Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di antara berbagai gangguan yang parah merusak fungsi motorik pada anak-anak,
cerebral palsy adalah yang paling sering. Dalam kelompok kelahiran dari negara-negara
maju, prevalensi adalah 1-2 / 1000 kelahiran hidup.1 Prevalensi meningkat secara
dramatis dengan penurunan usia kehamilan saat lahir sehingga kalangan bayi yang baru
lahir usia kehamilan sangat rendah (yaitu, usia kehamilan <28 minggu), prevalensi adalah
sekitar 100 per 1000 yang masih hidup bayi, 100 kali lebih berisiko daripada bayi yang
lahir cukup bulan . Sebagai dari semua kelahiran hidup, prevalensi telah stabil selama
beberapa dekade, tapi hal ini belum terjadi di antara berat lahir sangat rendah dan bayi
sangat prematur, di antaranya prevalensi meningkat setelah pengenalan perawatan
intensif neonatal dan sudah mulai berkurang dalam dekade terakhir .1
Selain manifestasi motorik, anak-anak dengan cerebral palsy sering menunjukkan
gangguan kognitif dan sensorik, epilepsi, dan kekurangan gizi. Kecuali dalam kasus
paling ringan, cerebral palsy memiliki dampak besar pada kesejahteraan dan sosial biaya
perawatan kesehatan keluarga 1.
Sebagai hasil dari dua laboratorium berbasis dan penelitian klinis selama beberapa
dekade terakhir, beberapa intervensi perinatal telah diidentifikasi yang mungkin efektif
untuk menurunkan risiko cerebral palsy. Keberhasilan dari penelitian klinis pada cerebral
palsy telah ditingkatkan dengan upaya untuk meningkatkan keandalan (dan dengan
demikian validitas) dari diagnosis dan klasifikasi gangguan ini. Upaya ini telah
meningkatkan efisiensi studi epidemiologi observasional dan eksperimental yang
berhubungan dengan pencegahan, serta uji intervensi untuk individu dengan cerebral
palsy.1

BAB II
PENDAHULUAN
1. Definisi cerebral palsy
Cerebral palsi (CP) adalah terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok
penyakit kronik yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis
yang tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan
bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua belahan
otak, atau hemisphere, dan palsi mendeskrispsikan bermacam penyakit yang mengenai pusat
pengendalian pergerakan tubuh. Jadi, penyakit tersebut tidak disebabkan oleh masalah pada
otot atau jaringan saraf tepi, melainkan, terjadi perkembangan yang salah atau kerusakan
pada area motorik otak yang akan mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol
pergerakan dan postur secara adekwat.3
CP merupakan istilah umum yang menggambarkan beberapa penyakit yang berasal pada
awal kehidupan yang ditandai dengan gangguan motorik variabel karena penyebab yang tidak
ditentukan dan patologi otak. Tidak ada tes diagnostik definitif tersedia. Definisi saat CP
diterbitkan pada tahun 2005, berdasarkan kesimpulan dari Lokakarya Internasional yang terdiri
dari para ahli di bidang gangguan perkembangan:
"Cerebral palsy menggambarkan sekelompok gangguan perkembangan gerakan dan
postur, menyebabkan keterbatasan aktivitas, yang dikaitkan dengan gangguan nonprogressive
yang terjadi di otak janin atau bayi berkembang. Gangguan motorik cerebral palsy sering disertai
dengan gangguan sensasi, kognisi, komunikasi, persepsi, dan / atau perilaku, dan / atau oleh
gangguan kejang. "2
Definisi tersebut tidak termasuk gangguan otak progresif serta cacat perkembangan saraf
kurang penyimpangan dari gerakan dan postur. Meskipun patologi otak pada pasien yang
memiliki CP statis, kemampuan motorik gangguan yang berhubungan dengan CP dapat berubah
dari waktu ke waktu. Berbagai kondisi sekunder yang bukan merupakan bagian dari kondisi
melumpuhkan utama tetapi terjadi sebagai akibat dari kondisi dapat mempengaruhi fungsi dan
kualitas hidup.
CP tidak harus dilihat sebagai diagnosis tunggal karena CP jangka mencakup beberapa
diagnosa etiologi. Hal ini paling dianggap label deskriptif berdasarkan berbagai presentasi yang
meliputi jenis, tingkat keparahan, dan distribusi tubuh dari kerusakan motor utama, terkait
nonmotor neurologis dan gangguan perilaku, defisit fungsional, dan patologi otak. Pola klinis
yang sama dari CP dapat mengakibatkan meskipun penyebab yang berbeda pada tahap
perkembangan yang berbeda; alternatif, penyebab yang sama dapat menghasilkan pola klinis
variabel CP. Dengan demikian, klasifikasi klinis memberikan wawasan yang cukup ke dalam
penyebab CP. Meskipun label CP tidak menentukan penyebab atau patologi tertentu, anak-anak
yang terkena dampak biasanya dikelompokkan ke dalam subtipe fenotip berdasarkan distribusi

kelemahan tungkai dan jenis nada kelainan. CP dikategorikan sebagai kejang, ataksia, atau
diskinesia, dan distribusi dikategorikan sebagai bilateral atau unilateral. Sebagian besar kasus CP
kalangan anak-anak yang lahir prematur adalah dari jenis kejang, daripada jenis athetotic atau
diskinesia.2 Subtipe kejang yang paling umum pada anak-anak ini diplegic (keterlibatan
ekstremitas bilateral) atau hemiplegia (keterlibatan ekstremitas unilateral). Diagnosis CP
biasanya dilakukan setelah usia 2 tahun, namun identifikasi pola postur bermotor menyimpang
dan fungsi yang terkait dengan CP bisa dibuat sedini usia 6 bulan.2

