Anda di halaman 1dari 39

LaporanKasus

SEORANG WANITA DATANG DENGAN SESAK NAPAS


YANG MEMBERAT SEJAK 4 JAM SMRS.

Oleh:
Salsabil Dhia Adzhani

04084821517048

Pembimbing :
dr. Ferry Usnizar, SpPD-KKV

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
LaporanKasus
Judul

SEORANG WANITA DATANG DENGAN SESAK NAPAS


YANG MEMBERAT SEJAK 4 JAM SMRS.
Oleh:
Salsabil Dhia Adzhani

04084821517048

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satus yarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran

Universitas

Sriwijaya

Rumah

Sakit

Mohammad

Hoesin

Palembang Periode 7 November 15 Februari 2016.

Palembang, Desember 2015


Pembimbing

dr. Ferry Usnizar, SpPD-KKV

BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung
(Maggioni AP, 2005). Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di
rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun
diperkirakan 2,33,7 perseribu penderita pertahun (Santoso A, dkk, 2007). Kejadian
gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan
hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Davis RC, dkk, 2000).
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis
serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda tanda klinis pada tahap awal penyakit.
Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini
serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,
penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan
kelangsungan hidup jantung (Davis RC, dkk, 2000).
Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun
2007, biaya langsung dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal
jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya hospitalisasi untuk bagian yang lebih
besar sekitar 54% (Crouch, dkk, 2006).
Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat
merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk
ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat
darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut (Crouch, dkk, 2006).
Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa
penggolongan klinis terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah

sakit dengan perburukan gagal jantung, studi ini menunjukan bahwa


mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung memiliki bukti
hipertensi sistemik pada saat

masuk rumah sakit dan umumnya

mengalami Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF) (Lindenfeld J, 2010).


Selama 20 tahun terakhir, jumlah dikeluarkan dari rumah sakit yang
terkait dengan gagal jantung telah meningkat 155%, yang terutama
disebabkan oleh meningkatnya populasi geriatri dan perawatan yang
meningkat karena adanya infark miokard akut (Dickstein K, dkk, 2008).

Setelah mengamati keadaan di atasm penulis merasa terpanggil untuk


mengangkat laporan kasus mengenai gagal jantung pada pasien yang dirawat di
Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam RSMH Palembang.

BAB II
STATUS PASIEN

2.1

Identifikasi Pasien
Nama
Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
Kebangsaan
Status Pernikahan
Pekerjaan
Agama
Alamat
MRS
No. Rekam Medis

2.2

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Ny M
1 Januari 1956
Perempuan
Indonesia
Menikah
Ibu Rumah Tangga
Islam
OKI
17 November 2015
299940

Anamnesis
Keluhan utama:
Sesak napas memberat sejak 4 jam SMRS.
Riwayat perjalanan penyakit:
4 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak napas hilang timbul. Sesak
dirasakan jika beraktivitas fisik seperti berjalan 20 m atau saat naik turun
tangga, sesak berkurang saat istirahat, sesak saat malam hari (+), OS nyaman
tidur dengan 3 bantal kepala, sesak tidak dipengaruhi cuaca ataupun
lingkungan, nyeri dada (-), batuk (-), demam (-), bengkak kedua kaki (-)
7 hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas hilang timbul. Sesak
dirasakan jika beraktivitas ringan seperti mengangkat barang atau berjalan
menuju kamar mandi (5 m), sesak berkurang saat istirahat, sesak saat malam
hari (+), sesak tidak dipengaruhi cuaca ataupun lingkungan, nyeri dada (+)
hilang timbul, seperti ditusuk-tusuk, menjalar dari belakang ke depan, nyeri
berkurang saat istirahat batuk (+), dahak (+), demam (-), mual (-), muntah (-),
bengkak kedua tungkai (-). BAB dan BAK seperti biasa.

