Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

KATARAK DAN GLAUCOMA

Disusun Oleh
KELOMPOK 2
PROGRAM ALIH JENIS
Rizki Eko

131411123021

Rihmaningtyas

131511123015

Dzikrey

131511123017

Mulyana

131511123019

Hardiansyah

131511123021

Budi Cahyono

131511123023

Robby Septya Wiguna

131511123025

Nyarmi

131511123027

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
karunia dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesikan pembuatan tugas Asuhan
Keperawatan yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Glaucoma
dan Katarak ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari pembuatan Asuhan Keperawatan ini selain untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Persepsi Sensori, juga sebagai
informasi tambahan bagi mahasiswa mengenai Asuhan Keperawatan Pada Pasien
dengan Glaucoma dan katarak.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing, yang
telah membimbing dan memberi saran serta masukan kepada kami dalam
menyusun Asuhan Keperawatan ini. Selain itu, juga kepada teman-teman yang
selalu memberikan dukungannya, sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan
Asuhan Keperawatan ini tepat pada waktunya.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan Asuhan
Keperawatan ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun tetap
kami nantikan demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini di masa mendatang.
Semoga Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, amin

Surabaya, September 2015


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Katarak merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Katarak
mempengaruhi setiap negara baik di negara industri maupun negara berkembang.
Ada 1,5 juta ekstraksi katarak dilakukan setiap tahun di Amerika Serikat.
Pemerintah Inggris telah mengakui perlunya meningkatkan jumlah operasi katarak
di Inggris dari 175.000 menjadi 250.000 setahun. Menurut Perdami (Perhimpunan
Dokter Mata Indonesia) Penelitian-penelitian di Amerika Serikat mengidentifikasi
adanya katarak pada sekitar 10% orang, dan angka kejadian ini meningkat hingga
sekitar 50% untuk mereka yang berusia antara 65 sampai 74 tahun, dan hingga
sekitar 70% untuk mereka yang berusia lebih dari 75 tahun.
Menurut WHO (2000), sekitar 38 juta orang menderita kebutaan dan
hampir 110 juta orang menderita penurunan penglihatan. Hal ini menunjukkan
bahwa ada sekitar 150 juta orang menderita gangguan penglihatan. Tidak terdapat
data mengenai insiden kebutaan yang tersedia dengan baik. Meskipun demikian,
diperkirakan jumlah orang buta di seluruh dunia akan meningkat 1-2 juta orang
per tahun. Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan estimasi global terbaru, yaitu
314 juta orang di dunia menderita gangguan penglihatan, 45 juta dari mereka
menderita kebutaan (WHO, 2007).
Berdasarkan perhitungan terakhir, katarak yang berkaitan dengan umur
merupakan 48% penyebab kebutaan di seluruh dunia, yaitu sekitar 18 juta orang.
Diperkirakan setidaknya satu dari seribu populasi akan menderita kebutaan karena
katarak setiap tahunnya di Afrika dan Asia (WHO, 2000). Dari hasil estimasi
terhadap kebutaan karena katarak pada berbagai regio WHO, dapat diketahui
bahwa total kebutaan karena katarak adalah 47,8%, dimana sebesar 58% terdapat
di regio Asia Tenggara B (Murray et al, 2001).
Hasil Survei Kesehatan Mata Nasional tahun 1993-1996 dalam
Agustiawan (2006) menunjukkan bahwa 1,5% penduduk di Indonesia mengalami

kebutaan dan lebih dari setengahnya (sekitar 1,5 juta) kebutaan tersebut
disebabkan oleh katarak. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan angka kebutaan
di Thailand (0,3%), India (0,7%), Bangladesh (1,0%), dan di Afrika Sub-Sahara
(1,4%). Pertambahan buta katarak baru di Indonesia mencapai 210.000 per
tahunnya, sedangkan jumlah operasi katarak hanya 70.000 per tahun. Keadaan ini
menimbulkan penumpukan katarak di Indonesia.
Menurut Surkesnas (2004), hasil SKRT menunjukkan 13% penduduk
mengalami gangguan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Ditinjau dari
kelompok umur, persentase gangguan penglihatan dan pendengaran semakin
meningkat

dengan

semakin

bertambahnya

umur.

