Anda di halaman 1dari 6

KEPEMIMPINAN NASIONAL DALAM

MENINGKATKAN HARKAT DAN


MARTABAT BANGSA
Standard
Harus disadari bahwa realita Indonesia hari ini adalah proyeksi masa lalu. Sudah layak dan
sepantasnya disadari bahwa jika bangsa dan republik ini berkehendak memanjangkan nafas
peradabannya, maka pada hari ini pun seluruh rakyat bersama-sama mesti memroyeksikan
Indonesia, sebagai proyek terus-menerus para pemimpin di masa depan.
Pendahuluan.
Pemimpin itu menawarkan realita baru dari pijakan realita kekinian. Mendefinisikan realita
yang dimaksud di sini adalah mendefinisikan gugusan cita-cita yang lahir dari proses
pengamatan maupun keterlibatan aktif dalam hidup di realita hari ini. Keterlibatan aktif itu
adalah persis seperti telah dikatakan oleh Alfan Alfian yaitu aktivitas membuat mimpi
menjadi masuk akal dan bisa diwujudkan melalui tahapan yang rasional-kalkulatif.[i] Jika
tidak ada upaya mendefinisikan dan memroyeksikan realita Indonesia secara sengaja, maka
Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama bagi kerumunan gejala, sebab cuma hasil
sampingan dari kerumunan tindakan individual atau sektoral yang dilakukan.[ii] Karenanya,
masa depan hadir di benak seluruh rakyat bukan sekedar untuk diidamkan atau ditakutkan,
namun mesti dihadirkan secara baik-baik dalam gugus rencana tindakan. Ketakutan dan
kecemasan-sebagaimana juga ambisi dan obsesi-memang bisa menjadi penggerak awal bagi
kerja menghadirkan masa depan kolektif, namun tidak akan mengantarkan bangsa ini menjadi
pemenang.
Kebudayaan bangsa merupakan modal dasar bagi tiap anak bangsa melahirkan pikiranpikiran dan melakukan praksis bagi penciptaan tata politik bernegara, tatanan ekonomi,
perilaku berbisnis, perilaku dalam menyerap serta memroduksi pengetahuan. Tugas para
pemimpin dan cerdik cendekia bangsa Indonesia adalah berusaha merumuskan, salah
satunya, evolusi kelembagaan bangsa (baik pranata ekonomi, politik, budaya dan sebagainya)
dalam interaksinya dengan perkembangan peradaban dunia. Di sini Indonesia sedang
memasuki era terjadinya ledakan kreativitas manusia, yang dirangsang oleh teknologi
informasi dan sumber referensi yang berlimpah. Dengan keadaan ini, tiap manusia yang
kreatif, sejauh bisa memanfaatkan secara optimal ledakan informasi ini kemudian bisa
melakukan proses imitasi dan modifikasi yang memanfaatkan local genius dan local wisdom
(sebagai warisan budaya) untuk menjadikan produk-produk lokalnya memiliki nilai pasar
yang tinggi. Pada level dan tahapan inilah para perancang strategi Indonesia semestinya bisa
memberikan jawaban bagaimana mereka melakukan proses inventarisasi kreativitas dan
kejeniusan-kejeniusan lokal yang sudah lama tertanam di tanah Nusantara ini dan menjadikan
mereka produk unggulan bangsa dalam kompetisi global ke depan.
Berpikir sistematis dengan pendekatan teori kompleks ini menyuruh untuk berpikir secara
horizontal (lintas sektoral dan geografis) sekaligus bersifat vertikal (merentang dari sistem
global kompleks yang dominan, negara dan pada akhirnya sampai ke tingkat individu) dalam

gerak yang dinamik dan non-linear. Jika berbicara mengenai perlunya berfikir sistematis
dalam level nasional, tentu saja yang dibutuhkan adalah terdapatnya strategi nasional.
Strategi nasional ini bermaksud menggabungkan segenap kapasitas/ kemampuan bangsa, di
masa damai maupun di masa perang, dalam mencapai kepentingan dan tujuan nasional.
Termasuk dalam strategi nasional ini adalah strategi politik eksternal dan internal; strategi
ekonomi dalam negeri dan luar negeri serta sebuah strategi pertahanan nasional.
Kepemimpinan Visioner.
