Anda di halaman 1dari 8

SEKILAS FUNGSI PERADILAN PIDANA ANAK

Bahwa peradilan pidana anak adalah salah satu tugas pokok lembaga peradilan umum dalam negara
yang memeriksa dan memutus perkara pidana anak dimana baik sebagai saksi korban maupun pelaku
adalah seorang anak yang berhadapan dengan hukum.
Bahwa terlepas dari kondisi keberadaan pelaku dan saksi korban tindak pidana, maka peradilan pidana
anak dalam perkembangan masyarakat senantiasa berhadapan dengan pandangan secara umum
tentang efektifitas ketentuan pidana dikaitkan dengan norma sosial tentang perlindungan anak.
Bahwa pendekatan hukum pidana terhadap anak cenderung kepada pendekatan Reduksi, dalam arti
suatu norma larangan dengan ancaman hukumannya hanya tepat jika dianggap sebatas pengurangan
tindakan anti sosial melalui Rehabilitasi dan Pendidikan, sehingga pendekatan pembalasan sebagai
reaksi atau tanggapan moral masyarakat dalam wujudnya berupa penghukuman fisik terutama penjara
sebagai pembalasan adalah sebagai upaya terahir kearah perubahan dan pengendalian sosial
kemasyarakatan.
Bahwa dalam proses pemeriksaan perkara pidana anak, oleh Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim
juga aparat pemasyarakatan bersama elemen masyarakat lainnya termasuk orang tua/wali atau
keluarga anak dilibatkan secara bersama sama dalam musyawarah dan kesepakatan bersama mencari
jalan yang terbaik bagi anak untuk ditetapkan apakah akan dikembalikan kepada lingkungan keluarga
anak pelaku pidana atau harus terlebih dahulu mengikuti sosialisasi pendampingan serta pemberian
pendidikan khusus, atau di isolasi namun sosialisasi bertahap tetap berlangsung oleh aparat pemerintah
terkat tsb. dalam hukum acara peradilan pidana anak, proses Diversi merupakan kewajiban awal dalam
proses pemeriksaan perkara, yang baru dilanjutkan oleh Hakim Pengadilan setelah dianggap gagalnya
kesepakatan persetujuan para pihak orang tua.keluarga anak terperiksa.
Bahwa peradilan pidana anak tetap mewajibkan sosialisasi anak dengan pendekatan pendidikan dan
upaya pendampingan oleh aparat petugas sosial dan petugas hukum termasuk advokat pemberi jasa
bantuan hukum agar terlebih dahulu terwujud suatu kesadaran moral umum kemanusiaan akan
pentingnya menjauhi dan mencegah suatu larangan yang sudah terbentuk secara teratur dan terus
menerus dari masa ke masa dalam lingkungan sosial masyarakat, oleh karenanya fungsi pertama
peradilan anak adalah pendidikan dasar sosial kemasyarakatan terhadap anak maupun keluarga dari
anak yang berhadapan dengan hukum itu sendiri.
Bahwa Keadilan Restorasi yang dianut dalam sistem peradilan pidana anak pada hakekatnya adalah
tujuan hidup dan kehidupan manusia yang memiliki dasar nilai hak dan kewajiban secara jasmani dan
rohani sebagai umat manusia yang selalu berhubungan dengan sesama manusia dan terhadap Tuhan
yang maha esa pencipta alam semesta. hal mana diwujudkan suatu penghukuman bagi anak atas dasar
kerelaan moral keluarga dan masyarakat sekaligus pilihan yang terbaik bagi masa depan anak
terperiksa. sehingga keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan yang seimbang serasi dan selaras bagi
semua pihak antara anak dan antara anak dan keluarganya serta antara keluarga dengan masyarakat
bersama pemerintah yang dapat diterima oleh semua pihak secara sadar tanpa terkecuali. Oleh
karenanya penghukuman anak sebatas jalan terbaik atau jalan terahir setelah upaya sosialisasi dan
asimilasi antara anak dan antara keluarga anak beserta masyarakat dengan aparat pemerintah terutama
aparat hukum dan petugas sosial serta pemasyarakatan tidak lagi memadai menjadi pedoman prosedur
maupun teknik penyelesaian persoalan inti yang mempengaruhi prilaku menyimpang yang telah terjadi
pada diri anak yang berhadapan dengan masalah hukum itu sendiri.
Bahwa dalam Undang Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistim Peradilan Pidana Anak dinyatakan
adanya proses penyelesaian perkara pidana anak yang diwajibkan dilaksanakan sejak tingkat
pemeriksaan penyidikan dan penuntutan serta pengadilan, yaitu Diversi yang dilaksanakan secara
musyawarah mufakat dan bersifat kekeluargaan dan perdamaian antara semua pihak dari anak yang
berhadapan dengan hukum bersama keluarganya atas sangkaan atau dakwaan tindak pidana yang
ancaman hukumannya dibawah dari 7 Thn dan bukan pengulangan tindak pidana (residive), serta
proses diversi dilaksanakan dengan merahasiakan identitas dan jati diri anak terperiksa pada media
cetak/elektronik, bahkan apabila sesorang melanggar kewajiban merahasiakan identitas atau jati diri
anak tersebut justru diancam dipidanapenjara 5 Thn dan denda maksimal lima ratus juta rupiah, juga
terdapat ancaman pidana penjara maksimal 2 Thn atau denda Maksimal dua ratus juta rupiah, terhadap
peyidik, penuntut umum dan hakim yang sengaja tidak melaksanakan kewajiban melaksanakan proses
Diversi dalam kasus pidana anak. Selanjutnya dalam hal tindak pidana dlakukan oleh anak yang belum
berusia 18 Thn dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak ybs melampaui batas usia 18 Thn tetapi
belum mencapai usia 21 Thn, maka anak tetap diajukan ke sidang peradilan anak.
Bahwa semua komponen pengadilan negeri dan lembaga sosial kemasyarakatan serta keluarga anak

