Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

LATAR BELAKANG
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang

ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam, nyerio otot, dan/ atau nyeri sendi
yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemorragik. Pada
demam berdarah (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock sindrom) adalah demam berdarah yang ditandai oleh renjatan/shock. (Hadinegoro,
2004).
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito
borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness,
demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat
yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS). (Setiabudi, 2005).
Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh
di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur, Asia dan Australia dan pada
beberapa pulau di Samudra India, pasifik selatan dan tengah serta Karibia. Dengue Fever telah
meningkat sepanjang 40 tahun, dan pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang
secara potensialberesiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun, diperkirakan terdapat 20
juta kasus infeksi dengue, mengakibatkankira-kira 24 juta kematian. (Sungkar,2002).
Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health
Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan
kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan
pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007). (Asih,
1998).
1

Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakan endemi infeksi
dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara di seluruh dunia. World Health
Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar penduduk berisiko menderita infeksi
dengue. Setiap tahunnya dilaporkan terjadi 100 juta kasus demam dengue dan setengah juta
kasus demam berdarah dengue terjadi di seluruh dunia dan 90% penderita demam berdarah
dengue ini adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun. Walaupun demikian tidaklah benar jika
dikatakan DD/DBD adalah penyakit pada anak, pada saat kejadian luar biasa (KLB) tahun 2004
di enam rumah sakit di DKI Jakarta tercatat lebih dari 75% kasus DD/DBD adalah dewasa.
Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami penurunan dan saat ini
berada dibawah 1%, walaupun di beberapa negara masih diatas 4% akibat penanganan yang
terlambat. (Setiabudi, 2005).

Gambar 1. Insiden rata-rata setiap propinsi saat terjadi KLB Dengue tahun 2004
Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus, famili Flaviviridae.
DBD ditularkan ke manusia melalui peran nyamukAedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus
Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock
Syndrome (DSS) termasuk dalam grupB Arthropod borneVirus(Arbovirosis) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus,famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu:
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.Keempat jenis seroptipe virus dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia.Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat. (Harikushartono, 2002).
Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut
tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak yang
2

lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody dependent enhancement
(ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi serotipe kedua. (Setiabudi,
2005).
Mengingat infeksi dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di
Indonesia maka seharusnya tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan.
Menegakkan diagnosis DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun
pemeriksaan diagnostik yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh
sebab

itu

perlu

dilakukan

pengawasan

berkala

baik

klinis

maupun

laboratoris.

(Hadinegoro,2004).

1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan laporan kasus ini ada 2, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum: mengetahui cara mendiagnosa dan penangganan kasus pasien DHF
2. Tujuan khusus: Untuk menyelesaikan case report dari kepaniteraan klinik di SMF Ilmu
Kesehatan Anak RSUD dr. Moh Saleh Probolinggo

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

DEFINISI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh

virus Dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue. Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah
sebagai berikut: (Oppenheim J, 1995).

Gambar 2. Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut WHO 2011.


1. Demam tidak terdiferensiasi. Adalah infeksi dengue primer (yaitu infeksi dengue pertama
kalinya), gejala yang timbul adalah demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
infeksi virus lainnya. Ruam makulo popular dapat menyertai demam atau mungkin muncul
selama penurunan suhu badan sampai normal. Umumnya disertai gangguan pencernaan dan
pernapasan bagian atas. (Oppenheim J, 1995).
2. Demam dengue (DD) paling sering terjadi pada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Hal ini
umumnya merupakan penyakit demam akut dan kadang-kadang demam biphasic dengan sakit
kepala parah,mialgia, arthralgia, ruam, leukopenia dan trombositopenia. Pada DD bisa
menjadi penyakit melumpuhkan dengan sakit kepala parah, nyeri otot, sendi dan tulang,

terutama pada orang dewasa. Kadang-kadang terjadi perdarahan yang tidak biasa seperti
pendarahan gastrointestinal, hypermenorrhea dan epistaksis masif. (Oppenheim J, 1995).
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan).Demam berdarah dengue (DBD) lebih sering terjadi pada
anak kurang dari 15 tahun di daerah hiperendemik, berkaitan dengan infeksi dengue berulang.
DBD ditandai dengan onset akut dari demam tinggi dan berhubungan dengan tanda-tanda dan
gejala yang mirip dengan DD pada fase awal. Ada diatesis hemoragik umum seperti uji
tourniquet positif, petechiae, hematom dan perdarahan gastrointestinal sering terjadi pada
kasus berat. Pada akhir dari fase demam, ada kecenderungan untuk berkembang menjadi syok
hipovolemik (dengue shock syndrome) akibat kebocoran plasma. Kehadiran tanda-tanda awal
sebelumnya seperti muntah terus-menerus, sakit perut, lesu atau gelisah, atau lekas marah dan
oliguria gejala khas untuk intervensi mencegah syok.Trombositopenia dan meningkatnya
hematokrit / hemokonsentrasiadalah gejala sebelum syok. (Oppenheim J, 1995).
4. Expanded dengue syndrome. Manifestasi yang tidak lazim dengan keterlibatan organ vital
seperti hati, otak, ginjal dan atau jantung yang terkait dengan infeksi dengue yang dapat pula
terjadi dengan tidak adanya bukti kebocoran plasma. Kebanyakan pasien DBD yang memiliki
manifestasitidak lazim adalah hasil dari komplikasi syok yang berkepanjangan dengan gagal
organ atau pasien dengan penyakit penyerta (co-infection). (Oppenheim J, 1995).
Para pakar mengemukakan beberapa alasan mengapa klasifikasi WHO 1997 harus
direvisi. Pertama, saat ini infeksi telah menyebar ke banyak negara. Kedua infeksi dengue
mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas, kadangkala sulit diramalkan baik secara klinis
maupun prognosisnya. Walaupun infeksi sembuh dengan sendirinya, adanya perembesan plasma
dan perdarahan dapat mengakibatkan akibat berat dan fatal. Para pakar kesulitan untuk
membedakan dengue ringan dan berat. Ketiga diperlukan triase klasifikasi yang lebih luas dan
longgar untuk penegakan diagnosis sedini mungkin dan tatalaksana saat terjadi KLB. Keempat
kesulitan untuk pengelompokan apabila ditemukan dengue berat karena tidak terdapat dalam
klasifikasi WHO 1997. Akhirnya terbentuklah klasifikasi WHO 2009.

Gambar 3. Klasifikasi klinis infeksi dengue


Namun pada klasifikasi spektrum klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok
DBD/DSS dengan kelompok DD. Lalu klasifikasi ini terlalu luas sehingga menyebabkan
overdiagnose, namun diakui perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD, yaitu expanded
dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy dan unusual manifestations.
Berdasarkan hal tersebut maka dibuat revisi dengan klasifikasi hampir sama klasifikasi
WHO1997, namun kelompok infeksi dengue simtomatik ditambah dengan expanded syndrome
dengue. (Oppenheim J, 1995).
2.2

EPIDERMIOLOGI
Epidemic sering terjadi di Americas, Europe, Australia, dan Asia hingga awal abad 20.

Sekarang demam dengue endemic pada Asia Tropis, Kepulauan di Asia Pasifik, Australia bagian
utara, Afrika Tropis, Karibia, Amerika selatan dan Amerika tengah. Demam dengue sering terjadi
pada orang yang bepergian ke daerah ini. Pada daerah endemic dengue, orang dewasa seringkali
menjadi imun, sehingga anak-anak dan pendatang lebih rentan untuk terkena infeksi virus ini.
(Kliegman,2007).
6

Gambar 4. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.

Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes aegyptidan
epidemic dengue
Pada tahun 2003, delapan negara (Bangladesh, India, Indonesia, Maladewa, Myanmar,
Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste) melaporkan adanya kasus dengue. Epidemic dengue
adalah masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan
Timor Leste yang beriklim tropis dan berada di daerah ekuator dimana Aedes aegypti
berkembang biak baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Di Negara ini dengue merupakan
penyebab rawat inap dan kematian tertinggi pada anak-anak. (WHO,2009).
DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan beberapa
serotype.Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS paling banyak terjadi
pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS paling
tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi virus
dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi penyakit
biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu survival nyamuk
dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat. (Suhendro, 2006).
Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan Myanmar,
telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan Case Fatality Rate
sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di daerah perkotaan,
150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua negara) dengan lebih
7

dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat dengan Case Fatality Rate
sebesar 1%. (Asih, 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana dan
tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4)
Peningkatan sarana transportasi. (Hadinegoro,2004).
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain
status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)
virus dengue, dan kondisi geografis setempat. (Hadinegoro,2004).
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir.
Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang
endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32(97%)provinsi dan 382 (77%)
kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada
laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968
hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Peningkatan dan penyebaran kasus
DBD tersebut kemungkinan disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan
wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta faktor
epidemiologi lainnya yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut. (Hadinegoro,2004).

Gambar 5. AI DBD per 100.000 Penduduk Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2009.

Gambar 6. Lima provinsi tertinggi Angka Kematian DBD per 100.000 Penduduk di Indonesia

Tahun 2009
Provinsi dengan angka kematian (AK) tertinggi pada umumnya berbeda dengan provinsi
dengan AI tertinggi (AI).Hal ini berarti provinsi dengan AI tinggibelum tentu juga menjadi
provinsi dengan AK tinggi.Pada Gambar di atas terlihat semua provinsi dengan AK tertinggi
adalahprovinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan provinsi dengan AI tertinggi
umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK rendah di pulau Jawa dan Bali bila dibandingkan dengan
di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan medis dan akses kepelayanan kesehatan
lebih baik, serta tingkat pengetahuan masyarakat tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih
tinggi. Oleh karena itu upaya promosi kesehatan dan peningkatan akses dan pelayanan medis
perlu difokuskan pada daerah di luar pulau Jawa dan Bali. (Hadinegoro,2004).
2.3

ETIOLOGI
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm

dan mengandung RNA rantai tunggal.

Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-

1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. (Setiabudi, 2005).


Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty
merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti Aedes
9

albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang
ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty. (WHO,2009)

Gambar 7. Profil nyamuk Aedes dibandingkan nyamuk anopheles dan culex


Keempatnya ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 serotipe terbanyak. Infeksi salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan
antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue
yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe
ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan
dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat.Kerentanan manusia tergantung
pada sistem imun dan genetik predisposition. (Harikushartono,2002).

10

2.4

VEKTOR PENULAR dan CARA PENULARAN


Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu

manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk berasal dari family Stegomyia. Nyamuk ini terutama terdapat di
daerah tropis dan subtropis. Nyamuk berkembang biak di tempat penampungan air bersih yang
tidak berhubungan dengan tanah. Virus dengue juga ditemukan pada nyamuk Aedes albopictus
yang berkembang biak dia air yang terperangkap diantara tumbuhan. (Harikushartono,2002).
Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut
dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan
transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan
penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah
demam timbul. (Harikushartono,2002).
2.5
2.5.1

PATOGENESIS
Demam Dengue
Walaupun Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue( DBD) disebabkan oleh

virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan
klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu
disebabkan karena kebocoran plasma

yang diduga karena proses imunologi. Pada demam

dengue hal ini tidak terjadi. (Suhendro, 2006)


Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus.
Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera
11

terjadi viremia selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas
mulai. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan memrosesnya sehingga
makrofag menjadi APC(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan
mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. THelper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit
virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah
dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.
(Suhendro, 2006).
Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya
gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan. (Suhendro, 2006).
2.5.2

DBD
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau

Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar, endotel
pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian
menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini.
Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer. Virus DEN mampu
bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai
dengan menempelnya virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel,
genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun
komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.
Proses perkembanganbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel. Semua flavivirus memiliki
kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan cross reaction atau reaksi silang
pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan.
Kesulitan ini dapat terjadi diantara keempat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada cross
protective terhadap serotipe virus yang lain. Secara in vitro antibodi terhadap virus DEN
mempunyai 4 fungsi biologis: netralisasi virus; sitolisis komplemen; Antibody Dependent Cellmediated Cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement. (Suhendro, 2006).
12

Virion dari virus DEN ekstraseluler terdiri atas protein C (capsid), M (membran) dan E
(envelope), sedang virus intraseluler mempunyai protein pre-membran atau pre-M. Glikoprotein
E merupakan epitop penting karena : mampu membangkitkan antibodi spesifik untuk proses
netralisasi, mempunyai aktifitas hemaglutinin, berperan dalam proses absorbsi pada permukaan
sel, (bindingreceptor), mempunyai fungsi biologis antara lain untuk fusi membran dan perakitan
virion. Antibodi memiliki aktifitas netralisasi dan mengenali protein E yang berperan sebagai
epitop yang memiliki serotipe spesifik, serotipe-cross reaktif atau flavivirus-cross reaktif.
Antibodi netralisasi ini memberikan proteksi terhadap infeksi virus DEN. Antibodi monoclonal
terhadap NS1 dari komplemen virus DEN dan antibodi poliklonal yang ditimbulkan dari
imunisasi dengan NS1 mengakibatkan lisis sel yang terinfeksi virus DEN. Antibodi terhadap
virus DEN secara in vivo dapat berperan pada dua hal yang berbeda : (Suhendro, 2006).
a. Antibodi netralisasi atau neutralizing antibodies memiliki serotipe spesifik yang dapat
mencegah infeksi virus.
b. Antibodi non netralising serotipe memiliki peran cross-reaktif dan dapat meningkatkan
infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS.

Gambar 8. Antibody Dependent Enhancement (ADE)


Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah
hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infectio

theory) dan hipotesis immune

enhancement. Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,1997, sebagai
13

akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi
IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya
angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang
selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini
terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam
rongga serosa. (Wang S,1995).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa
mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar
untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari
membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga
keadaan

mengakibatkan
hipovolemia

dan syok. (Wang S,

1995).

Gambar 9. Secondary heterologous dengue infection


Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection). (Hadinegoro, 2001).
14

Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi


primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis
virus tersebut untuk jangka waktu yang lama. Pengertian ini akan lebih jelas bila dikemukakan
sebagai berikut: Seseorang yang pernah mendapat infeksi primer virus dengue, akan mempunyai
antibody yang dapat menetralisasi yang sama (homologous). (Hadinegoro, 2001).

Gambar 10. Antibodi serotipe virus dengue (tidak infeksius)


Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang
lain, maka terjadi infeksi yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan urAIan berikut: Pada
infeksi selanjutnya, antibody heterologous yang telah terbentuk dari infeksi primer akan
membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue baru dari serotipe berbeda; namun tidak dapat
dinetralisasi virus baru bahkan membentuk kompleks yang infeksius. (Wang S, 1995).

Gambar 11. Antibodi serotipe virus dengue (tidak infeksius)


15

Akibat adanya infeksi sekunder oleh virus yang heterolog (virus dengan serotipe lain atau
virus lain) karena adanya non neutralising antibodi maka partikel virus DEN dan molekul
antibodi IgG membentuk kompleks virus-antibodi dan ikatan antara kompleks tersebut dengan
reseptor Fc gama pada sel melalui bagian Fc dari IgG menimbulkan peningkatan (enhancement)
infeksi virus DEN. Kompleks virus antibodi meliputi sel makrofag yang beredar dan antibodi
tersebut akan bersifat opsonisasi, internalisasi sehingga makrofag mudah terinfeksi sehingga
akan teraktivasi dan akan memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF alpha dan juga Platelet Activating
Faktor (PAF). Karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dapat di neutralisasi tetapi
bebas bereplikasi di dalam makrofag; informasi ini akan lebih jelas bila diurAIkan dalam betuk
gambar berikut: (Wang S, 1995).

Gambar 11. Antibodi serotipe virus dengue


TNF alpha baik yang terangsang INF gama maupun dari makrofag teraktivasi antigen
antibody kompleks, dan selanjutnya akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh
darah yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas, dimana hal tersebut akan mengakibatkan
syok. Virus-Ab kompleks (kompleks imun) yang terbentuk akan merangsang komplemen, yang
farmakologis cepat dan pendek. Bahan ini bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga
menimbulkan kebocoran plasma (syok hipovolemik) dan perdarahan. (Wang S, 1995).

16

Gambar 12. Teori Enhacing Antibody


Pada anak umur dibawah 2 tahun, yang lahir dari ibu dengan riwayat pernah terinfeksi
virus DEN, dimana terjadi infeksi virus dari ibu ke anak maka dalam tubuh anak tersebut telah
terjadi Non Neutralizing Antibodies akibat adanya infeksi yang persisten, sehingga infeksi
baru pertama kali sudah terjadi proses Enhancing yang akan memacu makrofag sehingga
mudah terinfeksi dan teraktivasi dan akan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.
Dimana bahan-bahan mediator tersebut akan mempengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh
darah dan system hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Gambar 13. Patogenesis Pendarahan pada DBD (WHO, 2009)


17

2.6 GEJALA KLINIS

Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. (Hadinegoro, 2004)

Gambar 14. Siklus transmisi demam dengue/ demam berdarah dengue


Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu : (Suhendro, 2006).
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS) (Expanded dengue)

18

Bagan 1
Spectrum Klinis Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue

Asimptomatik

Simptomatik

Demam tidak spesifik

Demam dengue

Perdarahan (-)

Perdarahan (+)

Syok (-)

Syok (+)
(SSD)

Undifferentiated Fever
Pada bayi, anak dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama kali mungkin
akan berkembang gejala yang tidak bisa dibedakan dari infeksi virus lainnya. Bercak
maculopapular biasanya mengiringi demam. Biasanya juga muncul gejala saluran pernafasan
atas dan gejala gastrointestinal. (Soedarmo, 2002).
Demam Dengue
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih manifestasi ;
nyeri kepala, nyeri retro-orbital, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, ruam kulit,
manifestasi perdarahan dan leukopenia. Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias
yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam. (Soedarmo, 2002).
-

Demam : gejala demam tinggi mendadak dengan suhu tubuh biasanya mencapai 39 C
sampai 40 C dan demam bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.

Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak merah yang menyebar dapat terlihat pada
wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam dan kemungkinan
19

makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang muncul pada hari ke 3 atau
ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan
berlangsung 3-4 hari kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya merah halus
pada hari ke 6 atau 7 (terutama didaerah kaki, telapak kaki dan tangan). Kadang juga
ditemukan petekie
Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi fotofoi,
berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal dilaporkan membesar pada 6777% kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang patognomonik. Beberapa bentuk
perdarahan lain dapat menyertai. (Soedarmo, 2002).
Masa penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa.
Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan
seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Pada
penderita Demam Dengue tidak dijumpai kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD
dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan
asites. (Soedarmo, 2002).
Pada pemeriksaan laboratorium selama DD akut ialah sebagai berikut
-

Hitung sel darah putih biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir

Hitung trombosit normal, demikian pula komponen lain dalam mekanisme pembekuaan
darah. Pada beberapa epidemi biasanya terjadi trombositopenia

Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar enzim hati mungkin meningkat

Demam Berdarah Dengue


Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan plasma.
Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan peningkatan
hematokrit. Pada awal perjalanan penyakit, DBD menyerupai kasus DD. Kasus DBD ditandai 4
manifestasi klinis yaitu : (Suhendro,2006).
-

Demam tinggi

Perdarahan terutama perdarahan kulit


20

Hepatomegali

Kegagalan peredaran darah (circulatory failure).


Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari, disertai

dengan muka kemerahan. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tornikuet positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus tersebar di anggota gerak, muka,
aksila sering kali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang
dijumpai sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul
setelah renjatan tidak dapat diatasi. (Suhendro,2006).
Hati biasanya teraba sejak awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2-4 cm dibawah
tepi rusuk kanan. Pembesaran hati tidak berhubungan dengan keparahan penyakit tetapi
hepatomegali sering ditemukan dalam kasus-kasus syok. Nyeri tekan hati terasa tetapi biasanya
tidak ikterik. (WHO,2009).
Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
Demam Dengue

Gejala Klinis

Demam Berdarah

++

Nyeri Kepala

Dengue
+

+++

Muntah

++

Mual

++

Nyeri Otot

++

Ruam Kulit

++

Diare

Batuk

Pilek

++

Limfadenopati

Kejang

Kesadaran menurun

++

Obstipasi

Uji tornikuet positif

++

++++

Petekie

+++

Perdarahan saluran cerna

+
21

++

Hepatomegali

+++

Nyeri perut

+++

++

Trombositopenia

++++

Syok

+++

Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik


Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
o Uji bendung positif
o Petekie, ekimosis, atau purpura
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)
o Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya
o Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau hipoproteinemi.

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat:


Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan


adalah uji tourniquet.

Derajat II

Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan


lain.

Derajat III

Didapatkan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.

22

Gambar 15. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)


Pada pemeriksaan laboratoriun dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang hingga
berat disertai hemokonsentrasi. (WHO,2009).
-

Penurunan jumlah trombosit <100.000/l biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8
sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.

Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai
hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu
turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan.

Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan
limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.

Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan.

Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen,


protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD.

Fungsi trombosit juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan
pada syok berat.
23

Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Beratringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang
mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.

Gambar 16. Kurva suhu pada demam berdarah dengue

Dengue Shock Syndrome/ Expanded dengue


Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke-3 sampai hari
sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi <20
mmHg dan hipotensi dan pasien tampak gelisah. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun
sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok
biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat,
syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,
perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan
yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia,
dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan
kembalinya nafsu makan. (Hadinegoro,2004).
Penyulit SSD: penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan
terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti
ensefalopati dan gagal hati. (Hadinegoro,2004).

24

Gambar 17. Kelainan utama pada DBD, gambaran skematis kebocoran plasma pada DBD
2.7

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3
sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai
hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari
peningkatan nilai hematokrit. (Soedarmo,2002).
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan
nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat
suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat
dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan
pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan
25

fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT
memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. (Soedarmo, 2002).
2. Pemeriksaan Radiologis
2.1 Pemeriksaan rontgen dada
Pemeriksaan dengan foto paru dapat menunjukan adanya efusi pleura dan
pengalaman menunjukkan bahwa posisi lateral dekubitus kanan lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring. (Samsi,2000).

Gambar 18. Indeks efusi pleura akibat infeksi virus dengue

2.2. Pemeriksaan Ultrasonografis


Pemeriksaan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan dan yang
penting tidak menggunakan sistim pengion (sinar X) dan dapat diperiksa sekaligus
berbagai organ dalam perut. Adanya ascites dan cairan pleura pada pemeriksaan USG
sangat membantu dalam penatalaksanaan DBD. Pemeriksaan USG dapat pula dipakai
sebagai alat diagnostik bantu untuk meramalkan kemungkinan penyakit yang lebih berat
misalnya dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan penebalan pankreas
dimana tebalnya dinding kedua organ tersebut berbeda bermakna pada DBD I-II
dibanding DBD III-IV. (Samsi,2000).
3. Pemeriksaan Serologi.
Ada beberapa uji serologi yang dapat dilakukan yaitu : (Soegijanto, 2003).
-

Uji hambatan hemaglitinasi

Uji Netralisasi

Uji fiksasi komplemen

Uji Hemadsorpsi Immunosorben


26

Uji Elisa Anti Dengue Ig M

Tes Dengue Blot.

4. Pemeriksaan rapid sero diagnostic test


Uji serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat pula
menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif palsu pada
hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig G atau Ig G saja.
Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M lalu meningkat dan
mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang pada hari sakit ke 30-60.
Peningkatan Ig M akan diikuti peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada hari ke 15
kemudian menurun dalam kadar rendah seumur hidup. Tetapi pada infeksi sekunder akan
memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya naik dengan cepat sedangkan Ig M menyusul
kemudian. Apabila tidak terdeteksi pada hari demam ke 2-3 pada klinis mencurigakan
maka pemeriksaan harus diulang 4-6 hari lagi. (Soegijanto, 2003).

Gambar 19. Respon imun terhadap infeksi dengue


Respon imun terhadap infeksi dengue

Antibodi Ig M :
-

Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi

Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca infeksi primer
singkat

Antibodi Ig G :
-

Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala

Meningkat pada infeksi primer


27

Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun


Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig M

anti dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus didiagnosis
peningkatan Ig G anti dengue. (Soegijanto, 2003).

Gambar 20. Perjalanan penyakit infeksi virus dengue


2.8

DIAGNOSA
Dua gejala klinis pertama dan 2 gejala laboratorium dianggap cukup untuk menegakkan

diagnosis kerja DBD. (WHO,2009).


2.9

DIAGNOSA BANDING

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
infeksi parasit seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya,
leptospirosis, dam malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi
dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain. (WHO,2009).
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya (DC). Pada DC
biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza.
Bila dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa
demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi
konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie
dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok. (WHO,2009).
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi, misalnya
sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien tampak sakit berat,
demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat
28

leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis. (WHO,2009).
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat
menghilang (pada ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase
penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
(WHO,2009).
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukimia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan pasien sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukimia. pada pemeriksaan darah
ditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin dan trombosit menurun). Pada pasien dengan
perdarahan hebat, pemeriksaan foto toraks dan atau kadar protein dapat membantu
menegakkan diagnosis. Pada DBD ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda
perembesan plasma. (WHO,2009).
2.10

PENATALAKSANAAN

1) kasus DBD yang memungkinkan untuk berobat jalan,


2) kasus DBD derajat I & II,
3) kasus DBD derajat III & IV, dan
4) kasus DBD dengan penyulit.

29

1. Kasus DBD yang diperkenankan berobat jalan


Bila penderita hanya mengeluh panas, tetapi keingingan makan dan minum masih baik.
Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan memberikan obat panas
paracetamol 10 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam diulang jika simptom panas masih nyata diatas
38,5 0C. Obat panas salisilat tidak dianjurkan karena mempunyai resiko terjadinya penyulit
perdarahan dan asidosis. Sebagian besar kasus DBD yang berobat jalan ini adalah kasus DBD
yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama dan hari kedua tanpa menunjukkan penyulit
lainnya. (Harikushartono, 2002).
Apabila penderita DBD ini menunjukkan manifestasi penyulit hipertermi dan konvulsi
sebaiknya kasus ini dianjurkan di rawat inap. (Harikushartono, 2002).
2. Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai
resiko terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita disarankan
diinfus cairan kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3. (Harikushartono, 2002).
Pada saat fase panas penderita dianjurkan banyak minum air buah atau oralit yang biasa
dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga normal,
merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan ssebaiknya penderita dirawat di ruang
observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam. (Harikushartono, 2002).
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut
dan produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tandatanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera
memperoleh cairan pengganti. (Harikushartono, 2002).
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang
digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan
harus hati-hati. Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 203 jam pertama
dan selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi.
Pemeriksaan hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan
setiap saat untuk menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang
cuykup dan cegah pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
30

(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3

Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup
untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam),
pemberian cairan yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura
dan asites), menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.
(Harikushartono, 2002).
Jenis Cairan
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi (faali), dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
Plasma
Kebutuhan Cairan
Tabel 2. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg)

Jumlah cairan ml/kg BB per hari

<7

220

7 11

165

12 18

132

> 18

88

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan
pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada
31

anak yang gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama.
Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 3. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg)

Jumlah cairan (ml)

10

100 per kg BB

10 20

1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)

> 20

1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)

3. Kasus DBD derajat III & IV


Dengue Shock Syndrome (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang
membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu
dipikirkan kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong
terjadinya DIC yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar
diatasi. (Harikushartono, 2002).
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer
Laktat, 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer
Asetat dan larutan normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang
sangat berat (derajat IV) dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x). (Harikushartono, 2002).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran
dengan berat molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan
dengan jumlah 10-20 ml/kg/jam. (Harikushartono, 2002).
Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan
plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang
ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal
penting untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan

32

koloidal diindikasikan pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah
memperoleh cairan kristaloid yang cukup banyak. (Harikushartono, 2002).
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali
(5% dekstrose NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di
dalam 1/3 larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar
natrium dalam darah normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan
tanda vital stabil dan normal. Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal
cukup baik. Nafsu makan yang meningkat menjadi normal dan produksi urine yang cukup
merupakan tanda penyembuhan. (Harikushartono, 2002).
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan
cairan. Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari
sesudahnya. Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal
jantung dan edema baru. Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan
diintepretasikan sebagai perdarahan dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20
mmHg) dan produksi urine cukup dengan tanda-tanda vital yang baik. (Harikushartono, 2002).
Koreksi Elektrolit dan Kelainan Metabolik
Pada kasus yang berat, hiponatremia dan asidosis metabolik sering dijumpai, oleh karena
itu kadar elektrolit dan gas dalam darah sebaiknya ditentukan secara teratur terutama pada
kasus dengan renjatan yang berulang. Kadar kalium dalam serum kasus yang berat biasanya
rendah, terutama kasus yang memperoleh plasma dan darah yang cukup banyak. Kadangakadang terjadi hipoglemia. (Harikushartono, 2002).
Obat Penenang
Pada beberapa kasus obat penenang memang dibutuhkan terutama pada kasus yang
sangat gelisah. Obat yang hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, chloral hidrat oral atau rektal
dianjurkan dengan dosis 12,5-50 mg/kg (tetapi jangan lebih dari 1 jam) digunakan sebagai
satu macam obat hipnotik. Di RSUD Dr. Soetomo digunakan valium 0,3 0,5 mg/kg/BB/1
kali

(bila

tidak

terjadi

gangguan

pernapasan)

atau

Largactil

mg/kgBB/kali.