Prevalensi

jenis

gangguankegiatan sehari-hari yang tinggi adalah gangguan penglihatan (71%).


Selain itu, hasil survei ini juga melaporkan bahwa responden, yang pernah
melakukan pemeriksaan mata dalam kurun lima tahun terakhir, sebesar 11%
pernah didiagnosis katarak.
Menurut Depkes RI (2008), berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Nasional tahun 2007, proporsi low vision di Indonesia adalah sebesar
4,8% (Asia 5% - 9%), kebutaan 0,9%, dan katarak sebesar 1,8% (meningkat dari
1,2% menurut SKRT 2001). Patut diduga bahwa peningkatan jumlah kasus
katarak ini berkaitan erat dengan peningkatan umur harapan hidup penduduk
Indonesia pada periode 2005-2010 (69,1 tahun) dibanding periode 2000-2005
(66,2 tahun). Proporsi penduduk berumur 30 tahun keatas dengan katarak di
Sumatera Utara adalah 1,5% (proporsi responden yang mengaku pernah
didiagnosis katarak oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir) dan 11,3%
(proporsi responden yang mengaku pernah didiagnosis katarak oleh tenaga
kesehatan atau mempunyai gejala penglihatan berkabut dan silau dalam 12 bulan
terakhir). Di Sumatera Utara dan Medan, prevalensi kebutaan dan morbiditas
akibat katarak tahun 2007 sebesar 0,78% dan 7,3% (BKMM, 2007).
Bertambahnya umur berhubungan dengan prevalensi terjadinya katarak.
Peningkatan prevalensi yang berhubungan dengan pertambahan umur ini juga
terjadi di negara berkembang. Lebih dari 20 tahun yang akan datang, populasi
dunia diperkirakan akan meningkat sekitar sepertiga. Pertumbuhan ini akan lebih

dominan di wilayah yang berkembang. Dalam periode yang sama, jumlah orang
yang berusia lebih dari 65 tahun akan lebih meningkat ganda. Populasi yang
berusia ini akan terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Jika
tidak ada perubahan lain, perubahan demografik ini akan meningkatkan jumlah
katarak, morbiditas penglihatan, dan kebutuhan akan operasi katarak. Pada tahun
2020, akan terjadi peningkatan jumlah orang dengan penurunan visus 3/60 atau
buruk sebagai akibat dari katarak yaitu dari 20 juta orang yang ada saat ini
menjadi 40 juta orang. Hal ini menyebabkan katarak menjadi masalah global yang
signifikan, sehingga perlu dilakukan usaha untuk mencegah dan memperlambat
terjadinya katarak (Brian & Taylor, 2001).
Begitu besarnya resiko masyarakat Indonesia untuk menderita katarak
memicu kita dalam upaya pencegahan. Dengan memperhatikan gaya hidup,
lingkungan yang sehat dan menghindari pemakaian bahan-bahan kimia yang dapat
merusak akan membuta kita terhindar dari berbagai jenis penyakit dalam stadium
yang lebih berat yang akan menyulitkan upaya penyembuhan. Sehingga kami
sebagai mahasiswa keperawatan memiliki solusi dalam mencegah dan
menanggulangi masalah katarak yakni dengan memberikan sebuah rangkuman
makalah tentang katarak sebagai bahan belajar dan pendidikan bagi mahasiswa
keperawatan

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu
memahami dan mampu memberikan Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Katarak dan Glaucoma.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa
mampu memahami:
a. Konsep dasar katarak dan glaucoma yang meliputi definisi, etiologi,
patofisiologi, tanda dan gejala, penatalksanaan medis, pemeriksaan
diagnostik .
b. Konsep asuhan keperawatan pada pasien katarak dan glaukoma, mulai
dari pengkajian hingga evaluasi
c. Bagiamana penerapan asuhan keperawatan pada katarak dan glaukoma
yang sesuai dengan standar yang ada

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI KATARAK
Katarak merupakan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata, sehingga
menyebabkan penurunan/gangguan penglihatan (Amin,2015). Menurut
Corwin (2009), katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa.
Lensa menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, dan ketajaman
penglihatan berkurang. Katarak terjadi apabila protein-protein lensa yang
secara normal transparan terurai dan mengalami koagulasi.
Definisi lain katarak adalah suatu keadaan patologik lensa di mana
lensa rnenjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein
lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa
yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu (Iwan,2009).
Katarak adalah proses terjadinya opasitas secara progresif pada lensa
atau kapsul lensa, umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada
semua

orang

lebih

dari

65

tahun

(Marilynn

Doengoes,

dkk.