yang berhadapan dengan hukum melibatkan diri secara aktif dalam upaya pembimbingan dan
pendampingan sebelum sedang dan sesudah dilaksanakannya suatu tindakan maupun pemidanaan
berdasarkan
penetapan
atau
putusan
pengadilan.
Kesimpulan
:
bahwa fungsi peradilan pidana anak adalah Pendidikan tentang hak dan kewajiban dasar kemanusiaan
atau Sosialisasi tentang Hak Asasi Manusia Indonesia, disamping pendekatan pembinaan dan
pengawasan kesadaran hukum masyarakat serta Penegakan Hukum nasional Indonesia.

asa-keadilan.blogspot.co.id/2015/01/sekilas-fungsi-peradilan-pidana-anak.html
diakses tgl 11 januari pukul 11:00 WIB

Era Baru Sistem Peradilan Pidana Anak

Diterbitkan: Kamis, 22 Januari 2015 20:58


Ditulis oleh Muliyawan

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME, yang dalam dirinya melekat harkat
dan martabat sebagai manusia seutuhnya dan anak bukanlah miniatur orang
dewasa
Di suatu negara tidak ada sistem hukum yang besifat abadi, sistem hukum tersebut akan selalu
berubah mengikuti perkembangan zaman (dinamika masyarakat). Jika suatu sistem hukum
"dianggap" sudah tidak sesuai lagi dengan paradigma hukum yang berkembang dalam masyarakat
maka sistem hukum tersebut haruslah diubah, itulah keunikan "hukum", akan selalu berubah seiring
dengan perkembangan pola pikir masyarakat di suatu tempat. Hal tersebut sesuai dengan bunyi
pepatah latin "tempora mutantur nos et mutamur in illis" (zaman berubah dan kita juga akan
berubah bersamanya) dimana pepatah ini pertama kali muncul dari buku William Harrison yang
berjudul "Description of England" (1577.170).
Salah satu sistem hukum yang saat ini sudah berubah adalah sistem hukum peradilan pidana
terhadap anak (sebagai pelaku). Kenapa sistem hukum peradilan pidana anak berubah? Karena
sistem peradilan pidana anak yang dulu diwakili oleh rezim Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan prinsipprinsip dan semangat hukum yang berkembang dalam masyarakat kita saat ini, sehingga digantilah