1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak napas memberat, sesak tidak


dipengaruhi aktivitas, sesak menetap saat istirahat, nyeri dada (+) seperti
tertimpa benda berat dan tidak menjalar, nyeri ulu hati (+), mual (-), muntah (-),
batuk (+) berdahak warna putih, demam (-), bengkak kedua kaki (+), nyeri
kepala (+), badan lemas (+), BAB dan BAK seperti biasa.

Riwayat penyakit dahulu:

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis (+) sejak 20 tahun yang lalu, OS mengaku rutin
minum glukodex 1x1

Riwayat penyakit jantung sejak 6 tahun yang lalu, OS sering dirawat


karena sesak

Riwayat penyakit pernapasan (asma) disangkal

Riwayat pernah makan obat selama 6 bulan disangkal.

Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal

Hipertensi (+) dari ibu

Asma (-)

Penyakit jantung (-)

Penyakit paru (-)

Diabetes melitus (-).

Riwayat pribadi/ sosial:

OS tidak merokok

Minum kopi (-)

Minum alkohol (-)


2.3

Olah raga (-)

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum
Sensorium
Tekanan Darah
Nadi
Laju Pernafasan
Suhu Tubuh
BB
TB
IMT
Status Lokalis
Kepala
Leher
Thorax
Cor

: Pasien tampak sakit berat


: E4M6V5 = GCS 15
: 110/60 mmHg
: 96x/menit
: 30x/menit
: 36,5oC
: 52 kg
: 156 cm
: 21.36
: Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
: JVP 5+2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
: I

: Ictus kordis terlihat di ICS VI 2 jari lateral LMC


sinistra
P : Ictus kordis teraba di ICS V 2 jari lateral LMC
sinistra
P : Batas jantung atas ICS II, batas kanan linea 1
jari linea parasternalis dextra, batas kiri 2 jari

Pulmo

lateral LMC sinistra


A : HR= 116x/menit, murmur (+) sistolik, gallop (-)
: I : Gerakan dada simetris kiri = kanan, laju
pernafasan= 30x/menit
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor kedua hemithorax
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki basah

Abdomen

Ekstremitas
2.4

halus kedua hemithorax (+)


: I : Datar, venektasi (-), massa (-)
P : Lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae
P : Shifting dullness (+)
A : Bising usus (+) normal
: Edema pada ekstremitas inferior

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (2 Desember 2015)
Hb
: 10,7 g/dL

RBC
: 4.38 x 106 /mm3
WBC
: 7.800/L
PLT
: 186.000/L
Ht
: 32%
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Basofil
: 0%
Eosinofil
: 0%
Netrofil
: 63%
Limfosit
: 28%
Monosit
: 9%
Protein Total
:6.1 g/dL
Albumin
:2.7 g/dL
Globulin
:3.5 g/dL
Glukosa sewaktu
: 155 mg/dL
Kolesterol Total
: 133 mg/dL
Kolesterol HDL
: 6 mg/dL
Kolesterol LDL
: 69 mg/dL
Trigliserida
: 102 mg/dL
Ureum
: 73 mg/dL
Kreatinin
: 1,04 mg/dL
Natrium
: 136 mEq/L
Kalium
: 2.9 mEq/L
6 Desember 2015
Protein Total
Albumin
Globulin

: 6.8 g/dL
: 3.9 g/dL
: 2.9 g/dL

19 November 2015
Glukosa 2 jam PP
Hb-A1C

: 197 mg/dL
: 8.5 %

Urinalisis (19 November 2015)


Urine Lengkap
: kuning
Warna
: agak keruh
Kejernihan
: 1.020
Berat Jenis
:5.0
pH
:Negatif
Protein
:Negatif
Glukosa
:Negatif
Keton
:Negatif
Darah
:Negatif
Bilirubin
:Negatif
Urobilinogen
:4
Nitrit
: Negatif

Lekosit Esterase
Sedimen Urine
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Mukus
Jamur
EKG
20 November 2015

: Positif +
: Positif +++
: 8 - 10
:0-1
: Negatif
: Negatif
: Negatif
: Positif ++
: Positif +
: Negatif

