Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R,
2001).Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan
penyakit atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang
cukup signifikan yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi
seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan
rasio laki-laki: perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group
etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian

1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000

kelahiran (Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993). Menurut catatan


Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan
Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada
penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Atresia ani dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran
kemih yang bisa berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur
bedah), komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis
(akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis), masalah atau kelambatan
yang berhubungan dengan toilet training, inkontinensia (akibat stenosis
awal atau impaksi), prolaps mukosa anorektal dan fistula (karena
ketegangan diare pembedahan dan infeksi). Masalah tersebut dapat
diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan pendidikan
kesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi
klien agar cepat pulih sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan
secara optimal.

B. Tujuan
a. Tujuan Umum
Mampu mengetahui dan memahami konsep teoritis dan asuhan
keperawatan pada gangguan system pencernaan khususnya pada anak
untuk penyakit atresia ani.
b. Tujuan Khusus
1. Mengetahui
2. Mengetahui
3. Mengetahui
4. Mengetahui
5. Mengetahui
6. Mengetahui
7. Mengetahui
8. Mengetahui
9. Mengetahui
10.Mengetahui
11.Mengetahui
12.Mengetahui

dan memahami pengertian atresia ani


dan memahami anatomi dan fisiologi atresia ani
dan memahami etiologi atresia ani
dan memahami klasifikasi atresia ani
dan memahami manifestasi klinis atresia ani
dan memahami komplikasi atresia ani
dan memahami patofisiologi atresia ani
dan memahami WOC atresia ani
dan memahami pemeriksaan diagnostik atresia ani
dan memahami penatalaksanaan atresia ani
dan memahami pengkajian pada klien atresia ani
dan memahami diagnosa keperawatan pada klien atresia

ani
13.Mengetahui dan memahami intervensi pada klien atresia ani

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2

A. KONSEP PATOFISIOLOGI PENYAKIT LEUKEMIA


2.1 Pengertian
Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya
nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular
secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di
tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh,
hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena
proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu
anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan
operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya.
Menurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1) Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2) Membran anus yang menetap
3) Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada
bermacam- macam jarak dari peritoneum
4) Lubang anus yang terpisah dengan ujung
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforata meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia Ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak

sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke

dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan
rectum. (Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang
atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Jadi dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan kongenital
ditandai dengan tidak adanya lubang atau saluran anus/ rektum atau keduannya
yang disebabkan tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian
endoterm.

2.2 Anatomi & Fisiologi

Susunan saluran pencernaan terdiri dari :


1. Mulut/ oris
Mulut adalah suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Didalam rongga mulut terdapat :
a)

Geligi, ada 2 (dua) macam yaitu;

Gigi sulung, mulai tumbuh pada anak-anak umur 6-7 bulan. Lengkap pada
umur 2 tahun jumlahnya 20 buah disebut juga gigi susu, terdiri dari 8
buah gigi seri (dens insisivus), 4 buah gigi taring (dens kaninus) dan 8

buah gigi geraham (premolare).


Gigi tetap (gigi permanen) tumbuh pada umur 6-18 tahun jumlahnya 32
buah terdiri dari; 8 buah gigi seri (dens insisiws),

4 buah gigi taring

(dens kaninus), 8 buah gigi geraham (molare) dan 12 buah gigi geraham
(premolare).

Fungsi gigi terdiri dari; gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring
gunannya untuk memutuskan makanan yang keras dan liat, dan gigi geraham
gunannya untuk mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.
b) Lidah
Lidah dibagi menjadi 3 (tiga) bagian;

Pangkal lidah (Radiks lingua), pada pangkal lidah yang belakang terdapat
epiglotis yang berfungsi untuk menutup jalan napas pada waktu kita

menelan makanan, supaya makanan jangan masuk ke jalan napas.


Punggung lidah (Dorsum lingua), terdapat puting-puting pengecap atau

ujung saraf pengecap.


Ujung lidah (Apeks lingua)

Fungsi lidah yaitu; mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat


pengcepa dan menelan, serta merasakan makanan.
Otot lidah; otot-otot ekstrinsik lidah berasal dari rahang bawah, (M.
Mandibularis, os Hioid dan prosesus stiloid) menyebar ke dalam lidah
membentuk anyaman bergabung dengan otot instrinsik yang terdapat pada
lidah. M. Genioglossus merupakan otot lidah yang terkuat berasal dari
permukaan tengah bagian dalam yang menyebar sampai ke radiks lingua.
c)

Kelenjar ludah
Disekitar rongga mulut terdapat tiga buah kelenjar ludah yaitu:

Kelenjar parotis: letaknya dibawah depan dari telinga di antara prosesus


mastoid, kiri dan kanan os mandibular, duktusnya duktus stensoni. Duktus
ini keluar dari glandula parotis menuju ke rongga mulut melalui pipi

(muskulus buksinator).
Kelenjar submaksilaris: terletak dibawah rongga mulut bagian belakang,
duktusnya bernama duktus wartoni, bermuara di rongga mulut dekat

dengan frenulum lingua.