dengan rezim hukum yang baru dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
yang biasa disingkat dengan SPPA, yang secara resmi menggantikan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, maka terjadilah "era baru" perubahan paradigma hukum
dalam peradilan pidana anak dari yang dulunya bersifat absolut dan masih menggunakan
pendekatan paradigma hukum lama yang selalu mengedepankan bahwa setiap anak yang
melakukan perbuatan (pidana) harus dibalas dengan hukuman yang setimpal atau kita kenal
dengan istilah "hak untuk membalas secara setimpal" (ius talionis), dimana pendekatan tersebut
tidak jauh berbeda dengan perlakuan terhadap orang dewasa yang melakukan tindak pidana,
berubah dengan pendekatan sistem hukum yang lebih humanis yang lebih mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) yang menurut Toni Marshal adalah "suatu proses
dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu, secara bersama-sama
memecahkan masalah bagaimana menangani akibat dimasa yang akan datang". Dalam UndangUndang SPPA pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dapat kita lihat dalam Pasal 1
angka (6) yang menyebutkan " keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana
dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali kepada
pada keadaan semula, dan bukanlah pembalasan.
Undang-Undang SPPA yang berlaku efektif sejak tanggal 31 Juli 2014 bertujuan untuk menjaga
harkat dan martabat anak dengan pendekatan restorative justice, dimana seorang anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama pelindungan hukum dalam sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu, SPPA tidak hanya ditekankan pada penjatuhan sanksi pidana bagi anak pelaku
tindak pidana, melainkan juga difokuskan pada pemikiran bahwa penjatuhan sanksi dimaksudkan
sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan anak pelaku tindak pidana tersebut. Hal demikian
sejalan dengan tujuan penyelenggaraan SPPA yang dikehendaki oleh dunia internasional.
Menurut Prof. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. (Ketua Pengadilan Negeri/Perikanan Klas 1A Khusus
Jakarta Utara) dalam makalahnya yang berjudul "Menyongsong berlakunya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Problema dan Solusinya", yang disampaikan
dalam Seminar Hukum Nasional pada hari Selasa, 26 Maret 2013 di Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, menyatakan bahwa apabila ditelusuri, alasan utama pengganti UndangUndang tersebut dikarenakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena secara komprehensif belum
memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dikaji dari perspektif
masyarakat internasional terhadap perlindungan hak-hak anak, antara lain terlihat dari adanya

Resolusi PBB 44/25 Convention on the Rights of the Child (CRC) (diratifikasi dengan Keppres
Nomor 36 Tahun 1990), Resolusi PBB 40/33 UN Standard Minimum Rules for the Administrations
of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Resolusi PBB 45/113 UN Standard for the Protection of
Juvenile Deprived of Their Liberty, Resolusi PBB 45/112 UN Guidelines for the Prevention of
Juvenile Delinquency (The Riyardh Guidelines) dan Resolusi PBB 45/110 UN Standard Minimum
Rules for Custodial Measures 1990 (The Tokyo Rules). Hal demikian, didasarkan pada pemikiran
bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran
anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945 hasil amandemen, dimana negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Seorang anak (pelaku) yang diusianya yang masih sangat muda tetapi sudah berani melakukan
perbuatan yang melanggar hukum (melakukan tindak pidana), pada dasarnya anak tersebut
bukanlah seorang anak yang jahat sehingga kita tidak boleh terlalu cepat memberikan label
kepada anak tersebut sebagai seorang "penjahat" atau label apa saja yang bisa membuat anak
tersebut tidak nyaman dalam berinteraksi sosial, karena pada dasarnya anak tersebut adalah
korban dari sebuah sistem sosial yang diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan
dan sosial yang tidak sehat, terpengaruh dengan budaya konsumerisme, serta tidak adanya
panutan yang positif dalam keluarganya (broken home) yang bisa dijadikan panutan si anak dalam
menjalani kehidupannya. Dan faktor-faktor tersebutlah membuat si anak yang merasa mulai
terkucilkan dan diasingkan oleh lingkungan sosialnya mengambil jalan pintas untuk eksis dengan
melakukan berbagai macam tindak pidana, seperti bergabung dengan teman-temannya (yang
merasa senasib) membuat suatu komunitas misalnya membentuk "komunitas geng motor". Jauh
sebelumnya hal tersebut sudah pernah dikemukukan oleh salah seorang maha guru hukum pidana
yang bernama Separovic yang menyatakan, bahwa: "Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan yaitu (1) faktor personal, termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin,
keadaan mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan), dan (2)
faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu".
Sehingga kedepan, kita semua (baik penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat ) harus lebih
bijak memperlakukan seorang anak (pelaku) yang berhadapan dengan hukum (melakukan
perbuatan pidana) agar bisa diberikan penyelesaian yang terbaik buat si anak, demi kepentingan si
anak dalam menjalani kehidupannya;
Penyelesaian Perkara Anak dengan Diversi