(Harikushartono, 2002).
33

Terapi Oksigen
Semua penderita dengan renjatan sebaiknya diberikan oksigen. (Harikushartono, 2002).
Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena
diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk
mengganti volume masa sel darah merah agar menjadi normal. (Harikushartono, 2002).
Kelainan Ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam sed
angkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furasemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga
belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya. (Harikushartono, 2002).
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
(Harikushartono, 2002).

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih
sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis pasien stabil

Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.

Kriteria Memulangkan Pasien


34

Pasien dapat dipulangkan, apabila: (Harikushartono, 2002).

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perbaikan secara klinis

Hematokrit stabil

Tiga hari setelah syok teratasi

Jumlah trombosit > 50.000/l

Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

4. Kasus DBD dengan penyulit


I.

Sepsis

II.

DIC

III.

Ensefalopati

I. Sepsis
Patogenesis sepsis masih belum jelas benar, kaskade inflamasi umumnya sangat
dipengaruhi oleh sitokin atau mediator inflamasi. Mediator ini bertanggung jawab terhadap
kerusakan endotel kapiler. Diyakini ada mekanisme yang akan menghambat kerja dari
mediator tersebut sehingga terjadi keseimbangan antara sel pro inflamsi dan anti inflamasi.
Bila reaksi tubuh tersebut berlebihan maka keseimbangan tadi akan terganggu dan tubuh
tidak dapat mengatasi hal tersebut. (Harikushartono, 2002).
Endotoksin yang masuk sirkulasi akan memacu makrofag untuk mengeluarkan
mediator, misalnya TNF dan interleukin. Sitokin pro inflamasi ini merangsang terjadinya
adhesi pada endotel vaskular, aktivasi faktor pembekuan darah dan terbentuknya mediatormediator lain seperti PAF, protease, prostaglandin, lekotrin dan juga dibebaskannya sitokin
anti inflamasi seperti Interleukin-6 dan Interleukin-1. Melalui proses ini juga akan dirangsang
sistem komplemen dan akan mengakibatkan pula netrofil teraktivasi dan keluarnya radikal
bebas yang toksik terhadap sel. Mediator tersebut juga akan menyebabkan depresi miokard
terganggu sehingga dapat menimbulkan renjatan. Pada akhirnya mediator-mediator tersebut
35

juga akan mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler sehingga terjadi kaskade sepsis
dengan akibat terjadi kegagalan multi organ dan kematian. (Harikushartono, 2002).
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih dari manifestasi
respons inflamasi sistemik dan kecurigaaan terdaptnya infeksi. Paru adalah organ yang paling
sering ditemukan infeksi, diikuti oleh abdomen dan saluran kemih; tetapi pada 20-30%
penderita, lokasi yang pasti dan dapat menyebabkan

terjadinya infeksi tidak dapat

ditentukan. Pada sepsis tidak selalu pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan kuman positif.
Kultur darah positif hanya terdapat pada kurang lebih 30%. (Harikushartono, 2002).
Penderita yang termasuk rentan terhadap sepsis : usia lanjut, malnutrisi,
imunodefisiensi, kanker, penyakit kronik, trauma, luka bakar, diabetes melitus, prosedur
invasif, pemakaian imunosupresi dan transplantasi. (Harikushartono, 2002).
Beberapa perkembangan pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis dan
menilai prognosis adalah pemeriksaan prokalsitonin, laktat, lipopolisakarida (limulus) dan
jamur (glukan). (Harikushartono, 2002).
Penatalaksanaan sepsis mempunyai tujuan utama menghilangkan sumber infeksi,
memperbaiki dan mengembalikan perfusi jaringan, memperbaiki dan mempertahankan
fungsi ventrikel dan upaya suportif lain. Penanganan renjatan septik dapat dibagi tiga
kategori yaitu : 1) baku, 2) kontroversial, dan 3) masa depan (emerging). (Harikushartono,
2002).
1) Pengobatan Baku
a. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan lini pertama dari penatalaksanaan sepsis.
Resusitasi cairan ini dapat menggunakan cairan kristaloid atau koloid. Sampai saat
ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik
dibandingkan dari yang lain. Kristaloid membutuhkan jumlah cairan yang lebih
banyak (dua sampai tiga kali) dibandingkan koloid dalam memberikan efek
hemodinamik dan dapat menyebabkan edema perifer.

36

Pada tahap pertama dapat diberikan 10-20 ml/Kg BB/cairan kristaloid atau
koloid dalam 30 menit. Diharapkan tekanan darah dapat mencapai lebih dari 90
mmHg dan sebaiknya pemantauan dilakukan dengan tekanan vena central (CVP).
Apabila tekanan vena sentral sudah mencapai 12-15 mmHg, tetapi keadaan belum
membaik maka pemberian cairan harus hati-hati karena dapat terjadi edema paru.
Pada saat ini dipertimbangkan untuk memasang kateter arteri pulmonalis
(swangnz catheter).
b. Osigenasi dan Bantuan Ventilasi
Oksigen harus diberikan pada penderita sepsis terutama renjatan septik.
Bila renjatan spetik menetap selama 24-48 jam perlu dipertimbangkan intubasi
endrotakel dan ventilasi mekanik. Pada resusitasi cairan perlu dipantau hati-hati
karena dapat menyebabkan edema paru. Pada sindrom gagal napas (ARDS)
sebagai komplikasi dari sepsis diberikan bantuan ventilasi dengan PEEP (Positive
End Expiratory Pressure) untuk mencegah kolaps alveoli.
c. Antibiotika
Semua sumber infeksi harus dihilangkan. Pemilihan antibiotika tidak perlu
menunggu hasil bikan kuman dan pada awalnya diberikan antibiotika spektrum
luas. Pemilihan antibiotika ditentukan oleh lokasi dan hasil yang terbaik secara
empirik dari dugaan kuman penyebab (best-guess). Bila sumber infeksi tak jelas,
semua dugaan bakteri yang dapat menimbulkan sepsis harus dilenyapkan : bakteri
gram negatif, gram positif, anaerob, dan pada hal tertentu dipikirkan pula jamur
sistemik.
Panduan pemilihan antibiotika pada sepsis (Bartlett, modifikasi) :
a. Pengobatan awal aminoglikosid ditambah salah satu sefalosporin generasi ke-3
(sefitriaxsone,

sefoperazon

atau

seftazidim),

Tikarsilin-Asam

Klavunalat,

imipenem-Cilastatin
b. Bila dicurigai MRSA (Methicillin Resistance Staphylococcus Aureus) : ditambah
vankomisin, rifampisin
37

c. Infeksi intra abdominal : ditambah metronidazole atau klindamisin untuk kuman


anaerob
d. Infeksi saluran kemih
e. Netropenia : monoterapi dengan seftazidin atau imipenem / meropenem
d. Vasoaktif dan Inotropik
Vasoaktif dan inotropik diberikan pada renjatan septik setelah resusitasi
cairan adekuat. Nonadrenalin (norepinefrin) dosis 0,1 2,0 g/kgBB/mm dan
dopamin dosis 2 30 g/kgBB/mm dapat diberikan dan perlu dipertimbangkan
ditambah dengan dobutamin dosis 2 20 g/kgBB/mm. Pada penderita dengan
takiaritmia noradrenalin lebih baik dibandingkan dengan dopamin, selain itu dapat
diberikan fenilefrin. Pemakaian dopamin dosis rendah tidak didapatkan bukti kuat
akan memperbaiki fungsi ginjal. Adrenalin walaupun dapat meningkatkan tekanan
darah tidak dianjurkan karena akan menyebabkan gangguan pada perfusi
splangnik dan metabolisme jaringan termasuk meningkatkan produksi asam
laktat.
e. Nutrisi
Dukungan nutrisi diperlukan pada penderita sepsis karena mempunyai
kebutuhan kalori dan protein yang tinggi. Saat ini masih terjadi perdebatan
mengenai kapan dimulai nutrisi enteral, komposisi dan jumlah yang diberikan.
Nutrisi enteral dapat ditunda untuk beberapa saat sampai keadaan stabil (misal : 12 hari), keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain dapat dipertahankan
buffer pH lambung dan mukosa usus, menghinbdari translokasi bakteri dari usus
ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi baru.
f. Bantuan Suportif Lain
Transfusi darah harus dipertimbangkan pada Hb < 8,0 g/dl dan diusahakan
dipertahankan antara 8,0 10,0 g/dl. Belum didapatkan bukti bahwa Hb > 10 g/dl
akan memperbaiki konsumsi oksigen pada penderita dengan renjatan septik. Perlu
diperhatikan bahwa resusitasi cairan akan menyebabkan hemodilusi, pemberian
38

transfusi darah merah akan meningkatkan viskositas darah yang akan mengganggu
mikrosirkulasi aliran darah pada penderita sepsis dan resiko karena transfusi seperti
reaksi transfusi dan infeksi.
Koreksi gangguan asam basa dan regulasi gula darah perlu dipertimbangkan
terutama bila terdapat gangguan asam basa yang berat dan hiperglikemia atau
hipoglikemia. Pemberian profilaksis terhadap stress ulcer dengan antagonis H 2
reseptor atau penghambat pompa proton diindikasikan pada penderita dengan resiko
tinggi seperti dalam ventilator dan tidak dapat diberikan nutrisi secara enteral.
Heparin biasa dan heparin dosis rendah dapat diberikan bila tidak terdapat kontra
indikasi untuk pencegahan terjadinya trombosis vena dalam.
2) Pengobatan Kontroversial
1. Korkosteroid
2. Nalokson
3. Anti Inflamasi Non Steroid
3) Pengobatan Masa Depan (Emerging)
a. Anti Trombin III
Anti Trombin II merupakan glikoprotein rantai tunggal dengan berat molekul
65.000 Dalton, diproduksi di hari. AT III ini merupakan penghambat proses koagulasi
yang penting. Pada sepsis kadamg terjadi penurunan kadar plasma AT III karena
konsumsi akut. Sitokin proinflamasi menyebabkan pelepasan Plasminogen Activator
Inhibitor I atau PAI-I yang merupakan penghambat fibrinolisis kuat. Pada keadaan
sepsis ini terjadi ketidakseimbangan antara faktor koagulasi dan fibrinolisis sehingga
terjadi keadaan hiperkoagulasi. Pemberian AT III akan mempertahankan kadar AT III
dan menyebabkan penurunan konsentrasi PAI-I sehingga diharapkan akan efektif
untuk memperbaiki atau mencegah gagal organ. Peranan AT III diduga mempunyai
peran juga sebagai anti sitokin dan anti aktivasi leukosit pada endotel pembuluh darah
selain efek anti trombin pada sirkulasi darah.
b. Immunoglobulin