Kelenjar sublingualis; letaknya dibawah selaput lendir dasar rongga mulut
bermuara di dasar rongga mulut. Kelenjar ludah disarafi oleh saraf-saraf
tersadar.

2.

Faring
Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan
(osofagus), di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan
kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan
terhadap infeksi.
Ke

atas

bagian

depan

berhubungan

dengan

rongga

hidung

dengan

perantaraan lubang bernama koana. Keadaan tekak berhubungan dengan


rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.
Bagian superior disebut nasofaring, Pada nasofaring bermuara tuba yang
menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga.
Bagian media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar
lidah bagian inferior.
3.

Esofagus
Merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan lambung, panjangnya
25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak dibawah lambung.
Lapisan dinding dari dalam ke luar, lapisan selaput lendir (mukosa), lapisan
submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler dan lapisan oto memanjang
longitudinal.
Esofagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung setelah
melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung
dengan lambung.
Esofagus dibagi mejadi tiga bagian;

4.

Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)


Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
Bagaian inferior (terutama terdiri dari otot halus)
Gaster / Lambung

Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak


terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus uteri
berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak dibawah
diapragma didepan pankreas dan limpa, menempel disebelah kiri fundus uteri.
a) Bagian lambung terdiri dari;

Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri


osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.

Korpus venrtikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian

bawah kurvatura minor.


Antrum pilorus, bagian lambung membentuk tabung mempunyai otot

yang tebal membentuk sfingter pilorus.


Kurvantura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari

ostium kardiak sampai ke pilorus.


Kurvantura mayor, lebih panjang dari kurvantura minorterbentang dari sisi
kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai
ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas

kurvantura mayor sampai ke limpa.


Osteum kardiakum, meruapakan

tempat

dimana

esofagus

bagian

abdomen masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.


b)

Fungsi lambung terdiri dari;

Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh

peristaltik lambung dan getah lambung


Getah cerna lambung yang dihasilkan:
Pepsin fungsinya; memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan

pepton).
Asam garam (HCl) fungsinya; mengasamkan makanan, sebagai anti septik
dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga

menjadi pepsin.
Renin fungsinya; sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk

kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).


Lapisan lambung; jumlahnya sedikit memecah lemak yang merangsang
sekresi getah lambung.

5.

Pankreas
Sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah
panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum samapai ke
limpa dan beratnya rata-rata 60-90 gr. Terbentang pada vertebralumbalis I dan
II di belakang lambung.

a)

Bagian dari pankreas

Kepala pankreas, terletak di sebelah kanan rongga abdomen dan di dalam

lelukan duodenum yang melingkarnya.


Badan pankreas, merupakan bagian utama dari organ ini letaknya di

belakang lambung dan di depan vertebra umbalis pertama.


Ekor pankreas, bagian runcing di sebelah kiri yang
menyentuh limpa.

sebenamnya

b) Fungsi pankreas

Fungsi eksokrin, yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim dan

elektrolit.
Fungsi endokrin, sekelompok kecil sel epitelium yang berbentuk pulaupulau kecil atau pulau langerhans, yang bersama-sama membentuk organ

endokrin yang mensekresikan insulin.


Fungsi sekresi eksternal, yaitu cairan pankreas yang dialirkan ke
duodenum

yang

berguna

untuk

proses

pencernaan

makanan

di

intestinum.
Fungsi sekresi internal, yaitu sekresi yang dihasilkan oleh pulau-pulau
lanngerhans sendiri yang langsung dialirkan ke dalam peredaraan darah.
Sekresinya disebut hormon insulin dan hormon glukagon, hormon tersebut
dibawa ke jaringan untuk membantu metabolisme karbohidrat.

c)

Hasil sekresi

Hormon insulin, hormon insulin ini langsung dialirkan ke dalam darah


tanpa melewati duktus. Sel-sel kelenjar yang menghasilkan insulin ini

termasuk sel-sel kelenjar endokrin.


Getah pankreas, sel-sel yang memproduksi getah pankreas ini termasuk
kelenjar eksokrin, getah pankreas ini dikirim ke dalam duodenum melalui
duktus pankreatikus, duktus ini bermuara pada papila vateri yang terletak
pada dinding duodenum.

