Anda di halaman 1dari 15

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

231

Defisiensi antibodi primer dan hubungannya dengan kelainan kulit


Maria Magdalena1), Alwi Mappiasse2)
Abstract
1-2)

Sub Bagian Alergi dan


Imunologi, Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin

Correspondence
Dr. Maria Magdalena, Sub Bagian
Alergi dan Imunologi, Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Kulit dan
KelaminFakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin/ RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar,
Indonesia

Primary antibody deficiency is the most abnormality found in primary


immunodeficiency. It is caused by function defect and cell B development which
antibody production. it is commonly found on baby and children, except common
variable immunodeficiency (CVID) which mostly on adult. Cutaneous
manifestaion caused by primary antibody deficiency, not specific, and not as
many as other defeciency like cell T deficiency. Cutaneous abnormality caused
by bacterial infection is the main problem beside atopy and autoimmune
disease. Immunoglobulin replacement therapy has a important role in primer
antibody deficiency management.
Key words : Primary antibody deficiency, B cell, Immunoglobulin replacement
therapy

Pendahuluan
Defisiensi antibodi primer merupakan kelainan
diakibatkan
defek
yang
menyebabkan
ketidakmampuan untuk memproduksi antibodi efektif
untuk berespon terhadap patogen (Wood et al.,
2007). Defek pada fungsi atau perkembangan sel B
menyebabkan sintesa antibodi yang abnormal
(Abbas et al., 2010b). Kelainan pada defisiensi
antibodi mencakup sebuah spektrum penyakit yang
dapat diamati dengan menurunnya kadar antibodi,
mulai dari bentuk penyakit dengan tidak dihasilkan
imunoglobulin dari semua kelas antibodi sama sekali
sampai dengan defisiensi selektif, yaitu defisiensi
untuk antibodi kelas tertentu saja. Derajat keparahan
penyakit tergantung pada derajat kekurangan
antibodi bersangkutan (Wood et al., 2007).
Sebagian besar defisiensi antibodi yang telah
didefinisikan pada tingkat molekuler berasal dari
defek intrinsik perkembangan dan fungsi sel B.
Mengingat sel plasma yang berasal dari sel B, hanya
merupakan satusatunya sel di dalam tubuh yang
mensekresi immunoglobulin. Meski demikian,
beberapa kelainan yang bermanifestasi akibat
gangguan produksi antibodi mungkin juga timbul
akibat defek sel T atau sel lain yang saling bekerja
sama dengan atau membantu sel B pada proses
perkembangan sel B (Francisco et al., 2005). Lebih
jauh lagi, sebagian besar pasien penderita defisiensi
antibodi menderita sindrom

yang didefinisikan melalui kriteria klinis dan


laboratorium dan yang dasar molekulernya masih
belum diketahui.
Insiden dan prevalensi imunodefisiensi primer
yang sebenarnya juga masih belum diketahui,
karena tidak adanya pelaksanaan penelitian
prospektif berskala besar. Insiden dan prevelensi
seluruh bentuk imunodefisiensi primer diperkirakan
berasal dari laporan survei atau registrasi di lebih
dari 40 negara yang berkisar dari 1:10000 hingga
1:2000 individu (Rezaei
et al., 2008). Meski
demikian, hal ini masih kurang dari yang telah
diperkirakan sebelumnya karena kebanyakan
kasus imunodefisiensi primer masih belum
terdiagnosis. Defisiensi antibodi bertanggung
jawab pada sekitar 50 hingga 60 % kasus
imunodefisiensi secara keseluruhan (Rezaei et al.,
2008). Penelitian di Amerika Serikat didapatkan
insidensi imunodefisiensi primer tahun 2000-2006
sebesar 10,3 per 100000 populasi, jauh meningkat
dari tahun 1976-1980 yang hanya 2,4 per 100000
populasi (Anni et al., 2009).
Sistem imun manusia yang kompleks
berpotensi menimbulkan kelainan genetik, dengan
derajat variasi yang berbeda. Pada 20 tahun
terakhir ini, lebih dari 150 sindrom imunodefisiensi
primer telah berhasil diidentifikasi, dan lebih dari
100 berhasil diidentifikasi pada level molekular.
Beberapa defek diantaranya terlibat dalam
produksi antibodi (Notarangelo et al., 2006a).
Pembagian secara mayor defisiensi antibodi
primer dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