Irama sinus, axis ke kiri, HR: 1180 x/menit, gelombang P normal, PR interval
0,16 detik, QRS complex 0,04 detik, R/S di V1 <1, S di V1+R di V5/V6 < 35,
Perubahan segmen ST T (-), LV Strain (+)
Kesan
: sinus takikardi, LVH

Kesan: Kardiomegali, Efusi pleura bilateral


2.5

Diagnosis Banding
- CHF ec CAD/HHD + DM tipe 2 uncontrolled overweight
- HHD dekompensata + CAD + DM tipe 2 uncontrolled overweight

2.6

Diagnosis Kerja
CHF ec CAD + DM tipe 2 uncontrolled normoweight

2.7

Saran Pemeriksaan
- CK-MB
- CK-NAC
- Troponin T
- SGOT
- SGPT
- Urinalysis
- Echocardiography

2.8

Prognosis

Quo ad vitam
Quo ad functionam
2.9

: dubia ad bonam
: dubia ad malam

Penatalaksanaan
- Oksigen 3 L/ menit (nasal canule)
- IVFD NaCl gtt x/menit (mikro)
- Inj. Furosemid 2x40 mg
- KSR 1x600 mg
- Spironolakton 1x25 mg
- Digoxin 1x tab
- Omeprazol 1x20 mg
- Inj Levemir 1x12 IU SC
- Inj Novorapid 3x10 IU SC

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Gagal Jantung
3.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi atau kedua-duanya (Shah RV, 2007).
3.1.2 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara garis besar
penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%,
dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta
kardiomiopati dan sebab lain (10%) (Lipp, 2000).
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Lipp, 2000).
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya
gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang
mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka
kejadiannya semakin meningkat.
Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel
kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic,
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk
terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis
hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut (Lipp, 2000).
Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional:

dilatasi

(kongestif),

hipertropik,

restriktif,

dan

obliterasi.

Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan


atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski
secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut
miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang

berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik


obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati
peripartum menyebabkan gagal jantung akut (Rodeheffer, 2005).
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban
awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
beban akhir) (Harbanu, 2007).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri.
Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan (Harbanu, 2007).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga
dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek
toksik langsung terhadap otot jantung (Harbanu, 2007).
3.1.3 Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya index event atau kejadian penentu hal ini dapat berupa
kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit
jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk
menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat
memiliki onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut

(MI), atau memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien
dengan tekanan hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload
cairan (pada gagal ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus
dengan kardiomiopati genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya
memiliki satu kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas
dari berbagai penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung
bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung,
atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak
diketahui dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap
asimtomatik, hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan mengenai hal ini
adalah banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi
jejas jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur
kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga
kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit.
Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang
simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal akan
mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal dengan
remodelling ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan
pada Gambar 1. Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang
menghasilkan penurunan pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan
menurunan pada kapasitas pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi
diaktifkan termasuk sistem syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan
sistim sitokin. Pada jangka pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung
pada batas homoestatik sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan
aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan
kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel, dengan remodelling
ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya
secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala
ke gagal jantung yang bergejala.

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung


(Dikutip dari: Mann DL, 2008)
Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu
model neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil
ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang
dapat memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi (Hess,
2007).

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor


arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.
Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktivitas pada
sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik
dalam mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis
pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan

pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik
dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengaturan

mekanisme

neurohormonal

ini

dapat

bersifat

adaptif ataupun maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem


dapat memelihara tekanan perfusi arteri selama terjadi penurunan
curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif apabila menimbulkan
peningkatan

hemodinamik

melebihi

menimbulkan

peningkatan

kebutuhan

batas

ambang

oksigen,

serta

normal,
memicu

timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal


sebagai berikut:
Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung.
Hal ini akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus
aorta, kemudian dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X,
yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf
simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan
meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi
jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik (Hess, 2007).
Norepinefrin

dapat

meningkatkan

kontraksi

dan

mempertahankan tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard


menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada
penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi sistem
adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi
maladaptasi (Hess, 2007).
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,
mungkin berhubungan dengan exhaustion phenomenon yang
berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama
(Hess, 2007).

Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada


gagal jantung.
(Dikutip dari : Floras JS, 2004)
Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem reninangiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi
renal, berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa
tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu
peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin
memecah

empat

asam

amino

dari

angiotensinogen

I,

dan

Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua asam amino


dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan
dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2).
Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada

Gambar

2.2.

Aktivasi

reseptor

AT1

akan

mengakibatkan

vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan


katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi
pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin (Hess, 2007).

Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


(Dikutip dari: Weber KT, 2001)
Angiotensin

II

mempertahankan

mempunyai

sirkulasi

beberapa

homeostasis

aksi

dalam

penting
jangka

dalam
pendek,

namun jika terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke


keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung,
ginjal

dan

organ

lain.

Selain

itu,

juga

akan

mengakibatkan

peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona


glomerulosa untuk memproduksi aldosteron (Hess, 2007).

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap


sirkulasi dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika
berlangsung relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu
memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan miokardium, yang
berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya
kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu disfungsi sel
endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin yang
akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada
sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan
hasil akhir inflamasi pada jaringan (Hess, 2007).
Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive
oxygen species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh
rangsangan dari ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal
(angiotensin II, aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1)
maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek
ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan
sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer
dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO (Shah RV, 2007).
Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting
dalam pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan
dengan reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin
diperantarai lewat ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan
reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah.
Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE (Shah RV, 2007).
Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri

yang progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya


kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling
mempunyai efek penting pada miosit jantung, perubahan volume
miosit dan komponen nonmiosit pada miokard serta geometri dan
arsitektur ruangan ventrikel kiri (Hess, 2007)

Proses remodeling

jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3. Remodeling berawal dari


adanya

beban

jantung

yang

mengakibatkan

meningkatkan

rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload


dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis
aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik

yang secara

parallel menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada


miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban
jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga
meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri
pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit
jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi
eksentrik (Hess, 2007).

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam perkembangan


gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi jantung. Jalur
kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling penting. Jalur
ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke potensial
aksi. Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan fase
plateu dan meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya
proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas
pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum
sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium
sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun (Shah RV,
2007).
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung
pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses

kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi


membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat
berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran
plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka
dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran
(Shah RV, 2007).
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan
saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang
terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur
membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase.
Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses
kontraksi-eksitasi pada gagal jantung (Shah RV, 2007).
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal
jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada
gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,
peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih.
Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis.
Hal-hal ini memperburuk gagal jantung (Hess, 2007).

Gambar 4. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap


hemodinamik berlebih.
(Dikutip dari: Hunter JJ, 1999)

3.1.4 Klasifikasi
a. Gagal Jantung backward dan forward
Backward failure, terjadi apabila ada kegagalan pada ventrikel
dalam memompakan darah, sehingga darah terbendung dan tekanan
atrium serta vena-vena di belakangnya akan naik.
Forward failure, terjadi karena berkurangnya aliran darah (cardiac
output) kesistem arterial, sehingga tejadi pengurangan fungsi pada organorgan vital.
Dasar patofisiologi menurut Backward failure :
1.

isi dan tekanan (volume dan pressure) pada akhir fase diastolik (enddiastolic pressure) meninggi.

2.

isi dan tekanan akan meninggi pada atrium di belakang ventrikel


yang gagal.

3.

atrium ini akan bekerja lebih keras.

4.

tekanan pada vena dan kapiler di belakang ventrikel yang gagal


meninggi.