2000). Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi


pada lensa mata, yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata.
Jadi, dapat disimpulkan katarak adalah kekeruhan lensa yang
normalnya transparan dan dilalui cahaya menuju retina, dapat disebabkan
oleh berbagai hal sehingga terjadi kerusakan penglihatan
B.

ETIOLOGI KATARAK
Berbagai macam hal yang dapat mencetuskan katarak (J.Corwin,2000,
Anas tamsuri, 2011, A mansjoer, 2008) antara lain :
a. Usia lanjut (senil) dan proses penuaan
b. Congenital atau bisa diturunkan (genetic)
c. Gangguan perkembangan

d. Pembentukan katarak dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti


merokok atau bahan beracun lainnya.
e. Katarak bisa disebabkan oleh cedera mata, kelainan metabolic dan
sistemik (misalnya diabetes mellitus, galaktosemi, dan distrofi
miotonik) dan obat-obat tertentu (misalnya kortikosteroid).
f. Infeksi virus dimasa pertumbuhan janin
Katarak juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko lain, seperti:
a. Katarak traumatik yang disebabkan oleh riwayat trauma/cedera pada
mata.
b. Katarak sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti:
penyakit/gangguan metabolisme, proses peradangan pada mata, atau
diabetes melitus.
c. Katarak yang disebabkan oleh paparan sinar radiasi.
d. Katarak yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan jangka
panjang, seperti kortikosteroid. Dihambatnya Na_K_-adenosine
triphosphatase (ATPase) oleh kortikosteroid sehingga menghasilkan
konsentrasi

natrium

yang

tinggi

dibagian

intraseluler

dan

menurunnya kadar potasium, sehingga terjadi akumulasi air pada


bagian serat lensa dan obat penurun kolesterol.
e. Katarak kongenital yang dipengaruhi oleh faktor genetik.

C.

KLASIFIKASI KATARAK
1. Katarak
a. Katarak dapat diklasifikasikan menurut umur penderita:
1) Katarak Kongenital, sejak sebelum berumur 1 tahun sudah terlihat
disebabkan oleh infeksi virus yang dialami ibu pada saat usia
kehamilan masih dini (Farmacia, 2009). Katarak kongenital
adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah
lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun.

2) Katarak Juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang


muda, yang mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan
lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil, biasanya merupakan
kelanjutan

katarak

kongenital.

Katarak

juvenil

biasanya

merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metabolik dan


penyakit lainnya.
3) Katarak presenil, sebelum usia 50 tahun
4) Katarak Senil, setelah usia 50 tahun akibat penuaan. Katarak
senile biasanya berkembang lambat selama beberapa tahun,
Kekeruhan lensa dengan nucleus yang mengeras akibat usia lanjut
yang biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. (Ilyas,
Sidarta. 2007)
b. Katarak Komplikata
Katarak komplikata adalah katarak sekunder akibat penyakit
intraokular pada fisiologi lensa. Katarak biasanya berawal didaerah
sub kapsul posterior dan akhirnya mengenai seluruh struktur lensa.
Penyakit-penyakit

intraokular

yang

sering

berkaitan

dengan

pembentukan katarak adalah uveitis kronik atau rekuren, glaukoma,


retinitis pigmentosa dan pelepasan retina
c. Katarak akibat penyakit sistemik
Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan- gangguan sistemik
berikut: diabetes mellitus (DM menyebabkan akumulasi sorbitol
pada lensa yang mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik dan
menyebabkan cairan bertambah pada lensa) , hipoparatiroidisme,
distrofi miotonik, dermatitis atropik, galaktosemia, dan syndrome
Lowe, Werner atau Down.
d. Katarak traumatik
Katarak traumatik paling sering disebabkan oleh cedera benda asing
dilensa atau trauma tumpul terhadap bola mata. Lensa menjadi putih
segera setelah masuknya benda asing karena lubang pada kapsul
lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang- kadang korpus
vitreum masuk ke dalam struktur lensa.