2. Epidemiologi
Sekitar 2 di 1.000 anak lahir hidup menderita CP.2 Global, kejadian dilaporkan dan
prevalensi CP bervariasi menurut wilayah, penduduk, usia, dan tingkat keparahan, yang dapat
membatasi generalisasi hasil berbasis populasi. Menentukan siapa yang akan disertakan
dalam register CP berbasis populasi atau sistem surveilans tetap menjadi tantangan karena
kurangnya kesepakatan universal tentang celana usia untuk menentukan nonprogression dari
CP.
Melacak tren dari kehamilan usia tertentu prevalensi CP bersama dengan kelangsungan
hidup spesifik usia kehamilan adalah penting untuk memperjelas jika meningkatkan
kelangsungan hidup dikaitkan dengan peningkatan prevalensi CP. Karena perawatan intensif
neonatal adalah dinamis, tren kelangsungan hidup dan hasil harus dievaluasi secara berkala
untuk menilai efektivitas dan peningkatan berkelanjutan dalam praktek perawatan. Berfokus
pada puncak tingkat prevalensi CP dalam studi berbasis populasi yang dilakukan selama
interval waktu yang lama dapat menggambarkan tren terbaru mencerminkan penurunan
prevalensi CP terkait dengan ketahanan hidup. Prevalensi sejati CP dapat tidak dilaporkan
karena bayi mengalami gangguan parah mungkin mati sebelum berkembang temuan yang
diagnostik dari CP atau sebelum kelainan mereka memenuhi kriteria untuk diagnosis CP.
Selain itu, jika anak-anak yang memiliki CP ringan tidak dibawa oleh orang tua mereka
untuk evaluasi, prevalensi sejati CP dalam studi populasi dilaporkan.2
a. Prevelensi di bayi lahir cukup bulan
Risiko CP antara bayi istilah jauh lebih rendah dari pada bayi prematur, meskipun
sebagian CP terkait dengan pengiriman jangka karena sebagian besar bayi yang lahir
cukup bulan. Secara global, data prevalensi CP menunjukkan beberapa perbedaan
geografis, tapi secara keseluruhan, laporan berbasis populasi telah menunjukkan
tingkat yang cukup stabil antara kelompok jangka di 1 sampai 1,5 per 1.000 kelahiran
hidup.2 Meskipun prevalensi keseluruhan CP telah stabil, studi terbaru menunjukkan
bahwa CP parah dapat menurun, seperti yang ditunjukkan oleh studi dari anak-anak
yang telah CP lahir di jangka dari Islandia dan Swedia menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam proporsi yang memiliki dua atau lebih gangguan terkait. Terkena
anak Islandia lahir di jangka 1997-2003 memiliki kemampuan motorik kasar yang
lebih baik, lebih kecil kemungkinannya untuk menderita epilepsi, dan lebih mungkin
untuk memiliki subtipe diplegic dari CP bila dibandingkan dengan mereka yang lahir
1990-1996 . Data dari Surveillance Cerebral Palsy di jaringan Eropa, sebuah berbasis
populasi CP daftar mewakili kerjasama internasional terbesar dari register CP di
dunia, menunjukkan perubahan signifikan dalam prevalensi subtipe CP spastik pada
anak-anak yang lahir dengan berat badan lahir dari pada setidaknya 2.500 g lahir
antara tahun 1980 dan 1998. Bentuk spastik bilateral meningkat dari 0,58 (95%

confidence interval [CI], 0,41-0,80) di 1980-,33 (CI, 0,22-0,46) pada tahun 1998, dan
kejang unilateral formulir meningkat dari 0,37 (CI, 0,23-0,58) menjadi 0,46 (CI, 0,340,62), dengan pengurangan bersamaan kematian neonatal dari 1,7 (CI, 1,4-2,1)
menjadi 0,9 (CI, 0,7-1,1) per 1.000 kelahiran hidup . tren penurunan serupa dalam
proporsi bayi dengan berat lebih dari 2.500 g yang memiliki diplegia spastik (62%
pada tahun 1988 untuk tahun 1993 dan 44% pada tahun 1994 menjadi 1998) telah
dilaporkan di Slovenia. Penelitian berbasis populasi tambahan diperlukan untuk
menentukan apakah status fungsional dan tingkat keparahan kondisi komorbiditas
terkait antara anak-anak yang terkena dampak dari berbagai berat lahir dan usia
kehamilan juga meningkatkan dari waktu ke waktu.
Risiko CP dalam pengiriman jangka dapat bervariasi, tergantung pada waktu lahir
dalam jangka. Moster dan rekan melaporkan prevalensi CP 1,15 per 1.000 kelahiran
(CI, 1,10-1,20) berdasarkan populasi berbasis tindak lanjut studi menggunakan
Medical Birth Registry of Norway. CP didiagnosis pada 1938 dari 1.682.441 anak
tunggal yang lahir antara tahun 1967 dan 2001 yang umur kehamilan adalah 37
sampai 44 minggu. Pengiriman pada 40 minggu kehamilan dikaitkan dengan risiko
terendah CP (0,99 per 1.000; 95% CI, 0,90-1,08) dibandingkan dengan pengiriman
pada 37, 38, atau paling lambat 41 minggu kehamilan, yang dikaitkan dengan
peningkatan risiko CP. apakah waktu pengiriman (terlalu dini atau terlalu terlambat
antara 37 dan 44 minggu) meningkatkan risiko CP atau jika janin cenderung untuk CP
memiliki gangguan dalam waktu pengiriman mereka tidak jelas.
b. Prevelensi diberat bayi lahir rendah
usia kehamilan dan berat lahir merupakan faktor yang saling terkait yang baik
mempengaruhi risiko CP. Dalam sebuah studi registry besar nasional Norwegia yang
termasuk 903.402 bayi lahir hidup, mereka yang lahir antara usia kehamilan 23 dan
27 minggu yang 78 kali lebih mungkin untuk memiliki CP daripada mereka yang
lahir di jangka. Walaupun anak-anak yang lahir sebelum usia kehamilan 32 minggu
telah peningkatan prevalensi CP (hingga 10%), mereka berkontribusi kurang dari 2%
dari korban neonatal dan minoritas (sekitar 20% sampai 25%) dari semua CP di
negara maju. Seorang calon populasi berbasis Inggris Utara Collaborative Cerebral
Palsy Survey menunjukkan prevalensi CP di lajang 8,9 (72 / 8.082) per 1.000 korban
neonatal yang berat lahir adalah antara 1.500 dan 2.499 g berdasarkan data kohort 5
tahun dari tahun 1996 ke 2000. Dilaporkan tingkat prevalensi CP bervariasi 19-152
per 1.000 kelahiran hidup untuk sangat prematur dan sangat berat lahir rendah
(VLBW) bayi. Berbagai ini mencerminkan perbedaan tingkat kematian bayi regional,
yang mempengaruhi prevalensi CP pada populasi yang masih hidup, serta perbedaan
ukuran sampel dan perubahan dalam praktek dari waktu ke waktu. Keterbatasan studi
populasi saat ini tersedia adalah bahwa tingkat prevalensi CP dilaporkan sering