39

Penggunaan Immunoglobulin telah dilakukan pada penderita sepsis dan


meningitis bakterial. Kalbeim melaporkan penggunaan 5 S Immunoglobulin pada 5
penderita sepsis, dimana 4 orang hidup dan 1 orang lainnya meninggal.
c. Anti Endotoksin
Penelitian terhadap antibodi monoklonal menggunakan E 5 murin, suatu IgM
pada Lipid A dilakukan terhadap 468 penderita dengan sepsis gram negatif yang
diberikan 2 mg/kg BB dalam 24 jam intravena pada 242 penderita dan 226 lainnya
plasebo. Hasil penelitian menunjukkan penurunan angka mortalitas setelah 30 hari
pada pendeita yang tidak mengalami renjatan (30% yang diberikan E 5 murin dan
43% plasebo).
d. Anti Tumor Necrosis Factor (TNF)
Penelitian awal dari Exley dkk, pada 14 penderita dengan renjatan septik yang
diberikan rekombinan anti TNF dengan dosis 0,4 10 mg/kg BB didapatkan hasil
anti TNF akan memperbaiki hasil tekanan arterial rata-rata 24 jam. Penelitian
multisenter yang besar (Intersept) didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan
bermakna pada angka mortalitas antara yang diberikan anti TNF dan plasebo. Pada
penderita dengan renjatan septik didapatkan waktu pemulihan setelah renjatan lebih
cepat pada kelompok yang diberi anti TNF dibanding plasebo.
e. Antagonis Reseptor interleukin-1
Gordon dkk, melaporkan bahwa antagonis reseptor interleukin-1 efektif dalam
menurunkan angka mortalitas setelah 28 hari pada penderita dengan sindrom sepsis
dan hal ini bergantung pada dosis yang diberikan.
f. Anti Nitric Axide (NO)
Produksi NO yang berlebihan (inducible NO) akan menyebabkan vasoplegia,
dan gangguan fungsi miokard yaitu : gangguan pada regulasi aliran darah lokal dan
melalui berbagai interaksi dengan radikal bebas akan menyebakan kerusakan sel. NO
diproduksi melalui jalur L Arginine yang membutuhkan enzim NO synthase. Saat ini
berbagai penelitian sedang dilakukan untuk menghambat terjadinya pembentukan NO
yang berlebihan.
40

II. DIC
Secara klinis, DIC seringkali menyertai proses penyakit sistemik yang berat tanda-tanda
perdarahan sering terjadi pada bekas tukusan jarum yang ditusukkan ke dalam pembuluh
darah atau sayatan pembedahan. DI kulit dapat ditemukan tanda pateki dan ekimosis.
Nekrosis jaringan dapat terjadi pada banyak organ dan terlihat tanda infark yang luas di kulit,
di jaringan sub kutan atau ginjal. Anemidisebabkan karena hemolisis yang terjadi secara
cepat sehingga terwwujud sebagai mikroangiopati hemolitik anemi. Penemuan pemeriksaan
laboratorium tidak dapat ditentukan secara nyata yang sesuai dengan alur kejadiannya.
(Harikushartono, 2002).
Faktor koagulasi II : V : VIII fibrinogen dan trombosit dikonsumsi terus seiring dengan
kejadian proses pembekuan di dalam pembuluh darah. Hal ini ditandai dengan perpanjangan
waktu protrombin, tromboplastin parsial dan trombin. Hitung sel trombosit menunjukkan
penurunan yang tajam. Pemeriksaan hapusan darah bisa tampak sel darah merah terpecahpecah, sel darah merah yang mengkerut dan sel darah merah yang bentuknya tidak teratur.
Selanjutnya munculnya peningkatan FDP (Fibrinogen Degradation Product) sebagai akibat
aktivasi mekanisme fibrinolitik. Pemeriksaan D-Dimer sama sensitif atau lebih spesifik
daripada pemeriksaan FDP. D-Dimer dibentuk dari fibrinolisis ikatan melintang pada setiap
bekuan fibrin. (Harikushartono, 2002).
Patofisiologi DIC
Karena adanya faktor-faktor etiologi dari DIC maka terjadilah pelepasan bahan-bahan
mediator yaitu zat-zat yang dapat memacu secara terus menerus sistem Protrombotik
(Koagulasi Primer + Koagulasi Sekunder) hingga terjadilah trombosis yang luas di organorgan tubuh hingga menimbulkan Multiple Organ Dysfunction (MOD) dan faktor-faktor
koagulasi (trombosit + plasma factors) akan terpakai (consumed) hingga terjadi juga
defisiensi faktor-faktor tersebut dan dapat menimbulkan perdarahan. (Harikushartono, 2002).
Mediator-mediator itu dapat langsung dilepas oleh penyakit dasarnya maupun melalui
kerusakan endotil pembuluh darah yang merupakan pusat kendali sistem hemostatis.
Faal Antitrombosis mengimbangi proses koagulasi diatas dengan memacu : (Harikushartono,
2002).

41

a. Subsistem Antikoagulasi (AK) untuk mencegah terjadinya trombus, hingga terjadi


juga konsumsi dan defisiensi faktor-faktor dalam sus-sistem ini (AT.III, prot. C & S,
dsb.)
b. Subsistem Fibrinolisis juga dipacu untuk melisis trombus yang telah terjadi hingga
menyebabkan defisiensi trombosit.
Jadi pada DIC terjadi defisiensi trombosit dan faktor-faktor koagulasi plastin (faktor VIII,
fibrinogen, dsb) yang dapat menyebabkan perdarahan disertai juga dengan defisiensi AT III.
prot C & S dan plasminogen yang dapat menyebabkan trombosis. Jadi perdarahan dan
trombosis terjadi bersama-sama. (Harikushartono, 2002).
Pengobatan
Yang penting mengatasi proses yang memacu terjadinya DIC seperti : infeksi, syok,
asidosis dan hipoxia. Jika hasil pemeriksaan darah menunjukkan kekurangan komponen
darah dan faktor-faktor pembekuan darah, maka untuk mengatasi masalah ini penderita
diinfus dengan komponen trombosit apabila penderita menunjukkan gejala trombositopenis
berat; diberikan cryoprecipitat apabila penderita menunjukkan hipofibrinogenemia dan atau
fresh frozen plasma untuk mengganti faktor-faktor koagulasi dan inhibitor natural yang lain.
(Harikushartono, 2002).
Pada beberapa penderita pengobatan primer pada penyakitnya tidak memadai atau tidak
tuntas atau pengobatan pengganti tidak efektif untuk mencegah perdarahan; apabila hal ini
terjadi. DIC dapat diobati dengan heparin untuk mencegah konsumsi faktor koagulasi yang
berlanjut. Sejak pemakaian heparin pada penderita yang mengidap kekurangan factor
pembekuan dan trombosit dapat menyebabkan perdarahan hebat, maka untuk mengatasi
masalah ini pemberian heparin biasanya dimulai bersama-sama dengan faktor pembekuan
dan trombosit. Heparin biasanya dipakai berkelanjutan, diawali dengan dosis rendah 5-10
/kg/jam. Sejak kadar anti koagulasi menjadi rendah sebagai akibat dikonsumsi pengobatan
dengan AT III memungkinkan dapat menolong dan akan mempunyai efek potenasi anti
trombotik dari heparin. Lama dan efektivitas pengobatan heparin dapat ditentukan dengan
pemeriksaan secara seri jumlah trombosit, kadar fibrinogen dan D-Dimer. Percobaan awal
pengobatan dengan protein-C konsentrat pada penderita DIC tampaknya memberikan
harapan terutama untuk purpura fulminan. Pengalaman ini bernah diberikan kepada seorang
42

anak dengan DIC yang ada hubungannya dengan purpura fulminan dan promyelositik
leukemia. Pemberian heparin terus menerus dengan dosis 10-15 /kg/jam tanpa loading dose
pernah diberikan pada penderita progranulositik leukemia. (Harikushartono, 2002).
Heparin tidak diindikasikan dan tidak efektif pada penderita septic syok, digigit ular
beracun, heatstroke, luka kepala yang luas, reaksi transfuse darah yang tidak jelas ditemukan
tanda trombosis vaskuler. (Harikushartono, 2002).
III. Tatalaksana Ensefalopati Dengue
Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah
teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3 dan jumlah
cairan harus segera dikurangi. Larutan laktat ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan
NaCl (0.9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid,
tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar
gula darah diusahakan >60 mg, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisisn dan laktulosa. Pada DBD enselopati mudah
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis
(kombinasi ampisilin 100 mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obatobat tersebut sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini dapat diganti dengan obatobat yang masih sensitive dengan kuman-kuman infeksi sekunder, seperti cefotaxime,
cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat, amoxilline+clavulanat, dan kadang-kadang dapat
dikombinasikan dengan aminoglycoside. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misalnya: antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat
dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat.
Bila perlu dilakukan transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino
rantai pendek. (Harikushartono, 2002).

