PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R,
2001).Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang
cukup signifikan yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi
seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan
rasio laki-laki: perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group
etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian
B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan memahami konsep teoritis dan asuhan
keperawatan pada gangguan system pencernaan khususnya pada anak
untuk penyakit atresia ani.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui
2. Mengetahui
3. Mengetahui
4. Mengetahui
5. Mengetahui
6. Mengetahui
7. Mengetahui
8. Mengetahui
9. Mengetahui
10.Mengetahui
11.Mengetahui
12.Mengetahui
ani
13.Mengetahui dan memahami intervensi pada klien atresia ani
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rectum. (Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Jadi dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan kongenital
ditandai dengan tidak adanya lubang atau saluran anus/ rektum atau keduannya
yang disebabkan tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian
endoterm.
Gigi sulung, mulai tumbuh pada anak-anak umur 6-7 bulan. Lengkap pada
umur 2 tahun jumlahnya 20 buah disebut juga gigi susu, terdiri dari 8
buah gigi seri (dens insisivus), 4 buah gigi taring (dens kaninus) dan 8
(dens kaninus), 8 buah gigi geraham (molare) dan 12 buah gigi geraham
(premolare).
Fungsi gigi terdiri dari; gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring
gunannya untuk memutuskan makanan yang keras dan liat, dan gigi geraham
gunannya untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.
b) Lidah
Lidah dibagi menjadi 3 (tiga) bagian;
Pangkal lidah (Radiks lingua), pada pangkal lidah yang belakang terdapat
epiglotis yang berfungsi untuk menutup jalan napas pada waktu kita
Kelenjar ludah
Disekitar rongga mulut terdapat tiga buah kelenjar ludah yaitu:
(muskulus buksinator).
Kelenjar submaksilaris: terletak dibawah rongga mulut bagian belakang,
duktusnya bernama duktus wartoni, bermuara di rongga mulut dekat
2.
Faring
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan
(osofagus), di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan
kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan
terhadap infeksi.
Ke
atas
bagian
depan
berhubungan
dengan
rongga
hidung
dengan
Esofagus
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya
25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung.
Lapisan dinding dari dalam ke luar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan
submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler dan lapisan oto memanjang
longitudinal.
Esofagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung setelah
melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung
dengan lambung.
Esofagus dibagi mejadi tiga bagian;
4.
tempat
dimana
esofagus
bagian
pepton).
Asam garam (HCl) fungsinya; mengasamkan makanan, sebagai anti septik
dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga
menjadi pepsin.
Renin fungsinya; sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk
5.
Pankreas
Sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah
panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum samapai ke
limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gr. Terbentang pada vertebralumbalis I dan
II di belakang lambung.
a)
sebenamnya
b) Fungsi pankreas
Fungsi eksokrin, yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim dan
elektrolit.
Fungsi endokrin, sekelompok kecil sel epitelium yang berbentuk pulaupulau kecil atau pulau langerhans, yang bersama-sama membentuk organ
yang
berguna
untuk
proses
pencernaan
makanan
di
intestinum.
Fungsi sekresi internal, yaitu sekresi yang dihasilkan oleh pulau-pulau
lanngerhans sendiri yang langsung dialirkan ke dalam peredaraan darah.
Sekresinya disebut hormon insulin dan hormon glukagon, hormon tersebut
dibawa ke jaringan untuk membantu metabolisme karbohidrat.
c)
Hasil sekresi
Kantung Empedu
Sebuah kantong berbentuk terang dan merupakan membran berotot, letaknya
dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati sampai pinggir
depannya, panjangnya 812 cm berisi 60 cm.
Kantung empedu (berwarna hijau) dalam sistem pencernaan manusia
a)
kental.
Getah empedu adalah cairan yang dihasilkan oleh sel-sel hati jumlah
setiap hari dari setiap orang dikeluarkan 500-1000 cc sekresi yang
digunakan untuk mencerna lemak. 80% dari getah empedu pigmen
(warna) insulin dan zat lainnya.
getah empedu.