Sebagaimana diketahui dalam sebuah negeri demokratis, presiden bisa datang dan pergi
secara rutin nyaris seperti ritus berkala dari keyakinan berdemokrasi. Namun seorang
pemimpin (bukan sekedar presiden) pasti melampaui ritus itu karena ia lahir justru untuk
melepaskan kaum yang dipimpinnya dari gundukan ritual-ritual prosedur demokrasi untuk
kemudian menghidupi nilai-nilai substantif, langsung dengan jiwa, rekam jejak, darah dan
dagingnya sendiri. Untuk memprediksi apa yang diharapkan oleh Negara-Bangsa Indonesia
di masa depan dan bagaimana untuk mencapainya secara lebih cepat/ efisien, maka
dibutuhkan beberapa teori dan konsep yang merupakan hasil kontemplasi dan memiliki
fungsi-fungsi to describe, to explain, dan to predict. Dengan demikian untuk kepentingan
negara yang prima, harus terjadi kombinasi antara teori atas dasar a sound, knowledge, action
dan skill.
Setiap calon pejabat publik atau bahkan yang sudah menjadi pejabat publik harus mampu
menyusun setidaknya dua hal, yaitu: arah strategi pemenangan politik dan juga komunikasi
politik untuk membangun citra politik. Arah strategi pemenangan politik menuntut calon
pemimpin untuk menyusun strategi perencanaan kampanye, mobilisasi dukungan, dan
mengonsolidasikan posisi unggul sejak awal proses pemenangan. Begitu juga dengan
komunikasi politik baik itu pada tingkat substansial yaitu mengomunikasikan nilai-nilai,
pesan maupun program politik sang calon pemimpin maupun juga mengomunikasikan
penampang luar, seperti penampilan, cara berpakaian, cara bertutur kata, gerak tubuh dan
semacamnya. Dalam masyarakat demokratis yang masih berkembang seperti Indonesia, sang
kandidat pemimpin lebih sering tergoda untuk mengemas komunikasi politiknya pada
tampilan sosok daripada pada substansi. Situasi ini justru sangat bertentangan dengan politik
dalam pemaknaan terhadap relasi sosial (sosiologis) dengan lingkungan dan masyarakat,
kesadaran untuk bertindak secara individual dan kolektif (antropologis), cita-cita tentang
suatu bangunan individu yang dinamis dan masyarakat yang kompleks (psikologis), serta
suatu relasi kekuasaan yang melahirkan dinamika masyarakat dan kesenjangan sosial
(ekonomi-politik).
Sebagai sebuah bangsa yang hendak memasuki new frontier atau tapal batas baru, kebijakan
tertinggi mesti dimulai dari cerdik cendekia yang menjadi perancang strategi besar (grand
strategists), yang menyebar sebagai lingkaran patriotik dalam komunitas-komunitas
produktif-kolektif masyarakat. Mereka inilah yang disebut Antonio Gramsci sebagai
intelektual organik, namun dari jenis pembangun visi bersama dan penyusun strategi bangsa.
Mereka adalah rakyat Indonesia sendiri, yang digairahkan terutama bukan sekedar oleh
kegaduhan persepsi publik. Rakyat akan lebih merasa dimuliakan oleh nilai-nilai pelayanan
publik sebagai cermin kejelasan dan komitmen ideologi. Rakyat adalah pekerja keras di siang
hari, agar punya waktu untuk memerciki diri dengan tafakur permenungan di malam hari
dengan buku dan pena. Dengan begitu semesta fikir sekarang bisa dipatrikan dalam catatan
untuk dibaca, diteruskan ataupun dibatalkan oleh generasi mendatang. Rakyat pun akan lebih
tertantang dalam pembuktian dengan kehandalan pembuatan kebijakan publik, yang

menggambarkan kesigapan kinerja sang pemimpin Indonesia di masa depan untuk membawa
bangsa ini melintasi new frontier, tapal batas baru yang liar dengan bahaya maupun peluang
yang belum dikenali seutuhnya.
Komitmen Ideologi Pemimpin.