43

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Bagan 2. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

44

Bagan 3. Tatalaksana DBD stadium I atau stadium II tanpa peningkatan Ht.


45

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD dengan peningkatan Ht > 20%

46

Bagan 5. Tatalaksana Kasus Sindrom Syok Dengue

47

2.11
-

PENCEGAHAN
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) (Dinkes, 2002).
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat perindukan
nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

Foging Focus dan Foging Masal (Dinkes, 2002).


d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1
bulan
f.

Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog

Gambar 21. Kegiatan foging


-

Penyelidikan Epidemiologi (Dinkes, 2002).


g. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima
laporan kasus
h. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. (Dinkes, 2002).

Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD. (Dinkes, 2002).

2.12

KOMPLIKASI
Ensefalopati, Sepsis, Edema Paru, Gagal Ginjal, Gangguan Kesadaran, dan Kejang.

(Dinkes, 2002).

48

2.13

PROGNOSIS
Prognosis dengue tergantung kepada adanya antibodi yang didapat secara pasif atau

didapat yang meningkatkan kecenderungan terjadinya demam berdarah dengue. Pada DBD
kematian terjadi pada 4050% pasien dengan syok, tetapi dengan perawatan intensif, kematian
dapat diturunkan hingga < 1%. Kemampuan bertahan berhubungan dengan terapi suportif
awal.Kadang-kadang terdapat sisa kerusakan otak yang diakibatkan oleh syok berkepanjangan
atau terjadi pendarahan intracranial. (Sungkar, 2002).

49

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Status Pasien
Identitas Pasien
Nama

: Mohammad Idris Nugroho

MR

: 191888

Umur

: 12 tahun 2 bulan

Jenis Kelamin

: Laki-laki

TLL

: 28 Juni 2002

Suku Bangsa

: Jawa

Alamat

: Jl. Mastrip gang belimbing RT 5 RW 4 Probolinggo

Nama Ibu

: Ny. Jamilatun Solikah

Tgl.Masuk IRD : 8 Agustus 2014, jam 15.40 WIB

SUBJEKTIF
Anamnesis (diberikan oleh ibu kandung)
Seorang anak laki-laki berumur 12 tahun 2 bulan datang ke IRD 8 agustus 2014 jam
15.40 dan rawat inap di ruang mawar kelas 2.
Keluhan Utama :
Demam sejak 2 hari (mulai siang tgl 7 agustus pulang sekolah).
Riwayat Penyakit Sekarang :
-

Demam sejak 2 hari, demam tinggi terus menerus, menggigil, tidak disertai keringat
banyak.
50

Sakit kepala ada, nyeri belakang bola mata tidak ada

Batuk, pilek tidak ada

Sesak (sekitar jam 3)

Mual dan muntah ada, tiap makan langsung muntah

Riwayat perdarahan gusi tidak ada

Riwayat perdarahan hidung tidak ada

Nyeri pada sendi-sendi dan anggota badan tidak ada

Bintik-bintik merah di kulit tidak ada

Nyeri di ulu hati ada

Nafsu makan dan minum menurun sejak sakit

BAK biasa

BAB berwarna coklat kehitam sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Jam 15.00 tgl 8-8-14 mata melotot keatas, tangan dan kaki kaku lama

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya
- Pernah masuk rumah sakit tapi bukan penyakit seperti sekarang
- Tidak ada riwayat alergi
- Tidak ada riwayat kejang demam
Riwayat Penyakit Keluarga :
-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini sebelumnya.

Ada riwayat demam typhoid

Riwayat Sosial :
Tetangga jarak 10 meter ada yang terkena demam berdarah
Riwayat Obat :
Sudah minum inzana tapi demam tidak turun

Riwayat Kehamilan :
51

Selama hamil ibu tidak pernah menderita penyakit yang berat, Ibu kontrol kehamilan
secara teratur ke bidan, dan ada mendapatkan imunisasi TT sebanyak 2 x, kehamilan cukup
bulan (9 bulan).
Riwayat Kelahiran :
Lahir normal, persalinan ditolong oleh dokter kandungan di rumah sakit , saat lahir bayi
langsung menangis kuat.
Riwayat Makanan dan Minuman :
Bayi

: ASI dari awal lahir sampai anak berumur 1 tahun lebih


Makanan tambahan (bubur susu, buah) mulai umur 6 bulan

Anak : Makanan utama makan nasi biasa 3 kali sehari.


Yang terdiri dari daging, ikan, telur, sayuran.
Kesan makanan dan minuman : kuantitas cukup, kualitas cukup
Riwayat Imunisasi :
BCG

: lengkap 2 bulan, scar (+)

DPT

: umur 3,4,5 bulan

Polio

: umur 0,3,4,5 bulan

Hepatitis

: umur 3,4 bulan

Campak

: umur 9 bulan

Kesan : imunisasi dasar lengkap

52

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Perkembangan Fisik

Perkembangan Mental

Tertawa

4 bulan

Miring

5 bulan

Isap Jempol (kompeng)

Gigit kuku
Sering mimpi

Tengkurap

7 bulan

Duduk

7 bulan

Mengompol

Merangkak

8 bulan

Aktif sekali

Berdiri

9 bulan

Apati

Berjalan

12 bulan

Membangkang

Gigi pertama

4 bulan

Bicara satu suku kata

10 bulan

Kesan : Pertumbuhan fisik dan mental normal


OBJEKTIF
Keadaan Umum

: cukup

Kesadaran

: Compos mentis

Frekuensi nadi

: 120 x/menit

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Frekuensi nafas

: 24 x/menit

Suhu

: 38,4 0C

53

Berat badan

: 37 kg

Tinggi badan

: 155 cm

Status Gizi
BB/TB : 80,4 %
Kesan
Kepala

: Mild malnutrition
: - Bentuk dan Ukuran dalam batas normal
- a / i / c /d : -/-/-/

Rambut

: Rambut hitam, tidak mudah rontok.

Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Telinga

: Tidak ditemukan kelainan

Hidung

: Tidak ditemukan kelainan (PCH-)

Tenggorok : Tidak ditemukan kelainan


Mulut

: Bibir kering tidak ada, lidah kotor dengan pinggir hiperemis tidak ada, tremor
tidak ada

Kulit

: Teraba hangat, pucat (-), ptekie (-).

Leher

: Tidak ditemukan kelainan (pembesaran KGB, tortikolis)

Dada

: Simetris dan tidak ada retraksi

Paru-paru
Inspeksi : Normochest, simetris kiri dan kanan, retraksi epigastrium tidak ada, retraksi
suprasternal dan intercostal tidak ada.

54

Palpasi

: Fremitus kiri sama dengan kanan

Perkusi

: Sonor di kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
Jantung
Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis teraba di LMCS RIC V (Linea Mid Clavicular Sinistra Ruang
Inter Costa)

Perkusi

: Batas jantung sulit ditentukan

Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama teratur, bising tidak ada


Abdomen (Soefl)
Inspeksi

: Tidak tampak membuncit

Palpasi

: Nyeri tekan tidak ada, nyeri lepas tidak ada, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi

: Timpani, metrorismus tidak ada

Auskultasi : Bising usus (+) normal


Punggung

: Tidak ditemukan kelainan

Alat Kelamin

: Laki-laki, tidak ditemukan kelainan (belum khitan)

Anus

: Tidak ditemukan kelainan

Anggota Gerak : Akral dingin, perfusi baik, oedema tidak ada, CRT <2 detik. RL (-)
Status Neurologi:

Kaku Kuduk negative, GCS 456

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal, 8 Agustus 2014
Darah Lengkap
Hb

Widal
: 13.7 gr / dl
: 6260 / mm3

Leukosit

Parathyphi A (-)
Parathyphi B 1/80

Hematokrit

: 37 %

Thypi H 1/80

Trombosit

: 153.000/ mm3

Thypi O (-)

GDA : 182 mg/dl


55

ASSESSMENT
DIAGNOSIS KERJA

: Dengue Fever

DIAGNOSA BANDING :
- Dengue Haemoragic Fever
- Demam Thypoid
PLANNING
TERAPI :
-

Istirahat

Minum banyak

IVFD RL

O2 4 lpm

Inj. Cefotaxime 2 x 500mg

Inj. Antrain 1 ampule (prn)

Inj. Ranitidine 2 x 1 ampule

Trolit 3 x 1

ANJURAN :Masuk Rumah Sakit

56

FOLLOW UP (Mawar kelas 2)


Hari Rawatan I (09 Agustus 2014, pukul 05.30 WIB)
SUBJEKTIF

Sakit hari ke 3
-panas naik turun
-muntah 2x (air) karena px
cuman minum air
-batuk (+) sedikit
-pilek (-)
-pusing (-)
-sesak (-)
-mimisan (-)
-gusi berdarah (-)
-nyeri perut (+)
-badan lemas dan pegal nyeri
otot (+)
-makan (-)
-minum (+)
-BAK (+) nyeri kemih (-)
-BAB (+) 1x warna coklat
kehitaman, mencret (-)

OBJEKTIF
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 36.2 C
RR: 32 x/mnt
TD: 100/80 mmHg
HR: 100 x/mnt
Nadi: 130 x/mnt lemah,irregular
Kepala-Leher
- a/i/c/d: -/-/-/-

ASSESSMENT & PLANNING

A: Obs. DF
P:
- inf. D5 S 1200 cc/24jam
- Antrain 3 x500mg IV bila suhu
38C
- Lab: Hb, PVC, trombo, LFT

PCH (-)
Pemb. KGB (-)
Faring n Tonsil (N)
Lidah agak kotor

Thorax
- dada simetris
- Retraksi dada (-)
- Paru: Vesikuler (+)
Wheezing (-), Ronkhi (-)
- Jantung: S1 & S2 tunggal,Murmur (-)
Abdomen
- Distensi (-)
- Bising Usus (N)
- Hepar dan Lien tidak teraba
- Metrorismus (+)
- Turgor baik