232

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Tinjauan Pustaka

Tabel 1. Pembagian defisiensi antibodi primer (Wood et al., 2009)

Gejala umum yang dijumpai pada defisiensi


antibodi adalah berulangnya kejadian infeksi
terutama yang bersifat piogenik (Fried dan Bonilla,
2009). Keterlambatan diagnosis dan penanganan
yang kurang tepat, dapat menyebabkan seriusnya
morbiditas dan cepatnya mortalitas. Komplikasi
infeksi dan non infeksi dapat terjadi (Wood et al.,
2007).
Keterlambatan
diagnosis
diakibatkan
jarangnya kelainan ini, sehingga menurunkan
kewaspadaan di luar komunitas imunologis.
Sebagian besar kasus defisiensi antibodi primer
dapat diidentifikasi pada masa infant atau kanakkanak,
terkecuali
common
variable
immunodeficiency disorders (CVIDs) yang umumnya
tidak bermanifestasi sampai dewasa muda atau
remaja (Paller dan Abrams, 2008; Claudia et al.,
2008).
Pada kajian pustaka ini dimulai dengan
pembahasan
perkembangan sel B, pembagian
defisiensi antibodi primer dan akan dibahas
hubungan dengan kelainan kulit pada setiap
penyakit defisiensi antibodi.
Perkembangan Limfosit B
Limfosit B berkembang dalam sumsum tulang
dan limpa melalui serangkaian tahap dari sebuah sel
prekursor pluripotensial hingga menjadi sel B matur.
Proses ini tidak memerlukan sel B untuk berkontak
dengan antigen. Setelah stimulasi antigen dimulai
dengan sinyal lain, sebuah sel B akan berkembang
menjadi sel efektor penghasil antibodi (sel plasma)
atau sel memori (Abbas et al., 2010a). Lesi genetik
yang mempengaruhi perkembangan dan fungsi sel B
akan menyebabkan terjadinya defisiensi antibodi.

Perkembangan sel B tidak bergantung dengan


Antigen
Pembentukan sel B matur tidak bergantung
pada kontak dengan antigen, terutama berlangsung
dalam organ limfoid primer, dalam hepar fetus
selama gestasi, dan selanjutnya, di sumsum tulang
selama sisa kehidupan manusia. Kunci utama
perkembangan
berbagai
spesifitas
antibodi
merupakan penyusunan fungsional rantai berat
immunoglobulin (IgH) dan segmen rantai pendek
immunoglobulin (IgL) pada gen reseptor sel B (BCR)
(Fried dan Bonilla, 2009).
Penyusunan ulang gen reseptor sel B dan
perkembangan awal sel B. penyusunan gen reseptor
mengikuti urutan sekuensial, yang dimulai dengan
rekombinasi segmen gen variable (V), diversitas (D),
dan joining (J) (VDJ) pada lokus IgH, yang
dilanjutkan dengan penyusunan V dan J di lokus IgL.
gen aktivasi rekombinase 1 (RAG1) dan enzim
RAG2 memainkan peran penting dalam proses
kompleks ini seperti pada penyusunan segmen gen
reseptor sel T. sebuah mutasi pada RAG1 atau
RAG2 dapat mengakibatkan imunodefisiensi (sel B
dan sel T) yang berat (LeBien dan Tedder, 2008;
Fried dan Bonilla, 2009).
Rekombinasi rantai panjang (u) immunoglobulin
M (IgM) produktif berujung pada progresi tahap sel
pro B menjadi tahap sel pre B, yang ditandai dengan
ekspresi pre-BCR. Dalam rangka menyusun reseptor
sebelum penyusunan lokus rantai pendek, bentuk
rantai panjang U immunoglobulin yang mirip reseptor
dengan protein heterodimer 5 dan VpreB, yang
memiliki homologi erat dengan daerah konstan
rantai pendek Iagi dan berfungsi sebagai pengurai
rantai pendek. Pre-BCR dibentuk melalui asosiasi

