. Diabetes yang tidak terkontrol
d. Trauma.
2.5.3 Patofisiologi
Ablasio retina adalah pemisahan sensory retina dari epitel berpigmen. Pemisahan dari
dua dinding retina akan membentuk ruang sub retina. Cairan akan berkumpul di ruang
subretina. Ablasio retina dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu regmatogenosa,ablasio traksional,
dan ablasi eksudatif. Ablasio retina didahului dengan gejala ablasio vitreous posterior
termasuk floater dan cahaya berkilat. Dengan onset ablasio retina itu sendiri pasien
menyadari perkembangan progresif kerusakan lapang pandang yang sering dideskripsikan
sebagai bayangan atau tirai. Jika macula terlepas maka akan terjadi penurunan tajam
penglihatan bermakna. Pada ablasio retina dibutuhkan perbaikan dengan melakukan
pembedahan. Prinsip utama pada pembedahan adalah menutup robekan penyebab pada retina
dan memperkuat perlekatan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina dengan cara
menginduksi inflanasi didaerah tersebut dengan pembekuan local menggunakan crayoprobe
atau laser.
Karena terjadi robekan pada retina, vitreous yang mengalami ikuifikasi dapat memasuki
ruang subretina dan menyebabkan ablasio retina. Proses sklerosis menyebabkan retina
menjadi degenerative menimbulkan robekan demikian pula pada orang tua dengan miopi

tinggi sering menimbulkan degenerasi kistoid yang mudah pecah. Retina yang tertarik oleh
serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina seperti pada retinopati proliferative dapat
menyebabkan ablasio retina traksional. Ablasio sekunder dapat terjadi karena adanya
penyebab penyakit lain seperti tumor koroid atau retina yang tumbuh kedepan sehingga
lepasnya retina disusul timbulnya eksudasi oleh karena rangsangancairan ini mengumpul
didalam celah potensial menyebabkan ablasio retina.
2.5.4

Klasifikasi

Ablatio retina dapat diklasifikasikan secara alamiah menurut cara terbentuknya:


1. Ablatio rhematogen Merupakan bentuk tersering dari ablasio retina. Pada ablasio
retinaregmatogenosa dimana ablasi terjadi akibat adanya robekan di retina sehingga
cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan
retina oleh badan kaca cair (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang
pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis
epitel pigmen koroid. Mata yang berisiko untuk terjadinya ablasi retina adalah mata
dengan myopia tinggi, pascaretinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di
bagian perifer, 50%ablasi yang timbul pada afakia. Ablasio retina akan memberikan
gejala terdapatnya gangguan penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tirai
yang menutup, terdapatnya ada riwayat pijaran api(fotopsia) pada lapangan
penglihatan.
2. Ablatio oleh karena tarikan, Merupakan jenis tersering kedua, dan terutama
disebabkan oleh retinopatidiabetes proliferatif, vitreoretinopati proliferatif, retinopati
pada prematuritas, atau trauma mata. Ablasio retina karena traksi khas memiliki
permukaan yang lebih konkaf dan cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora
seratta. Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan parut pada
badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina, dan penglihatan turun tanpa rasa
sakit.
3. Ablatio eksudatif, terjadi karena penumpukan cairan dalam ruang retina akibat proses
peradangan, gabungan dari penyakit sistemik atau oleh tumor intraocular. Jika cairan
2.5.5
1.
2.
3.
4.
5.

tetap berkumpul, lapisan sensoris akan terlepas dari lapisan epitel pigmen.
Manifestasi Klinis
Gejala Dini : Floaters dan fotopsia.
Gangguan lapangan Pandang
Melihat seperti tirai.
Visus menurun tanpa disertai rasa nyeri.
Pada pemeriksaan fundus okuli : tampak retina yang terlepas berwarna pucat dengan

2.5.6

pembuluh darah retina yang berkelok kelok disertai / tanpa robekan retina
Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan oftalmologi
1) Pemeriksaan visus, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya
makula lutea ataupun terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang
menghambat sinar masuk. Tajam penglihatan akan sangat menurun bila makula lutea
ikut terangkat.
2) Pemeriksaan lapangan pandang, akan terjadi lapangan pandang seperti tertutup tabir
dan dapat terlihat skotoma relatif sesuai dengan kedudukan ablasio retina, pada
lapangan pandang akan terlihat pijaran api seperti halilintar kecil dan fotopsia.
Pemeriksaan lapang pandangan dapat dilakukan dengan:
1) Pemeriksaan konfrontasi, yaitu pemeriksaan dengan melakukan perbandingan
lapang pandangan pasien dengan si pemeriksa sendiri.
2) Pemeriksaan perimeter atau kampimetri, Lapang pandangan normal adalah 90
derajat temporal, 50 derajat atas, 50 derajat nasal dan 65 derajat ke bawah.
3) Pemeriksaan funduskopi, yaitu salah satu cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio

retina dengan menggunakan binokuler indirek oftalmoskopi. Pada pemeriksaan ini


ablasio retina dikenali dengan hilangnya refleks fundus dan pengangkatan retina.
Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran vaskuler koroid. Jika
terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan pergerakkan
undulasi retina ketika mata bergerak. Suatu robekan pada retina terlihat agak
merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya. Mungkin didapatkan
debris terkait pada vitreus yang terdiri dari darah dan pigmen atau ruang retina
dapat ditemukan mengambang bebas.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
antara lain glaukoma, diabetes mellitus, maupun kelainan darah.
1)

Pemeriksaan ultrasonografi, yaitu ocular B-Scan ultrasonografi juga digunakan untuk


mendiagnosis ablasio retina dan keadaan patologis lain yang menyertainya seperti
proliverative vitreoretinopati, benda asing intraokuler. Selain itu ultrasonografi juga
digunakan untuk mengetahui kelainan yang menyebabkan ablasio retina eksudatif

2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

misalnya tumor dan posterior skleritis.