Ekstremitas
- Akral eks.atas & bawah hangat
- Oedema (-)
- CRT <2 dtk
- Ptechiae (+) stlh di rumple test
(bag.volar antebrachii)
Status Neurologis
- Kaku Kuduk (-)
- GCS 4 5 6

Lab 09/08/14 11:10:25


Darah Lengkap
DC:-/-/10/55/20/15
Hb: 13.5g/dl
Lekosit: 2890/cmm
PVC: 39%
Trombosit: 182.000/cmm
Fungsi Hati (LFT)
Alkali Fosfatase 203 mg/dl
Billirubin Direct 0.11mg/dl
Billirubin Total 0.32mg/dl
SGOT 29 U/I

57

SGPT 12 U/I

CATATAN OBSERVASI (09 Agustus 2014)


05.00

11.50

S: pusing dan nyeri perut (+). Muntah 2x. Ma (<),

S: pusing (+), nyeri perut (-), Ma<, mi+

Mi(+)
O: KU: lemah
Kesadaran: CM
Akral hangat
16.50

O: KU: Cukup

TD: 110/80 mmHg

TD: 90/70mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 96 x/mnt

Nadi: 86 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 37.4 C

Suhu: 36 C

S: Panas (+), pusing(+), Muntah, Ma (-), Mi(+)


O: KU: lemah

TD: 100/60mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 80 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 37.8 C

58

Hari Rawatan II (10 Agustus 2014, pukul 17.30 WIB)


SUBJEKTIF

Sakit hari ke 4
-panas naik turun
-muntah 1x (air)
-batuk (+) sedikit
-pilek (-)
-pusing (-)
-sesak (-)
-mimisan (-)
-gusi berdarah (-)
-nyeri perut (+)
-badan lemas dan pegal nyeri
otot (+)
-makan (-)
-minum (+)
-BAK (+) nyeri kemih (-)
-BAB (+) 1x warna coklat
kehitaman, mencret (-)

OBJEKTIF
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 37.2 C
RR: 26 x/mnt
TD: 100/70 mmHg
HR: 86 x/mnt
Nadi: 90 x/mnt kuat,regular
Kepala-Leher
- a/i/c/d: -/-/-/-

ASSESSMENT & PLANNING

A: Obs. DF
P:
- inf. D5 S 1200 cc/24jam
- Antrain 3 x500mg IV bila suhu
38C
- Lab: Hb, PVC, trombo

PCH (-)
Pemb. KGB (-)
Faring n Tonsil (N)
Lidah agak kotor

Thorax
- dada simetris
- Retraksi dada (-)
- Paru: Vesikuler (+)
Wheezing (-), Ronkhi (-)
- Jantung: S1 & S2 tunggal,Murmur (-)
Abdomen
- Distensi (-)
- Bising Usus (N)
- Hepar dan Lien tidak teraba
- Metrorismus (+)
- Turgor baik
Ekstremitas
- Akral eks.atas & bawah hangat
- Oedema (-)
- CRT <2 dtk
- Ptechiae (+) stlh di rumple test
(bag.volar antebrachii)
Status Neurologis
- Kaku Kuduk (-)
- GCS 4 5 6
Lab 10/08/14 08:21:54
Darah Lengkap
Hb: 15g/dl
Lekosit: 2090/cmm
PVC: 41%
Trombosit: 146.000/cmm

59

CATATAN OBSERVASI (10 Agustus 2014)


05.00

11.50

S: panas, pusing dan nyeri perut (+).muntah 2x. Ma

S: pusing (+), nyeri perut (-), mual (+), Ma<, mi<,

(<), Mi(+). BAB (+), mata cowong (-)

muntah (-)

O: KU: cukup

O: KU: Cukup

TD: 110/80mmHg

TD: 100/70 mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 80 x/mnt kuat reguler

Kesadaran: CM

Nadi: 86 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 38 C

Akral hangat

Suhu: 37.3 C

A: Hipertermia
P: tambahan injeksi norages 500mg
16.00

20.05

S: Panas (+), pusing(+), nyeri perut (+), Ma <, Mi<

S: Panas (+), pusing(+), nyeri perut (+), Ma <, Mi<

O: KU: lemah

O: KU: lemah

TD: 100/60mmHg

TD: 100/80mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 80 x/mnt

Kesadaran: CM

Nadi: 96 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 37.6 C

Akral hangat

Suhu: 37.9 C

60

Hari Rawatan III (11 Agustus 2014, pukul 05.30 WIB)


SUBJEKTIF

Sakit hari ke 5
-panas naik turun
-muntah (-)
-batuk (-)
-pilek (-)
-pusing (-)
-sesak (-)
-mimisan (-)
-gusi berdarah (-)
-nyeri perut (+)
-badan lemas dan pegal nyeri
otot (+)
-makan (+) cuman roti
-minum (+)
-BAK (+) nyeri kemih (-)
-BAB (+) 1x warna coklat
kehitaman, mencret (-)

OBJEKTIF
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 37.2 C
RR: 30 x/mnt
TD: 110/70 mmHg
HR: 98 x/mnt
Nadi: 110 x/mnt kuat,regular
Kepala-Leher
- a/i/c/d: -/-/-/-

ASSESSMENT & PLANNING

A: DHF grade I
P:
- inf. D5 S 1800 cc/24jam
- Paracetamol 3 x 1tab
- Curvit 3 x 1cth
- Trolit
- Lab: Hb, PVC, trombo

PCH (-)
Pemb. KGB (-)
Faring n Tonsil (N)
Lidah agak kotor

Thorax
- dada simetris
- Retraksi dada (-)
- Paru: Vesikuler (+)
Wheezing (-), Ronkhi (-)
- Jantung: S1 & S2 tunggal,Murmur (-)
Abdomen
- Distensi (-)
- Bising Usus (N)
- Hepar dan Lien tidak teraba
- Metrorismus (-)
- Turgor baik
Ekstremitas
- Akral eks.atas & bawah hangat
- Oedema (-)
- CRT <2 dtk
- Ptechiae (+) stlh di rumple test
(bag.volar antebrachii)
Status Neurologis
- Kaku Kuduk (-)
- GCS 4 5 6
Lab 11/08/14 09:21:42
Darah Lengkap
DC: 18/1/-/40/39/2
Hb: 15.3g/dl
Lekosit: 3210/cmm
PVC: 47%
Trombosit: 195.000/cmm

61

CATATAN OBSERVASI (11 Agustus 2014)


05.00

11.50

S: pusing dan nyeri perut (+).. Ma (<), Mi(+). BAB

S: pusing (+),Ma<, mi<,BAK(+)

(+), mata cowong (-)


O: KU: lemah
Kesadaran: CM
Akral hangat
16.50

O: KU: Cukup

TD: 110/70 mmHg

TD: 110/80mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 96 x/mnt

Nadi: 80 x/mnt kuat reguler

Akral hangat

Suhu: 36.7 C

Suhu: 36.8 C
20.50

S: Panas (-), pusing(+),Ma <, Mi<, BAK(+)

S: Panas (-), pusing(-),Ma <, Mi+,BAK (+)

O: KU: lemah

O: KU: cukup

TD: 100/60mmHg

TD: 90/80mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 80 x/mnt

Kesadaran: CM

Nadi: 96 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 36.8 C

Akral hangat

Suhu: 36.7 C

62

Hari Rawatan IV (12 Agustus 2014, pukul 05.30 WIB)


SUBJEKTIF

Sakit hari ke 6
-panas (-)
-muntah (-)
-batuk (-)
-pilek (-)
-pusing (-)
-sesak (-)
-mimisan (-)
-gusi berdarah (-)
-nyeri perut (-)
-badan lemas dan pegal nyeri
otot (+)
-makan (+) cuman roti
-minum (+) air putih
-BAK (+) 2x, nyeri kemih (-)
-BAB (+) 1x warna coklat
kehitaman, mencret (-)

OBJEKTIF
Keadaan Umum: Cukup
Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 36.2 C
RR: 20 x/mnt
TD: 110/60 mmHg
HR: 96 x/mnt
Nadi: 86 x/mnt kuat,regular
Kepala-Leher
- a/i/c/d: -/-/-/-

ASSESSMENT & PLANNING

A: DHF grade I
P:
- inf. D5 S 1800 cc/24jam
- Paracetamol 3 x 1tab
- Curvit 3 x 1cth
- Trolit
- Lab: Hb, PVC, trombo

PCH (-)
Pemb. KGB (-)
Faring n Tonsil (N)
Lidah agak kotor

Thorax
- dada simetris
- Retraksi dada (-)
- Paru: Vesikuler (+)
Wheezing (-), Ronkhi (-)
- Jantung: S1 & S2 tunggal,Murmur (-)
Abdomen
- Distensi (-)
- Bising Usus (N)
- Hepar dan Lien tidak teraba
- Metrorismus (-)
- Turgor baik
Ekstremitas
- Akral eks.atas & bawah hangat
- Oedema (-)
- CRT <2 dtk
- Ptechiae (+) stlh di rumple test
(bag.volar antebrachii)
Status Neurologis
- Kaku Kuduk (-)
- GCS 4 5 6
Lab 12/08/14 14:11:47
Darah Lengkap
DC: 2/-/-/3/20/62/13
Hb: 15.5g/dl
Lekosit: 3090/cmm
PVC: 44%
Trombosit: 141.000/cmm
Imunologi
IG G Antidengue (+)
IG M Anti dengue (+)

63

CATATAN OBSERVASI (12 Agustus 2014)


05.00

11.50

S: pusing (+).. Ma (+), Mi(+). BAB (+)

S: pusing (-),Ma(+), mi(+),BAK(+)