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

rantai panjang u, heterodimer rantai pendek, dan


sinyal transduksi protein Ig dan Ig (Fried dan
Bonilla, 2009).
Pre BCR merupakan titik penting regulasi
perkembangan sel B, karena ekspresi pre-BCR dan
sinyal yang melaluinya diperlukan untuk ekspansi
dan diferensiasi pada proses berikutnya. Sinyaling
nampaknya
diperantarai
oleh
oligomerisasi
independent ligand pre-BCR. Bruton tirosin kinase
(BTK) sitoplasmik kinase, yang dikode pada
kromosom X, memainkan peran yang tidak kalah
pentingnya pada tranduksi sinyal ke pre-BCR dan,
nantinya, ke BCR matur. BTK diekspresikan pada
sel B pada semua tahap perkembangan kecuali
tahap sel plasma dan juga diekspresikan dalam sel
myeloid dan platelet (Fried dan Bonilla, 2009).
Mutasi gen BTK pada manusia yang berujung
pada kegagalan maturasi sel B awal, menyebabkan
agammaglobulinemia terkait X (XLA) (Justin et al.,
2008; Paller dan Abrams, 2008; Baron et al., 2010).
Mutasi pada komponen pre BCR dan sinyalling
intraseluler bertanggung jawab pada
sebagian
besar subtype agammaglobulin yang tersisa, yang
diidentifikasi pada manusia.

233

Hal ini meliputi mutasi pada gen rantai panjang u, 5,


Ig, Ig, dan protein linker sel B (BLNK), sebuah
adaptor protein
downstream Btk pada kaskade
sinyalling sel B. bentuk agammaglobulinemia lain
yang berasal dari gangguan fungsi protein leucinerich repeat containing 8 (LRRC8). Perannya pada
perkembangan sel B masih belum diketahui.
(Sawada et al., 2005).
Setelah penyusunan gen rantai panjang,
prekursor sel B selanjutnya mengalami perangkaian
segmen V dan J pada lokus rantai pendek K atau
untuk menghasilkan protein rantai pendek, yang
berkaitan dengan rantai panjang IgM yang disintesis
sebelumnya. Sel B imatur, yang mengekspresikan
IgM
meninggalkan
sumsum
tulang
untuk
menyempurnakan maturasinya di limpa, menjadi sel
B matur, atau sel B muda yang mengekspresikan
IgM dan IgD. perkembangan sel B selanjutnya untuk
membentuk sel B memori atau sel plasma
berlangsung dalam organ limfoid sebelum terpapar
dengan antigen (LeBien dan Tedder, 2008;
Melchers, 2005).

Gambar 1. Perkembangan sel B dan defek yang menyebabkan defisiensi antibodi.


(Fried dan Bonilla, 2009)

234

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Perkembangan sel B yang Bergantung pada


antigen
Dikendalikan oleh paparan terhadap antigen dan
sel T, sel B menjalani diversifikasi selanjutnya
menjadi penghasil antibodi dalam organ limfoid
perifer, utamanya melalui proses class switch
recombination (CSR) dan somatic hypermutation
(SHM), yang bertanggung jawab
terhadap

Tinjauan Pustaka

akuisisi berbagai isotope immunoglobulin berbeda


dan meningkatkan spesifisitas antigen, secara
berurutan. Pusat germinal limfonodus merupakan
lokasi utama pembentukan CSR, SHM, sel B
memori, dan sel plasma (Fried dan Bonilla, 2009;
LeBien dan Tedder, 2008).

Gambar 2. Perkembangan sel B dengan pusat germinal limfonodus sebagai lokasi


utama pembentukan CSR, SHM (LeBien dan Tedder, 2008).

Agammaglobulinemia
Agammaglobulinemia merupakan defisiensi
antibodi langka yang disebabkan oleh defek
perkembangan sel B dan ditandai dengan rendahnya
atau tidak adanya sel B, hipogammaglobulinemia,
dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Fried
dan Bonilla, 2009).
X-linked Agammaglobulinemia (XLA)
X-Linked Agammaglobulinemia bertanggung
jawab pada sekitar 85% kasus agammaglobulinemia
dan disebabkan oleh defisiensi tirosin kinase BTK
(Luigi, 2010). Mutasi BTK telah diketahui melalui 5
domain gen fungsional, yang terletak di bagian
tengah kromosom X pada Xq22. gen ini biasanya
bersifat penetran sepenuhnya, kelainan resesif
terkait X. meski demikian, telah dipaparkan
mengenai fenotipe atipikal yang sifatnya lebih ringan.