Pankreas menerima darah dari arteri pankreatika dan mengalirkan darahnya


ke vena kava inteferior melalui vena pankreatika.
Jaringan pankreas terdiri dari atas lobulus dari sel sekretori yang tersusun
mengitati saluran-saluran kecil dari lobulus yang terletak di dalam ekor
pankreas dan berjalan melalui badan pankreas dari kiri ke kanan.
Saluran kecil ini menerima saluran dari lobulus lain dan kemudian bersatu
untuk membentuk saluran utama yaitu duktus wirsungi.
d) Struktur pankreas
Merupakan kumpulan kelenjar yang masing-masing mempunyai saluran,
saluran dari masing-masing kelenjar bersatu menjadi duktus yang jari-jarinya
3 mm, duktus ini disebut duktus pankreatikus.
Pankreas mempunyai 2 macam sel kelenjar, dimana sel itu dikumpulkan dan
menyerupai pulau-pulau yang disebut pulau langerhans. Pulau-pulau ini

membuat insulin yang langsung masuk ke pembuluh darah dan kelenjar


bagian tubuh.
Di dalam pankreas terdapat kelenjar-kelenjar yang membuat ludah perut atau
getah perut yang mengalir ke dalam pembuluh-pembuluh kelenjar. Pembuluh
ini bersatu ke dalam saluran wirsungi kemudian masuk ke dalam duodenum
pada tempat papilla/arteri kelenjar perut menghasilkan 1 liter ludah perut
dalam satu hari.
6.

Kantung Empedu
Sebuah kantong berbentuk terang dan merupakan membran berotot, letaknya
dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati sampai pinggir
depannya, panjangnya 812 cm berisi 60 cm.
Kantung empedu (berwarna hijau) dalam sistem pencernaan manusia
a)

Fungsi kantung empedu

Sebagai persediaan getah empedu, membuat getah empedu menjadi

kental.
Getah empedu adalah cairan yang dihasilkan oleh sel-sel hati jumlah
setiap hari dari setiap orang dikeluarkan 500-1000 cc sekresi yang
digunakan untuk mencerna lemak. 80% dari getah empedu pigmen
(warna) insulin dan zat lainnya.

b) Bagian dari kantung empedu

Fundus vesikafelea, merupakan bagian kantung empedu yang paling akhir

setelah korpus vesikafelea.


Korpus vesikafelea, bagian dari kantung empedu yang didalamnya berisi

getah empedu.
Leher kantung kemih. Merupakan leher dari kantung empedu yaitu
saluran yang pertama masuknya getah empedu ke badan kantung

empedu lalu menjadi pekat berkumpul dalam kantung empedu.


Duktus sistikus. Panjangnya 3 cm berjalan dari leher kantung empedu
dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu

7.

ke duodenum.
Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
Duktus koledokus saluran yang membawa empedu ke duodenum.
Hati

Merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut


sebelah kanan, tepatnya dibawah difragma.

Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat sekresi. Hal ini
dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa
senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amonia, urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa
racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
8.

Usus Halus / Intestinum Minor


Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Usus halus terdiri dari tiga bagian
yaitu

usus dua belas

jari

(duodenum),

usus

kosong

(jejenum),

usus

penyerapan (illeum). Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran
yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
a)

Bagian-bagian usus halus;

Usus dua belas jari (duodenum) adalah bagian pertama usus halus yang
panjangnya 25 cm, berbentuk sepatu kuda, dan kepalanya mengelilingi
kepala pankreas. Saluran empedu dan saluran pankreas masuk ke dalam
duodenum pada satu lubang yang disebut ampulla hepatopankreatika,

9.

ampulla vateri, 10 cm dari pilorus.


Usus kosong (jejenum), menempati dua perlima sebelah atas pada usus

halus yang selebihnya.


Usus penyerapan (illeum), menempati tiga perlima akhir.

Usus Besar / Intestinum Mayor


Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu
dan rektum.
a)

Fungsi usus besar;

Menyerap air dari makanan


empat tinggal bakteri koli
Tempat feses

b) Bagian-bagian usus besar atau kolon;

Kolon asendens. Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah


kanan membujur ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati

melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatika.


Kolon transversum. Panjangnya 38 cm, membujur dari kolon asendens
sampai ke kolon desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan
terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.

10

Kolon desendens. Panjangnya 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian


kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksura lienalis sampai ke depan

ileum kiri, bersambung dengan kolon sigmoid.


Kolon sigmoid. Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring,
dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf S, ujung

bawahnya berhubungan dengan rektum.


Rektum. Terletak di bawah kolon sigmoid

yang

menghubungkan

intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os


sakrum dan os koksigis.

10.