berasal dari kohort pasien yang meliputi data dikumpulkan mencakup 3 dekade
terakhir, periode waktu di mana praktek perawatan neonatologi telah berubah secara
dramatis, sehingga mengurangi utilitas informasi ini untuk konseling orangtua.
Beberapa penelitian epidemiologi telah menunjukkan bahwa sebagai
kelangsungan hidup bayi yang sangat prematur meningkat, prevalensi CP awalnya
meningkat, kemudian stabil, dan kemudian menurun. Sebagai contoh, di Northern
Alberta, 2318 bayi dari usia kehamilan 20-27 minggu yang berat lahir 500 ke 1.249 g
yang hidup lahir dari tahun 1974 hingga 2003. Secara keseluruhan, tingkat prevalensi
CP memuncak pada tahun 1992 untuk 1994 di 131 per 1.000 kelahiran hidup,
menurun menjadi 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2001 sampai 2003. dari
tahun 1992 sampai 1994 dan 2001 sampai tahun 2003, kelangsungan hidup berbasis
populasi meningkat pada bayi VLBW dari 4% menjadi 31% (P <0,001) untuk bayi
lahir pada 20 sampai 25 minggu usia kehamilan dan dari 23% menjadi sekitar 75% (P
<0,001) untuk bayi yang lahir pada 26 untuk 27 minggu usia kehamilan. Sebagai
kelangsungan hidup bayi VLBW meningkat, prevalensi CP menurun. Dari tahun 1992
hingga 1994 dan 2001-2003, tingkat CP menurun 110-22 per 1.000 kelahiran hidup
untuk bayi yang lahir antara 20 dan 25 minggu usia kehamilan dan 155-16 per 1.000
kelahiran hidup untuk bayi yang lahir antara 26 dan 27 minggu usia kehamilan .
fluktuasi ini mungkin sesuai dengan kemajuan dalam perawatan obstetrik dan
neonatal yang meningkatkan kelangsungan hidup bayi prematur sangat. Sebagai batas
kelangsungan kehamilan baru disilangkan, prevalensi kehamilan-spesifik CP
cenderung meningkat, kemudian menurun sebagai teknik manajemen neonatal
diperhalus.
3. ETIOPATOFISIOLOGI
CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan
grup penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai
penyebab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai
hal : bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.3
Di USA, sekitar 10-20% CP disebabkan karena penyakit setelah lahir
(prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara yang belum
berkembang). CP dapatan juga dapat merupakan hasil dari kerusakan otak pada
bulan-bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa
dari infeksi otak, misalnya meningitis bakteri atau encephalitis virus, atau
merupakan hasil dari trauma kepala yang sering akibat kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau penganiayaan anak.
CP kongenital, pada satu sisi lainnya, tampak pada saat dilahirkan. Pada
banyak kasus, penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan

terjadi kejadian spesifik pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana
terjadi kerusakan pusat motorik pada otak yang sedang berkembang. Beberapa
penyebab CP kongenital adalah :
1. Infeksi selama kehamilan.
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan
menyebabkan kerusakan sistim saraf yang sedang berkembang. Infeksi
lain yang dapat menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus
dan toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi maternal lain
yang dihubungkan dengan CP (Leviton & Gilles, 1984)

2. Ikterus neonatorum.
Pigmen bilirubin, yang merupakan komponen yang secara normal
dijumpai dalam jumlah kecil dalam darah, merupakan hasil produksi dari
pemecahan eritrosit. Jika banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam
waktu yang singkat, misalnya dalam keadaan Rh/ABO inkompatibilitas,
bilirubin indirek akan meningkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus berat
dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen (Van Praagh,
1961).
3. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma kepala selama proses
persalinan.
Asphyxia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan persalinan.
Asphyxia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi pada
periode lama, anak tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal
hipoksik iskemik encephalopathi. Angka mortalitas meningkat pada
kondisi asphyxia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan hidup dapat
menjadi CP, dimana dapat bersama dengan gangguan mental dan kejang
(Nelson, et al 1994).
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai
penyebab CP (MacLennan A et al, 1999):
1. Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri
tali pusat janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=12mmol/L
2. Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi
>34minggu gestasi
3. Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
4. Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama
persalinan
5. Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk
segera setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui
dalam batas normal
6. Apgar score 0-6 = 5 menit
7. Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
8. Imaging dini abnormalitas cerebral

Pada masa lampau, banyak penelitian yang menunjukkan meningkatnya


kasus CP karena asphyxia atau komplikasi selama persalinan, sedangkan
penyebab lain belum dapat diidentifikasi. Tetapi penelitian yang ekstensif
oleh NINDS menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil bayi dengan
asphyxia berkembang menjadi encephalopathi segera setelah lahir. Riset
juga menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang menderita asphyxia
tidak berkembang menjadi CP atau kelainan neurologis lainnya.
Komplikasi persalinan termasuk asphyxia diperkirakan sekitar 6% dari
kasus CP kongenital.
4. Stroke.
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada
fetus atau bayi baru lahir. Perdarahan di otak terjadi pada beberapa kasus.
Stroke yang terjadi.
pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan kerusakan jaringan
otak dan menyebabkan masalah neurologis. Karena insiden infark cerebri
yang tidak dapat dijelaskan sering tampak pada pemeriksaan
neuroimaging pada anak dengan CP hemiplegi, diagnostik test untuk
penyakit koagulasi perlu dipertimbangkan (Level
B, class II-III evidence) (www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)
Faktor-faktor yang menyatakan penyebab selain hipoksik intrapartum sebagai penyebab
CP (MacLennan, 1999)
1. Pada pemeriksaan analisis gas darah arteri umbilikalis <1mmol/L atau
pH>7
2. Bayi dengan kelainan kongenital mayor atau multiple atau kelainan
metabolik
3. Infeksi SSP atau sistemik
4. Pada pemeriksaan imaging dini tampak kelainan neurologis misalnya
ventrikulomegali, porencephali, multikistik encephalomalacia
5. Bayi dengan tanda hambatan pertumbuhan intrauterine
6. Penurunan detak jantung bervariasi sejak persalinan
7. Mikrocephali
8. Ekstensif chorioamnionitis
9. Kelainan kongenital koagulasi pada anak

10. Adanya faktor resiko antenatal lain untuk CP, misalnya prematuritas,
kehamilan ganda, penyakit autoimun
11. Adanya faktor resiko postnatal untuk CP, misalnya post natal
encephalitis, hipotensi memanjang, atau hipoksik karena penyakit
respirasi
12.