Beberapa mutasi memungkinkan produksi protein


fungsional BTK yang menyebabkan penyakit yang
lebih ringan, tetapi korelasi fenotipe genotif
konsisten seluruhnya masih belum ditemukan
(Conley et al., 2005).
Sejak 1952 ketika penyakit ini pertama kali
dideskripsikan oleh Bruton, insidensi XLA terus
meningkat dan dapat dikenali pada usia dini (JinKyong et al., 2008). Insiden XLA di Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 1/190000 pada tiap kelahiran
bayi laki laki. Onset usia gejala pada sebagian
besar pasien adalah antara 3 bulan dan 3 tahun,
dengan sekitar 50% lebih pasien yang mengalami
gejela simpatomatik pada usia 1 tahun dan lebih dari
90% pasien menjadi simptomatik pada usia 5 tahun
(Winkelstein et al., 2006). Sekitar 50% bayi atau
anak laki-laki yang terkena, memiliki riwayat
keluarga yang sama ( Paller dan Abrams, 2008).

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Transfer IgG maternal melalui plasenta selama


gestasi memberikan perlindungan terhadap bayi
yang terkena penyakit ini hanya untuk bulanbulan
pertama kehidupan dan dapat menutupi diagnosis
(Fried dan Bonilla, 2009). Kasus XLA pada 2 orang
dewasa yang tidak biasa ditemui, dilaporkan di
Amerika Serikat (Justin et al., 2008).
X-linked agammaglobulinemia ditandai dengan
infeksi piogenik rekuren, yang menyerang pada usia
9 bulan setelah kelahiran, disebabkan habisnya
imunoglobulin maternal. Infeksi kulit khususnya
furunkelosis dan impetigo didapatkan pada 28%
pasien dan didapatkan disekitar orifisium. Erupsi
atopic-like eczematous yang tidak membaik dengan
terapi imunoglobulin dilaporkan pada beberapa anak
yang terkena penyakit ini. Kelainan kulit lain yang
pernah dilaporkan berupa pioderma gangrenosum
dan granuloma kutaneus yang non infeksius (Paller
dan Abrams, 2008). Laporan kasus XLA dari tahun
1987-2006 di Singapura, didapatkan infeksi kulit
sebesar 26,3% dari total kasus infeksi pada
penderita yang dirawat dirumah sakit.(Jin-Kyong et
al., 2008).
Diagnosis
XLA
ditegakkan
berdasarkan
hipogamaglobulinemia (IgG, IgA, IgM), sel B di
perifer kurang dari 2 % jumlah normal.(Jin-Kyong et
al., 2008). Jumlah dan fungsi sel T normal pada
pasien XLA. Neutropenia, yang seringkali berat,
ditemukan pada sekitar 15 hingga 25 % pasien pada
saat diagnosis ditegakkan. Neutropenia muncul
akibat timbunan bakteri pasien yang tinggi akibat
adanya infeksi, karena pasien ini hanya diduga
mengalami infeksi dan sembuh dengan terapi
antimikroba dan immunoglobulin (Aghamohammadi
et al., 2009). Pemeriksaan fisis khas pada XLA
adalah berkurang atau tidak adanya jaringan limfatik
seperti tonsil atau limfonodus yang dapat
dipalpasi.(Jin-Kyong
et al., 2008; Paller dan
Abrams, 2008).
Pada saat diagnosis, sebagian besar pasien
memiliki kadar serum immunoglobulin yang rendah,
dengan kadar IgG < 200 mg/dl, kadar IgA < 15
mg/dl, dan kadar IgM < 40 mg/dl (Winkelstein et al.,
2006). Hampir semua pasien dengan XLA klasik
mengalami penurunan sel B yang bermakna, dengan
limfosit positif CD19 atau CD20 yang < 2 % di dalam