Usus Buntu

Usus buntu dalam bahasa latin disebut appendiks vermiformis. Pada awalnya
organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak memiliki fungsi, tetati
saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan
secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh)
dimana memiliki/berisi kelenjar limfoid.
11.

Umbai Cacing

Umbai cacing adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing
terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, umbai
cacing berukuran 10 cm tetapi bisa bervariasi 2 sampai 20 cm.walaupun lokasi
apendiks selalu tetap, lokasi umbai cacing bisa berbeda-beda bisa di
retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
12.

Rektum

Rektum dalam bahasa latin regere (meluruskan , mengatur). Organ ini


berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Mengembangnya
dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu
sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika
defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar,
dimana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
13.

Anus

11

Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum


dengan dunia luar (udara luar). Terletak di dasar pelvis bagian posterior dari
peritoneum. Dindingnya diperkuat oleh 3 otot sfingter yaitu:

Sfingter ani internus (sebelah atas), bekerja tidak menurut kehendak.


Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja sesuai kehendak

2.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada
sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
1. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
2. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak
memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen
autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua tidak
diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan
dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang
sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga
beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat
lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali pada
gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari.
12

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses
tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum
dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rektum.
Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi
yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Rektum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborektalis, terdapat
sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal
dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rektum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis, lesung anal dan
sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini
biasanya berhubungan dengan fistula genitourinarius retrouretral (pria) atau
rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit
perineum lebih dari1 cm.
2.5 Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.

Pada

golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari
(vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada

13

bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih
atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :
1.
2.
3.
4.

Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.


Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tdk ada

fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)
2.6 Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Asidosis hiperkloremia.
Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.

(Betz,

2002)
2.7 Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
14

karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena
tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan
10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan
fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi
ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka
urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya
fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak
rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).

2.8 WOC

Gangguan pertumbuhan, fusi,


pembentukan anus dari tonjolan
embriogenik
ATRESIA ANI

Feses tidak
keluar

Vistel rektovaginal

Feses
menumpuk

Feses masuk ke uretra

Peningkatan
tekanan intra
abdominal

Operasi
anoplasti
kolostomi

Mual,
muntah

Reabsorbsi sisa
metabolisme tubuh

keracuna
n
15

Mikroorganisme
masuk ke saluran
kemih

Dysuria

BB
turun

Perubaha
n
defekasi

MK : gangguan
rasa nyaman

MK : nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh

Pengeluaran
tidak
terkontrol

Trauma jaringan

MK :
kekurangan
volume cairan

MK :
ganggua
n
eliminasi
BAK
MK : resti
infeksi

Iritasi
mukosa
MK : Resti
kerusakan
integritas
kulit

Nyeri

Perawatan tidak
adekuat

MK :
Gangguan
rasa
nyaman
nyeri

MK : resiko infeksi

2.9 Pemeriksaan Diagnostik


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik
yang umum dilakukan pada gangguan ini.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel
epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat
menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan
jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada
saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat
tinggi.
6. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :
16

a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di


daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir
dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus
impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tibatiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan
kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak,
sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan
bayangan udara tertinggi dapat diukur.
2.10
Penatalaksanaan
1. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan
keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur
pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa hari setelah
lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur
penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan.
Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk
memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan di
atas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada
kulit anal fistula, bila ada harus tutup

kelainan membranosa hanya

memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut


dilubangi degan hemostr atau skapel.
2. Pengobatan
a. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
b. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3
bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen) (Staf Pengajar
FKUI. 205).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ANI
1. Pengkajian
A. Data Biografi Pasien

17

Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku
Bangsa Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa
Medis
B. Keluhan utama
Distensi abdomen
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/ penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain.
D. Pemerikasaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah
anus tampak merah, usus melebar, kadang kadang tampak ileus
obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh
jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).
Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
Nadi : biasanya lebih kurang 110 X/menit.
Respirasi : biasanya lebih kurang 32 X/menit.
Suhu axila : biasanya lebih kurang 37 Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal
hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva,
tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak
agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak
cheilochisis.
6. Telinga
18

Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk


sempurna
7. Leher
Tidak ada gangguan.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest,
pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10.Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien
dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk makan
mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.
11.Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru
maka tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan
dan dari produk buangan. Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak
terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami
kesulitan dalam defekasi.
12.Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri
pada luka insisi.

2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan

tentang penyakit dan prosedur perawatan.


Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi
pembedahan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

3. Intervensi Keperawatan
No

Diagnosa

NOC

NIC
19

Keperawatan
Inkontinentia

Pasien dapat mengontrol

1. Tentukan penyebab

pengeluaran feses
Pasien kembali pada pola

inkontinensia
2. Kaji penurunan ADL yang

eliminasi
Terjadi peningkatan

bowel
berhubungan
dengan tidak
lengkapnya
pembentukan

fungsi usus.
- Pasien menunjukkan

anus.

berhubungan dengan
masalah inkontinensia
3. Menentukan pola
inkontinensia
4. Membantu mengontrol

konsistensi tinja lembek


Terbentuknya tinja
Tidak ada nyeri saat

defekasi
Tidak terjadi

pelviks
6. Mengontrol frekuensi buang

perdarahan
Defekasi dapat ditahan
Perubahan frekuensi

air besar
7. Kolaborasi untuk tindakan

defekasi perhari

lainnya
8. Lakukan dilatasi anal sesuai

buang air besar


5. Menguatkan otot dasar

pembedahan dan yang

program
9. Kaji bising usus dan
abdomen setiap 4 jam
10.Ukur lingkar abdomen klin
11.Pertahankan puasa dan
berikan terapi hidrasi IV
2

Resiko

Keseimbangan

cairan
Tekanan

darah

IER

(1/3)
Tekanan

arteri

IER

(1/3)
Tekanan vena sentral

IER (1/3)
Tekanan

IER (1/3)
Denyut nadi perifer

teraba jelas (1/3)


Hipotensi ortostatik

tidak ada (1/3)


Keseimbangan

kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan muntah.

sampai usus normal


Manajemen cairan
- Timbang BB tiap hari
- Hitung haluaran
- Pertahankan intake yang

hemodinamik termasuk

pulmoner

masukan

dan

haluran 24 jam (1/3)


20

adekuat
Pasang kateter urin
Monitor status hidrasi
Monitor status

CVP, MAP, PAP


Monitor hasil lab, terkait
retensi ciran

(peningkatan BUN)
Monitor TTV
Monitor adanya indikasi
retensi/overload cairan
(seperti : edema, asites,

Bunyi

nafas

tambahan tidak ada

distensi vena leher)


Monitor perubahan BB
klien sebelum dan

(1/3)
Berat

(1/3)
asites tidak ada (1/3)
Tidak ada distensi

vena leher (1/3)


Tidak ada edema

perifer (1/3)
Mata tidak

cekung

(1/3)
Membrane

mukosa

lembab (1/3)
Hematokrit

batas normal (1/3)


Haus yang abnormal

tidak ada (1/3)


Pengeluaran

badan

stabil

dalam

urin

dalam batas normal

sesudah dialisa
Monitor status nutrisi
Kaji lokasi dan luas

edema
Anjurkan klien untuk

intake oral
Distribusikan cairan >24

jam
Berikan terapi IV
Berikan cairan
Berikan diuretic
Persiapan untuk
administrasi produk

darah
Manajemen
cairan/elektrolit
Monitor keabnormalan

untuk serum
Dapatkan specimen lab

(1/3)
Hidrasi
Hidrasi kulit (1/3)
Membrane mukosa

elektrolit( seperti HT,

lembab (1/3)
Edema perifer tidak

ada (1/3)
Asites tidak ada (1/3)
Haus yang abnormal

tidak ada (1/3)


Bunyi
nafas

potassium)
Timbang BB tiap hari
Berikan cairan
Promosikan intake oral
Beri terapi nasogastrik

untuk memonitor level


cairan atau
BUN, sodium, protein,

tambahan tidak ada

untuk menggantikan

(1/3)
Nafas pendek tidak

output
Beri serat pada selang

ada (1/3)
Mata cekung

ada (1/3)
Tidak ada

(1/3)
Kemampuan

berkeringat (1/3)
Haluaran urin dalam

makan pasien untuk


tidak

mengurangi kehilangan
cairan dan elektrolit

demam

21

selama diare
Pasang infuse IV
Monitor hasil lab yang
relevan dengan retensi

batas normal (1/3)


Tekanan
darah

cairan
Monitor status

dalam batas normal

hemodinamik termasuk

(1/3)
Hematokrit

MAP, PAP, PCWP


Pertahankan keakuratan

batas normal (1/3)


Keseimbangan

dalam

elektrolit

catatan intake dan

dan

output
Monitor dan gejala

IER

retensi cairan
Monitor TTV
Restribusi cairan
Perbaikan dehidrasi

postoperative
Pertahankan IV yang

asam basa
Frekuensi nadi

(1/3)
Irama nadi IER (1/3)
Frekuensi nafas IER

(1/3)
Irama nafas IER (1/3)
Natrium serum WNL

(1/3)
Kalium serum WNL

(1/3)
klorida serum WNL

(1/3)
kalsium serum WNL

terapi elektrolit
Lakukan pengontrolan

(1/3)
Magnesium

kehilangan cairan
Beri tindakan untuk

WNL (1/3)
PH serum WNL (1/3)
Kekuatan otot (1/3)
Gatal
pada

mengurangi BAB
Berikan manajemen

hipoglikemia
Monitor manifestasi dari

mengandung elektrolit
pada frekuensi tetes

yang konstan
Monitr respon pasien
untuk memberiakan

serum

kekurangan

ektremitas tidak ada


(1/3)

keseimbangan elektrolit
Kaji sclera, kulit, untuk
mencari indikasi
kekurangan
keseimbangan cairan

Kecemasan orang
tua berhubungan
dengan

kurang

kriteria hasil
a. pasien
mampu
mengidentifikasi

pengetahuan

dan

tentang

penyakit

mengungkapkan

dan

prosedur

gejala cemas.
b. Mengidentifikasi,
22

dan elektrolit
Anxiety
Reduction
(penurunan kecemasan )
a. Gunakan
pendekatan
yang menyenangkan.
b. Nyatakan dengan jelas
harapan terhadap pelaku
pasien.

perawatan.

mengungkapkan

c. Jelaskan semua prosedur

dan menunjukkan
tehnik

dan apa yang dirasakan

untuk

selama prosedur.
d. Pahami perspektif pasien

mengontrol

terhadap situasi stress.


e. Temani
pasien
untuk

cemas.
c. Vital sign dalam

memberikan

batas normal.
d. Postur
tubuh,
ekspresi

f.

wajah,

tingkat

dan mengurangi takut.


Berikan informasi faktual
mengenai

bahasa tubuh dan

keamanan

diagnosis,

tindakan prognosis.
g. Dorong keuarga untuk

aktivitas

menunjukkan

menemani anak .
h. Lakukan back / neck rub.
i. Dengarkan
dengan

berkurangnya
kecemasan.

j.

penuh perhatian.
Identifikasi
tingkat

kecemasan.
k. Bantu pasien mengenal
situasi

yang

menimbulkan
l.

kecemasan.
Dorong
pasien

untuk

mengungkapkan
perasaan,ketakutan,pers
epsi.
m. Instruksikan
menggunakan
relaksasi.
n. Berikan
4

rasa

Gangguan
nyaman
berhubungan
dengan

insisi

pembedahan.

Psikologis
Proses Pemikiran Lambat

Aktivitas :

(1/3)
Pelemahan ingatan (1/3)
Gangguan konsentrasi (1/3)
Kebimbangan (1/3)
Bahaya nyeri (1/3)
Kuatir tentang nyeri (1/3)
Kuatir akan membebani
orang lain (1/3)
23

teknik

obat

untuk

menguragi kecemasan.
Manajemen kesakitan

Nyeri : Respons Simpang

nyeri

pasien

1. Lakukan pengakajian nyeri


secara komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor presifasi
2. Observasi reaksi nonverbal

Kuatir akan ketertinggalan

(1/3)
Depresi (1/3)
Kegelisahan (1/3)
Kesedihan (1/3)
Keadaan tidak berdaya (1/3)
Keputusasaan (1/3)
Keadaan tidak berharga

(1/3)
Perasaan dikucilkan (1/3)
Gangguan dengan Efek

merusak nyeri (1/3)


Berpikir bunuh diri (1/3)
Berpikir pesimis (1/3)
Takut pada tindakan dan

peralatan (1/3)
Takut nyeri tidak dapat

ditahan (1/3)
Kebencian terhadap orang

lain (1/3)
Melumpuhkan kemarahan

pada efek nyeri (1/3)


Pengontrolan Nyeri
Menilai faktor penyebab

(1/3)
Recognize lamanya Nyeri

(1/3)
Gunakan ukuran

pencegahan (1/3)
Penggunaan mengurangi

nyeri dengan non analgesic

(1/3)
Gunakan tanda tanda vital

memantau perawatan (1/3)


Laporkan tanda / gejala
nyeri pada tenaga

kesehatan professional (1/3)


Gunakan catatan nyeri (1/3)
Gunakan sumber yang

tersedia (1/3)
Menilai gejala dari nyeri

(1/3)
Laporkan bila nyeri
24

dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi
terapeutik untuk
mengatahui pengalaman
nyeri pasien
4. Kai kultrul yang
mempengaruhi respons
nyeri
5. Evaluasi pengalaman nyeri
masa lampau
6. Evaluasi bersama pasien
dan tim kesehatan lain
tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengarui nyeri
seperti suhu ruangan
percahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presivitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
11. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervesi
12. Ajarkan tentang teknik
nonformakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
15. Tingkatkan istrirahat
16. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan dan
tindakan nyeri tidak
berhasil
17. Monitor penerimaan

terkontrol (1/3)
Nyeri : Efek Pengganggu
Kehilangan hubungan

Interpersonal (1/3)
Kehilangan aturan

penampilan (1/3)
Permainan yang

membahayakan (1/3)
Aktivitas diwaktu luang

yang membahayakan (1/3)


Pekerjaan yang

membahayakan (1/3)
Kenyamanan hidup yang

membahayakan (1/3)
Kontrol perasaan yang

membahayakan (1/3)
Kehilangan konsentrasi (1/3)
Harapan yang

membahayakan (1/3)
Kehilangan mood (1/3)
Kesabaran berkurang (1/3)
Gangguan tidur (1/3)
Kehilangan mobilitas fisik

(1/3)
Kehilangan kemandirian

(self care) (1/3)


Kurangnya nafsu makan

(1/3)
Kesulitan untuk mengurus

pekerjaan (1/3)
Kesulitan eliminasi (1/3)
Absen dalam bekerja (1/3)
Absen dalam sekolah (1/3)
Tingkat Nyeri
Melaporkan nyeri (1/3)
Persentase tubuh yang

dipengaruhi (1/3)
Merintih dan Menangis (1/3)
Lama episode nyeri (1/3)
Ekspresi oral ketika nyeri

(1/3)
Ekspresi wajah ketika nyeri

(1/3)
Posisi tubuh melindungi

25

pasien tentang manajement


nyeri
18. Pemberian analgesik
19. Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
20. Cek instruksi dokter
tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
21. Cek riwayat alergi
22. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
23. Tentukan pilihan
anagesik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
24. Tentukan analgesik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
25. Pilih rute pemberian
secara IV, IM, untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
26. Monitor vitalsign
sebelum dan sesudah
pemberian nalgesik
pertama kali
27. Berikan analgesik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
28. Evaluasi aktivitas
analgesik tanda dan gejala

(1/3)
Gelisah (1/3)
Kekuatan otot (1/3)
Perubahan frekuensi nafas

(1/3)
Perubahan frekuensi nadi

(1/3)
Perubahan tekanan darah

(1/3)
Perubahan ukuran pupil

Perubahan nutrisi
kurang
kebutuhan

dari
tubuh -

berhubungan
dengan anoreksia

(1/3)
Keringat (1/3)
Hilang nafsu makan (1/3)
Status nutrisi : asupan
makanan dan cairan
Pemasukkan makanan lewat
slang 1/3
Asupan cairan oral 2/4
Status nutrisi : intake
makanan dan cairan Intake

makanan dimulut 1/3


Intake disaluran makanan

1/3
Intake cairan dimulut 1/3
Intake cairan 1/3
Status nutrisi : intake

nutrisi
Intake kalori 1/3
Intake protein 1/3
Intake lemak 1/3
Intake karbohidrat 1/3
Intake vitamin 1/3
Intake mineral 1/3
Intake zat besi 1/3
Intake kalsium 1/3

Manajement nutrisi

Aktivitas :
1. Kaji adanya alergi makanan
2. Kolaborasi dengan ahli
giiuntuk menentukan
jumlah kalorasi dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
3. Anjurkan pasien untuk
menungkatkan intake Fe
4. Anjurkan pasien untuk
meningkatkan protein dan
vitamin C
5. Berikan substansi gula
6. Berikan makanan yang
terpilih
7. Monitor jumlah nutrisi dan
kandungan kalori
8. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi
9. Kaji kemampuan pasien
untuk mendapatkan nutrisi

yang dibutuhkan
Monitor nutrisi

Aktivitas :
1. BB pasien dalam batas
normal
2. Monitor adanya penurunan
berat badan
3. Monitor tipe dan jumlah
26

aktivitas yang biasa


dilakukan
4. Monitor interaksi anak atau
ortu selama makan
5. Monitor makanan selama
makan
6. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam
makan
7. Monitor kulit kering dan
prubahan pigmentasi
8. Monitor turgor kulit
9. Monitor kekeringan rambut
kusam dan mudah patah
10. Monitor mual dan
muntah
11. Monitor kadar albumin,
total, protein, Hb dan kadar
Ht
12. Monitor pertumbuhan
dan perkembangan
13. Monitor pucat
kemrerahan dan kekeringan
jaringan konjungtiva
14. Monitor kalori dan intake
nutirisi
15. Catat adanya edema
hiperemik, hipertonik,
papilalida dan capitas oral.
16. Catat jika lidah berwarna
6

Resiko infeksi

berhubungan

Status Imun
Tidak adanya infeksi

berulang (1/3)
Tidak adanya tumor (1/3)
Status pencernaan dari skala

yang diharapkan (1/3)


Status pernafasan dari skala

yang diharapkan (1/3)


Status genito urinary (1/3)
Berat dari skala yang

diharapkan (1/3)
Suhu tubuh dari skala yang

dengan prosedur
pembedahan.