Saudara kandung CP, terutama jika mempunyai tipe CP yang sama

5.KLASIFIKASI KLINIS CEREBRAL PALSY


CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis
neurologis. Spastik diplegia, untuk pertama kali di deskripsikan oleh
dr.Little (1860), merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal
selanjutnya sebagai CP. Hingga saat ini, CP diklasifikasikan
berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4
kategori, yaitu:
1.CP Spastik
Merupakan bentukan CP terbanyak (70-80%), otot mengalami
kekakuan dan secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika
kedua tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang
berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus.
Gambaran klinis ini membentuk karakteristik berupa ritme
berjalan yang dikenal dengan gait gunting (scissors gait)
(Bryers, 1941).
Anak dengan spastik hemiplegia dapat disertai tremor
hemiparesis, dimana seseorang tidak dapat mengendalikan
gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh.
Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat.
CP spastik dibagi berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena,
yaitu
a.Monoplegi
Bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan

b.Diplegia
Keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih
berat daripada kedua lengan

c.Triplegia
Bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah
mengenai kedua lengan dan 1 kaki

d.Quadriplegia
Keempat ekstremitas terkena dengan derajad yang sama

e.Hemiplegia
Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena
lebih berat

2.CP Atetoid/diskinetik
Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang
tidak terkontrol dan perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai
tangan, kaki, lengan, atau tungkai dan pada sebagian besar
kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering
meningkat selama periode peningkatan stres dan hilang pada
saat tidur. Penderita juga mengalami masalah koordinasi
gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20%
penderita CP

3.CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam.
Penderita yang terkena sering menunjukkan koordinasi yang
buruk; berjalan tidak stabil dengan gaya berjalan kaki terbuka
lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang saling
berjauhan; kesulitan dalam melakukan gerakan cepat dan
tepat, misalnya menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga
sering mengalami tremor, dimulai dengan gerakan volunter
misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan seperti
menggigil pada bagian tubuh yang baru digunakan dan tampak
memburuk sama dengan saat penderita akan menuju obyek
yang dikehendaki. Bentuk ataksid ini mengenai 5-10%
penderita CP (Clement et al, 1984).

4.CP campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP
yang dijabarkan diatas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah spastik dan
gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.
CP juga dapat diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan
kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal (Tabel 1.)

klasifikasi
Minimal

Perkembangan
motorik
Normal hanya
terganggu secara

Gejala
Kelainan tonus
sementara

kualitatif

Refleks primitif menetap


terlalu lama
Kelainan postur ringan
Gangguan gerak motorik
kasar
& halus, misalnya
clumpsy

Ringan

Berjalan umur 24 bulan

Beberapa kelainan pada


pemeriksan neurologis
Perkembangan refleks
primitif abnormal
Respon postular terganggu
Gangguan motorik, misalnya
tremor
Gangguan koordinasi

Sedang

Berjalan umur 3 tahun,


kadang memerlukan
bracing
Tidak perlu alat khusus

Berbagai kelainan neurologis


Refleks primitif menetap dan
kuat
Respon postural terlambat

Berat

Tidak bisa berjalan, atau Gejala neurologis dominan


berjalan
dengan
alat
Refleks primitif menetap
bantu
kadang
perlu
-respon postural
operasi

Penyakit
penyerta
Gangguan
komunikasi
Gangguan
spesifik

belajar

Retardasi mental
Gangguan belajar dan
komunikasi
Kejang

tidak muncul

Dikutip dari Buku ajar neurologi anak IDAI 1999, hal 116
6. factor resiko cerebral palsy
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
CP semakin besar antara lain adalah:

1. Letak sungsang.
2. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan
merupakan tanda awal yang menunjukkan adanya masalah
kerusakan otak atau otak bayi tidak berkembang secara
normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan
otak permanen.

3. Apgar score rendah.


Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.

4. BBLR dan prematuritas.


Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir
<2500gram dan bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu.
Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya berat lahir
dan usia kehamilan.

5. Kehamilan ganda.
6. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan
malformasi SSP yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal
(mikrosefali). Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah telah
terjadi pada saat perkembangan SSP sejak dalam kandungan.

7. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa


akhir kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga
10 kehamilan dan peningkatan jumlah protein dalam urine
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP pada
bayi

8. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.


9. Kejang pada bayi baru lahir.
7. diagnose cerebral palsy

a. Gejala awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering
mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan
CP sering mengalami kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk,
merangkak, tersenyum atau berjalan (Blasco, 1989).
Sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia; bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot/hipertonia, bayi
tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal tampak hipotonia dan
selanjutnya. berkembang menjadi hipertonia setelah 2-3 bulan pertama. Anak-anak
CP mungkin menunjukkan postur abnormal pada satu sisi tubuh.
b. pemeriksaan fisik
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan
kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai
dari riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar
kepala anak (Capute AJ, 1996).