5.

terjadi transudasi pada jaringan interstisial (Shah RV, 2007).

b. Gagal Jantung Kanan, Kiri, dan Kongestif


Gejala yang timbul pada gagal jantung kanan adalah: fatig,
edema, liver, anoreksia, dan kembung. Pada pemeriksaan fisisk bias
didapatkan hipertrofi jantung kanan, irama derap atrium kanan,
murmur, tanda-tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis
meningkat, peningkatan tekanan vena.
Pada gagal jantung kiri akan timbul :
Dyspneu d 'efort yaitu, sesak nafas yang terjadi pada saat

melakukan aktivitas fisik


Fatig
Ortopnea merupakan sesak nafas yang terjadi pada saat
berbaring, dan dapat dikurangi dengan sikap duduk atau berdiri.
Hal ini disebabkan karena pada saat berdiri terjadi penimbunan
di kaki dan perut. Pada saat berbaring maka cairan ini kembali

ke pembuluh darah dan menambah darah balik, sehingga terjadi

sesak nafas.
Dispnea nokturnal peroksimal, yaitu serangan sesak nafas yang
terjadi pada malam hari, pada saat pasien tertidur dan akan
terbangun karena sesak nafas. Faktor-faktor yang menyebabkan
antara lain : menurunnya tonus simpatis, darah balik yang
bertambah, penurunan aktivitas pada saat pernafasan di malam
hari, dan edema paru. Untuk menghilangkan gejala ini penderita

memerlukan waktu lebih dari 30 menit.


Pembesaran jantung
Takikardi
Batuk
Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan

gagal jantung kanan, demikian sebaliknya Bila gagal jantung kanan


terjadi bersamaan dengan gagal jantung kiri maka akan terjadi gagal
jantung kongestif. Secara klinis hal ini tampak sebagai suatu keadaan
dimana penderita sesak nafas disertai dengan gejala bendungan cairan
di vena jugularis, hepatomegali, edema perifer, asites. Gagal jantung
kongestif biasanya dimulai lebih dahulu oleh gagal jantung kiri dan
secara lambat diikuti gagal jantung kanan.
c.

Gagal Jantung Low-Output dan High-Output


Gagal jantung low-output terjadi pada penyakit jantung
bawaan, hipertensi, katup, koroner, kardiomiopati. Gagal jantung
high-output misalnya pada tirotoksitosis, beri-beri, Pagets, anemia
dan fistula arteri-vena (Mann DL, 2008).

d. Gagal Jantung Akut dan Kronis


Gagal jantung akut menunjukkan saat atau lamanya gagal
jantung terjadi atau berlangsung. Secara garis besar sama dengan
gagal jantung kiri dan disebabkan oleh kegagalan mempertahankan
curah jantung yang terjadi secara mendadak. Apabila terjadi

mendadak, maka jantung tidak mempunyai waktu untuk melakukan


mekanisme kompensasi, misalnya pada infark jantung akut yang luas,
dinamakan gagal jantung akut.
Gagal jantung kronis sedangkan pada penyakit-penyakit
jantung katup, kardiomiopati atau gagal jantung akibat infark lama,
terjadinya gagal jantung secara perlahan atau karena gagal
jantungnya bertahan lama dengan pengobatan yang diberikan,
dinamakan gagal jantung kronik (Mann DL, 2008)
e.

Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Gagal Jantung Sistolik ketidak mampuan jantung untuk
memompa darah keluar dari ventrikel biasanya disebabkan oleh
adanya gangguan kemampuan inotropik miokard.
Gagal Jantung Diastolik gangguan terjadi pada saat relaksasi
dan pengisian. Petandanya adalah fungsi sistolik ventrikel biasanya
normal (terutama dengan pengukuran ejection fraction > 50%
iskemi akut, HRV) (Mann DL, 2008).

f.

Klasifikasi NYHA

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural


(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya
(NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan
struktural dan kerusakan otot jantung.
aktivitas fisik.
Memiliki risiko tinggi
Aktivitas fisik tidak terganggu,
mengembangkan gagal jantung.
aktivitas yang umum dilakukan tidak
Stage
Kelas
Tidak ditemukan kelainan
menyebabkan kelelahan, palpitasi,
A
I
struktural atau fungsional, tidak
atau sesak nafas.
terdapat tanda/gejala.
Secara struktural terdapat kelainan
Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat
jantung yang dihubungkan dengan
istirahat tidak ada keluhan. Tapi
Stage
Kelas
gagal jantung, tapi tanpa
aktivitas fisik yang umum dilakukan
B
II
tanda/gejala gagal jantung.
mengakibatkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.