D.

PATOFISIOLOGI KATARAK
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,
transparan, berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan
refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona
sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi
keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,
nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar
opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus.
Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling
bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi. Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang
memanjang dari badan silier ke sekitar daerah diluar lensa, misalnya dapat
menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan kimia dalam
protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga mengabutkan
pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori
menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke
dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan
mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim
akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan
pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang
berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemik, seperti
diabetes. Namun kebanyakan merupakan konsekuensi dari proses penuaan
yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik ketika
seseorang memasuki dekade ketujuh. Katarak dapat bersifat kongenital dan
harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan
ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering
berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-

obatan, alkohol, merokok, diabetes, dan asupan vitamin antioksidan yang


kurang dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002)
E.

MANIFESTASI KLINIS KATARAK


Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:
a. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan
silau serta gangguan fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan
penglihatan tadi.
b. Menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam
hari
Gejala objektif biasanya meliputi:
a. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak
akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak,
cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam
menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan
menjadi kabur atau redup.
b. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih.
Pengelihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan
bertambah putih.
c. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benarbenar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
Gejala umum gangguan katarak meliputi:
a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Gangguan penglihatan bisa berupa:
1) Peka terhadap sinar atau cahaya.
2) Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
3) Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
4) Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
c. Kesulitan melihat pada malam hari

d. Melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan


mata
e. Penurunan ketajaman penglihatan ( bahkan pada siang hari )
Gejala lainya adalah :
a. Sering berganti kaca mata
b. Penglihatan sering pada salah satu mata.
c. Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan
tekanan di dalam mata ( glukoma ) yang bisa menimbulkan rasa
nyeri.
F.

PEMERIKSAAN PENUNJANG KATARAK


a. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi,
penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
b. Lapang Penglihatan : penurunan mungkin karena massa tumor,
karotis, glukoma.
c. Pengukuran Tonografi : TIO (12 25 mmHg)
d. Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut
tertutup glukoma.
e. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma
f. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng
optik, papiledema, perdarahan.
g. Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.
h. EKG, kolesterol serum, lipid
i. Tes toleransi glukosa : kotrol DM

G. PENATALAKSANAAN KATARAK

Gejala-gejala yang timbul pada katarak yang masih ringan dapat dibantu
dengan menggunakan kacamata lensa pembesar, cahaya yang lebih terang,
atau kacamata yang dapat meredamkan cahaya. Pada tahap ini tidak
diperlukan tindakan operasi.
Tindakan operasi katarak merupakan cara yang

efektif untuk

memperbaiki lensa mata, tetapi tidak semua kasus katarak memerlukan


tindakan operasi. Operasi katarak perlu dilakukan jika kekeruhan lensa
menyebabkan penurunan tajam pengelihatan sedemikian rupa sehingga
mengganggu pekerjaan sehari-hari. Operasi katarak dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan jika katarak terjadi berbarengan dengan penyakit mata
lainnya, seperti uveitis yakni adalah peradangan pada uvea. Uvea (disebut
juga saluran uvea) terdiri dari 3 struktur:
a.

Iris : cincin berwarna yang melingkari pupil yang berwarna hitam

b.

Badan silier : otot-otot yang membuat lensa menjadi lebih tebal


sehingga mata bisa fokus pada objek dekat dan lensa menjadi lebih
tipis sehingga mata bisa fokus pada objek jauh

c.

Koroid : lapisan mata bagian dalam yang membentang dari ujung


otot silier ke saraf optikus di bagian belakang mata.

Sebagian atau seluruh uvea bisa mengalami peradangan. Peradangan


yang terbatas pada iris disebut iritis, jika terbatas pada koroid disebut
koroiditis. Juga operasi katarak akan dilakukan bila berbarengan dengan
glaukoma, dan retinopati diabetikum. Selain itu jika hasil yang didapat
setelah operasi jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan risiko
operasi yang mungkin terjadi. Pembedahan lensa dengan katarak dilakukan
bila mengganggu kehidupan social atau atas indikasi medis lainnya.( Ilyas,
Sidarta: Ilmu Penyakit Mata, ed. 3)
Indikasi dilakukannya operasi katarak :
a.