Refleks adalah gerakan dimana tubuh secara otomatisasi


bereaksi sebagai respon terhadap stimulus spesifik. Sebagai contoh,
jika bayi baru lahir menekuk kepalanya maka kaki akan bergerak ke
atas kepala, dan bayi secara otomatis akan membentangkan
lengannya, yang dikenal dengan refleks moro, yang tampak seperti
gerakan akan memeluk. Secara normal, refleks tersebut akan
menghilang pada usia 6 bulan, tetapi pada penderita CP, refleks
tersebut akan bertahan lebih lama. Hal tersebut merupakan salah satu
dari beberapa refleks yang harus diperiksa (Capute AJ, 1984).
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan
untuk menggunakan tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang
obyek didepan dan pada sisi dari bayi, bayi akan mengambil benda
tersebut dengan tangan yang cenderung dipakai, walaupun obyek
didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan, bayi
masih belum menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan
yang dipilih. Tetapi bayi dengan spastik hemiplegia, akan
menunjukkan perkembangan pemilihan tangan lebih dini, sejak
tangan pada sisi yang tidak terkena menjadi lebih kuat dan banyak
digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan
penyakit lain yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang
terpenting, harus ditentukan bahwa kondisi anak tidak bertambah
memburuk. Walaupun gejala dapat berubah bersama waktu, CP sesuai
dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika anak secara
progresif kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat
masalah yang berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik,
penyakit muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian
metabolik dan genetik tidak rutin dilakukan dalam evaluasi anak
dengan CP (Level B, Class
II, III evidence)
(Ingram, 1966;
illingworth RS, 1966,).
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm). Riwayat medis anak,
pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus,
pengulangan pemeriksaan akan sangat berguna untuk konfirmasi
diagnostik dimana penyakit lain dapat disingkirkan.
c. pemeriksaan neurologic
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP
perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan
pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat
menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan
lainnya. Dengan informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis
penderita CP.

MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan gambar yang
lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan
tulang dibanding dengan CT scan kepala (Level A, Class I-III evidence).
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm). Dikatakan bahwa neuroimaging
direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika etiologi tidak dapat ditemukan
(Level A,I,II). Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam
jaringan otak adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang
kepala mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT
dan MRI, tehnik tersebut dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan
tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.
d. pemeriksaan lain
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang
berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau
masalah pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan (Level A,
Class I-II evidence). EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik
otak dimana akan menunjukkan penyakit kejang
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm).
Pemeriksaan intelegensi harus dikerjakan untuk menentukan
derajat gangguan mental. Kadangkala intelegensi anak sulit
ditentukan dengan sebenarnya karena. keterbatasan pergerakan,
sensasi atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan
melakukan tes dengan baik.
Jika diduga ada masalah visus, dokter harus merujuk ke optalmologis
untuk dilakukan pemeriksaan; jika terdapat gangguan pendengaran,
dapat dirujuk ke otologist
(Level A, Class I-II evidence)
(www.aan.com/professionals/practice/index.cfm)
Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga diagnosis dini akan
lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat diperbaiki dengan terapi
spesifik, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita CP.
e. tatalaksana cerebral palsy
Masalah utama cerebral palsy
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP
antara
lain:

1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan


menyebabkan anak tampak selalu berliur.
Air liur dapat menyebabkan iritasi berat kulit dan menyebabkan
seseorang sulit diterima dalam kehidupan sosial dan pada
akhirnya menyebabkan anak akan terisolir dalam kehidupan
kelompoknya. Walaupun sejumlah terapi untuk mengatasi
drooling telah dicoba selama bertahun-tahun, dikatakan tidak
ada satupun yang selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan
antikholinergik dapat menurunkan aliran saliva tetapi dapat
menimbulkan efek samping yang bermakna, misalnya mulut
kering dan digesti yang buruk. Pembedahan, walaupun kadangkadang efektif, akan membawa komplikasi, termasuk
memburuknya masalah menelan. Beberapa penderita berhasil
dengan teknik biofeedback yang dapat memberitahu penderita
saat drooling atau mengalami kesulitan untuk mengendalikan
otot yang akan membuat mulut tertutup. Terapi tersebut
tampaknya akan berhasil jika penderita mempunyai usia mental
2-3 tahun, dimana dapat dimotivasi untuk mengendalikan
drooling, dan dapat mengerti bahwa drooling akan
menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.

2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.
Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang
rentan terhadap infeksi dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk
membuat menelan lebih mudah, disarankan untuk membuat
makanan semisolid, misalnya sayur dan buah yang
dihancurkan. Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau
minum dan menegakkan leher akan menurunkan resiko
tersedak. Pada kasus gangguan menelan berat dan malnutrisi,
klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang makanan,
yang digunakan untuk memasukkan makanan dan nutrien ke
saluran makanan, atau gastrostomy, dimana dokter bedah akan
meletakkan selang langsung pada lambung.

3. Inkontinentia Urin.

Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi.


Inkontinentia urin ini disebabkan karena penderita CP kesulitan
mengendalikan otot yang selalu menjaga supaya kandung
kemih selalu tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa enuresis,
dimana seseorang tidak dapat mengendalikan urinasi selama
aktivitas fisik (stress inkonentia), atau merembesnya urine dari
kandung kemih. Terapi medikasi yang dapat diberikan untuk
inkonensia meliputi olah raga khusus, biofeedback, obatobatan,
pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan pembedahan
untuk mengganti atau membantu otot.
CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan
ditujukan untuk memperbaiki kapabilitas anak. Dalam
perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP adalah
mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan
normal dengan mengelola problem neurologis yang ada
seoptimal mungkin. Disini tidak ada terapi standar yang berlaku
untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat bekerja
sama dalam tim, untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus
masing-masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan
kemudian menentukan terapi individual yang cocok untuk
setiap penderita (Goldberg, 1991; Champbell, 1996).
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan
meliputi obat-obatan untuk mengontrol kejang dan spasme otot,
penyangga khusus untuk kompensasi keseimbangan otot,
pembedahan, peralatan mekanis untuk membantu kelainan
yang timbul, konseling emosional dan kebutuhan psikologis, dan
fisik, okupasi, bicara dan terapi perilaku.
TIM TERAPI CEREBRAL PALSY
Tim Penanganan CP adalah multidisipliner dan anggota tim terapi CP
berdasarkan profesionalisme dengan berbagai spesialisasi, antara
lain: (Dorman JP, 1998)

1. Dokter.
Misalnya spesialis anak, spesialis saraf anak atau psikiatri
anak, dilatih untuk membantu memonitoring dan
memperbaiki kecacatan perkembangan anak. Klinisi
tersebut, sering menjadi pemimpin tim, bekerja untuk
membuat kesimpulan/rangkuman semua nasihat profesional
dari seluruh anggota tim hingga dicapai kesepakatan
rencana terapi, implementasi terapi, dan mengikuti
perkembangan penderita selama beberapa tahun