235

darah. Limfopenia sel B dengan jumlah sel T normal


dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis pada
Konteks pasien yang riwayat keluarganya positif
atau jika ibunya diketahui menjadi karier penyakit ini.
Status karier maternal dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan sel B maternal mengenai pola non
random inaktivasi kromosom X. jika tidak terdapat
riwayat XLA dalam keluarga, maka pengukuran
protein BTK dengan Western blot atau dengan
analisis flow cytometric pada monosit atau platelet
pasien mungkin dapat membantu. Analisis flow
sitometrik untuk ekspresi BTK sitoplasmik dapat
juga mendeteksi karier wanita, menemukan BTK
positif, dan populasi BTK negative.(Fried dan
Bonilla, 2009) Pada kasus XLA atipik, di mana
protein BTK fungsional diekspresikan, analisis
genetik gen BTK mungkin diperlukan untuk
membedakannya dengan jenis defisiensi antibodi
lain yang berat seperti CVID.(Fried dan Bonilla,
2009; Luigi, 2010).
Autosomal(ARA)

recessive

agammaglobulinemia

Pada
perkiraan
10
%
kasus,
agammaglobulinemia tidak didasarkan pada mutasi
BTK, tetapi diturunkan sebagai jalur autosomal dan
oleh
karenanya
digolongkan
sebagai
agammaglobulinemia resesif autosomal (ARA).
Defek molekuler penyebabnya bersifat heterogen,
dengana beberapa komponen kunci pada saat
perkembangan sel B dini (pre-BCR signaling) yang
terganggu pada individu berbeda. Defek spesifik
belum diketahui pada sekitar 5 % pasien (Francisco
et al., 2005,; Conley et al., 2005; Abbas et al.,
2010b).
Gejala klinis dan laboratorium ARA penting untuk
mengetahui seseorang yang menderita XLA.
Autosomal recessive agammaglobulinemia (ARA)
dicurigai
pada
wanita
penderita
agammaglobulinemia, bagi keluarga dengan pola
keturunan autosomal, jika defeknya ditemukan, atau
jika mutasi BTK telah disingkirkan untuk pasien laki
laki (Francisco et al., 2005; Conley et al., 2005).

Gambar 3. Agammaglobulinemia (Gerd Rudiger et al., 2003)

236

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Hiper IgM sindrom (HIGM)


Sindrom Hiper-imunoglobulin M (HIGM) adalah
kelainan genetik yang termasuk imunidefisiensi
primer dimana terdapat defek class switch
recombination (CSR) imunoglobulin, diikuti defisiensi
IgG, IgA dan IgE dengan peningkatan IgM (Fried dan
Bonilla, 2009; Shah, 2005). Insidensi diperkirakan 1 :
1030000 kelahiran hidup. Dua tipe utama, yaitu X
linked hiper IgM (XHIM) dan autosomal resesif hiper
IgM (ARHIM), dimana XHIM lebih umum terjadi dan
didapatkan pada laki-laki, sedangkan ARHIM dapat
pada kedua jenis kelamin dan insidensi lebih jarang
(Shah, 2005).
Dalam dekade terakhir, defek molekuler pada
sebagian besar kasus telah diketahui, dan kondisi
terkait dapat membedakan defek pada CSR atau
pada somatic hypermutation (SHM). Pada sebagian
besar kasus penderita yang memiliki defek pada
CSR, juga memiliki defek SHM.(Davies dan
Thrasher, 2010) CSR dan SHM merupakan penanda
pematangan antibodi. Proses CSR menyebabkan
chain digantikan imunoglobulin heavy chains,
menghasilkan produksi IgA, IgG dan IgE. Somatic
hypermutation (SHM) merupakan proses di points
mutation yang mengenalkan berbagai region genes
imunoglobulin, diikuti peningkatan aktifitas berikatan
untuk
antigen
(affinity
maturation)
(Luigi,
Notarangelo, 2010).
Hiper IgM terkait X disebabkan oleh mutasi gen
yang mengkode CD40L (TNFSF5). Sebuah bentuk
resesif autosomal langka dengan fenotip yang sama
akibat mutasi gen yang mengkode CD40 (TNFRSF5)
(Fried dan Bonilla, 2009). CD40L atau interaksi
CD40 mempromosikan perkembangan sel B di
germinal senter dan diperlukan untuk memulai
proses CSR dan SHM (Luigi, 2010). Ekspresi
CD40L atau CD40 yang defektif menimbulkan
gabungan imunodefisiensi humoral dan seluler
dengan absennya atau tidak adanya pembentukan
germinal center seperti halnya dengan interaksi sel T
dengan sel dendritik.