Indikasi sosial: jika pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan


dalam melakukan rutinitas pekerjaan

b.

Indikasi medis: bila ada komplikasi seperti glaucoma

c.

Indikasi optik: jika dari hasil pemeriksaan visus dengan hitung jari
dari jarak 3 m didapatkan hasil visus 3/60

Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:


a. ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction), yaitu dengan mengangkat
semua lensa termasuk kapsulnya. Sampai akhir tahun 1960 hanya
itulah teknik operasi yg tersedia.
b. ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction) terdiri dari 2 macam
yakni
1) Standar ECCE atau planned ECCE dilakukan dengan mengeluarkan
lensa secara manual setelah membuka kapsul lensa. Tentu saja
dibutuhkan sayatan yang lebar sehingga penyembuhan lebih lama.
2) Fekoemulsifikasi (Phaco Emulsification). Bentuk ECCE yang
terbaru

dimana

menggunakan

getaran

ultrasonic

untuk

menghancurkan nucleus sehingga material nucleus dan kortek dapat


diaspirasi melalui insisi 3 mm. Operasi katarak ini dijalankan
dengan cukup dengan bius lokal atau menggunakan tetes mata anti
nyeri pada kornea (selaput bening mata), dan bahkan tanpa
menjalani rawat inap. Sayatan sangat minimal, sekitar 2,7 mm.
Lensa mata yang keruh dihancurkan (Emulsifikasi) kemudian
disedot (fakum) dan diganti dengan lensa buatan yang telah diukur
kekuatan lensanya dan ditanam secara permanen. Teknik bedah
katarak dengan sayatan kecil ini hanya memerlukan waktu 10 menit
disertai waktu pemulihan yang lebih cepat.
Perawatan Pasien Katarak Pasca Operasi (ECCE) :
a. Penderita tidak boleh batuk, mengedan, merokok, mengangkat beban
lebih dari 5 KG, membungkuk, sujud (ibadah shalat dilakukan
berdiri atau tidur), berhubungan suami istri selama 1 minggu.
b. Mata yang usai dibedah tidak boleh terkena air, digosok gosok, serta
harus memakai pelindung plastik / dop terutama jika ingin tidur.
c. Obat tetes mata ada 2 macam (seperti disebutkan diatas) digunakan
setelah operasi pada pukul: 15.00, 18.00, 21.00. Hari hari selanjutnya

diteteskan 6 kali sehari yaitu pada pukul: 06.00, 09.00, 12.00, 15.00,
18.00, dan terakhir pada pukul 21.00.
d. Untuk obat minum diminum sesuai resep dokter.
e. Penderita usai operasi harus melakukan kontrol rutin sesuai waktu
yang ditentukan dokter.
f. Jika ada masalah terkait mata, maka harus segera mendatangi dokter.
Perawatan Pasien Katarak Pasca Operasi (Fekoemulsifikasi) :
a.

Mata yang dioperasi tidak boleh terkena air selama 3 (tiga) hari

b.

Semua kegiatan sehari-hari boleh dilakukan seperti biasa, tidak ada


larangan khusus kecuali mata yang dioperasi tidak boleh terpukul /
terbentur dan digosok-gosok

c.

Mata yang dioperasi harus memakai pelindung (DOP) pada waktu


tidur selama 1 (satu) minggu setelah dilakukan operasi

d.

Obat tetes mata dipakai sesuai intruksi dokter, sebelumnya tangan


dicuci terlebih dahulu dengan sabun dan dibilas sampai bersih.

e.

Hindari daerah berdebu dan hewan peliharaan selama 2 (dua)


minggu

f.

Lakukan kontrol rutin sesuai waktu yang telah dilakukan dokter

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN KATARAK
A. PENGKAJIAN
1.