Stage
C

Gagal jantung bergejala dengan


kelainan struktural jantung.

Secara struktural jantung telah


mengalami kelainan berat, gejala
Stage
gagal jantung terasa saat istirahat
D
walau telah mendapatkan
pengobatan.
Dikutip dari: Mann DL, 2008

3.1.5

Kelas
III

Kelas
IV

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat


istirahat tidak ada keluhan. Tapi
aktivitas ringan menimbulkan rasa
lelah, palpitasi, atau sesak nafas.
Tidak dapat beraktivitas tanpa
menimbulkan keluhan. Saat istirahat
bergejala. Jika melakukan aktivitas
fisik, keluhan bertambah berat.

Diagnosis

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah
digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal
dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor.
Kriteria minor dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi pulmonal,
PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik (Hess, 2007).Kriteria mayor
dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari


Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL, 2008

3.1.6

Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung
antara lain adalah: darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum &
kreatinine, SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut: (1) untuk
mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia
dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk
mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik) (Mann
DL, 2008).
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,
namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat
ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.
Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini
dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya
aktivasi sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu,
rektriksi garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat
mengakibatkan

hiponatremia.

Gangguan

elektrolit

lainnya

termasuk

hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia (Mann DL, 2008).


Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan
meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme
jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga

telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%
penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada
semua pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan
hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya
tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena
ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis
berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang
bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi
sistolik, sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada
disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress,
ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus
dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya (Hess, 2007).
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel
dan gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular
filtration rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih
kuat dibandingkan klasifikasi kelas fungsional (Mann DL, 2008).
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai
akibat hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT)
dan alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time
(PT) dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi
hiperbilirubinemia (Mann DL, 2008).
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik (Mann DL, 2008).
Pemeriksaan profil lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai
kebutuhan.

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS


Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang
kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari
paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada followup pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat
dibagi menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volumeoverload, dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden (Mann DL ,
2008).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran
hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan
gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai
dengan adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada
lobus bawah paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah
interlobular intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular
terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih
tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung
kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi
sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang
kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan
tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau
tekanan arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi
pleura juga merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal
jantung, dan terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan (Hardiman, 2007).
Temuan pada foto toraks dengan penyebab dan implikasi klinisnya dapat di
lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan
Kardiomegali

Penyebab
Dilatasi ventrikel kiri,

Implikasi Klinis
Ekhokardiografi, doppler

Hipertropi ventrikel
Kongesti vena paru
Edema interstisial
Efusi pleura

Garis Kerley B

ventrikel kanan, atria, efusi


perikard
Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropi
Peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri
Peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri
Gagal jantung dengan
peningkatan pengisian
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Peningkatan tekanan limfatik

Ekhokardiografi, doppler
Gagal jantung kiri
Gagal jantung kiri
Pikirkan diagnosis non
kardiak

Mitral stenosis atau gagal


jantung kronis

Dikutip dari : Mann DL, 2008

ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap
pasien yang dicurigai gagal jantung (Hess, 2007). Dampak diagnostik
elektrokardiogram (ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun
dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1 Temuan EKG yang normal hampir
selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung.1 Gagal jantung dengan
perubahan EKG umum ditemukan. Temuan seperti gelombang Q patologis,
hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left
bundle branch block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T
dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler
(SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES)
dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis yang buruk,
sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat dianggap
sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya tidak
terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24atau 48- jam (Mann DL, 2008).

ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum
digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan
perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat
dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini noninvasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah
diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode
diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur
seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac
motion analysis (Mann DK, 2008).
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian
Left-ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri,
dan perubahan pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam
menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel 4
mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal
jantung.
Tabel 4. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM

DISFUNGSI SISTOLIK

DISFUNGSI DIASTOLIK

Ukuran dan bentuk

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

Ejeksi fraksi ventrikel

ventrikel
Ejeksi fraksi ventikel kiri

berkurang <45%
Ventrikel kiri membesar
Dinding ventrikel kiri tipis
Remodelling eksentrik

kiri normal > 45-50%


Ukuran ventrikel kiri

(LVEF)
Gerakan regional dinding
jantung, synchronisitas
kontraksi ventrikular
Remodelling LV
(konsentrik vs eksentrik)
Hipertrofi ventrikel kiri
atau kanan (Disfunfsi
Diastolik : hipertensi,

ventrikel kiri
Regurgitasi ringan-sedang
katup mitral*
Hipertensi pulmonal*
Pengisian mitral
berkurang*
Tanda-tanda
meningkatnya tekanan

normal
Dinding ventrikel kiri
tebal, atrium kiri
berdilatasi
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri.
Tidak ada mitral
regurgitasi, jika ada
minimal.

COPD, kelainan katup)


Morfolofi dan beratnya

pengisian ventrikel*

kelainan katup
Mitral inflow dan aortic

Hipertensi pulmonal*
Pola pengisian mitral
abnormal.*
Terdapat tanda-tanda

outflow; gradien tekanan

tekanan pengisian

ventrikel kanan
Status cardiac output

meningkat.

(rendah/tinggi)
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari: Mann DL, 2008

3.1.6

Penatalaksanaan

PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)


Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhankeluhan pasien, kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan
mandiri dapat didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
mempertahankan

stabilitas

fisik,

menghindari

perilaku

yang

dapat

memperburuk kondisi dan deteksi dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa


merawat dirinya pasien perlu diberi pelatihan baik oleh dokter atau perawat
terlatih. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri yang perlu dibahas
antara lain dapat dilihat pada Tabel 5 (Shah, 2007).
Tabel 5. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita
Gagal Jantung.
Topik Edukasi

Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi


gagal jantung
Gejala-gejala dan tandatanda gagal jantung

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhankeluhan timbul


Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran
Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Berhenti merokok, memantau tekanan darah

Terapi farmakologik
Modifikasi faktor risiko

Rekomendasi diet
Rekomendasi olah raga
Kepatuhan
Prognosis

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas


Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Melakukan olah raga teratur
mengikuti anjuran pengobatan
Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat
keputusan realistik

Dikutip dari: Shah, 2007


FARMAKOLOGIS
Algoritma penatalaksanaan gagal jatung menurut ACC/AHA pratice
Guidelines 2005 berdasarkan stage dapat dilihat pada gambar 1. Pasien stage A
belum mengalami gagal jantung dan tidak memiliki penyakit jantung struktural,
namun beresiko tinggi mengalami gagal jantung. Pasien stage B memiliki
penyakit jantung struktural yang mendasari namun belum mengalami gagal
jantung serta belum ada tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage C sudah
mengalami gagal jantung dilihat dari adanya penyakit jantung struktural serta
tanda dan gejala gagal jantung. Pasien stage D merupakan perkembangan dari
stage C yang bertambah parah karena pasien mengalami refraktosi gagal
jantung pada saat istirahat. Dilihat dari kategori pasien berdasarkan stage
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pasien didiagnosa gagal jantung jika
telah mengalami stage C dan D. Algoritme penatalaksanaan gagal jantung
menurut ACC/AHA practice Guidelines, 2005 terdiri dari 4 stage yaitu stage A,
B, C, dan D (Gb.1) (Hunt, et al., 2005). Sedangkan menurut NYHA (New York
Heart Assosiation), gagal jantung dibagi dalam 4 kelas yaitu 1, 2, 3, dan 4
(Walker and Edwards, 2003)(Susilo F, 2010).