O: KU: cukup

O: KU: Cukup

Kesadaran: CM
Akral hangat
18.20

TD: 100/70mmHg
Nadi: 90 x/mnt kuat reguler
Suhu: 36 C

Kesadaran: CM
Akral hangat
20.50

TD: 100/70 mmHg


Nadi: 84 x/mnt
Suhu: 36 C

S: Panas (-), pusing(-),Ma (+), Mi(+), BAK(+)

S: Panas (-), pusing(-),Ma (+), Mi(+),BAK (+)

O: KU: cukup

O: KU: cukup

TD: 100/60mmHg

TD: 100/70mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 80 x/mnt

Kesadaran: CM

Nadi: 86 x/mnt

Akral hangat

Suhu: 36.8 C

Akral hangat

Suhu: 36.4 C

P: Infus OFF, observasi

64

Hari Rawatan V (13 Agustus 2014, pukul 05.30 WIB)


SUBJEKTIF

OBJEKTIF

Sakit hari ke 7
-panas (-)
-muntah (-)
-batuk (-)
-pilek (-)
-pusing (-)
-sesak (-)
-mimisan (-)
-gusi berdarah (-)
-nyeri perut (-)
-badan lemas dan pegal nyeri
otot (-)
-makan (+) cuman roti + nasi
-minum (+) air putih
-BAK (+) 2x, nyeri kemih (-)
-BAB blm BAB

Keadaan Umum: Baik


Kesadaran: Compos Mentis
Suhu: 36.3 C
RR: 18 x/mnt
TD: 100/60 mmHg
HR: 100 x/mnt
Nadi: 86 x/mnt kuat,regular
Kepala-Leher
- a/i/c/d: -/-/-/-

ASSESSMENT & PLANNING

A: DHF grade I
P:
- Paracetamol 3 x 1tab
- Curvit 3 x 1cth
- Trolit
- BOLEH RAWAT JALAN

PCH (-)
Pemb. KGB (-)
Faring n Tonsil (N)
Lidah agak kotor

Thorax
- dada simetris
- Retraksi dada (-)
- Paru: Vesikuler (+)
Wheezing (-), Ronkhi (-)
- Jantung: S1 & S2 tunggal,Murmur (-)
Abdomen
- Distensi (-)
- Bising Usus (N)
- Hepar dan Lien tidak teraba
- Metrorismus (-)
- Turgor baik
Ekstremitas
- Akral eks.atas & bawah hangat
- Oedema (-)
- CRT <2 dtk
- Ptechiae (+) stlh di rumple test
(bag.volar antebrachii)
Status Neurologis
- Kaku Kuduk (-)
- GCS 4 5 6

CATATAN OBSERVASI (12 Agustus 2014)


05.00
S: pusing (-).panas (-). Ma (+), Mi(+). BAB (+)
O: KU: baik

TD: 120/80mmHg

Kesadaran: CM

Nadi: 88 x/mnt kuat reguler

Akral hangat

Suhu: 36 C

65

3.2

ANALISA KASUS

Tanggal

8 Agustus 2014

Sakit hari ke
Anamnesis

9 Agustus 2014

10 Agustus 2014

11 Agustus 2014

12 Agustus 2014

13 Agustus 2014

- panas
- menggigil
- mual
- muntah
- pusing
Cukup

- panas
- mual
- muntah
- batuk
- nyeri perut
Cukup

- panas
- mual
- muntah
- batuk
- nyeri perut
Cukup

- panas

- tidak ada
keluhan

- tidak ada
keluhan

Cukup

Cukup

Baik

CM

CM

CM

CM

CM

CM

TD

110/70mmHg

100/80mmHg

100/70mmHg

110/70mmHg

110/60mmHg

100/60mmHg

RR

24 x/menit

32 x/menit

26 x/menit

30 x/menit

20 x/menit

18 x/menit

Nadi

120 x/menit

130 x/menit

90 x/menit

110 x/menit

86 x/menit

86 x/menit

38.4 C

37.8 C

38 C

37.2 C

36.4 C

36.3 C

98 x/menit

100 x/menit

86 x/menit

98 x/menit

96 x/menit

100 x/menit

Tidak teraba

Tidak teraba

Tidak teraba

Tidak teraba

Tidak teraba

Tidak teraba

Akral

Dingin

Hangat

Hangat

Hangat

Hangat

Hangat

CRT

2 detik

2 detik

2 detik

2 detik

2 detik

2 detik

RL (-)

RL (+) ptechiae+
volar

Darah Lengkap
Widal
Hb: 13.7 gr / dl
Parathyph
i A (-)
Leukosit:6260/
mm3

Darah Lengkap
DC:-/-/10/55/20/1
5
Hb: 13.5g/dl
Lekosit:
2890/cmm
PVC: 39%
Trombosit:
182.000/cmm

Darah
Lengkap
Hb: 15g/dl
Lekosit:
2090/cmm
PVC: 41%
Trombosit:
146.000/cmm

Darah
Lengkap
DC:
18/1/-/40/39/2
Hb: 15.3g/dl
Lekosit:
3210/cmm
PVC: 47%
Trombosit:
195.000/cmm

Darah
Lengkap
DC:
2/-/-/3/20/62/13
Hb: 15.5g/dl
Lekosit:
3090/cmm
PVC: 44%
Trombosit:
141.000/cmm

Parathyph
i B 1/80
Hematokrit:37%
Thypi H 1/80
Trombosit:
153.000/ mm3
Thypi O (-)
GDA:182 mg/dl

Fungsi Hati
(LFT)
Alkali Fosfatase
203 mg/dl
Billirubin Direct
0.11mg/dl
Billirubin Total
0.32mg/dl
SGOT 29 U/I
SGPT 12 U/I

KU
Kesadaran

Suhu (tertinggi)
HR
Hepar dan Lien

Pmx tambahan
Lab

Imunologi
IG G
Antidengue (+)
IG M Anti
dengue (+)

Widal
Parathyphi A
ParathyphiB 1/80

66

Thypi H 1/80
Diagnosa

Thypi O - DF
- DHF

- DF
- DHF

DHF grade I

DHF grade I

DHF grade I

DHF grade I

=
47-37

100%

Telah dilaporkan suatu kasus, seorang pasien laki-laki usia 12 tahun 2 bulan dirawat di
=27.02%

mawar RSUD Moh Saleh Probolinggo sejak tanggal 8 agustus 2014 sampai 13 agustus 2014
dengan diagnosis kerja demam berdarah dengue derajat I. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium.
Pada anamnesis didapatkan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, demam tinggi
terus menerus, tidak disertai keringat banyak, pada sakit hari ke-6 demam mulai menurun. Nyeri
di ulu hati tidak ada, nafsu makan dan minum menurun sejak sakit. Riwayat perdarahan spontan
ada (RL +).
Dari hasil pemeriksaan laboratorium

didapatkan adanya trombositopenia (141.000) dan

hemokonsentrasi (kadar PCV 20% = 27.02%).


Diagnosa DHF didapatkan plasma leakage pada DHF, terdiri dari efusi pleura, Asites,
Hipoalbuminea, Hemokonsentrasi dan Hipovolemi. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik yang
telah dilakukan serta didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium, ditegakkan diognosa pasien
ini adalah Demam Berdarah Dengue Derajat I.

67

BAB IV
KESIMPULAN
Pasien anak bernama Moh. Idris Nugroho, rawat inap dimawar kelas 2 dengan keluhan
demam 1 hari sebelum MRS. Dan didapatkan diagnosis klinis dengue haemoragic fever grade I
setelah sakit hari ke 4. Diagnosis klinis ini didapatkan dari 2 pemeriksaan klinis (panas dan
pendarahan spontan) dan 2 pemeriksaan laboratorium (trombosit turun dan PCV meningkat
20%).
Penyembuhan dapat dilakukan dengan perbaikan parameter klinis, nafsu makan dan
kesejahteraan umum. Pengobatan terapi untuk pasien ini bersifat simtomatik. Pemberian infuse
D5 NS 1800cc/24 jam sebagai cairan pengganti (cairan isotonis), Paracetamol 3 x 1 tablet
untuk mengatasi gejala demamnya, Curvit 3 x 1 sendok teh untuk menambah nafsu makan
pasien,dan trolit untuk memperbaiki kebutuhan elektrolit. Pasien ini dapat pulang karena tidak
adanya demamselama paling sedikit 24jam tanpa menggunakan terapi anti demam, nafsu makan
kembali.
Masalah utama demam berdarah dengue pada anak berkaitan dengan risiko terjadinya
dehidrasi hingga syok. Penggantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting. Hal
lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian makanan atau nutrisi yang cukup selama
perawatan dan mengobati penyakit penyerta.

68

DAFTAR PUSTAKA
Asih Y. S.Kp. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan
Pengendalian.World Health Organization. Edisi 2. Jakarta. 1998.
Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1
Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue.

Dalam : Akib Aap,

Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran


Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit
Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
Hadinegoro

SRS,Soegijanto

S,

Wuryadi

S,

Suroso

T.

Tatalaksana

Demam

Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135
Harikushartono, Hidayah N, Darmowandowo W,Soegijanto S, (2002), Demam Berdarah
Dengue: Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Jakarta, Penerbit Salemba
Medika
Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. Nelson Textbook of Pediatric. Ed 18. Saunders.
2007.
Oppenheim J.J et al, (1995). Cytokines Basic and Clinical Immunology. Seven edition.
78-98.
Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin
Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13
Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic
Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book 13th
National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h. 329-380.
69

Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.
Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9
Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-1735.
Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro
SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi
Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ikatan
Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
Wang S, He R, Patarapotikul, J et al, (1995). Antibody-Enhanced Binding of Dengue
Virus to Human Platelets. J.Virology. October 213: page:1254-1257.
World Health Organization.Dengue hemorrhagic fever. Guideline for Diagnosis,
Treatment, Prevention and Control; WHO : 2009.

70

Anda mungkin juga menyukai