Indonesia yang pada saat ini sedang di ambang pintu tapal batas menuju kawasan baru
pergaulan dunia (maupun pengelolaan bangsanya) perlu sebuah terapi kejut untuk
mengingatkan akan alasan adanya (raison detre) Indonesia pada tahun 1945. Tak ada tempat
lain untuk bisa menemukan apa itu Indonesia kecuali dalam teks Pembukaan UUD 1945
dengan Pancasila yang dikandunginya, dimana merupakan deklarasi kemerdekaan sebagai
bangsa. Seorang pemimpin yang dipastikan bisa memikul sejarah Indonesia melewati
tantangan di daerah tapal batas kawasan baru adalah yang bisa menjadi the living example
dari pelayanan, integritas serta keberanian untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD
1945. Jika harus dijelaskan, maka Indonesia sekarang sedang membutuhkan kelahiran sosok
pemimpin republik yang dalam dirinya menubuhkan kuasa perlindungan pada segenap rakyat
dan tumpah darah Indonesia; tidak mementingkan diri sendiri karena berorientasi untuk
menyejahterakan masyarakat secara umum/ menyeluruh; tidak bersikap paranoid pada sikap
kritis dan cerdas namun justru mendorong pencerdasan bangsanya; dan tidak punya perasan
inferior tapi justru cakap dalam membawa diri di pergaulan internasional membawakan
agenda tata dunia baru yang merdeka, damai dan adil. Artinya komitmen ideologis sang
pemimpin pada Deklarasi Kemerdekaan Indonesia, yaitu Pembukaan UUD 1945, diukur (dan
hanya bisa diukur) melalui pelayanan, integritas dan keberanian melaksanakan itu semua.
Pada gilirannya, nilai-nilai pelayanan publik sebagai tolok ukur komitmen ideologis ini juga
perlu diikuti dengan kemampuan melakukan refleksi diri dalam proses pembelajaran yang tak
kenal lelah, kreatif serta penuh dengan imajinasi yang didaratkan ke bumi realita.
Hal tersebut merupakan gugusan aktivitas berfikir dan aktivitas merasa dari sosok pemimpin
dalam mengendapkan perjalanan Republik Indonesia sejak berdirinya pada tahun 1945
hingga detik ini. Refleksi diri itu kira-kira di antaranya akan melacak, berpeka rasa dan
berfikir ke belakang tentang bagaimana bangsa ini telah melintasi sekian etape perjalanan
yang diperkaya oleh pergulatan ide hingga perkelahian fisik untuk bertahan hidup dan
bangkit dari puing-puing. Harus disadari bahwa kerapkali pergulatan tersebut meretakkan
sejumlah sendi-sendi kebangsaan. Retakan tersebut berlangsung sangat lama sehingga bangsa
ini dalam periode tertentu gagal memperoleh sebuah pemerintahan yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sementara, proses pembelajaran
yang tak kenal lelah adalah mencari tahu potensi sumber daya bangsa yang menyebabkan
Indonesia tetap survive hingga hari ini.
Di lain pihak, komitmen ideologis sosok pemimpin Indonesia juga diukur oleh
kemampuannya membentuk serta menyuarakan apa yang disuarakan oleh para pendukungnya
sehingga dia berhasil diusung ke ketinggian tampuk kepemimpinan bangsa. Tentu harapanharapan dan aspirasi itu lah yang akan memberikan diferensiasi bagi pesan maupun pola
kepemimpinannya dalam proses kontestasi demokratis. Itu lah komitmen ideologis seorang
pemimpin Indonesia yang berisi nilai-nilai pelayanan publik yang pada gilirannya akan
melandasi visinya.
Kinerja Sebagai Pemimpin.

Komitmen ideologis bagi pelayanan publik ini saja tidak memadai bagi lahirnya sosok
pemimpin, namun juga menuntut kecakapan dan kehandalan berkinerja. Kecakapan dan
kehandalan berkinerja itu tentu mesti mengiringi perjalanan sosok para pemimpin Indonesia
ke depan, yang salah satu di antaranya adalah kecakapan dalam memroduksi kebijakan
publik. Tanpa kinerja yang cakap dalam melahirkan kebijakan publik, maka komitmen
ideologis paling banter hanya akan menjadikan seseorang maha guru bangsa, tanpa bisa
berhasil memimpin bangsanya dalam perjalanan empirisnya. Setidaknya ada sejumlah tolok
ukur untuk bisa melihat apakah seseorang memiliki kecakapan dalam membangun kinerja
untuk memroduksi kebijakan publik. Tolok ukur-tolok ukur itu adalah:
1. Membuat Keputusan.
Seorang pemimpin Indonesia ke depan dituntut untuk membuat
sejumlah keputusan yang tidak mudah, melihat berbagai macam kemungkinan yang ada,
maupun ketika mencoba menjaga keseimbangan di antara berbagai pilihan yang tersedia.