Era baru pendekatan sistem hukum peradilan pidana anak sejak berlakunya Undang-Undang SPPA
jauh berbeda dengan saat masih berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, dimana di Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut tidak mengenal proses
pengalihan penyelesaian perkara yang melibatkan anak (pelaku) di luar peradilan anak yang
selama ini dilalui dengan proses persidangan, dimana istilah tersebut lebih popular saat ini dengan
istilah diversi. Dalam Undang-Undang SPPA yang baru, seorang anak (pelaku) yang sudah berumur
12 (dua belas) tahun dan belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang
sudah berumur 12 (dua belas tahun) meskipun sudah pernah kawin dan belum mencapai usia 18
(delapan belas) tahun tetapi sudah kawin, pada saat diproses baik di tingkat penyidikan, penuntutan
dan pada saat anak diperiksa di Pengadilan Negeri maka pada setiap tingkatan pemeriksaan
tersebut wajib dilakukan diversi, walupun dalam hal proses diversi ada pembatasan bahwa yang
bisa di-diversi adalah tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan
termasuk di atas 7 (tujuh) tahun atau lebih, apabila bentuk surat dakwaannya berbentuk
subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi, dan termasuk yang tidak bisa lagi di-diversi
adalah anak yang melakukan pengulangan tindak pidana walaupun tindak pidana yang dilakukan
anak tersebut tidak sejenis dengan tindak pidana terdahulu.
Diversi dalam Undang-Undang SPPA memang menjadi salah satu ciri pembeda dengan aturan
yang terdahulu (UU Nomor 3 Tahun 1997), dan penulis yakin bahwa istilah diversi adalah istilah
yang masih awam dan masih terasa asing (alienisasi) ditelinga kita, apa sih yang dimaksud dengan
"Diversi"?. Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak
Undang-Undang SPPA diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah
lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dikenal di Amerika Serikat dan Australia sebelum
tahun 1960. Diversi dalam pengertian gramatikal adalah "pengalihan" sedangkan pengertian umum
diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana formal ke proses
di luar peradilan pidana dengan syarat atau tanpa syarat. Dalam Pasal 1 angka (7) Undang-Undang
SPPA, diversi didefenisikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Secara umum proses diversi ini dilakukan dengan tujuan mencapai perdamaian antara korban dan
anak (pelaku), menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindari anak dari
perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa
tanggung jawab kepada anak.
Peran serta Masyarakat
Ciri khas lain dalam Undang-Undang SPPA, yakni memberikan peran serta kepada masyarakat
untuk berperan aktif, dimana masyarakat dapat berperan serta dalam perlindungan anak mulai dari

pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial anak, sehingga dalam menjalankan Undang-Undang
SPPA ini bukan hanya menjadi kewajiban penegak hukum tetapi termasuk kepada kita masyarakat
umum diberikan ruang dan gerak untuk ikut aktif melaksanakan perintah Undang-Undang SPPA
tersebut. Sebagai contoh peran serta masyarakat pada saat proses diversi dilaksanakan di setiap
tingkatan dapat dihadirkan perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat) yang dapat dimintai
pendapat oleh fasilitator baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat proses di Pengadilan
Negeri mengenai hal yang terbaik kepada si anak (pelaku). Berbeda ketika masih berlakuknya rezim
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang sama sekali tidak
memberikan ruang dan gerak kepada masyarakat untuk ikut terlibat dalam menyelesaikan suatu
perkara pidana yang melibatkan anak.
Semoga tulisan singkat ini memberikan kita pemahaman dan gambaran yang baru tentang sistem
peradilan pidana anak yang saat ini sudah mulai berlaku sejak efektifnya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang SPPA per 31 Juli 2014.

Penulis: Muliyawan, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Palopo, artikel sama pernah dimuat
di surat kabar harian Palopo Pos
hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
1. Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi
belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga
kategori:
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi.
Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini
mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena
anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2. Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi,
yaitutindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU
SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
a. Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
Pengembalian kepada orang tua/Wali;
Penyerahan kepada seseorang;
Perawatan di rumah sakit jiwa;
Perawatan di LPKS;
Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh
pemerintah atau badan swasta;

Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau


Perbaikan akibat tindak pidana.
b. Sanksi Pidana
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana
Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA):
Pidana Pokok terdiri atas:

Pidana peringatan;

Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan
masyarakat, atau pengawasan;

Pelatihan kerja;

Pembinaan dalam lembaga;

Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:

Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau

Pemenuhan kewajiban adat.


Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan
atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA)
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi
pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
3. Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: (Pasal 3 UU SPPA)
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi,
serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu
yang paling singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam
sidang yang tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak atas:
a. Remisi atau pengurangan masa pidana;
b. Asimilasi;
c. Cuti mengunjungi keluarga;
d. Pembebasan bersyarat;
e. Cuti menjelang bebas;
f. Cuti bersyarat;

g. Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


4. Penahanan
Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan
dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana
dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang
disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5. Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan
keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di
depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang
pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan
setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan
hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan
memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi
audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang
tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA].
6. Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan
hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU
SPPA).Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh
anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak
tersebutadalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya tidak wajib mendampingi (Pasal 23
Ayat (3) UU SPPA).
7. Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan
ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU
Pengadilan Anak.
Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa
penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi
mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun
(Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak).

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Anda mungkin juga menyukai