Anda di halaman 1dari 6

ACARA V

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN KELAPA

I.
A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk pertumbuhan dan
produksinya. Faktor lingkungan itu adalah siar matahari, temperatur, curah hujan,
kelembaban, keadaan tanah dan kecepatan angin. Disamping itu, iklim merupakan faktor
penting yang ikut menentukan pertumbuhan tanaman kelapa.
Beberapa faktor lingkungan yang perlu diperhatikan adalah letak lintang, ketinggian
tempat, curah hujan, temperatur, kelembaban, penyinaran matahari, dan sebagainya. Tanaman
kelapa tumbuh optimum pada 10 LS-10 LU, dan masih tumbuh baik pada 15LS- 15 LU.
Oleh karena itu, kelapa banyak ditemui tumbuh di daerah tropis seperti Philipina, Indonesia,
Srilanka, dan Malaysia.
Kesesuaian lahan dan iklim adalah syarat utama dalam melaksanakan kegiatan
perluasan tanaman kelapa agar produktivitas potensial dapat dicapai, di samping pengguinaan
bibit unggul. Cara yang dilakukan di masa lalu tanpa mempertimbangkan kesesuaian lahan
dan iklim mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti tanaman kelapa rusak atau mati
akibat serangan penyakit busuk pucuk atau kekeringan.

B.

Tujuan
1. Mempelajari kesesuaian lahan untuk tanaman kelapa di DIY
2. Mempelajari sejauh aspek teknis budidaya yang diterapkan di lapangan

II. TINJAUAN PUSTAKA


Kelapa merupakan komoditas penting bagi Indonesia. Selain untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, kelapa juga merupakan komoditas ekspor penghasil devisa.
Sebagian besar pertanaman kelapa rakyat belum memenuhi standar budidaya, sehingga
produktivitasnya rendah. Produktivitas tanaman ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor
genetik, agroklimat, dan kultur teknis. Tanaman kelapa memiliki keragaman kultivar yang
tinggi. Keragaman ini baru dipelajari berdasarkan karakter morfologis agronomis. Untuk
keperluan yang mendasar, terutama sejauh mana tanaman kelapa memanfaatkan energi surya,
perlu diketahui karakter komponen biologi tanaman, salah satunya adalah daun (Palit, 2008)
Pengusahaan kelapa secara monokultur tidak efisien dalam memanfaatkan potensi
lahan dan tenaga kerja keluarga yang tersedia. Tanaman kelapa umumnya ditanam dengan
jarak berkisar antara 7 m x 7 m sampai 10 m x 10 m untuk kelapa Dalam dengan kepadatan
rata-rata sekitar 130-180 pohon/ha. Tanaman kelapa yang diusahakan secara intensif pada
kondisi optimal menghasilkan buah sekitar 100-200 butir/pohon/tahun. Produksi bahan
keringtahunan sekitar 5,1-9,7 g/m /hari. Laju tumbuh tanaman pada lingkungan yang optimal
berkisar antara 15 -35 g/m/hari (Akuba dan Rumokoi, 1997).
Kesesuaian lahan dan iklim adalah syarat utama dalam melaksanakan kegiatan
perluasan tanaman kelapa agar produktivitas potensial dapat dicapai, di samping pengguinaan
bibit unggul Cara yang dilakukan di masa lalau tanpa mempertimbangkan kesesuaian lahan
dan iklim mengakibatkan timbulnya berbagai masalah seperti tanaman kelapa rusak atau mati
akibat serangan penyakit busuk pucuk atau kekeringan. Lahan bermasalah seperti daerah
pasang surut merupakan sumber daya lahan yang akan dipakai dalam pelaksanaan perluasan
di masa datang. Penggunaan teknologi tepat guna seperti trio tata air, bibit unggul,
pemupukan serta pengendalian hama dan penyakit akan merubah status bermasalah menjadi
potensial (Anonim, 2009).
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan
menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Sub kelas dan Unit. Ordo adalah keadaan
kesesuaian lahan secara global. Ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak
sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan menjadi dua
yaitu ordo S (Suitable) dan ordo N (Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian
dalam tingkat ordo. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi lahan yang tergolong ordo
sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),

dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan
ke dalam dua kelas, yaitu lahan yang tidak sesuai saat ini (N1) dan lahan tidak sesuai (N2).
Sub kelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan
dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan
lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Sub kelas S3rc, sesuai
marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc = rooting condition). Unit adalah keadaan
tingkatan dalam sub kelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang
berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai
kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran
terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1
kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm)
(Ritung et.al., 2007).
Produktivitas tanaman kelapa di Indonesia masih rendah yaitu 1,1 ton kopra/ha/tahun.
Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak tanaman kelapa yang sudah tua, tanaman tidak
berasal dari benih unggul, adanya serangan hama dan penyakit, serta tanaman kelapa yang
dikem- bangkan tidak sesuai dengan lingkungan tumbuhnya. Melihat permasalahan kelapa
tersebut maka untuk meningkatkan produktivitas perlu segera dilakukan peremajaan pada
pertanaman kelapa yang sudah tua dengan penggunaan jenis-jenis kelapa unggul (Novarianto
et al., 1994).
Perakitan kelapa hibrida selalu disesuaikan dengan tujuannya. Tujuan utama program
pemuliaan kelapa di Indonesia adalah menghasilkan bahan tanaman yang dalam skala luas
memiliki karakteristik hasil kopra tinggi dan cepat berbuah. Hasil ikutan lain yang diinginkan
adalah masuknya beberapa sifat berikut: kandungan minyak tinggi, resisten terhadap penyakit
busuk pucuk dan gugur buah, hasil kopra tinggi per unit areal dengan pemeliharaan
sederhana, toleran terhadap lahan pasang surut, toleran terhadap kekeringan, kandungan asam
laurat tinggi di dalam minyak, dan kandungan protein tinggi di dalam daging buah (Tenda,
2004) .
Indonesia memiliki lahan pasang surut yang cukup luas di Sumatera, Kalimantan dan
Papua. Luas lahan pasang surut diperkirakan sekitar 33,4 juta ha atau 17% dari luas daratan.
Hasil survey kerjasama dari beberapa instansi terkait telah direkomendasikan sekitar 7 juta ha
lahan pasang surut sepanjang pantai sesuai untuk pertanian. Sampai tahun 1990 telah ditanam

kelapa seluas 668.603 ha di lahan pasang surut, atau sekitar 21% dari total luas kelapa di
Indonesia (Luntungan et al., 1990).
Tujuan utama program pemuliaan kelapa di Indonesia adalah menghasilkan bahan
tanaman yang dalam skala luas memiliki karakteristik hasil kopra tinggi dan cepat berbuah.
Hasil ikutan lain yang diinginkan adalah masuknya beberapa sifat berikut: kandungan minyak
tinggi, resisten terhadap penyakit busuk pucuk dan gugur buah, hasil kopra tinggi per unit
areal dengan pemeliharaan sederhana, toleran terhadap lahan pasang surut, toleran terhadap
kekeringan, kandungan asam laurat tinggi di dalam minyak, dan kandungan protein tinggi di
dalam daging buah Permasalahan ditemui dalam pengembangan kelapa hibrida tersebut
antara lain: membutuhkan input tinggi, peka terhadap penyakit busuk pucuk dan gugur buah,
ukuran buah kecil sehingga tidak disukai konsumen terutama pabrikan (Chan, 1979).
Ke depan pengembangan Kelapa Hibrida Genjah x Dalam masih diperlukan untuk
mempercepat

peningkatan

produktivitas

kelapa.

Konsep

yang

ditawarkan

adalah

menggunakan kelapa hibrida local yang cepat berbuah dan produksi tinggi, medium input,
ukuran buah sedang sampai besar, resisten terhadap penyakit busuk pucuk dan gugur buah,
serta spesifik lokasi (Magat, 1999).

III. METODOLOGI
Praktikum Budidaya Tanaman Tahunan Acara V yang berjudul Analisis Kesesuaian
Lahan Untuk Tanaman Kelapa ini dilakukan pada hari Jumat, tanggal 25 Maret 2012 di kebun
kelapa milik bapak Bambang Triyanto yang berlokasi di Kabupaten Bantul tepatnya di Jalan
Parangtritis km 9, Dusun Tembi RT 1, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta. Dalam praktikum ini bahan-bahan yang dibutuhkan adalah kebun kelapa
3 (Cocos nucifera) milik petani di kabupaten Bantul. Sedangkan alat yang digunakan antara
lain alat tulis menulis, kendaraan, dan computer atau laptop dengan koneksi internet.
.

Cara kerjanya adalah praktikan dalam kelompok datang ke kebun kelapa yang

dimiliki petani di kabupaten Sleman, Bantul, atau Kulon Progo. Kelompok kami datang ke
kebun kelapa yang dimiliki petani di kabupaten Bantul. Kemudian keadaan lingkungan
diamati, yang dapat digunakan sebagai kriteria penentuan kelas kesesuaian lahan. Kriteria
tersebut diantaranya: ketinggian tempat, jenis tanah, kedalaman air tanah, suhu udara rata-rata
tahunan, panjang penyinaran, dan tekstur tanah. Pendekatan-pendekatan ilmiah digunakan
agar kriteria beberapa lokasi dapat ditentukan. Misalnya: kedalaman air tanah dapat dilihat
dari kedalaman sumur milik petani yang bersangkutan, Suhu udara rata-rata dapat dihitung
dengan rumus Braak (berdasarkan ketinggian tempat). Tekstur tanah dapat didekati dengan
metode perabaan (praktis dilakukan di lapangan). Untuk ketinggian tempat (altitude) dan
latitude (letak garis lintang) dapat ditentukan dengan teknologi informasi yang sudah sangat
berkembang dewasa ini. Dengan diketahuinya nama desa atau kecamatan atau kabupatennya,
altitude dan latitude dapat dengan mudah diketahui dengan pemanfaatan wikimapia
(www.wikimapia.org) atau Google Earth (http://earth.google.com) di internet. Bahkan dapat
ditampilkan peta wilayah tersebut apabila dilihat dari ketinggian tertentu. Dari data kriteria
kesesuaian lahan yang berhasil dikumpulkan, kemudian ditentukan kelas kesesuaian lahan
lokasi yang dipilih untuk budidaya tanaman kelapa. Setelah itu dibuat laporan tentang
perbandingan antara kondisi ideal (lihat lampiran syarat tumbuh kelapa) dan kenyataan di
lapangan, dalam kaitannya dengan budidaya tanaman kelapa.

DAFTAR PUSTAKA

Akuba, R.H. dan M.M. Rumukoi. 1997. Sistem Usahatani Berbasis Kelapa. Balai Penelitian
Kelapa, Manado.
Anonim. 2009. Coconut Tree. <http://www.newi.ac.uk/buckley/forces 2.htm>. Diakses pada
tanggal 28 Maret 2009.
Chan, E., 1979. Growth and early yield performance of malayan dwarf and tall coconut
hybrids on the costal clays of peninsular malaysia. Olengineux. 34: 65-70.
Luntungan, H. T., E. T. Bambang dan S. Taher. 1990. Tanaman Kelapa Untuk Pengem bangan
Daerah Rawa Pasang Surut. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Bogor.
Magat, S. S., 1999. Production Management of Coconut Agricultural Research and
Development Branch. Philippine coconut authority, Filipina.
Mahmud, Zainal. 2008. Modernisasi usaha tani kelapa rakyat. Pengembangan Inovasi
Pertanian 4: 274-287.
Novarianto, H. Miftahorachman, H. Tampake, E. Tenda dan T. Rompas. 1984. Pengujian
fillial 1 kelapa genjah dan kelapa dalam. Pemberitaan Paslitbangtri 49 : 21-27.
Palit, Janne J. 2008. Teknik penghitungan jumlah stomata beberapa kultivar kelapa. Buletin
Teknik Pertanian 13: 5-12.
Ritung, S., Wahyunto, F. Agus, dan H. Hidayat . 2007. Evaluasi Kesesuaian
Lahan.<http:www.worldagroforestry.org/Sea/Projects/regrin/data/PanduanEvaluasiKe
sesuaianLahan.pdf+kesesuaian+lahan&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id>. Diakses pada
tanggal 28 Maret 2009.

Anda mungkin juga menyukai