Anamnesa
Anamnesa yang dapat dilakukan pada klien dengan katarak adalah :
a. Identitas / Data demografi
Berisi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan yang sering terpapar sinar
matahari secara langsung, tempat tinggal sebagai gambaran kondisi
lingkungan dan keluarga, dan keterangan lain mengenai identitas
pasien.
b. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama pasien katarak biasanya antara lain:
1) Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif (gejala utama
2)
3)
4)
5)

katarak) .
Mata tidak merasa sakit (sakit pada glaucoma) , gatal atau merah
Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film
Perubahan daya lihat warna
Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar sangat

6)
7)
8)
9)

menyilaukan mata
Lampu dan matahari sangat mengganggu
Sering meminta ganti resep kaca mata
Lihat ganda
Baik melihat dekat pada pasien rabun dekat ( hipermetropia)

10) Gejala lain juga dapat terjadi pada kelainan mata lain
c. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti
1) DM
2) Hipertensi
3) Pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya
memicu resiko katarak.
4) Kaji gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena,
5) Ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan
pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.
6) Kaji riwayat alergi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji
riwayat stress,
2.

Pemeriksaan Fisik (Inspeksi)


Pada inspeksi mata akan tampak pengembunan seperti mutiara
keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan
oftalmoskop (Smeltzer, 2002). Katarak terlihat tampak hitam terhadap
refleks fundus ketika mata diperiksa dengan oftalmoskop direk.
Pemeriksaan slit lamp memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci
dan identifikasi lokasi opasitas dengan tepat. Katarak terkait usia
biasanya terletak didaerah nukleus, korteks, atau subkapsular. Katarak
terinduksi steroid umumnya terletak di subkapsular posterior. Tampilan
lain yang menandakan penyebab okular katarak dapat ditemukan, antara
lain deposisi pigmen pada lensa menunjukkan inflamasi sebelumnya
atau kerusakan iris menandakan trauma mata sebelumnya (James, 2005)
Dalam inspeksi, bagian-bagian mata yang perlu di amati adalah
dengan melihat lensa mata melalui senter tangan (penlight), kaca
pembesar, slit lamp, dan oftalmoskop sebaiknya dengan pupil
berdilatasi. Dengan penyinaran miring ( 45 derajat dari poros mata)
dapat dinilai kekeruhan lensa dengan mengamati lebar pinggir iris pada
lensa yang keruh ( iris shadow ). Bila letak bayangan jauh dan besar

berarti kataraknya imatur, sedang bayangan kecil dan dekat dengan


pupil terjadi pada katarak matur.

3.

Pemeriksaan Diagnostik
a. Kartu mata Snellen / mesin telebinokular ( tes ketajaman penglihatan
dan sentral penglihatan) : mungkin terganggu dengan kerusakan lensa,
system saraf atau penglihatan ke retina ayau jalan optic.
b. Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler,
mencatat atrofi lempeng optic, papiledema, perdarahan retina, dan
mikroaneurisme.
c. Darah lengkap, laju sedimentasi (LED) : menunjukkan anemi
sistemik/infeksi
d. EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid : dilakukan untuk
memastikan aterosklerosis.
e. Tes toleransi glukosa / FBS : menentukan adanya/ control diabetes.

B. Diagnosa Keperawatan
1.

Analisa Data Pre Op


Data
DS: DO: penurunan ketajaman
penglihatan, objek yang
dilihat
seperti
ada
bayangan
DS:DO: stress emosi pasien
meningkat, pasien tampak
takut, depresi

Etiologi
Penglihatan kabur

Masalah
Resiko tinggi
cidera

Sulit mengenali
benda-benda sekitar
Resti cidera
Pre operasi

Cemas

Kurang pengetahuan
Cemas

2.