Scleral indentation
Goldmann triple-mirror
Indirect slit lamp biomicroscopy
Tes refraksi
Respon refleks pupil
Gangguan pengenalan warna
Tekanan intraokuler, Hasil Pemeriksaan:
a. Visus atau salah satu posisi lapang pandang memburuk.
b. Fundus refleks hilang

c. Retina terangkat, terlihat abu-abu, bergoyang-goyang.


d. Terkdang robekan retina berwarna merah dapat terlihat langsung pada

pemeriksaan funduskopi.
2.5.7 Penatalaksanaan
1. Kolaborasi Intervensi Bedah
Prinsip Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah untuk melekatkan kembali
lapisan neurosensorik ke lapisan epitel pigmen retina. Penanganannya dilakukan dengan
pembedahan, pembedahan ablasio retina dapat dilakukan dengan cara:
1) Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan cara yang paling banyak pada ablasio retina
regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada superior retina. Teknik
pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas ke dalam
vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina. Jika robekan dapat ditutupi
oleh gelembung gas, cairan subretinal akan menghilang 1- 2

hari.

Pasien

harus

mempertahankan posisi kepala selama 7-10 hari untuk meyakinkan gelembung terus
menutupi robekan retina. Keuntungan dari tindakan ini adalah pasien tidak perlu
dirawat inap dan mencegah komplikasi yang dapat ditimbulkan dengan menggunakan
prosedur buckling. Kerugiannya adalah kepala pasien harus dalam posisi tertentu
dalam 7 10 hari, dan mempunyai tingkat keberhasilan lebih rendah dibandingkan
dengan skleral buckle.
2) Scleral buckle ( Pelibatan Sklera )
Operasi jenis ini sampai sekarang masih merupakan pilihan untuk ablasi tipe
regmatogenosa, terutama jika tidak ada komplikasi. Buckle biasanya berupa silicon
berbentuk spons atau padat tergantung dari lokasi dan jumlah robekan retina.Silikon
tersebut dipasangkan melingkari bola mata dengan tujuan membentuk cekukan
kedalam pada dinding bola mata untuk menutupi rongga yang terjadi akibat robeknya
retina. Jika robekan telah tertutup, maka cairan dalam retina akan menghilang secara
spontan dalam jangka waktu 1 2 hari. Prosedur ini lebih sering dilakukan dengan
anestesi lokal dan pasca operasi pasien tidak harus dalam posisi tertentu pasien dapat
melakukan aktivitas seperti biasa kecuali aktivitas yang dapat melukai kepala.
3) Vitrektomi
Vitrektomi merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat
diabetes, ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus (perdarahan viterus) atau
hemoragik vitreus.Pada dasarnya vitrektomi merupakan tindakan pengeluaran cairan
vitreus kemudian digantikan dengan gas khusus yaitu SFG

( Sulfoheksafliurid).

Secara perlahan gas tersebut akan diserap dan digantikan kembali dengan cairan yang
diproduksi oleh mata itu sendiri. Cara pelaksanaan vitrektomi yaitu dengan membuat
insisi kecil pada bola mata kemudian memasukkan instrument ke dalam rongga
viteus,setelah instrument di masukkan viterus di pindahkan dengan menggunakan
vitreus culter kemudian dilanjutkan dengan teknik sayatan tractional bands dan air
fluid exchange yakni memasukkan cairan silikon untuk menempelkan kembali retina.
Pada operasi vitrektomi kepala pasien harus berada dalam posisi tertentu untuk
menjaga agar retina tetap menempel.Terkadang vitrektomi dapat dilakukan bersamaan
dengan pemasangan sklera buckle.
Operasi-operasi tersebut diatas bisa dilakukan dengan menggunakan bius lokal
maupun general, tergantung pada kesehatan penderita dan waktu yang diperkirakan
diperlukan untuk merekatkan kembali retina.Pada penderita dengan lepasnya retina
sederhana biasanya soudah dibolehkan berjalan sehari setelah operasi dan tidak perlu
rawat inap di rumah sakit.Tetapi setelah pulang pasien memerlukan salep dan obat
tetes untuk merawat mata pasca pembedahan,dan terkadang diperlukan kacamata atau
lensa kontak bila setalah pembedahan retina ternyata penglihatan terganggu.
Bila retina robek tetapi belum lepas, maka lepasnya retina itu dapat dicegah
dengan tindakan laser atau menggunakan tindakan kriopeksi.
1) Laser
Pembedahan laser digunakan untuk menutup lubang atau robekan pada retina
yang biasanya ditemukan sebelum terjadinya ablasio.Sinar laser yang digunakan
adalah yang mampu menciptakan lingkungan yang terbakar pada retina, Laser
akan menempatkan luka bakar kecil di sekeliling pinggir robekan. Luka bakar ini
akan menimbulkan jaringan parut yang mengikat pinggiran robekan dan
mencegah cairan lewat dan berkumpul di bawah retina
2) Kriopeksi
Kriopeksi merupakan teknik membekukan dinding bagian belakang mata yang
terletak di belakang robekan retina.Cara kerja kriopeksi yaitu dapat merangsang
pembentukan jaringan parut dan merekatkan pinggir robekan retina dengan
dinding belakang bola mata. Teknik ini digunakan bersamaan dengan penyuntikan
gelembung udara dan kepala dipertahankan pada posisi tertentu untuk mencegah
penimbunan kembali cairan di belakang retina. Kriopeksi biasanya dilakukan pada
pasien berobat jalan dan hanya memerlukan pembiusan local pada mata.

Penempelan kembali retina yang sukses, terdiri dari penempelan robekan retina,
2.

dan pencegahan agar retina tidak tertarik lepas lagi.


Perawatan Preoperasi
Klien mungkin mengalami kecemasan atau ketakutan. Perawat perlu memberikan

3.

informasi secara akurat dan tenangkan hati klien untuk mengurangi kecemasan klien.
Perawatan Postoperasi
Tanda vital dan TIO. Pemantauan tanda vital perlu dilakukan tiap 15-30 menit (atau
sesuai kebijakan rumah sakit) sampai kondisi klien stabil. Monitor TIO minimal 24 jam
secara ketat. Perawatan mata. Adanya drainase, harus segera dilaporkan pada
ofthalmologist. Balutan tidak boleh dilepas tanpa order khusus. Kedua mata dibalut
selama 5-6 hari dan setelah boleh dilepas balutan mata diganti minimal 1 kali sehari.
Bantu aktivitas sehari hari klien untuk mencegah hentakan atau pergerakan kepala yang
berlebihan. Berikan kompres dingin untuk mengurangi bengkak dan memberikan
kenyamanan. Visus tidak dapat kembali dengan segera karena pembengkakan post op
dan efek dilatasi tetes mata. Visus meningkat bertahap dalam beberapa minggu samapi
bulan. Jelaskan pada klien agar membatasi membaca dan menulis untuk mencegah
pergerakan

mata

yang

berlebihan.

Posisi dan aktivitas klien. Posisi dan tingkat yang diizinkan setelah pembedahan
diberikan oleh dokter. Kepala diposisikan sedemikian rupa sehingga daerah yang
diperbaiki menggantung, mencegah dorongan gravitasi merusak daerah operasi. Jika gas
(sulfaheksafluorid) digunakan untuk membantu penyatuan retina kembali, maka klien
diatur dalam posisi yang memungkinkan gas mengangkat retina. Pembatasan aktivitas
yang sama juga dilakukan pada klien yang menggunakan minyak silikon.
Memposisikanklien pada abdomen dengan kepala menoleh ke arah mata yang dioperasi
sering dianjurkan, sehingga klien berbaring dengan mata yang tidak dioperasi berada
dibawah. Posisi ini dipertahankan beberapa hari sampai gas diabsorpsi. Hindari gerakan
menghentakkan kepala ( menyisir rambut, membungkuk, mengejan, bersin, batuk,
muntah ) dan batasi aktivitas yang berlebihan hingga tercapai penyembuhan. Perawat
perlu membantu aktivitas sehari-hari klien untuk mencegah hentakan atau pergerakan
kepala yang berlebihan. Medikasi, Klien kadang memerlukan antiemetik atau obat batuk
yang yang dianjurkan serta laksatif (jika perlu). Nyeri, Klien mungkin mengalami nyeri
pascaoperasi. Analgesik seperti meperidi atau asetaminofen dan kodein biasanya
diresepkan. Tindakan non-farmakologis seperti distraksi atau imajinasi terbimbing dapat
dilakukan pada kondisi ini. Peningkatan nyeri secara mendadak atau nyeri yang

disertainausea mungkin merupakan indikasi berkembangnya komplikasi dan harus


dilaporkan pada dokter mata.

2.5.8

Web Of Causation
Inflamasi

Perubahan degenerative

intraokuler/tumor

dalam vitreus

Konsentrasi as.hidlorunat
Vitreus menjadi cair

Peningkatan cairan

Vitreus kolaps dan

eksudatif/ serosa

membengkak ke depan

Tarikan Retina
MK: Nyeri
Penurunan tajam pandang sentral
ditandai
Robekan
retina
dengan :
MK:Ketakutan

pada dipersepsikan
anak
Sel-sel
Retina dan
-floater
sebagai
titik-titik
hitam kecil/rumah laba-labadarah terlepas
- bayangan berkembang/tirai
bergerak
Retina
terlepas dari
dilapang pandang
epitel berpigmen

Rencana
Oprerasi

MK: Resiko
injury

2.6 Asuhan Keperawatan


2.6.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas / Data Biografi, Meliputi nama, umur untuk mengetahui angka kejadian
pada usia berapa, jenis kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara lakilaki dan perempuan, pekerjaan untuk mengetahui apakah penderita sering
menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak.
b. Keluhan Utama, Pasien biasanya mengeluh tiba-tiba melihat kilatan cahaya terang
dan bintik-bintik hitam yang beterbangan di ruang pandang, melihat tirai yang
menutupi lapang pandang.
c. Riwayat Penyakit Sekaran, Perlu dikaji adanya keluhan penglihatan kabur, melihat
kilatan cahaya, adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan, adanya
penurunan tajam penglihatan (sejak kapan, sering/tidak, waktu, pada posisi apa).
d. Riwayat Penyakit Dahulu, Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien
yang berhubungan dengan timbulnya ablasio retina yaitu adanya miopi tinggi,
retinopati, trauma pada mata.
e. Riwayat Psikososial dan Spiritual, Bagaimana hubungan pasien dengan anggota
keluarga yang lain dan lingkungan sekitar sebelum maupun sesudah sakit. Apakah
pasien mengalami kecemasan, rasa takut, kegelisahan karena penyakit yang
dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

f. Pola-pola Fungsi Kesehatan, Masalah yang sering muncul pada pasien dengan post
ablasio retina apabila tidak terdapat komplikasi, adalah sebagai berikut :
- Pola persepsi dan tata laksana hidup: Bagaimana persepsi pasien tentang hidup
sehat, dan apakah dalam melaksanakan tata laksana hidup sehat penderita
-

membutuhkan bantuan orang lain atau tidak.


Pola tidur dan istirahat : Dikaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur, dan
gangguan selama tidur sebelum pelaksanaan operasi dan sesudah pelaksanaan
operasi. Juga dikaji bagaimana pola tidur dan istirahat selama masuk rumah

sakit.
Pola aktifitas dan latihan: Apa saja kegiatan sehari-hari sebelum masuk rumah
sakit. Juga ditanyakan aktifitas pasien selama di rumah sakit, sebelum dan

setelah pelaksanaan operasi.


Pola hubungan dan peran: Bagaimana hubungan pasien dengan lingkungan
sekitarnya. Apakah peranan pasien dalam keluarga dan masyarakat. Juga
ditanyakan bagaimana hubungan pasien dengan pasien lain di rumah sakit,

sebelum dan setelah pelaksanaan operasi.


Pola persepsi dan konsep diri: Bagaimana body image, harga diri dan identitas
diri pasien. Apakah ada perasaan negatif terhadap dirinya. Juga bagaimana

pasien menyikapi kondisinya setelah pelaksanaan operasi.


Pola sensori dan kognitif: Bagaimana daya penginderaan pasien. Bagaimana

cara berpikir dan jalan pikiran pasien mengenai sakit yang sedang dialami
Pola penanggulangan stress: Bagaimana pasien memecahkan masalah yang

dihadapi dan stressor yang paling sering muncul pada pasien.


2. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum: Bagaimana keadaan umum pasien dan tanda vitalnya
b. Pemeriksaan mata: Pemeriksaan pada mata dibagi berdasarkan segmen-segmen,
yaitu :
- Pemeriksaan segmen anterior : Adanya pembengkakan pada palpebra atau tidak,
-

biasanya pada klien post op ablasio retina, palpebrae akan bengkak.


Keadaan lensa, bila tidak ada komplikasi lain, maka keadaan lensanya adalah

jernih.
Bagaimana keadaan pupilnya, pupil pada klien ablasio retina yang telah masuk

rumah sakit akan melebar sebagai akibat dari pemberian atropin.


Kamera okuli anteriornya biasanya dalam.
Bagaimana keadaan konjungtivanya, biasanya pasien post operasi akan

mengalami hiperemi pada konjungtivanya.


Pemeriksaan segmen posterior
Corpus vitreum ada kelainan atau tidak.
Adanya atau tidak pupil syaraf optiknya.

c. Pemeriksaan fisik persistem (B1-B6) untuk mengetahui kondisi fisik yang


mengalami kelainan, yang dapat memperberat proses penyembuhan post op ablasio
retina, ataupun mengakibatkan terjadinya komplikasi post operasi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Visus, untuk mengetahui tajam penglihatan, adakah penurunan atau tidak dan untuk
mengetahui sisa penglihatan yang masih ada. Pada ablasio retina didapatkan
penurunan tajam penglihatan.
b. Funduskopi, untuk mengetahui kondisi retina seperti warna retina, keadaan retina,
reflek dan gambaran koroid.
c. Dengan pemeriksaan ophtalmoskop indirek terlihat gambaran gelembung abu-abu
atau lipatan-lipatan pada retina yang bergetar dan bergerak.
2.6.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang mungkin ditemukan pada pasien Ablatio Retina
1.

Pre Operatif
1) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest total selama pre operasi.
3) Gangguan body image berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan.

2.

Post Operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina
3) Resiko injury berhubungan dengan kemungkinan jahitan hasil operasi rusak kembali
4) Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan program teapeutik yang
berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang aktivitas yang
diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi dan perawatan tindak
lanjut

2.6.3 Intervensi Keperawatan


1. Pre Operasi
1) Ansietas berhubungan dengan ancaman kehilangan penglihatan.
Kriteria hasil :
- Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
-

mengontrol cemas
Vital sign dalam batas normal

Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas


menunjukkan berkurangnya kecemasan

Intervensi :
1. Kaji tingkat ansietas : ringan,sedang,berat,panic
2. Berikan kenyaman dan ketentraman hati
3. Berikan penjelasan mengenai prosedur perawatan,perjalanan penyakit &
progno-sisnya.
4. Berikan/tempatkan alat pemanggil yang mudah dijangkau oleh klien
5. Gali intervensi yang dapat menurunkan ansietas.
6. Berikan aktivitas yang dapat menurunkan kecemasan/ketegangan.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest total selama pre dan post
operasi
Kriteria hasil :
- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan TIO, tekanan
-

darah, nadi dan RR.


Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri.

Intervensi :
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
3. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam merencanakan
progran terapi yang tepat.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
5. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas
6. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan
7. Monitor respon fisik, emosi, sosial dan spiritual.
3) Gangguan body image (konsep diri) berhubungan dengan penurunan tajam
penglihatan.
Kriteria hasil :
- Body image positif
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi sosial
Intervensi :
1. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya
2. Monitor frekuensi mengkritik dirinya
3. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
4. Dorong klien mengungkapkan perasaannya
5. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil
2.

Post Operatif

1) Nyeri akut berhubungan dengan luka post operasi ablasio retina.


Kriteria hasil :
-

Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan


tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen


nyeri

Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Tanda vital dalam rentang normal

Tidak mengalami gangguan tidur

Intervensi:
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri sesuai advis dokter.
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
2) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi ablasio retina
Kriteria hasil :
-

Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

Jumlah leukosit dalam batas normal

Menunjukkan perilaku hidup sehat

Status imun dalam batas normal

Intervensi :
1.

Pertahankan teknik aseptif

2. Batasi pengunjung bila perlu


3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
5. Tingkatkan intake nutrisi
6. Berikan terapi antibiotik sesuai advis dokter
7. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
8. Monitor adanya tanda infeksi pada luka post op
9. Dorong istirahat
10. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
3) Resiko injury berhubungan dengan kemungkinan jahitan hasil operasi rusak
kembali
Kriteria Hasil
-

Klien terbebas dari nyeri

Klien mampu menjelaskan cara mencegah cedera

Mampu mengenali perubahan status kesehatan

Intervensi :
1. Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
2. Menghindarkan lingkungan yang berbahaya
3. Membatasi pengunjung
4. Memberikan penerangan yang cukup
5. Menganjurkan keluarga mendampingi pasien
4) Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan program teapeutik yang
berhubungan dengan ketidak cukupan pengetahuan tentang aktivitas yang
diperbolehkan dan yang dibatasi, obat-obatan, komplikasi dan perawatan
tindak lanjut
Kriteria Hasil :
-

Mengembangkan dan mengikuti regimen terapeutik

Mampu mencegah perilaku yang berisiko

Menyadari dan mencatat tanda-tanda perubahan status kesehatan

Intervensi :
1. Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit, komplikasi dan pengobatan

2. Interview pasien dan keluarga untuk mendeterminasi masalah yang


berhubungan dengan regimen pengobatan tehadap gaya hidup
3. Hargai alasan pasien
4. Hargai pengetahuan pasien
5. Hargai lingkungan fisik dan sosial pasien
6. Sediakan informasi tentang penyakit, komplikasi dan pengobatan yang
direkomendasikan
7. Dukung

motivasi

berkesinambungan

pasien

untuk

melanjutkan

pengobatan

yang

BAB 3
STUDI KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN
An. AG ( 4 thn ) dengan Retinoblastoma
Pengkajian Kasus
An. AG ( laki laki ) berusia 4 tahun masuk rumah sakit tanggal 31 September 2015.
Anak terlihat rewel dan menangis mengeluh kesakitan saat digendong ibunya sambil
bersembunyi di lengan ibunya. Mata kanan putih bercahaya, dan menurut orang tuanya hal
ini muncul sejak 3 minggu sebelum MRS dimana lebih jelas tampak pada malam hari, dan
diketahui 3 hari sebelum MRS, pasien merasa nyeri hebat pada mata kiri. Alasan utama
orang tua membawa anaknya adalah karena mata kiri pasien tidak dapat melihat lagi dan
adanya nyeri hebat, mata kiri pasien terlihat membesar kurang lebih

4cm. Orang tua

menjelaskan bahwa tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang menular maupun
penyakit seperti yang dialami oleh anaknya.keluarga terlihat gelisah dan ketakutan akan
keadaan anaknya. Pasien sering mengompol 8x/hari dan sering menghisap jari. Kesadaran
compos mentis, TD : 100/ 80 mmHg, Nadi 124 kali/mnt, S: 37C, RR: 20x/mnt, skala
nyerinya 10. Dari pengkajian mata, tampak adanya leukokoria, Visus OD : nol, Visus OS :
kesan (+).
3.2 Analisa Data dan Diagnosa Keperawatan
N
o

Masalah

1 Nyeri akut

Etiologi

Data Penunjang

Mutasi pada sel retina

Data Subjektif : Ibu pasien


mengatakan 3 hari sebelum
MRS, anaknya merasakan nyeri
hebat pada mata kiri.

Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/ Tumbuh
keluar lapisan retina / sub
retina
Peningkatan Ukuran Massa
Tumor

Data Objektif : Saat dikaji, skala


nyeri 10. Pasien tampak rewel
dan menangis kesakitan saat
digendong oleh ibunya. Nadi
124 kali/mnt.

Peningkatan TIO
Mata menonjol
Nyeri Akut
2 Resiko Gangguan
perkembangan

Mutasi pada sel retina


Retino Blastoma
Endofitik/ Eksofiatik
Tumor tumbuh
ke dalam vitreous/ Tumbuh
keluar lapisan retina / sub
retina

Data Subjektif : -.
Data Objektif :
Px belum dapat menangkap bola
kecil dan melemparkannya
kembali
Px belum dapat melompat
dengan satu kaki
Px tidak dapat berjinjit

Pembatasan aktivitas
Proses sosialisasi terganggu
Resiko Gangguan
Perkembangan

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi/ destruksi jaringan syaraf intraorbita akibat
pembesaran massa tumor, ditandai dengan :
Data Subjektif : Ibu pasien mengatakan 3 hari sebelum MRS, anaknya merasakan
nyeri hebat pada mata kanan.
Data Objektif : Saat dikaji, skala nyeri 10. Pasien tampak rewel dan menangis
kesakitan saat digendong oleh ibunya. Nadi 124 kali/mnt.
2. Resiko Gangguan perkembangan berhubungan dengan pembatasan aktivitas dalam
proses hospitalisasi, ditandai dengan :
Data Objektif : Saat dikaji Px belum dapat menangkap bola kecil dan
melemparkannya kembali, Px belum dapat melompat dengan satu kaki, dan Px
tidak dapat berjinjit.

No. Diagnosa
keperawatan
Dx
1.
Nyeri berhubungan
dengan perlukaan akibat
Peningkatan Ukuran
Massa Tumor

Kriteria hasil
Tujuan

Intervensi
: Pasien akan terbebas 1. Minta klien melokalisasi nyeri dengan

dari rasa nyeri.


Kriteria Hasil :
- Menunjukkan/melaporkan
-

Rasional

menunjuk gambar wajah.

1. anak usia toddler atau


anak

yang

mempunyai kesulitan
memahami

hilangnya nyeri maksimal


Menunjukkan tindakan santai,

skala

nyeri pada gambar

mampu berpartisipasi dalam

atau

aktifitas/tidur/istirahat dengan

mereka. Untuk anak

maksimal
Menunjukkan

usia 3 tahun, dengan

ketrampilan
aktifitas

penggunaan
relaksasi

hiburan

dan

pada

tubuh

menggunakan
2.

sesuai

indikasi untuk situasi individu.

Berikan tindakan kenyamanan dasar

instruksi yang sama

(misalnya:

tanpa kata-kata afek,

reposisi)

dan

aktivitas

hiburan.

3.

seperti gembira atau

Lakukan strategi nonfarmakologis untuk

sedih, menghasilkan
peringkat nyeri yang

membantu klien mengatasi nyeri.

sama,

mungkin

mencerminkan
peringkat
4.

Bantu atau minta orangtua membantu


anak

dengan

menggunakan

selama nyeri aktual.

strategi

intensitas

nyeri dari anak.


2. meningkatkan
relaksasi
membantu

dan

memfokuskan
5.

Rencanakan

untuk

memberikan

analgesik dengan rute traumatik yang


paling kecil jika mungkin

kembali perhatian.\
3. Karena tehnik-tehnik
seperti

relaksasi,

pernapasan berirama,
dan

distraksi

dapa

membantu

nyeri

dapat

lebih

ditoleransi.
4. Pelatihan
mungkin
diperluakn

untuk

membantu

anak

berfokus

pada

tindakan

yang

diperlukan.
5. Untuk
meghindari
timbulnya nyeri yang
lebih lanjut

2.

Resiko Gangguan
perkembangan
berhubungan dengan
pembatasan aktivitas

Tujuan:
Tidak

1. Memaksimalkan
terjadi

keterlambatan

manfaat

hospitalisasi 1. Meningkatkan

anak.

perkembangan.
2. Mempersiapkan anak untuk mendapat
Kriteria Hasil:

perawatan di rumah sakit

kemampuan kontrol
diri.
2. Mengorientasikan
situasi rumah sakit.

dalam proses hospitalisasi

Nyaman dalam proses hospitalisasi,


tidak terjadi regresi, tidak ngompol

3. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam 3. Upaya mencegah /


perawatan anak.
4. Berikan

meminimalkan

kesempatan anak mengambil

keputusan dan melibatkan orang tua dalam


perencanaan kegiatan

dampak perpisahan
4. Keluarga dapat
membantu proses
perawatan selama

5. Buat jadwal untuk prosedur terapi dan


latihan.

hospitalisasi
5. Menurunkan tingkat
kejenuhan selama

6. Lakukan
permainan.

pendekatan

melalui

metode

hospitalisasi.
6. Metode permainan

merupakan cara
alamiah bagi anak
untuk
mengungkapkan
konflik dalam dirinya

ASUHAN KEPERAWATAN
Tn. S.B ( 39 thn ) dengan Ablasio Retina
1. Kasus dan Pengkajian
Tn. S.B. seorang wiraswasta (39 tahun) datang ke poliklinik mata RSUA
dengan keluhan 3 minggu terakhir pandangan mata kanannya berubah. Tn.
S.B merasa tiba - tiba ada yang menutupi sebagian pandangan mata kanannya,
penglihatan mata kanannya seperti ada asap, ada bintik-bintik hitam dan
kadang-kadang ada kilatan cahaya yang terjadi. Tn. S.B mengatakan
perubahan tersebut terjadi secara tiba tiba dalam waktu 3 minggu terakhir
tanpa disertai rasa sakit. Tn. S.B terlihat nampak tegang dan gelisah, dan
mengatakan khawatir sekali serta takut mata kanannya lama kelamaan akan
menjadi buta. Tn. S.B mengaku bahwa dirinya selama ini menderita rabun
jauh sejak kelas 3 SMA, jarang menggunakan kacamata (kacamata digunakan
sesuai kebutuhan) dan jarang melakukan pemeriksaan karena kesibukkan
pekerjaan.
Hasil Pemeriksaan yang dilakukan Ns. Arifin ditemukan data sebagai berikut :
Inspeksi : mata simetris kiri kanan, palbebra tidak ada kelainan,
konjungtiva merah muda, skelera putih, pupil isokor, kornea bening
transparan, iris cokelat terang tidak ada kelainan, dan lensa tidak ada

kekeruhan.
Pemeriksaan Visus dan lapang pandang :
Visus OD 6/ 30 dan OS 6/10
Lapang pandang OD : temporal 45 derajat, atas 20 derajat, nasal 35
derajat, 45 derajat. Lapang pandang OS : temporal 90 derajat, atas 50

derajat, nasal 50 derajat, bawah 65 derajat.


Pemeriksaan Funduskopi :
Ditemukan warna diskus pucat dan atrofik, retina terlihat berwarna abu
abu, permukaan retina tidak rata dan terlihat seperti bergelombang,
pembuluh darah retina berkelok kelok sesuai dengan gelombang retina
yang terangkat, pada daerah ablasi tidak terlihat gambaran koroid normal,

retina terlihat berbentuk seperti bulan sabit.


Tanda tanda vital : TD 120 / 70 mmHg, T 37C, HR 98 x/ menit, RR 18
x/ menit.

Diagnosa medis :

Setelah dikonsultasikan Tn. S.B didiagnosis menderita Ablasio Retina


Regmatogenosa Dextra.
2. Analisa Data dan Diagnosis Keperawatan
2.1 Analisa Data
No. Data

Masalah

1.

Keperawatan
Gangguan persepsi Traksi

DS :
Pasien

mengatakan

menutupi

sebagian

ada

yang sensori ; visual

pandangan

Etiologi
vitreous,

robekan

pada

retina

mata kanannya, penglihatan mata


kanannya seperti ada asap, ada

Floater

bintik - bintik hitam dan kadangkadang ada kilatan cahaya yang

Kerusakan pada

terjadi.

makula

DO :
o Visus OD 6/ 15 dan OS 6/10
o Lapang pandang :
OD : temporal 45 derajat, atas
20 derajat, nasal 35 derajat, 45

Muncul
bayangan

atau

tirai

derajat.
OS : temporal 90 derajat, atas

Penurunan visus

50 derajat, nasal 50 derajat,

dan

bawah 65 derajat.
o Funduskopi :
Ditemukan warna diskus pucat
dan atrofik, retina terlihat
berwarna

abu

abu,

permukaan retina tidak rata


dan

terlihat

bergelombang,

seperti
pembuluh

darah retina berkelok kelok


sesuai

dengan

gelombang

retina yang terangkat, pada

pandang

lapang

daerah ablasi tidak terlihat


gambaran
retina

koroid

terlihat

normal,
berbentuk

seperti bulan sabit.


o Tanda tanda vital : TD 120 /
70 mmHg, T 37C, HR 98 x/
2.

menit, RR 18 x/ menit.
DS :

Axietas

Traksi

Tn.. S.B mengatakan khawatir

robekan

sekali dan takut mata kanannya

retina

vitreous,
pada

lama kelamaan akan menjadi buta


DO :

Floater

Pasien nampak gelisah dan wajah


nampak tegang.

Muncul
bayangan

atau

tirai
Penurunan visus
dan

lapang

pandang
Krisis Situasi.
3. Diagnosis Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensori : visual b.d penurunan visus dan lapang
pandang
2. Anxietas b.d krisis situasi.
4. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan persepsi sensorik

penglihatan

berhubungan dengan

gangguan penerimaan sensori dari organ penerima, ditandai dengan:


- Menurunnya ketajaman penglihatan
- Floater
- Penurunan lapang pandang penglihatan
NOC :

Pasien mendiskusikan dampak kehilangan penglihatan terhadap gaya


hidup

Pasien mengungkapkan perasaan aman, nyaman dan terlindungi


Pasien mempertahankan orientasi terhadap orang, tempat dan waktu.
Pasien mendapatkan kembali fungsi penglihatannya.
Pasien mengompensasi kehilangan dengan peralatan yang adaptif
Pasien merencanakan menggunakan sumber- sumber yang tepat
NIC :
1. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaan
tentang kehilangan penglihatan seperti dampaknya terhadap gaya hidup.
R / Dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengatakan
ketakutannya , pasien dapat melakukan koping terhadap kehilangan
penglihatan.
2. Sediakan lingkungan yang aman dengan menyingkirkan furniture yang
berlebihan diruangan pasien. Orientasikan pasien pada ruangan dan
libatkan keluarga.
R / Dengan mengorientasikan pasien dengan melibatkan keluarga pada
keadaan sekitar dapat mengurangi resiko terjadinya cidera
3. Lakukan modifikasi lingkungan untuk memaksimalkan penglihatan
yang dimiliki pasien
R / memodifikasi lingkungan dapat membantu pasien memenuhi
kebutuhan perawatan diri dan mengurangi resiko cidera.
4. Berikan orientasi realitas bila pasien mengalami kebingungan atau
disorientasi
R / agar interaksi pasien dan staf menjadi lebih efisien.
5. Berikan penkes kepada pasien tentang metode alternative untuk
melakukan koping terhadap kehilangan penglihatan, peralatan perawatan
adaptif.
R / pasien yang memiliki pengetahuan dapat melakukan koping terhadap
kehilangan penglihatan secara lebih baik.
6. Rujuk pasien ke sumber komunitas yang sesuai
R / untuk membantu pasien dan anggota keluarga beradaptasi terhadap
kehilangan penglihatan.
2. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi.
NOC :
Pasien tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat
yang dapat diatasi
NIC :
1. Kaji tingkat ansietas derajat pengalaman dan pengetahuan konsidi saat
ini
R/factor ini mempengaruhi persepsi pasien tehadap ancaman diri.

2. Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan


bahwa pengawasan dan pengobatan dapat mencegah kehilangan
penglihatan tambahan
R/menurunkan ansietas sehubungan dengan ketidaktahuan atau harapan
yang akan dating.
3. Dorong pasienuntuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan
R/memberikan kesempatan untuk pasien menerima situasi nyata.
4. Identifikasi sumber atau orang yang menolong
R/memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri dalam mengatasi masalah

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Retinoblastoma merupakan tumor ganas mata yang sering ditemukan pada
masa anak ( James et al, 2005 ). Retinoblastoma merupakan suatu bentuk
keganasan intra okuler primer yang paling sering ditemukan pada anak-anak,
dengan angka kejadian sekitar 1:15.000 1: 23.000 kelahiran hidup, dan
merupakan 4 % dari total seluruh keganasan pada anak-anak, sekitar 1 % dari
seluruh kanker pada manusia, dan merupakan keganasan kedua terbanyak pada
semua tingkat usia setelah melanoma maligna.
Ablatio Retina adalah pemisahan retina neurosensorik dari lapisan epitel
berpigmen akibat beretraksinya humor vitreus yang sebagian besar kasus terjadi
karena robekan / lubang pada retina. Robekan pada retina dapat terjadi karena
proses degenerasi baik berupa penipisan retina atau penyusutan Corpus Vitreous.
Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang professional kepada
pasien retinoblastoma dan ablasio retina melalui pendekatan proses keperawatan
yang terdiri dari pengkajian keperawatan, menentukan diagnose keperawatan,
merencanakan

tindakan

keperawatan,

mengimplementasikan

tindakan

keperawatan dan melakukan evaluasi agar semua kebutuhan dasar klien dapat
terpenuhi.
4.2 Saran
4.2.1 Informasi mengenai retinoblastoma dan ablasio retina yang telah
didapatkan oleh mahasiswa diharapkan tidak hanya sekedar diketahui,

tetapi juga bisa dipahami dan dapat diaplikasikan dalam pelaksanaan


4.2.2

praktik keperawatan.
Pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan retinoblastoma harus
memperhatikan pada sumber daya dan kesiapan mental yang dimiliki oleh
pasien untuk mencegah timbulnya komplikasi yang yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2.
EGC. Jakarta.
Corwin, Elizabeth. J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta.
(2000). Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Ed. 8.
EGC. Jakarta.
Darling, V.H. & Thorpe, M.R. (1996). Perawatan Mata. Yayasan Essentia Media.
Yogyakarta.
Doengoes, Marylin E.. (1989). Nursing Care Plans. F.A Davis Company. USA
Philadelphia.
Ilyas, Sidarta. (2000). Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. FKUI Jakarta.
Istiqomah, Indriana N. (2005). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Mata.
EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Mansjoer, A. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Media Aesculapius
FKUI Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. (1985). Pathofisiologi Konsep klinik Proses-Proses
Penyakit. EGC. Jakarta.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Smeltzer, S.C, Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta.
Wijana, Nana. (1983). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI Jakarta

Anda mungkin juga menyukai