2. Orthopedist
Dokter spesialisasi dalam bidang tulang, otot, tendon, dan
bagian lain dari sistim skeletal tubuh. Orthopedis dilibatkan
untuk menentukan prediksi, diagnosis atau terapi masalah
otot yang berkaitan dengan CP

3. Terapis fisik
Membuat dan mengimplementasikan program latihan
khusus untuk memperbaiki gerakan dan kekuatan

4. Terapis okupasi
Merupakan orang yang dapat membantu kemampuan
pemahanan penderita untuk kehidupan sehari-hari, sekolah
dan bekerja

5. Pelatih bicara dan bahasa


Spesialisasi dalam diagnosis dan terapi masalah komunikasi

6. Pekerja sosial
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang
hidup dalam komunitas dan program edukasi

7. Psikolog
Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan
keluarga menghadapi tekanan khusus dan kebutuhan dari
penderita CP. Pada banyak kasus, psikolog dapat mengatur
terapi dengan memodifikasi perilaku yang tidak membantu
atau destruktif.
8. Guru
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat
gangguan mental atau gangguan proses belajar
Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci dari
keberhasilan terapi, mereka seharusnya terlibat jauh pada semua
tingkat rencana, pembuatan keputusan, dan mengaplikasikan terapi.
Penelitian menunjukkan bahwa dukungan keluarga dan determinasi
personal adalah dua dari prediktor-prediktor yang sangat penting
untuk mencapai kemajuan jangka panjang (Adams RC et al, 1998).
Yang sering dijumpai, klinisi dan keluarga hanya terfokus
terutama pada gejala individual, terutama kemampuan berjalan,
padahal yang terpenting adalah membantu individu untuk bertumbuh

menjadi dewasa dan memiliki kebebasan maksimun dalam


bersosialisasi.
8. terapis spesifik cerebral palsy
a. Terapi Fisik, Perilaku dan Lainnya
Terapi, apakah untuk pergerakan, bicara atau kemampuan
mengerjakan tugas sederhana, merupakan tujuan dari terapi CP.
Terapi CP ditujukan pada perubahan kebutuhan penderita sesuai
dengan perkembangan usia.
Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan,
segera setelah diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik
menggunakan gerakan spesifik mempunyai 2 tujuan utama yaitu
mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi otot yang apabila
berlanjut akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy) dan
yang kedua adalah menghindari kontraktur, dimana otot akan menjadi
kaku yang pada akhirnya akan menimbulkan posisi tubuh abnormal.
Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada
keadaan normal, dengan panjang tulang yang masih tumbuh akan
menarik otot tubuh dan tendon pada saat berjalan dan berlari dan
aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan berkembang
dalam kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas
akan mencegah peregangan otot dan hal tersebut akam
menyebabkan otot tidak dapat berkembang cukup pesat untuk
mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur dapat
mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang
sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau dengan
kombinasi penopang khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah
komplikasi dengan cara melakukan peregangan pada otot yang
spastik. Sebagai contoh, jika anak mengalami spastik pada otot
hamstring, terapis dan keluarga seharusnya mendorong anak untuk
duduk dengan kaki diluruskan untuk meregangkan ototnya.
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan
perkembangan motorik anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan
tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar dari program tersebut adalah
refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang menyebabkan
hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis
akan berusaha untuk menetralkan refleks tersebut dengan
memposisikan anak pada posisi yang berlawanan. Jadi, sebagai
contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu melakukan fleksi pada
lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi berulang
kali pada lengan tersebut (Bobath, 1967).

Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola,


berdasarkan prinsip bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan
dalam ururtan yang sama supaya berkembang secara normal. Pada
pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan membimbing anak
sesuai dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik normal.
Sebagai contoh, anak belajar gerakan dasar seperti menarik badannya
pada posisi duduk dan merangkak sebelum anak mampu berjalan,
yang berhubungan dengan tanpa melihat usianya.
Terapi fisik hanya merupakan satu elemen dari program
perkembangan bayi selain juga meliputi usaha untuk menyediakan
satu lingkungan yang bervariasi dan dapat menstimulasi
perkembangan motorik anak. Anak CP juga membutuhkan
pengalaman baru dan interaksi dengan lingkungan disekitarnya dalam
upaya pembelajaran. Program stimulasi dapat memberikan
pengalaman yang bervariasi pada anak yang secara fisik tidak
memungkinkan untuk bereksplorasi.
Pada saat anak CP mencapai usia sekolah, penekanan terapi
bergeser dari perkembangan motorik dini. Usaha sekarang ditujukan
pada persiapan anak untuk masuk sekolah, membantu anak untuk
membangun aktivitas harian rutin, dan memaksimalkan kemampuan
anak untuk berkomunikasi.
Terapi fisik saat ini dapat membantu anak CP mempersiapkan
sekolah dengan meningkatkan kemampuan untuk duduk, bergerak
leluasa atau dengan kursi roda, atau melakukan tugas misalnya
menulis. Pada terapi okupasi, terapis bekerja dengan anak untuk
mengembangkan kemampuan makan, berpakaian, atau menggunakan
kamar mandi. Hal ini akan menurunkan kebutuhan pada pengasuh dan
mempertinggi kepercayaan pada diri sendiri. Untuk anak yang
mengalami kesulitan berkomunikasi, terapi wicara bekerja untuk
mengidentifikasi kesulitan spesifik dan membawa mereka dalam
program latihan, menggunakan alat komunikasi khusus, misalnya
komputer dengan suara.
Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan
kemampuan anak. Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi,
yang dapat melengkapi terapi fisik, bicara dan okupasi. Sebagai
contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan boneka dalam kotak
dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak dengan
menggunakan tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk
berkata dengan huruf depan b dapat menggunakan balon untuk
menciptakan kata tersebut. Pada kasus yang lain, terapis dapat
mencoba menghindari perilaku yang tidak menguntungkan atau

perilaku merusak, misalnya menarik rambut atau menggigit, dengan


menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan aktivitas yang
baik.
Pada saat anak CP tumbuh lanjut, kebutuhan mereka untuk dan
tipe terapi dan pelayanan bantuan lain akan berlanjut dan berubah.
Terapi fisik berkelanjutan berdasarkan masalah pergerakan dan
disuplementasi dengan latihan vokal, rekreasi dan program yang
menyenangkan, dan edukasi khusus jika diperlukan. Konseling untuk
perubahan emosi dan psikologis dapat dibutuhkan pada setiap usia,
tetapi paling sering pada masa remaja.
Tergantung pada kemampuan fisik dan intelektual, orang dewasa
mungkin membutuhkan pengasuh yang peduli, akomodasi hidup,
transportasi atau pekerjaan.
Dengan tanpa memandang usia dan bentuk terapi yang digunakan, terapi tidak
berhenti saat penderit keluar dari ruangan terapi. Pada kenyataannya, sebagian
besar pekerjaan sering dilakukan di rumah. Terapis berfungsi sebagai pelatih,
menyiapkan orang tua dan penderita dengan strategi dan melatihnya dimana dapat
membantu meningkatkan penampilan di rumah, sekolah dan dimasyarakat.

b. Alat Mekanik
Mulai dengan bentuk yang sederhana misalnya sepatu velcro
atau bentuk yang canggih seperti alat komunikasi komputer, mesin
khusus dan alat yang diletakkan dirumah, sekolah dan tempat kerja
dapat membantu anak atau dewasa dengan CP untuk menutupi
keterbatasannya.
Komputer merupakan contoh yang canggih sebagai alat baru yang dapat membuat
perubahan yang bermakna dalam kehidupan penderita CP. Sebagai contoh, anak
yang tidak dapat berbicara atau menulis tetapi dapat membuat gerakan dengan
kepala mungkin dapat belajar untuk mengendalikan komputer dengan
menggunakan pointer lampu khusus yang diletakkan di ikat kepala. Dengan
dilengkapi dengan komputer dan sintesiser suara, anak akan berkomunikasi dengan
orang lain. Pada kasus lain, tehnologi telah mendukung penemuan versi baru dari
alat lama, misalnya kursi roda tradisional dan bentuk yang lebih baru yang dapat
berjalan dengan menggunakan listrik.
Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi
obat anti kejang yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya
kejang ulangan. obat yang diberikan secara individual dipilih
berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang dapat
mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang

berbeda walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat membaik


dengan obat yang berbeda, dan banyak orang mungkin membutuhkan
terapi kombinasi dari dua atau lebih macam obat untuk mencapai
efektivitas pengontrolan kejang (ODonnell M, 1997).
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi
spastisitas pada penderita CP adalah:

1. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.
Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan
pada anak usia >6 bulan diberikan dengan dosis 0,12 0,8
mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6
8 jam, dan tidak melebihi 10 mg/dosis

2. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari
medula spinalis yang akan menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah
sebagai berikut:
2 7 tahun:
Dosis 10 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 4
dosis. Dosis dimulai 2,5 5 mg per oral 3 kali per hari,
kemudian dosis dinaikkan 5 15 mg/hari, maksimal 40
mg/hari 8 11 tahun:
Dosis 10 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4
dosis. Dosis dimulai 2,5 5 mg per oral 3 kali per hari,
kemudian dosis dinaikkan 5 15 mg/hari, maksimal 60
mg/hari > 12 tahun:
Dosis 20 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4
dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3 kali per hari,
kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80
mg/hari

3. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi
otot sehingga kontraksi otot tidak bekerja.
Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40
mg/hari

Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk


periode singkat, tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang
belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Obatobatan tersebut dapat
menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan efek jangka
panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu
solusi untuk menghindari efek samping adalah dengan
mengeksplorasi cara baru untuk memberi obatobat tersebut (Albright,
1996).
Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang dapat diberikan
obat-obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan
abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk golongan
antikolinergik, bekerja dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang
merupakan bahan kimia messenger yang akan menunjang hubungan
antar sel otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi otot. Obat-obatan
antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine dan procyclidine
hydrochloride.
Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan alkohol
atau injeksi alkohol kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk
periode singkat. Tehnik tersebut sering digunakan klinisi saat hendak
melakukan koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang
diinjeksikan kedalam otot akan melemahkan otot selama beberapa
minggu dan akan memberikan waktu untuk melakukan bracing, terapi.
Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat menunda kebutuhan untuk
melakukan pembedahan.

Botulinum Toxin (BOTOX)


Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat
pelepasan acetilcholine dari presinaptik pada pertemuan otot dan
saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan menyebabkan kelemahan otot.
Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan menguatkan otot yang
berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah kontraktur
yang akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi
ini digunakan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak
jumlahnya, misalnya spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait
jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau spastisitas pada otot flexor lutut
yang menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot sering akibat
mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan
puncak terjadi pada 60 hari (Cosgrove, Graham, 1994).

Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas


ekstremitas atas yang secara sekunder akibat tonus otot abnormal
dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering dijumpai adalah aduksi
bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan dan
fleksi pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif
untuk memperbaiki kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah
diduga sebelumnya, fungsi motorik halus tidak banyak mengalami
perbaikan. Keuntungan dari segi kosmetik untuk memperbaiki fleksi
siku sangat dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri
akibat injeksi minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit
setelah injeksi. Efikasi tercapai dalam 48-72 jam dan akan menghilang
dalam 2-4 bulan setelah injeksi. Lama waktu penggunaan botulinum
toksi dilanjutkan tergantung dari derajat abnormalitas tonus otot,
respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi yang
diinginkan (Wong V, 1998).