Leher kantung kemih. Merupakan leher dari kantung empedu yaitu
saluran yang pertama masuknya getah empedu ke badan kantung
7.
ke duodenum.
Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
Duktus koledokus saluran yang membawa empedu ke duodenum.
Hati
Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat sekresi. Hal ini
dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa
senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa
racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
8.
jari
(duodenum),
usus
kosong
(jejenum),
usus
penyerapan (illeum). Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran
yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
a)
Usus dua belas jari (duodenum) adalah bagian pertama usus halus yang
panjangnya 25 cm, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi
kepala pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam
duodenum pada satu lubang yang disebut ampulla hepatopankreatika,
9.
10
yang
menghubungkan
10.
Usus Buntu
Usus buntu dalam bahasa latin disebut appendiks vermiformis. Pada awalnya
organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak memiliki fungsi, tetati
saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan
secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh)
dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.
11.
Umbai Cacing
Umbai cacing adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing
terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai
cacing berukuran 10 cm tetapi bisa bervariasi 2 sampai 20 cm.walaupun lokasi
apendiks selalu tetap, lokasi umbai cacing bisa berbeda-beda bisa di
retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
12.
Rektum
Anus
11
2.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak
diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan
dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang
sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga
beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
12
2.4 Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi
yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari1 cm.
2.5 Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada
golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari
(vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada
13
bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih
atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1.
2.
3.
4.
fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)
2.6 Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Asidosis hiperkloremia.
Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
(Betz,
2002)
2.7 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
14
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena
tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan
10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan
fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi
ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka
urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya
fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak
rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).
2.8 WOC
Feses tidak
keluar
Vistel rektovaginal
Feses
menumpuk
Peningkatan
tekanan intra
abdominal
Operasi
anoplasti
kolostomi
Mual,
muntah
Reabsorbsi sisa
metabolisme tubuh
keracuna
n
15
Mikroorganisme
masuk ke saluran
kemih
Dysuria
BB
turun
Perubaha
n
defekasi
MK : gangguan
rasa nyaman
MK : nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
Pengeluaran
tidak
terkontrol
Trauma jaringan
MK :
kekurangan
volume cairan
MK :
ganggua
n
eliminasi
BAK
MK : resti
infeksi
Iritasi
mukosa
MK : Resti
kerusakan
integritas
kulit
Nyeri
Perawatan tidak
adekuat
MK :
Gangguan
rasa
nyaman
nyeri
MK : resiko infeksi
17
Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku
Bangsa Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa
Medis
B. Keluhan utama
Distensi abdomen
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/ penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain.
D. Pemerikasaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah
anus tampak merah, usus melebar, kadang kadang tampak ileus
obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh
jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
Nadi : biasanya lebih kurang 110 X/menit.
Respirasi : biasanya lebih kurang 32 X/menit.
Suhu axila : biasanya lebih kurang 37 Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal
hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva,
tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak
agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak
cheilochisis.
6. Telinga
18
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan
3. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa
NOC
NIC
19
Keperawatan
Inkontinentia
1. Tentukan penyebab
pengeluaran feses
Pasien kembali pada pola
inkontinensia
2. Kaji penurunan ADL yang
eliminasi
Terjadi peningkatan
bowel
berhubungan
dengan tidak
lengkapnya
pembentukan
fungsi usus.
- Pasien menunjukkan
anus.
berhubungan dengan
masalah inkontinensia
3. Menentukan pola
inkontinensia
4. Membantu mengontrol
defekasi
Tidak terjadi
pelviks
6. Mengontrol frekuensi buang
perdarahan
Defekasi dapat ditahan
Perubahan frekuensi
air besar
7. Kolaborasi untuk tindakan
defekasi perhari
lainnya
8. Lakukan dilatasi anal sesuai
program
9. Kaji bising usus dan
abdomen setiap 4 jam
10.Ukur lingkar abdomen klin
11.Pertahankan puasa dan
berikan terapi hidrasi IV
2
Resiko
Keseimbangan
cairan
Tekanan
darah
IER
(1/3)
Tekanan
arteri
IER
(1/3)
Tekanan vena sentral
IER (1/3)
Tekanan
IER (1/3)
Denyut nadi perifer
kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan muntah.
hemodinamik termasuk
pulmoner
masukan
dan
adekuat
Pasang kateter urin
Monitor status hidrasi
Monitor status
(peningkatan BUN)
Monitor TTV
Monitor adanya indikasi
retensi/overload cairan
(seperti : edema, asites,
Bunyi
nafas
(1/3)
Berat
(1/3)
asites tidak ada (1/3)
Tidak ada distensi
perifer (1/3)
Mata tidak
cekung
(1/3)
Membrane
mukosa
lembab (1/3)
Hematokrit
badan
stabil
dalam
urin
sesudah dialisa
Monitor status nutrisi
Kaji lokasi dan luas
edema
Anjurkan klien untuk
intake oral
Distribusikan cairan >24
jam
Berikan terapi IV
Berikan cairan
Berikan diuretic
Persiapan untuk
administrasi produk
darah
Manajemen
cairan/elektrolit
Monitor keabnormalan
untuk serum
Dapatkan specimen lab
(1/3)
Hidrasi
Hidrasi kulit (1/3)
Membrane mukosa
lembab (1/3)
Edema perifer tidak
ada (1/3)
Asites tidak ada (1/3)
Haus yang abnormal
potassium)
Timbang BB tiap hari
Berikan cairan
Promosikan intake oral
Beri terapi nasogastrik
untuk menggantikan
(1/3)
Nafas pendek tidak
output
Beri serat pada selang
ada (1/3)
Mata cekung
ada (1/3)
Tidak ada
(1/3)
Kemampuan
berkeringat (1/3)
Haluaran urin dalam
mengurangi kehilangan
cairan dan elektrolit
demam
21
selama diare
Pasang infuse IV
Monitor hasil lab yang
relevan dengan retensi
cairan
Monitor status
hemodinamik termasuk
(1/3)
Hematokrit
dalam
elektrolit
dan
output
Monitor dan gejala
IER
retensi cairan
Monitor TTV
Restribusi cairan
Perbaikan dehidrasi
postoperative
Pertahankan IV yang
asam basa
Frekuensi nadi
(1/3)
Irama nadi IER (1/3)
Frekuensi nafas IER
(1/3)
Irama nafas IER (1/3)
Natrium serum WNL
(1/3)
Kalium serum WNL
(1/3)
klorida serum WNL
(1/3)
kalsium serum WNL
terapi elektrolit
Lakukan pengontrolan
(1/3)
Magnesium
kehilangan cairan
Beri tindakan untuk
WNL (1/3)
PH serum WNL (1/3)
Kekuatan otot (1/3)
Gatal
pada
mengurangi BAB
Berikan manajemen
hipoglikemia
Monitor manifestasi dari
mengandung elektrolit
pada frekuensi tetes
yang konstan
Monitr respon pasien
untuk memberiakan
serum
kekurangan
keseimbangan elektrolit
Kaji sclera, kulit, untuk
mencari indikasi
kekurangan
keseimbangan cairan
Kecemasan orang
tua berhubungan
dengan
kurang
kriteria hasil
a. pasien
mampu
mengidentifikasi
pengetahuan
dan
tentang
penyakit
mengungkapkan
dan
prosedur
gejala cemas.
b. Mengidentifikasi,
22
dan elektrolit
Anxiety
Reduction
(penurunan kecemasan )
a. Gunakan
pendekatan
yang menyenangkan.
b. Nyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku
pasien.
perawatan.
mengungkapkan
dan menunjukkan
tehnik
untuk
selama prosedur.
d. Pahami perspektif pasien
mengontrol
cemas.
c. Vital sign dalam
memberikan
batas normal.
d. Postur
tubuh,
ekspresi
f.
wajah,
tingkat
keamanan
diagnosis,
tindakan prognosis.
g. Dorong keuarga untuk
aktivitas
menunjukkan
menemani anak .
h. Lakukan back / neck rub.
i. Dengarkan
dengan
berkurangnya
kecemasan.
j.
penuh perhatian.
Identifikasi
tingkat
kecemasan.
k. Bantu pasien mengenal
situasi
yang
menimbulkan
l.
kecemasan.
Dorong
pasien
untuk
mengungkapkan
perasaan,ketakutan,pers
epsi.
m. Instruksikan
menggunakan
relaksasi.
n. Berikan
4
rasa
Gangguan
nyaman
berhubungan
dengan
insisi
pembedahan.
Psikologis
Proses Pemikiran Lambat
Aktivitas :
(1/3)
Pelemahan ingatan (1/3)
Gangguan konsentrasi (1/3)
Kebimbangan (1/3)
Bahaya nyeri (1/3)
Kuatir tentang nyeri (1/3)
Kuatir akan membebani
orang lain (1/3)
23
teknik
obat
untuk
menguragi kecemasan.
Manajemen kesakitan
nyeri
pasien
(1/3)
Depresi (1/3)
Kegelisahan (1/3)
Kesedihan (1/3)
Keadaan tidak berdaya (1/3)
Keputusasaan (1/3)
Keadaan tidak berharga
(1/3)
Perasaan dikucilkan (1/3)
Gangguan dengan Efek
peralatan (1/3)
Takut nyeri tidak dapat
ditahan (1/3)
Kebencian terhadap orang
lain (1/3)
Melumpuhkan kemarahan
(1/3)
Recognize lamanya Nyeri
(1/3)
Gunakan ukuran
pencegahan (1/3)
Penggunaan mengurangi
(1/3)
Gunakan tanda tanda vital
tersedia (1/3)
Menilai gejala dari nyeri
(1/3)
Laporkan bila nyeri
24
dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk
mengatahui pengalaman
nyeri pasien
4. Kai kultrul yang
mempengaruhi respons
nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengarui nyeri
seperti suhu ruangan
percahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presivitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
11. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervesi
12. Ajarkan tentang teknik
nonformakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan istrirahat
16. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
17. Monitor penerimaan
terkontrol (1/3)
Nyeri : Efek Pengganggu
Kehilangan hubungan
Interpersonal (1/3)
Kehilangan aturan
penampilan (1/3)
Permainan yang
membahayakan (1/3)
Aktivitas diwaktu luang
membahayakan (1/3)
Kenyamanan hidup yang
membahayakan (1/3)
Kontrol perasaan yang
membahayakan (1/3)
Kehilangan konsentrasi (1/3)
Harapan yang
membahayakan (1/3)
Kehilangan mood (1/3)
Kesabaran berkurang (1/3)
Gangguan tidur (1/3)
Kehilangan mobilitas fisik
(1/3)
Kehilangan kemandirian
(1/3)
Kesulitan untuk mengurus
pekerjaan (1/3)
Kesulitan eliminasi (1/3)
Absen dalam bekerja (1/3)
Absen dalam sekolah (1/3)
Tingkat Nyeri
Melaporkan nyeri (1/3)
Persentase tubuh yang
dipengaruhi (1/3)
Merintih dan Menangis (1/3)
Lama episode nyeri (1/3)
Ekspresi oral ketika nyeri
(1/3)
Ekspresi wajah ketika nyeri
(1/3)
Posisi tubuh melindungi
25
(1/3)
Gelisah (1/3)
Kekuatan otot (1/3)
Perubahan frekuensi nafas
(1/3)
Perubahan frekuensi nadi
(1/3)
Perubahan tekanan darah
(1/3)
Perubahan ukuran pupil
Perubahan nutrisi
kurang
kebutuhan
dari
tubuh -
berhubungan
dengan anoreksia
(1/3)
Keringat (1/3)
Hilang nafsu makan (1/3)
Status nutrisi : asupan
makanan dan cairan
Pemasukkan makanan lewat
slang 1/3
Asupan cairan oral 2/4
Status nutrisi : intake
makanan dan cairan Intake
1/3
Intake cairan dimulut 1/3
Intake cairan 1/3
Status nutrisi : intake
nutrisi
Intake kalori 1/3
Intake protein 1/3
Intake lemak 1/3
Intake karbohidrat 1/3
Intake vitamin 1/3
Intake mineral 1/3
Intake zat besi 1/3
Intake kalsium 1/3
Manajement nutrisi
Aktivitas :
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Kolaborasi dengan ahli
giiuntuk menentukan
jumlah kalorasi dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
3. Anjurkan pasien untuk
menungkatkan intake Fe
4. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan
vitamin C
5. Berikan substansi gula
6. Berikan makanan yang
terpilih
7. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
8. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
9. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan
Monitor nutrisi
Aktivitas :
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
26
Resiko infeksi
berhubungan
Status Imun
Tidak adanya infeksi
berulang (1/3)
Tidak adanya tumor (1/3)
Status pencernaan dari skala
diharapkan (1/3)
Suhu tubuh dari skala yang
dengan prosedur
pembedahan.
27
magenta, skarlet
Kontrol infeksi
Aktivitas :
1. Bersihkan lingkungan
setelah dipakai pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila
perlu
4. Instruksikan pada
pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung
diharapkan (1/3)
Integritas kulit (1/3)
Integritas mukosa (1/3)
Tidak adanya kelelahan
(1/3)
Reaksi tes kulit cocok
dengan pembukaan(1/3)
Hal hal yang mutlak dalam
menghitung sel darah putih
nilai nilai dalam batas
normal (1/3)
Diferensial dalam
menghitung sel darah putih
dan nilai nilai dalam batas
normal (1/3)
Sel T4 dalam batas normal
(1/3)
Sel T8 dalam batas normal
(1/3)
Pelengkap dalam batas
normal (1/3)
Penemuan X rays timus
dari skala yang diharapkan
(1/3)
Kontrol Resiko
Menyatakan resiko (1/3)
Memantau faktor resiko
lingkungan (1/3)
Memantau faktor resiko
(1/3)
Menyesuaikan strategi
kontrol resiko yang
dibutuhkan (1/3)
Melakukan strategi kontrol
28
meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antibikrobia
untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
7. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer line
sentral dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
10.Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
11.Tingkatkan intake nutrisi
12.Berikan terapi antibiotik
bilaperlu
Proteksi terhadap
infeksi
Aktivitas :
12.Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
13.Monitor hitung granulosit,
WBC
14.Monitor kerentanan
terhadap infeksi
15.Batasi pengunjung
16.Sering pengunjung
terhadap penyakit menular
17.Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
18.Pertahankan teknik isolasi
kepada pasien
19.Berikan perawatan kulit
pada area epidema
20.Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
resiko (1/3)
Mengikuti strategi kontrol
(1/3)
Menghindari paparan
berhubungan (1/3)
Berpartisipasi dalam skrining
untuk mengidentifikasi
resiko (1/3)
Mendapatkan imunitas yang
sesuai (1/3)
Menggunakan yankes sesuai
kebutuhan (1/3)
Menggunakan sistem
dukungan pribadi untuk
risiko (1/3)
Mengenal perubahan status
kesehatan (1/3)
Pantau perubahan status
kesehatan (1/3)
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
minggu/3 bulan
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani :
Penatalaksanaan
dengan
cara
medic
colostomy,
dilakukan
Aksisi
pembedahan
membran
anal
dan
pengobatan
(membuat
anus
30
31