Gambar 5. Algoritme Penatalaksanaan Gagal Jantung

BAB IV
ANALISIS KASUS
Anamnesis pada kasus ini menelusuri keluhan utama pada pasien, yaitu sesak.
Sesak sendiri dapat bermacam macam penyebabnya dan melibatkan banyak organ.

Sesak bias terjadi karena masalah di jantung, pulmo, metabolic, ginjal, dan lain lain.
Namun, pada pasien ini sesaknya menonjol dipengaruhi oleh aktivitas, yang mana
khas dijumpai pada pasien jantung, tetapi perlu ditanyakan pertanyaan pertanyaan
lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan yang lain.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien kemungkinan mengalami CHF.
Fungsi diastolik pada CHF akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi
ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dialtasi ventrikel kiri. Rangsangan simpatis dan
aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume
diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan
kontraksi miokard (penurunan/ gangguan fungsi sistolik). Gangguan fungsi sistolik
ini merupakan ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun
dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel,
menyebabkan peningkatan ekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien
sesak napas dan ortopnea.
Hal ini sesuai dengan keluhan yang dialami penderita sejak 4 bulan SMRS,
yaitu sesak napas yang hilang timbul, dan mudah lelah saat beraktivitas fisik seperti
berjalan 20 m. Penyakit bersifat progresif hingga 1 minggu SMRS, sesak mulai
bertambah bahkan pada aktivitas ringan seperti berjalan 5 m, dan bahkan tetap sesak
ketika sedang beristirahat. Pada malam hari, pasien juga mengeluh batuk berdahak
dan sesak saat berbaring, sehingga lebih nyaman tidur dengan 2-3 bantal.
Penderita juga mengeluh nyeri dada kiri seperti tertimpa benda berat, gejala ini
yang disebut angina pektoris yang juga dapat terjadi karena berhubungan penyakit
arterial koroner yang cepat dan kebutuhan oksigen miokard yang bertambah sebagai
akibat massa miokard yang bertambah. Hipertensi, iskemia miokard dan gangguan
fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi.
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan dengan Kriteria
Framingham minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Kriteria mayor yang didapati pada penderita ini antara lain paroksismal nokturnal

dispnea atau ortopnea, rales/ronkhi pada paru, Kriteria minor pada pasien: batuk
malam hari, Edema pretibia bilateral. hepatomegali.
Berdasarkan klasisfikasi New York Heart Asscociation sebagai 4 kelas
(NYHA1-4) dimana dyspnea dan fatigue sebagai penilaian. Pada kelas1 tidak ada
keluhan, kelas 2 gejala muncul pada pekerjaan biasa, kelas 3 gejala muncul pada
pekerjaan ringan serta kelas 4 gejala muncul pada saat istirahat Pada pasien ini
tampak terjadi perburukan dari 4 bulan terakhir sampai 1 hari SMRS terdapat
perubahan kelas 1 mulai dari sanggup beraktivitas seperti biasa, menjadi terbatas
dalam bekerja, sampai dypsnea saat pekerjaan ringan (kelas 3) dan akhirnya dyspnea
saat istirahat (kelas 4).

DAFTAR PUSTAKA

Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the


Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet].

California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2011 Apr 10].
Available

from

www.

ashpadvantage.com/

website_images

/pdf/

adhf_scios_06 .pdf.

Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ;320:39-42.
Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure
2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug [cited
2011 Apr 11]. Available from http:// www. oxfordjournals. org/ content /
10/10/933. Full . pdf

Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in


Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's
Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
2007. h. 2-9
Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,
Mann

DL,

Zipes

DP,

editor.

Braunwalds

Heart

Disease.

Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.


Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl
J Med. 1999; 341:1276
Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated
Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited
2011 Apr

10];

16

(6):

[about

23

p]. Available

heartfailureguideline.org/assets/
2010_heart_failure_guideline_sec_12 . pdf.

from http://www.
document/

Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements;7
(Supplement J):J15-J20.
Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw
hill; 2008. p. 1443.
Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive).
In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis and
Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart
Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

Anda mungkin juga menyukai