Misalnya: bagaimana dia harus memilih untuk menjalankan kebijakan subsidi bagi
pendidikan atau penyediaan negara untuk membiayai Jaminan Sosial sebagaimana
diamanatkan oleh UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2004. Apakah pemimpin
harus membuat kebijakan menerapkan pajak progresif untuk membiayai mereka yang sangat
membutuhkan jaminan sosial dari negara? Sementara dengan menerapkan pajak progresif,
mau tak mau sang pemimpin akan kehilangan sebagian dukungan dari kalangan yang
berpendapatan tinggi. Dukungan dari kalangan berpendapatan tinggi bisa berkurang karena
mereka merasa harus menanggung beban lebih banyak lagi (dalam bentuk pajak) untuk
memungkinkan negara memberikan jaminan sosial. Pemimpin juga harus melihat
kemungkinan-kemungkinan lain yang disodorkan oleh para menteri dan penasehatnya untuk
membiayai program tersebut, misalnya dengan berhutang. Tentu saja itu merupakan sebagian
contoh dari dilemma-dilema kebijakan publik yang akan menguji kemampuan pemimpin
Indonesia dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
2. Efektivitas personal sosok pemimpin.
Seorang pemimpin yang akan membawa
Indonesia melintasi pintu gerbang tapal batas baru semestinya adalah seseorang yang bisa
menempatkan diri dan mengelola emosi dirinya. Karena apa yang akan dihadapinya dalam
perjalanan panjang yang terjal ini adalah sebuah kawasan liar dengan peluang dan bahaya
yang belum dikenal-sebuah kawasan harapan dan ancaman yang belum terwujud, begitu kata
John F. Kennedy ketika untuk pertama kali menerima pencalonannya sebagai presiden dari
Partai Demokrat.[iii] Karena barunya (bahkan: belum dikenalinya) harapan-harapan dan
tantangan-tantangan di kawasan tapal batas baru tersebut, tentu saja pemimpin mesti mampu
menanamkan keyakinan di hati rakyatnya bahwa di bawah kepemimpinannya, bangsa
Indonesia akan segera saja mengenali ancaman dan tantangan baru tersebut, serta
mengubahnya menjadi harapan yang akan segera diraih. Dalam hal ini, para pembuat
kebijakan (para pemimpin) Indonesia ke depan diminta untuk menyusun manajemen
pembuatan keputusan yang tepat, baik dari aspek tempat maupun waktu. Setidaknya ada tiga
kerangka waktu dalam memimpin dan mengelola negara, yaitu:a) manajemen operasional, di
mana situasi yang dihadapi sudah diprediksi, dianalisa dan diperhitungkan.b) kepemimpinan
strategis, di mana situasi tidak pasti namun masih bisa diprediksi, fokusnya adalah
kepentingan dan adaptasi strategi jangka menengah.c) kepemimpinan visioner, di mana
situasinya tidak bisa diprediksi dan banyak muncul kesertamertaan. Meski begitu,
kepemimpinan visioner ini tetap melakukan proyeksi-proyeksi untuk mengantisipasi
kecenderungan-kecenderungan pergerakan jaman. Tujuan dari kepemimpinan yang visioner
ini adalah daya hidup bangsa untuk jangka panjang dengan menemukan pilihan-pilihan baru
melalui pengkerangkaan kembali, proyeksi seta menciptakan kemampuan-kemampuan
bangsa yang baru (keterampilan, pengetahuan serta sumber daya-sumber daya baru). Di

samping itu, pemimpin visioner akan diuji oleh kemampuannya memahami tanggung jawab
kolektif, membangun koalisi serta cermat dalam memberikan penilaian atas situasi dan
kondisi masyarakatnya/ bangsanya.
3. Inteljensia politik. Efektivitas personal saja tidak memadai, dibutuhkan juga intelejensia
politik seorang pemimpin Indonesia. Dalam konteks Indonesia sekarang, Indonesia hanya
punya manajemen yang sifatnya sebatas operasional dan strategis dalam ritus lima tahun-an,
sesuai usia rentang waktu jalannya pemerintahan. Pada kenyataannya bisa lebih parah dari
itu. Bahkan manajemen yang bersifat strategis itu pun kian sulit ketika sistem multi-partai
yang kompleks telah menimbulkan fragmentasi politik yang begitu meluas dalam masyarakat
politik Indonesia. Di satu sisi, fragmentasi tersebut tidak serta merta menggambarkan
perbedaan ideologis-strategis dalam kebijakan nasional maupun globalnya. Namun di sisi lain
juga, kompleksitas multi-partai yang ada tidak banyak membantu pemerintahan yang
didukungnya agar kian mendekatkan pada tujuan berbangsa dan bernegara untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hak untuk sekedar
ada lantas lebih menonjol ketimbang mati-matian mengoptimalkan peluang untuk memberi
bobot bagi kerja spartan merancang bangun proyek kebangkitan Indonesia ke depan. Padahal
konsepsi partai politik lahir di masyarakat demokratis adalah untuk menjalankan fungsi
membangun spirit kewarganegaraan yang aktif dan terorganisasi (organized active
citizenship). Multipartai yang kompleks lantas mudah memancing kecurigaan bahwa gejala
tersebut lebih mencerminkan kepanikan ketimbang menebar cara berpikir dan bekerja secara
sistematis yang melekat dalam konsep kewarganegaraan yang aktif dan terorganisasi, dalam
institusi partai politik.
Obilisasi Organisasional dan Pemahaman Pembagian Tugas.
Bagi seorang pemimpin Indonesia di masa mendatang, dituntut ke dalam maupun keluar
untuk menjadi kekuatan dalam rupa sosok yang berdiri di depan. Ke dalam, dia mesti bisa
memerankan diri sebagai inspirator sekaligus motivator bagi rakyatnya. Artinya, pemimpin
mesti bisa mengambil langkah-langkah terobosan yang menjadi inspirasi bagi rakyat dalam
sejumlah kebijakan publik. Yang tidak kalah pentingnya adalah juga mesti mampu
memotivasi para bawahan dan organisasi pemerintahan di bawahnya untuk mengeksekusi
kebijakan tersebut. Sebagai seorang pemimpin negara, tentu pemahaman akan tugas dan
wewenang berlapis-lapis jajaran birokrasi menjadi keharusan. Meskipun tidak harus
memahami seluruhnya secara rinci, setidaknya mampu memahami pembagian peran antara
berbagai bagian, melacak kemajuan dan kinerja bagus dari seluruh mesin pemerintahan.
Dengan begitu akan mampu melakukan evaluasi baik atas kemajuan maupun kemunduran
dalam program-program yang terutama menyangkut peningkatan kesejahteraan rakyat,
pemberantasan kemiskinan dan memperjuangkan pemerataan. Seperti diketahui bahwa ketiga
hal tersebut masih menjadi masalah pokok di Indonesia. Karenanya pemimpin Indonesia ke
depan mesti menyadari bahwa mereka wajib melakukan penataan birokrasi dan kelembagaan
untuk segera menggerakkan program-program, seperti:a) industrialisasi.b) penyerapan tenaga
kerja.c) penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang permanen dan
menyeluruh.[iv] d)
harmonisasi
anggaran
pusat-daerah
dan
antar-daerah.
e)infrastruktur.f)pertanian.g) kelautan.Jika mesin birokrasi yang menunjang semua itu bisa
menjalankan pembagian tugas dengan benar dan indikator keberhasilan maupun
kegagalannya yang obyektif sudah bisa ditetapkan, maka pemimpin Indonesia ke depan
dipastikan mampu mendekatkan bangsa ini untuk memenuhi cita-cita deklarasi kemerdekaan
untuk memajukan kesejahteraan umum.

1. Kepemimpinan nasional belum mampu untuk meningkatkan harkat dan martabat Bangsa
Indonesia, sehingga diperlukan berpikir sistematis secara horizontal (lintas sektoral dan
geografis) sekaligus bersifat vertikal (merentang dari sistem global kompleks yang dominan,
negara dan pada akhirnya sampai ke tingkat individu) dalam gerak yang dinamik dan nonlinear. Dalam hal ini memerlukan strategi nasional yang menggabungkan segenap kapasitas/
kemampuan bangsa, di masa damai maupun di masa perang, dalam mencapai kepentingan
dan tujuan nasional.
2. Dalam mencapai tujuan dan kepentingan nasional Indonesia diperlukan pemimpin yang
mampu: menyusun arah strategi pemenangan politik dan komunikasi politik untuk
membangun citra politik; menjadi the living example dari pelayanan, integritas serta
keberanian untuk melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945; dan memiliki kecakapan
dalam membangun kinerja untuk memroduksi kebijakan publik.
[i] Alfan Alfian. (2009). Menjadi Pemimpin Politik. Jakarta: Gramedia.
[ii] Herry B. Priyono. (2008). Mencari Pemimpin Republik. Jakarta: Kompas.
[iii] Barnes, J.A. (2007). John F. Kennedy on Leadership. Jakarta: BIP kelompok Gramedia.
[iv] UU no. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Anda mungkin juga menyukai