27

magenta, skarlet
Kontrol infeksi
Aktivitas :
1. Bersihkan lingkungan
setelah dipakai pasien lain
2. Pertahankan teknik isolasi
3. Batasi pengunjung bila
perlu
4. Instruksikan pada
pengunjung untuk mencuci
tangan saat berkunjung dan
setelah berkunjung

diharapkan (1/3)
Integritas kulit (1/3)
Integritas mukosa (1/3)
Tidak adanya kelelahan

secara terus menerus (1/3)


Pengebalan sekarang (1/3)
Kadar zat terlarut pada
antibodi dalam batas normal

(1/3)
Reaksi tes kulit cocok

dengan pembukaan(1/3)
Hal hal yang mutlak dalam
menghitung sel darah putih
nilai nilai dalam batas

normal (1/3)
Diferensial dalam
menghitung sel darah putih
dan nilai nilai dalam batas

normal (1/3)
Sel T4 dalam batas normal

(1/3)
Sel T8 dalam batas normal

(1/3)
Pelengkap dalam batas

normal (1/3)
Penemuan X rays timus
dari skala yang diharapkan

(1/3)
Kontrol Resiko
Menyatakan resiko (1/3)
Memantau faktor resiko

lingkungan (1/3)
Memantau faktor resiko

perilaku pribadi (1/3)


Mengembangkan strategi

kontrol resiko yang efektif

(1/3)
Menyesuaikan strategi
kontrol resiko yang

dibutuhkan (1/3)
Melakukan strategi kontrol
28

meninggalkan pasien
5. Gunakan sabun antibikrobia
untuk cuci tangan
6. Cuci tangan setiap sebelum
dan sesudah tindakan
keperawatan
7. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
8. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer line
sentral dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
10.Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
11.Tingkatkan intake nutrisi
12.Berikan terapi antibiotik
bilaperlu
Proteksi terhadap
infeksi
Aktivitas :
12.Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
13.Monitor hitung granulosit,
WBC
14.Monitor kerentanan
terhadap infeksi
15.Batasi pengunjung
16.Sering pengunjung
terhadap penyakit menular
17.Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
18.Pertahankan teknik isolasi
kepada pasien
19.Berikan perawatan kulit
pada area epidema
20.Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase

resiko (1/3)
Mengikuti strategi kontrol

resiko yang dipilih (1/3)


Modifikasi gaya hidup untuk
menurunkan faktor resiko

(1/3)
Menghindari paparan

ancaman kesehatan (1/3)


Berpartisipasi dalam skrining
masalah kesehatan yang

berhubungan (1/3)
Berpartisipasi dalam skrining
untuk mengidentifikasi

resiko (1/3)
Mendapatkan imunitas yang

sesuai (1/3)
Menggunakan yankes sesuai

kebutuhan (1/3)
Menggunakan sistem
dukungan pribadi untuk

mengontrol resiko (1/3)


Menggunakan sumber
komunitas untuk mengontrol

risiko (1/3)
Mengenal perubahan status

kesehatan (1/3)
Pantau perubahan status
kesehatan (1/3)

29

21.Inspeksi kondisi luka/ insis


bedah
22.Dorong masukan nutrisi
yang cukup
23.Dorong memasukkan cairan
24.Dorong istirahat
25.Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai
resep
26.Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
27.Ajarkan cara menghindari
infeksi
28.Laporkan kecurigaan infeksi
29.Laporkan kultur positifn

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur

sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.


Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12

minggu/3 bulan
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang
terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani :

Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga

feses tidak dapat keluar.


Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara

rectum dengan anus.


Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum(Wong, Whaley. 1985).

Penatalaksanaan
dengan

cara

medic

colostomy,

dilakukan
Aksisi

pembedahan

membran

anal

dan

pengobatan

(membuat

anus

buatan),Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah


3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)
Asuhan keperawatan pada anak dengan atresia ani memerlukan perhatian
khusus dalam pelaksanaan proses keperawatan untuk itu perlu pemahaman dan
pengetahuan agar tercapai hasil yang memuaskan.
3.2 SARAN

30

Penulis menyarankan bagi keluarga sebaiknya memahami bagaimana tata


laksana terapeutik untuk pasien leukemia agar penyakitnya tidak memasuki
stadium lanjut.

31

Anda mungkin juga menyukai