Baclofen Intratekal
Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara
intratekal melalui pompa yang ditanam akan sangat membantu
penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat yang sangat
mengganggu fungsi normal tubuh (Albright, 1996). Karena Baclofen
tidak dapat menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis
tinggi diperlukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan jika
dibandingkan dengan cara pemberian intratekal. Dijumpai penderita
dengan baclofen oral akan tampak letargik.
Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk
mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak
tahun 1990, metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita
CP dan menunjukkan efikasi yang baik.
. Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur
berat dan menyebabkan masalah pergerakan berat. Dokter bedah
akan mengukur panjang otot dan tendon, menentukan dengan tepat
otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang bermasalah
merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar,
membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat
pada waktu yang tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah
pada satu otot dapat menyebabkan cara berjalan abnormal. Lebih

jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang bermasalah dapat


tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk
melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang
merekam saat penderita berjalan, komputer akan menganalisis tiap
bagian gait penderita. Dengan menggunakan data tersebut, dokter
akan lebih baik dalam melakukan upaya intervensi dan mengkoreksi
masalah yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan analisis gait
untuk memeriksa hasil operasi (Gage et al, 1991).
Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot
tersebut lebih lemah, pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu
diamati selama beberapa bulan setelah operasi. Karena hal tersebut,
dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang terkena pada
satu waktu jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser
pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk
menjadwalkan operasi yang terkait secara bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal
root rhizotomy, ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot
tungkai dengan menurunkan jumlah stimulasi yang mencapai otot
tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut, dokter berupaya
melokalisir dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu dominan
yang mengontrol otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi
dalam pelaksanaannya (Hays RM, 1997; McLaughin JF, 1998).
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik
cerebellar dan stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik
cerebelar, elektroda ditanam pada permukaan cerebelum yang
merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam koordinasi
gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar,
dengan harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas
dan memperbaiki fungsi motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut
masih belum jelas. Beberapa penelitan melaporkan perbaikan
spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil sebaliknya
(Pape et al, 1993).
Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang
merupakan bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan
organ sensoris. Hal ini efektif hanya untuk menurunkan tremor
hemiparesis.

PROGNOSIS CEREBRAL PALSY


Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis
CP, derajat kelambatan yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan,

adanya refleks patologis, dan yang sangat penting adalah derajat


defisit intelegensi, sensoris, dan emosional. Tingkat kognisi sulit
ditentukan pada anak kecil dengan gangguan motorik, tetapi masih
mungkin diukur (McCarthy et al, 1986). Tingkat kognisi sangat
berhubungan dengan tingkat fungsi mental yang akan sangat
menentukan kualitas hidup seseorang.
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah
utama lainnya selalu dapat berjalan pada usia 2 tahun; kegunaan
short brace hanya dibutuhkan sementara saja. Adanya tangan yang
kecil pada sisi yang hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang lebih runcing
dibanding dengan kuku lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi
sensoris parietalis dan defek sensori tersebut akan membatasi
kemampuan fungsi motorik halus pada tangan tersebut. 25% anak
dengan hemiplegia akan mengalami hemianopsia, karena hal ini anak
sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk memaksimalkan fungsi
visus. Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi pada anak yang
hemiplegik.
Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik diplegia dapat belajar
berjalan tesering pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukkan gait
abnormal, dan beberapa kasus membutuhkan alat bantu, misalnya
kruk. Aktivitas tangan secara umum akan terkena dengan derajat
yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal. Abnormal
gerakan ekstraokuler relatif sering dijumpai.
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan
perawatan total; paling banyak hanya 3% yang dapat berjalan,
biasanya setelah usia 3 tahun. Fungsi intelektual sering seiring dengan
derajat CP dan terkenanya otot bulbar akan menambah kesulitan yang
sudah ada. Hipotonia trunkus, dengan refleks patologis atau kekakuan
yang persisten merupakan gambaran yang menunjukkan buruknya
keadaan. Mayoritas anak-anak tersebut memiliki limitasi intelektual.
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang
berhubungan dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan.
Keseimbangan dan penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit.
Sebagian besar anak-anak yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar
berjalan. Sebaliknya, anak-anak yang masih menunjukkan moro refleks, tonik neck
refleks asimetrik, kecenderungan ekstensi, dan tidak menunjukkan refleks parasut
tidak mungkin dapat belajar berjalan; sebagian dari mereka yang tidak dapat duduk
pada usia 4 tahun dapat belajar berjalan.

. PENCEGAHAN CEREBRAL PALSY


Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga
kejadian CP pun bisa dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat
dicegah atau diterapi antara lain:

1. Pencegahan

terhadap

cedera

kepala

dengan

cara

menggunakan alat pengaman pada saat duduk di kendaraan


dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan eliminasi
kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan
optimal selama mandi dan bermain.

2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada


bayi baru lahir dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi
dapat dilakukan transfusi tukar. Inkompatibilitas faktor rhesus
mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin ibu dan
bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan
masalah pada kehamilan pertama, karena secara umum tubuh
ibu hamil tersebut belum memproduksi antibodi yang tidak
diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian besar kasuskasus, serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat
mencegah produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang,
misalnya jika pada ibu hamil antibodi tersebut berkembang
selama

kehamilan

pertama

atau

produksi

antibodi

tidak

dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan


bayi dan jika perlu dilakukan transfusi ke bayi selama dalam
kandungan atau melakukan transfusi tukar setelah lahir.

3. Rubella,

atau

campak

jerman,

dapat

dicegah

dengan

memberikan imunisasi sebelum hamil.


Sebagai tambahan, sangat baik jika kita berpedoman untuk menghasilkan
kehamilan yang baik dengan cara asuhan pranatal yang teratur dan nutrisi optimal
dan melakukan eliminasi merokok, konsumsi alkohol dan penyalah-gunaan obat.
Walaupun semua usaha terbaik yang sudah dilakukan oleh orang tua dan dokter,
tetapi masih ada anak yang terlahir dengan CP, hal tersebut karena sebagian besar
kasus CP tidak diketahui sebabnya.

Daftar pustaka

1. T. Michael O'Shea , MD,MPH.2011. Diagnosis, Treatment, and Prevention of Cerebral


Palsy in Near-Term/Term Infants. US National Library of Medicine National Institutes of
Health. Diakses pada tanggal 16-02-2016 tersedia di
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3051278/
2. Ryan M. McAdams, Sandra E. Juul. 2011. Cerebral Palsy: Prevalence, Predictability, and
Parental Counseling. American Academy of Pediatrics gateway. Diakses pada tanggal 1602-2016 tersedia di http://neoreviews.aappublications.org/content/12/10/e564
3. Saharso Darto. 2006. Cerebral palsy diagnose dan tatalaksana. Kelompok studi neourodevelopmental bagian ilmu kesehatan anak Fk unair RSU Dr. soetomo Surabaya. Diakses
pada tanggal 16-02-2016 tersedia di pediatrik.com/pkb/061022021726-bvxh131.pdf
4.

Anda mungkin juga menyukai