Analisa Data Post Op


Data

Etiologi

Masalah

DS:
DO: ada nyeri, ekspresi
muka pasien meringis
menahan nyeri, rentang
skala nyeri mulai nyeri
ringan sampai berat

DS:
DO: suhu meningkat,
terjadi
pembengkakan
pada
kelopak
mata,
kelopak
mata
sulit
membuka

Rangsangan
Norireseptor

Nyeri

Spiral cora
Informasi korteks
serebri
Nyeri
Kelumpuhan N VII

Resiko infeksi

Kelopak mata tidak


membuka dengan
sempurna
Resiko infeksi

C. Intervensi Keperawatan:
Dx Kep
Tujuan & criteria hasil
Intervensi
Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu pasien ketika mampu
tinggi
keperawatan pre op diharapkan
melakukan
ambulasi
pre
cidera
resiko cidera tidak terjadi
operasi sampai mencapai
dengan kriteri: orientasi pasien
tujuan yang stabil dan
terhadap lingkungan sekitar
keterampilan
mengatasi
baik,
mampu
melakukan
memadai,
menggunakan
ambulasi dari 1 tempat ke
teknik bimbingan penglihatan
tempat yang lain dengan baik
2. Orientasi pasien di dalam
ruangan
3. Diskusikan kebutuhan untuk
penggunaan perisai logam
atau
kacamata
saat
diinstruksikan
4. Kolaborasi untuk pembedahan
Cemas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat dan lama
keperawatan pre op cemas
gangguan
penglihatan.
hilang/ berkurang dengan
Dorong percakapan untuk
criteria: pasien paham tentang
mengetahui
keprihatinan
prosedur pembedahan yang
pasien , perasaan, dan tingkat
akan dilakukan, pasien tenang,
pemahaman
pasien tidak stress, takut 2. Orientasi pasien
dengan
ataupun depresi
lingkungan baru
3. Jelaskan rutinitas perioperatif
4. Dorong untuk melakukan
kebiasaan hidup sehari-hari
ketika mampu

5. Dorong partisipasi keluarga


atau orang-orang yang peduli
dalam perawatan pasien
6. Dorong partisipasi dalam
kegiatan
sosial
dan
pengalihan
bila
memungkinkan
(pengunjung , radio ,
rekaman
audio,
TV,
kerajinan, permainan)
1. Berikan
obat
untuk
mengontrol nyeri dan TIO
sesuai resep
2. Kurangi tingkat pencayahaan
3. Dorong penggunaan kacamata
hitam dalam cahaya yang kuat

Nyeri

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan post op nyeri
hilang / berkurang dengan
criteria:
nyeri
hilang/
berkurang, skala nyeri 0,
pasien tidak mengeluh nyeri

Resiko
infeksi

Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan teknik aseptik


keperawatan resiko infeksi
yang ketat , melakukan cuci
tidak terjadi dengan criteria:
tangan Anda sering
tidak ditemukan tanda-tanda 2. Awasi dan laporkan segera
komplikasi
tanda-tanda
dan
gejala
komplikasi,
seperti
:
perdarahan, peningkatan TIO
atau infeksi
3. Jelaskan
posisi
yang
dianjurkan
4. Anjurkan
pasien
untuk
mengetahui
tujuan
pembatasan aktivitas dengan
bedrest
5. Jelaskan tindakan yang harus
dihindari, seperti batuk ,
bersin, muntah
6. Berikan obat yang diresepkan,
sesuai dengan teknik yang
ditentukan
7. Jelaskan apa saja yang boleh
dan tidak boleh dilakukan.
(Post Operasi)

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Mansjoer.(2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Arsculapiks
Benjamin J. Phil. 2010. Acute Endhoptalmitis after Cataract Surgery : 250
Consecutive Cases treated at the tertiary referral center in Netherland.
American Journal of ophthalmology. Volume 149 No.3
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Jakarta: ECG.
Doenges, Marylynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Fadhlur Rahman. (2009). Laporan Kasus Katarak Matur Pada Penderita Diabetes
Mellitus.
Hartono. (2007). Oftalmoskopi dasar & Klinis. Yogyakarta: Pustaka Cendekia
Press
Ilyas, Sidarta. (2004). Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Ilyas S (2007). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ilyas, S.(2007). Katarak Lensa Mata Keruh ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Khurna A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive
Ophthalmology, fourth edition, chapter 20, new delhi, new age limited
publisher : 443-446
James, Bruce. (2006). Lecture Notes : Oftalmologi. Jakarta: Erlangga.
Sidarta, Ilyas. (2009). Ihtisar ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI
Smeltzer, Suzzane C. (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Ed. 8. Jakarta: EGC.

Tamsuri, Anas.(2010). Klien Gangguan Mata dan Penglihatan. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai