Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan anemia yang paling sering terjadi di negara
berkembang seperti Indonesia terkait tingkat ekonomi terbatas, kurangnya asupan protein
hewani, dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik. Prevalensi anemia defisiensi
besi di Indonesia belum ada data yang pasti, Martoatmojo et al memperkirakan ADB pada lakilaki 16-50% dan 25-84% pada perempuan tidak hamil serta 46-92% pada wanita hamil. Anemia
ini ditandai dengan terjadinya penurunan kadar hemoglobin, MCV, MCH, MCHC,feritin serum
dan meningkatnya Total Iron Binding Capacity (TIBC).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi untuk
sintesis heme pada hemoglobin untuk transportasi O 2 ke jaringan tubuh. Anemia ini bisa terjadi
pada bayi dan anak-anak. Hal ini dikarenakan pada masa bayi dan anak-anak diperlukan asupan
besi yang cukup tinggi untuk mencapai kadar normal besi pada dewasa sekitar 5 gr di mana
tubuh bayi baru lahir mengandung 0,5 gr besi sehingga diperlukan sekitar 0,8 mg/hari untuk
mencapai kadar normal tersebut(Waldo E. Nelson, 2000). Apabila asupan tersebut tidak
terpenuhi dapat mengakibatkan defisiensi besi. Selain itu juga dapat disebabkan oleh gangguan
absorbsi kongenital, perdarahan akut maupun kronis, dan faktor nutrisi.
Pada skenario 1 diketahui seorang anak laki-laki 2 tahun 6 bulan, BB 11 kg dengan
hernia inguinalis lateralis sinistra responibilis yang terdapat bising sistolik pada semua ostia
dengan berat badan yang tidak naik-naik dan pucat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut
jantung 120 kali/menit, laju respirasi 28 kali/menit, afebril, dan konjungtiva anemis (+). Pada
pemeriksaan laboratorium tanggal 16 Juni 2007 terdapat golongan darah pasien A, AE, AL, AT
normal dan kadar hemoglobin turun (6,5 gr%) serta hematokrit turun (24,5 %). Pada gambaran
darah tepi terdapat kesan anemia mikrositik hipokromikdan dokter menyimpulkan Diferential
Diagnosis (DD) bahwa anak tersebut kemungkinan menderita penyakit kronis dan/atau anemia
defisiensi besi. Pemeriksaan laboratorium 18 Juni 2007 terdapat penurunan MCV, MCH,
MCHC, besi serum, peningkatan TIBC, albumin 4,5 g/dl, kadar ureum 16 mg/dl (normal),
kreatinin 0,4 mg/dl (normal 0,6-1,3) dan adanya ventricular septum defect (VSD) sedang.
Pemeriksaan jantung terdapat intensitas meningkat dan reguler pada bunyi jantung I dan II,

bising pansistolik serta telapak tangan dan kaki pucat. Pasien anak tersebut mendapatkan terapi
dengan sulfas ferrosus 3mg/kg/BB, transfusi PRC, lasix 25 mg dan aldacton 26,25 mg.
Dengan gambaran kasus di atas, penulis berusaha memberikan pemecahan masalah dan
menafsirkan masalah pada pasien tersebut sehingga didapatkan satu diagnosis pada pasien
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah anak tersebut menderita ADB?
2. Bagaimana cara membedakan ADB dengan anemia penyakit kronis maupun anemia
hipokromik mikrositik lainnya?
3. Apa penyebab atau etiologi ADB pada anak tersebut?
4.

Bagaimana patogenesis, patofisiologi, gejala, penatalaksanaan, dan pencegahan pada

penderita ADB?
5. Bagaimana penetapan diagnosis ADB?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui diagnosis pada anak tersebut.
2. Dapat menafsirkan dan menjelaskan pemeriksaan penunjang/laboratorium ADB dengan
benar.
3. Dapat menetapkan diagnosis/DD ADB sehingga dapat membedakan ABD dengan anemia
mikrositik hipokromik lainnya, khususnya pada skenario ini dengan anemia penyakit kronis.
4. Dapat menjelaskan mulai dari etiologi sampai pencegahan pada ADB melalui langkahlangkah yang sistematis.
D. Hipotesis
1. Anak tersebut menderita anemia defisiensi besi dikarenakan terjadi penurunan kadar
hemoglobin, gambaran tepi darah anemia mikrositik hipokromik, MCV < 70 fl, TIBC
meningkat, dan besi serum menurun.
2. Penyebab ADB pada anak tersebut disebabkan oleh tingkat kebutuhan besi yang meningkat
pada masa pertumbuhan yang tidak diikuti dengan asupan besi yang cukup.

3.

Penyebab ADB pada anak tersebut disebabkan oleh gangguan absorbsi besi yang

dimungkinkan disebabkan oleh hernia inguinalis dan kongenital.


4. Hernia dengan anemia defisiensi besi tidak memiliki hubungan saling mempengaruhi dan
kedua hal tersebut terjadi bersamaan atau hernia terlebih dahulu.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hemoglobin
Hemoglobin adalah hemoprotein pembawa oksigen pada eritrosit yang terdiri dari empat
gugus hem dan globin. Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin (A.V.
Hoffbrand, et al., 2005). Pada manusia dewasa hemoglobin utama (mayor) disebut Hb A
(hemoglobin dominan setelah 3-6 bulan), yang terdiri dari dua rantai dan dua rantai (22)
dengan kadar 95% (Slamet Suyono, 2001; A.V. Hoffbrand, et al., 2005). Selain Hb A pada
manusia dewasa terdapat hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2 yang terdiri dari
2 rantai dan dua rantai ( 22). Kadar Hb A2 pada orang dewasa adalah < 2%. Pada bayi
(neonatus) dan janin (embrio) terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu: Hb F (hemoglobin fetal)
dengan kadar < 3% (Slamet Suyono, 2001) dan hemoglobin embrional. Perubahan utama dari Hb
F ke hemoglobin dewasa terjadi setelah 3-6 bulan setelah lahir (A.V. Hoffbrand, et al., 2005).
Sintesis hemoglobin dimulai dari suksinil koA, yang dibentuk dalam siklus Krebs
berikatan dengan glisin yang dipengaruhi oleh enzim asam -aminolevulinat (ALA) untuk
membentuk molekul pirol. Koenzim pada reaksi tersebut yaitu piridoksal fosfat (vitamin B 6)
yang dirangsang oleh eritropoietin (A.V. Hoffbrand, et al., 2005) Kemudian, empat pirol
bergabung untuk membentuk protoporfirin IX, yang kemudian bergabung dengan besi (bentuk
ferro/ Fe2+) untuk membentuk molekul heme. Akhirnya, setiap molekul heme bergabung dengan
rantai polipeptida panjang, yang disebut globin, yang disintesis di ribosom, membentuk suatu
subunit hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin. Kadar Hemoglobin normal pada laki-laki
14-18 gr/dL dan wanita 12-16 gr/dL. Setiap gram hemoglobin murni mampu berikatan dengan
kira-kira 1,39 ml oksigen. Oleh karena itu, pada orang normal, lebih dari 21 ml oksigen dapat
dibawa dalam bentuk gabungan dengan hemoglobin pada setiap desiliter darah, dan pada wanita
normal, oksigen yang dapat diangkut sebesar 19 ml (Guyton dan Hall, 1997). Fungsi hemoglobin

dalam eritrosit yaitu mengangkut oksigen dari paru ke jaringan melalui arteri dan membawa CO 2
dari jaringan ke paru-paru (A.V. Hoffbrand, et al., 2005).
B. Metabolisme Besi
Besi merupakan mikromineral dan trace element vital yang sangat dibutuhkan untuk
sintesis hemoglobin, mioglobin dan beberapa enzim seperti sitokrom dalam tubuh manusia.
Sekitar 65% dari 4000 mg besi yang normal dalam tubuh terikat pada hem. Setiap 1 ml eritrosit
yang diproduksi memerlukan 1 mg besi (Ronald A. Sacher, Richard A McPherson, 2004).Besi
terdapat dalam berbagai jaringan tubuh dalam bentuk:
-

Hemoglobin (dalam hem): 65% , dalam bentuk ferro dalam eritrosit.

Ferritin dan hemosiderin : 30% dalam bentuk ferri, disimpan di hati (simpanan terbesar),
limpa, dan sumsum tulang untuk eritropoesis.

Mioglobin : 3,5% dalam bentuk ferro untuk mengangkut dan menyimpan O 2 dalam otot
serta konstraksi otot (Widardo, 2007).

Enzim heme (mis. katalase, sitokrom, peroksidase, flavoprotein) : 0,5%.


Sitokrom C berfungsi dalam transfer elektron pada respirasi sel. Katalase berfungsi
mengubah H2O2 berbahaya menjadi H2O dan O2 yang tidak berbahaya (Robert K. Murray,
et al., 2001). Sitokrom P-540 berfungsi dalam degradasi oksidasi obat-obatan
(Suhanantyo, 2007).

Besi terikat transferin (protein beta-globulin pengikat besi dalam sirkulasi) : 0,1% (A.V.
Hoffbrand, et al., 2005).
Setiap hari tubuh memerlukan 20-25 mg besi yang diperlukan eritropoesis di mana

sebanyak 95% besi berasal dari perputaran daur eritrosit dan katabolisme hemoglobin. Hanya 1
mg/hari (5% dari perputaran eritrosit) besi diperlukan asupan dari makanan (Ronald A. Sacher,
Richard A McPherson, 2004). Kebutuhan besi dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan umur.
Besi dalam makanan terdiri dari besi heme dan besi nonheme. Besi heme banyak berasal dari
hemoglobin dan mioglobin dalam daging, unggas, dan ikan (protein hewani) dan terdapat juga
dalam hati dan jantung. Besi nonheme terutama berasal dari tumbuh-tumbuhan (Widardo, 2007).
Besi dalam makanan di lambung akan terjadi perubahan bentuk dari ferri menjadi ferro dibantu
oleh enzim ferrireduktase di mana penyerapan besi dalam bentuk ferro lebih mudah diserap (I
Made Bakta, et al., 2006). Perubahan tersebut dipengaruhi oleh vitamin C, keadaan asam (HCl),

asam amino, dan gula dapat meningkatkan penyerapan besi. Besi dalam bentuk ferri, besi
anorganik, pH basa, kelebihan besi, asam phytat, tanat, kalsium, fosfor, tannin dalam teh dan
kopi, serat merupakan penghambat absorbsi besi (A.V. Hoffbrand, et al. 2005; Widardo, 2007; I
Made Bakta, et al., 2006). Serat dan tannin dapat mengikat besi sedangkan kalsium dan fosfor
berkompetisi dalam penyerapan nutrisi sehingga menghambat absorbsi besi. Besi heme 2-3 kali
lebih mudah penyerapannnya daripada besi nonheme (Widardo, 2007). Agar besi nonheme
mudah diabsorbsi dalam duodenum harus berada dalam bentuk terlarut (Sunita A, 2001).
Penyerapan besi maksimal terjadi pada duodenum dan jejunum bagian proksimal (Sunita A,
2001; Ronald A. Sacher, Richard A McPherson, 2004, Harry R, et al., 2005). Taraf absorbsi besi
diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan besi. Apabila cadangan besi
cukup atau berlebih maka akan terjadi penurunan absorbsi besi. Besi dari asupan makanan hanya
mencapai 5-10% yang diabsorbsi (Waldo E. Nelson, 2000). Besi nonheme di lumen usus akan
berikatan dengan apotransferin menjadi transferin besi yang akan masuk ke dalam sel mukosa.
Di dalam sel mukosa tersebut, besi dilepaskan dan apotransferin aka kembali kelumen usus
untuk mengangkut besi lainnya. Sebagian besi tersebut berikatan dengan apoferritin membentuk
ferritan sebagai cadangan besi dalam sel. Sebagian lainnya yang tidak diikat oleh apoferritin
akan masuk ke peredaran darah yang berikatan dengan apotransferin membentuk transferin
serum (Harry R, et al., 2005). Transferin darah membaw besi menuju sumsm tulang untuk
pembentukan hemoglobin yang merupakan bagian dari eritrosit. Sisanya di bawa ke jaringan
tubuh yang membutuhkan. Kelebihan besi disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di
hati, sumsum tulang, limpa, dan otot (Sunita A, 2001). Ekskresi besi melalui perdarahan, feses,
keringat, urin, menstruasi, dan pengelupasan rambut dan kulit (Suhanantyo, 2007; Widardo,
2007).
C. Pemeriksaan Laboratorium/Penunjang Diagnosis ADB
1. Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin
Pada orang dewasa normal jumlah eritrosit pada laki-laki 4,6-6,2 juta/mm 3 dan pada
perempuan 4,2-5,4 juta/mm3. Kadar hemoglobin normal pada laki-laki 13,5-18 gr/dl dan
perempuan 12-16 gr/dl (Ronald A. Sacher, Richard A McPherson, 2004). Angka normal jumlah
eritrosit dan kadar hemoglobin dari setiap penulis memiliki perbedaan begitu juga dengan angka

normal pemeriksaan laboratorium lainnya sehingga tidak memiliki angka mutlak. Jumlah
eritrosit pada ADB normal atau sedikit menurun dan kadar hemoglobin turun.
2. Indeks erirosit
Pemeriksaan indeks eritrosit meliputi Mean Corpuscular Volume (MCV), volume ratarata sel darah merah; Mean Corpuscular Haemoglobin (MCH), volume hemoglobin rata-rata
dalam eritrosit; dan Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC), volume
konsentrasi hemoglobin rata-rata. Secara manual perhitungan MCV didapatkan dari pembagian
antara hematokrit dengan jumlah eritosit di mana nilai normalnya sebesar 80-98 fl (femtoliter).
Perhitungan MCH didapatkan dari perbandingan antara kadar hemoglobin (Hb) dengan jumlah
eritrosit dengan nilai normalnya antara 26-32 pg (pikogram). MCHC didapatkan dari perhitungan
antara kadar Hb dibagi dengan hematokrit dikalikan 100% dengan nilai rujukan 32-36% (Ronald
A. Sacher, Richard A McPherson, 2004). Pada ADB, terjadi penurun ketiga indeks eritrosit di
atas sehingga apusan darah tepinya menunjukkan anemia mikrositik hipokromik, anisositosis,
dan poikilositosis. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada ADB dan thalassemia major. Leukosit
dan trombosit pada umumnya normal (I Made Bakta, et al., 2006).
3. TIBC, Saturasi Transferin, dan Besi Sumsum Tulang
TIBC atau kapasitas mengikat besi total merupakan suatu pengukuran untuk mengukur
kapasitas transferin serum mengikat besi. Pengambilan darah unutk pemeriksaan ini sebaiknya
pada pagi hari setelah puasa 12 jam dan eksklusi suplemen besi selama 12-24 jam. Kemampuan
total transferin mengikat besi diukur dari mengukur besi total yang terikat dan pemeriksaan
TIBC ini tidak mengukur kadar transferin. Rentang normal untuk TIBC pada orang dewasa
adalah 240-360 g/dl, dan cenderung akan berkurang seiring bertambahnya usia sampai 250
g/dl pada orang dengan usia di atas 70 tahun. TIBC meningkat pada defisiensi besi dan
kehamilan, tetapi mungkin normal atau rendah pada penyakit kronis dan malnutrisi (Ronald A.
Sacher, Richard A McPherson, 2004).
Saturasi transferin menggambarkan perbandingan antara besi serum yang ada dengan
TIBC dalam bentuk persentase. Saturasi transferin ini memiliki pola diurnal, tinggi pada pagi
hari dan rendah pada siang dan sore hari. Persentase saturasi rendah pada defisiensi besidan
penyakit kronis dan tinggi pada anemia sideroblastik, keracunan besi, serta hemolisis

intravascular dan hemokromatosis (Ronald A. Sacher, Richard A McPherson, 2004).


Pemeriksaan sumsum tulang untuk melihat kadar cadangan besi untuk proses eritropoesis.
4. Besi serum, protoporfirin eritrosit, ferritin serum
Pemeriksaan besi serum dan ferritin serum untuk melihat ada/tidaknya besi dan
cadangannya dalam tubuh. Dan protoporfirin eritrosit untuk menentukan pembentukan heme
dimana besi akan diikat oleh protoporfirin.

D. Anemia
Anemia adalah suatu keadaan di mana terjadi kelainan hematologi yang ditandai dengan
disfungsi eritrosit dan/atau hemoglobin dalam mensuplai oksigen ke jaringan. Secara laboratorik,
anemia terjadi penurunan kadar Hb, hitung eritrosit, dan hematokrit (I Made Bakta, 2006).
Kriteria klinik anemia untuk di Indonesia pada umumnya adalah:
-

Hemoglobin < 10 g/dl

Hematokrit < 30%

Eritrosit < 2,8 juta/mm3 (I Made Bakta, 2006)

Klasifikasi anemia menurut morfologi eritrosit


A. Anemia mikrositik hipokromik (MCV < 80 fl ; MCH < 27 pg)
-

Anemia defisiensi besi

Thalassemia

Anemia akibat penyakit kronis

Anemia sideroblastik

B. Anemia Normokromik Normositik (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)


-

Anemia pascaperdarahan akut

Anemia aplastik-hipoplastik

Anemia hemolitik- terutama didapat

Anemia akibat penyakit kronik

Anemia mieloptisik

Anemia pada gagal ginjal kronik

Anemia pada mielofibrosis

Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia pada leukemia akut

C. Anemia Makrositik
1. Anemia megaloblastik
-

Anemia defisiensi asam folat

Anemia defisiensi vitamin B12

2. Nonmegaloblastik
-

Anemia pada penyakit hati kronik

Anemia pada hipotiroid

Anemia pada sindrom mielodisplastik


BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Data Klinis dan Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien


Pada skenario, kemungkinan anak laki-laki 2 tahun 6 bulan (selanjutnya disebut pasien)
akan melakukan operasi hernia inguinalis lateralis sinistra responibilis (suatu keadaan bagian
usus masuk ke dalam kanalis ingunalis kiri yang tidak dapat kembali) sehingga dokter bedah
menyarankan pasien untuk dikonsulkan ke dokter bagian anak untuk mengetahui lebih lanjut
apakah pasien memenuhi syarat untuk dioperasi. Dikarenakan pasien akan melakukan operasi
sehingga dokter bagian anak melakukan pemeriksaan yang berhubungan dengan darah di mana
salah satu tujuannya untuk mengtahui apakah ada kelainan pada sistem hematologinya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan denyut jantung normal, laju respirasi 28x/menit
(takipneu), tanpa demam, dan konjungtiva anemis (+). Konjungtiva anemis (+) merupakan salah
satu tanda anemia dan pasien tanpa demam/afebril menunjukkan tidak ada infeksi patologis.
Berat badan pasien tidak naik-naik dan pucat dapat disebabkan oleh ventricular septum defect
(VSD) dan anemia. VSD sedang pada pasien ditemukan pada pemeriksaan laboratorium 18 Juni
2007. VSD merupakan kelainan jantung bawaan berupa lubang pada septum interventrikuler
sehingga menyebabkan bercampurnya darah arteriil (kaya O 2) dengan darah venosa (kayaCO 2)

sehingga pasokan O2 ke jaringan berkurang sehingga terjadi pucat sedangkan pucat karena
anemia disebabkan hemoglobin sebagai alat transportasi O 2 berkurang yang menyebabkan suplai
gas tersebut berkurang ke jaringan. Bising sistolik pada pasien dapat disebabkan oleh beban kerja
jantung yang kuat untuk dapat mensuplai O 2 ke jaringan dikarenakan penurunanfungsi dari
hemoglobin sebagai alat transport oksigen.
Hasil pemeriksaan laboratorium 16 Juni 2007 menunjukkan kadar Hb turun (6,5 g%),
jumlah eritrosit normal, hematokrit turun (24,5 %), jumlah leukosit dan trombosit normal.
Penurunan Hb dan Hct menunjukkan pasien tersebut menderita anemia. Keadaan normal pada
leukosit menunjukkan bahwa tidak ada infeksi pada pasien tersebut sehingga tidak mungkin
pasien tersebut menderita anemia yang disebabkan infeksi parasit seperti: cacing tambang.
Jumlah trombosit normal menunjukkan tidak ada perdarahan baik akut maupun kronik pada
pasien tersebut sehingga tidak memungkinkan penyebab anemia pada pasien yaitu akibat
perdarahan. Gambaran darah tepi eritrosit menunjukkan bahwa pasien mikrositik (ukuran sel di
bawah normal), hipokromik (konsentrasi Hb di bawah normal, pucat), anisositosis (variasi
bentuk abnormal eritrosit) dan eritroblas (-) menunjukkan tidak/kurangnya pembentukan
eritropoesis. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang tanggal 16 Juni 2007, dokter
memutuskan diagnosis banding pasien yaitu anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronis.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 18 Juni 2007, terjadi penurunan indeks eritrosit
(MCV, MCH, dan MCHC), penurunan serum besi, peningkatan TIBC, kadar albumin, kreatinin,
dan ureum normal. Penurunan indeks eritrosit menunjukkan adanya eritrosit mikrositik
hipokromik. Penurunan serum besi dapat mendeteksi pasien terkena anemia defisiensi besi atau
anemia penyakit kronik. Kadar normal dari ureum, kreatinin, dan albumin menunjukkan bahwa
tidak ada kelainan ginjal yang dapat menyebabkan anemia. Adanya telapak tangan dan kaki
pucat sebagai gejala umum dari anemia.
B. Penetapan Hipotesis dan Diagnosis Pasien
Pasien menderita anemia dikarenakan adanya penurunan indeks eritrosit, penurunan Hb,
penurunan hematokrit yang disertai tanda dan gejala anemia, diantaranya: konjungtiva anemis
(+), pucat, telapak tangan dan kaki pucat. Penurunan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
menunjukkan pasien anemia mikrositik hipokromik. Kadar normal pada jumlah leukosit dan
trombosit menunjukkan bahwa tidak ada infeksi dan perdarahan yang dapat menyebabkan

anemia. Begitu juga dengan kadar normal pada ureum, kreatinin, dan albumin menunjukkan
tidak adanya kelainan ginjal yang dapat menyebabkan anemia. Hasil pemeriksaan laboratorium
pada pasien didapatkan penurunan MCV < 70 fl di mana hal tersebut hanya terdapat pada anemia
defisiensi besi dan thalassemia major. Peningkatan TIBC dan penurunan serum besi merupakan
hasil pemeriksaan yang khas untuk anemia defisiensi besi di mana hal tersebut tidak terdapat
pada anemia mikrositik hipokromik lainnya (anemia penyakit kronis, anemia sideroblastik, dan
thalassemia). Walaupun sebetulnya terdapat satu pemeriksaan penunjang lagi yang dapat
mengidentifikasikan anemia defisiensi besi yaitu besi sumsum tulang. Pada anemia defisiensi
besi, tidak terdapat besi dalam sumsum tulang (hasil negatif) sedangkan pada anemia mikrositik
hipokromik lainnya besi sumsum tulang bisa meningkat atau normal. Berdasarkan hal di atas,
maka pasien tersebut mengalami anemia defisiensi besi.
Adapun etiologi atau penyebab dari ADB pada pasien tersebut memiliki beberapa
kemungkinan. Pertama, tingkat kebutuhan gizi besi meningkat karena pasien dalam masa
pertumbuhan yang tidak diikuti oleh asupan gizi yang tidak cukup. Kebutuhan besi menurut
AKG tahun 1998 pada anak usia 1-3 tahun membutuhkan 8 mg zat besi. Karena absorbsi besi
maksimal mencapai 10%, maka dibutuhkan besi 80 mg pada usia tersebut. Untuk mencukupi
jumlah tersebut diperlukan asupan gizi besi yang berasal dari protein hewani maupun nabati atau
susu sapi. Kemungkinan anak tersebut kekurangan asupan gizi besi yang cukup sehingga
menderita ADB. Untuk mengetahui etiologi secara pastio diperlukan pengetahuan pola makan,
asupan gizi, pertumbuhan pasien. Kedua, penyebab ADB dikarenakan gangguan absorbsi besi
yang disebabkan oleh hernia inguinalis yang terdapat pada pasien atau gangguan absorbsi besi
bawaan/kongenital. Dapat terjadi kemungkian hernia ingunalis pada pasien tersebut ditandai
dengan masuknya usus bagian duodenum dan jejunum dimana tempat tersebut merupakan
tempat penyerapan maksimal zat besi. Untuk mengetahuinya lebih jauh diperlukan pemeriksaan
lainnya seperti USG untuk melihat proses hernia pada pasien tersebut. Gangguan absorbsi
bawaan bisa terjadi pada pasien tersebut. Untuk mengetahui lebih jelasnya, dokter memerlukan
data/ infromasi mengenai riwayat penyakit keluarga, tingkat perkembangan dan pertumbuhan
pasien, dan lain sebagainya. Ketiga, hernia inguinalis dan ADB pada pasien tersebut merupakan
dua hal yan terjadi bersamaan dan tidak saling mempengaruhi. Pasien pada mulanya menderita
hernia inguinalis di mana pada saat itu akan di operasi dan membutuhkan pemeriksaan pre-

operasi diantaranya seperti yang sudah dilakukan pada pasien ini. Dan dari pemeriksaan tersebut
ditemukan anemia defisiensi besi pada pasien tersebut.
C. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan oleh kosongnya cadangan
besi dalam tubuh sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang dan menyebabkan
penurunan kadar hemoglobin. ADB dapat disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya:
-

Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan aku maupun kronis dapat berasal dari:
Saluran cerna: akibat tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker lambung,
kanker kolon, infeksi cacing tambang, dll.
Saluran genitalia : menorrhagia atau metrorhagia
Saluran kemih : hematuria
Saluran napas : hemoptoe
Faktor Nutrisi: akibat kurangnyajumlah besi total dalam makanan atau bioavaibilitasnya
Kebutuhan besi meningkat : prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, kehamilan,
menstruasi.
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, colitis kronik, dll.
Adanya penyebab dari salah satu diatas menyebabkan cadangan besi menurun yang

ditandai dengan penurunan ferritin serum, peningkatan absorbsi dalam usus, pengecatan sumsum
tulang negative sebagai kompensasi atau mekanisme homeostatis. Apabila kekuragan besi ini
berlanjut maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali sehingga menyebabkan berkurangnya
besi untuk eritropoesis dalam sumsum tulang sehingga menyebabkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
protoporfirin bebas dikarenakan sintesis heme berkurang sehingga produksi prekusor
(protoporfirin) meningkat. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Apabila jumlah
besi terus-menerus menurun sehingga eritropoesis menurun yang menyebabkan kadar
hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia mikrositik hipokromik khususnya anemia
defisiensi besi.
Gejala umum pada anemia berupa pucat yang disebabkan oleh kurangnya volume
darah,berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke
organ-organ vital. Adanya takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan aliran darah) mencerminkan beban kerja dan curah jantung yang
meningkat. Badan lemah dikarenakan pasokan O2 untuk respirasi sel menghasilkan energi
berkurang. Telingan mendenging pada anemia disebabkan oleh kurangnya oksigenasi pada

system saraf pusat dikarenakan oksigenasi lebih mengutamakn organ vital. Pucat pada
konjungiva anemis dan jaringan di bawah kuku dikarenakan kurangnya suplai O 2 yang dibawa
oleh hemoglobin.
Gejala khas pada anemia defisiensi besi diantaranya: koilonikia (kuku sendok) di mana
kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical, dan menjadi cekung. Disfagia di mana terdapat nyeri
telan karena kerusakan epitel hipofaring. Koilonikia dan disfagia disebabkan oleh kurangnya zat
besi pada epitel yang juga menyebabkan atrofi papil lidah (lidah licin dan mengkilap) serta
stomatitis angularis (keradangan pada sudut mulut, berwarna pucat keputihan). Stomatitis juga
dapat diakibatkan karena kurangnya oksigenasi pada jaringan tersebut dikarenakan
mengutamakan suplai O2 pada organ vital. Pica (keinginan memakan makanan yang tidak lazim)
pada ADB, penulis belum dapat menjelaskan bagaimana bisa terjadi pada ADB.
Pada pemeriksaan laboratorium, ADB bisa diidentifikasi melalui penurunan kadar Hb,
MCV < 70 fl (DD: thalassemia major), penurunan serum besi (< 50 g/dl), penurunan indeks
eritrosit keseluruhan yang menggambarkan apusan darah tepi mikrositik hipokromik,
anisositosis, dan poikilositosis. Selain itu adanya peningkatan TIBC (> 360 g/dl) dan penurunan
saturasi transferin (< 15%) merupakan hasil laboratorium khas pada anemia defisiensi besi yang
dapat membedakan dengan anemia lainnya. Hercberg untuk daerah tropic menganjurkan angka
ferritin serum < 20 mg/l untuk diagnosis ADB. Peningkatan reseptor transferin dalam serum
dapat membedakan antara ADB dengan anemia penyakit kronik. Dan pemeriksaan laboratorium
besi sumsum tulang merupakan pembeda antara ADB dengan anemia mikrositik hipokromik
lainnya di mana pada ADB besi sumsum tulang negative (tidak terdapat besi dalam sumsum
tulang) sedangkan anemia mikrositik hipokromik lainnya meningkat atau normal.
Setelah diagnosis ditegakkan maka selanjutnya dibuat rencana pemebrian terapi. Terapi
untuk ADB terdiri dari dua bagian, yaitu: terapi kausal dan pemberian preparat besi. Terapi
kausal merupakan terapi yang dimaksudkan terapi pada penyebab dari timbulnya ADB itu
sendiri, hal ini dilakukan agar anemia tersebut tidak kambuh lagi. Tujuan pemberian preparat
besi untuk menggantikan kekurangan besi dalam tubuh. Ada dua cara pemberian preparat besi,
yaitu: melalu oral dan parenteral. Terapi besi oral meruapakan pilihan yang pertama dikarenakan
efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia adalah sulfas ferrosus merupakan preparat
pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosisnya adalah 3 x 200 mg. Setiap 200
mg sulfas ferrosus mengandung besi elemental. Pemberian sulfas ferrosus 3 x 200 mg

mengakibatkan absorbsi besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai
tiga kali normal. Preparat besi lain: ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan
ferrous succinate. Efek samping besi per oral yaitu gangguan gastrointestinal berupa mual ,
konstipasi, nyeri perut, diare, dan kolik sehingga dianjurkan diminum setelah makan dan dalam
dosis kecil. Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi memiliki risiko lebih besar dan harganya
mahal. Efek sampingnya lebig besar dan berisiko diantaranya: reaksi yang sakit/nyeri pada
daerah yang diinjeksi, warna kulit kecoklatan, reaksi sistemik berupa mual, muka merah, alergi,
menggigil, dan rasa tidak enak di mulut.
Pencegahan ADB dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan (seperti penyuluhan
masyarakat tentang kesehatan lingkungan dan gizi), suplementasi besi, fortufikasi besi ke dalam
bahan makanan, dan pemberantasan infeksi cacing tambang.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak laki-laki 2 tahun 6 bulan pada skenario mengalami anemia defisiensi besi
dikarenakan ditemukan berbagai tanda dan gejala ADB pada pasien tersebut, diantaranya: pucat,
penurunan Hb dan serum besi, gambaran darah tepi hipokromik mikrositik, peningkatan TIBC,
penurunan saturasi transferin,penurunan indeks eritrosit. Pada pasien tersebut juga mengalami
hernia inguinalis lateralis dan VSD. Penyebab dari ADB pada anak tersebut kemungkinan
dikarenakan oleh tingkat kebutuhan besi meningkat pada masa pertumbuhan yang tidak diikuti
oleh asupan gizi dari makanan yang tidak cukup, gangguan absorbsi bawaan maupun yang
disebabkan hernia ingunalis pada pasien. Untuk menentukan penyebab secara pasti diperlukan
pengetahuan pola makan, tingkat perkembangan dan pertumbuhan pasien, anamnesis riwayat
penyakit keluarga, serta perlua adanya pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan USG untuk
mengetahui keadaan hernia pada pasien.

B. Saran
1. Pasien sebaiknya diberikan asupan gizi besi dari makanan yang cukup yang dapat diperoleh
dari protein hewani dan protein hewani.
2.

Sebaiknya pasien segera dilakukan operasi hernia inguinalisnya dikarenakan hasil

pemeriksaan post tranfusi menunjukkan keadan normal dari kadar Hb, jumlah eritrosit, leukosit
dan trombositnya.
3. Skenario diharapkan memiliki data-data yang lengkap mengenai anamnesis dan pemeriksaanpemeriksaan pasien sehingga kita dapat menentukan etiologi atau penyebab dari suatu penyakit
dengan jelas.
4. Dokter dan pelayanan kesehatan lainnya sebaiknya dapat berperan aktif dalam upaya
promotif dan preventif terhadap masalah anemia ini khususnya anemia defisiensi besi.

Anda mungkin juga menyukai