Tinjauan Pustaka

Pasien biasanya memperlihatkan gejala pada


saat bayi dengan infeksi bakteri pada saluran
pernapasan dan gastrointestinal berat atau rekuren
seperti infeksi oportunistik misalnya Pneumocystis
jirovecii pneumonia, infeksi jamur diseminata,
sitomegalovirus diseminata (CMV), dan infeksi virus
herpes
simpleks,
dan
kolangitis
akibat
Cryptosporidium parvum. Gejala klinis lainnya
adalah netropenia, anemia kronis akibat infeksi
eritrovirus (parvovirus B19), dan peningkatan
insiden tumor gastrointestinal (Notarangelo et al.,
2006b).
Dua bentuk hiper IgM dengan turunan resesif
autosomal disebabkan oleh defisiensi activationinduced cytidine deaminase (AID) atau uracil N
glycosylase (UNG), yang keduanya menimbulkan
defek CSR profunda. Pasien memperlihatkan infeksi
berat rekuren yang secara klasik berhubungan
dengan defisiensi antibodi profunda. Hyperplasia
limfoid ditemukan pada sekitar dua per tiga pasien
akibat pembesaran germinal center massif, yang
seringkali bermanifestasi sebagai limfadenopati
servikal dan hipertrofi tonsiler menetap. Pasien
mengalami peningkatan insiden penyakit autoimun
seperti
anemia
hemolitik
autoimun
dan
trombositopenia autoimun (Fried dan Bonilla, 2009).
Mutasi gen yang mengkode rantai kinase I-B
(juga disebut modulator esensial NF-B [NEMO])
atau rantai a kinase I-B menyebabkan fenotip
berbeda dengan berbagai manifestasi displasia
ektodermal (konikal atau absennya gigi geligi,
rambut yang jarang, daerah frontal yang botak, dan
penurunan kelenjar keringat ekrin) dan kerentanan
pada infeksi mikrobakteri di samping adanya
defisiensi antibodi dengan tingginya kadar serum
IgM atau IgA. Kelainan ini kadang kadang
digolongkan sebagai sindrom hiper IgM. Meski
demikian, defek ini meliputi unsur signifikan
disfungsi sel T dan NK dan merupakan golongan
kombinasi imunodefisiensi yang paling baik (seluler
dan humoral) (Fried dan Bonilla, 2009).

Tabel 2. Pembagian tipe sindrom HIGM berdasarkan genetik.(Davies dan Thrasher, 2010)

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Pasien dengan defisiensi CD40L atau CD40


mengalami penurunan kadar IgG (kadar IgG < 250
mg/dl), seringkali dengan kadar IgA yang rendah,
dan kadar IgM yang normal atau meningkat(Fried
dan Bonilla, 2009) Di antara pasien defisiensi AID
dan UNG, kadar IgG dan IgAsecara umum menurun
(kadar IgG < 200 mg/dl dan kadar IgA < 20 mg/dl),
dan kadar IgM yang normal atau meningkat (100
hingga 3,700 mg/dl) (Fried dan Bonilla, 2009).

237

Respon IgG spesifik sangat buruk pada semua


subtype defek CSR. Komposisi subset limfosit
normal. Respon proliferatif sel T normal kecuali
untuk pasien dengan CD40L dan defisiensi CD40,
yang mengalami gangguan respon recall antigen.
Ekspresi CD40 dan CD40L dapat dievaluasi dengan
analisis flow sitometrik. Pengujian gen untuk mutasi
pada CD40, CD40L, AID, UNG, dan NEMO telah
tersedia (Francisco et al., 2005).

Gambar 4. Sindrom hiper IgM (Gerd et al., 2003)


Kelainan kulit yang pernah dilaporkan, berupa
dermatitis, insidensi dan beratnya warts yang
meningkat dan ulkus di mulut yang terkadang
dihubungkan dengan neutropenia. Selulitis dan
abses subkutan dilaporkan pada 13% penderita
sindrom hiper IgM (Paller dan Abrams, 2008).
Osteomyelitis dan scrofuloderma disebabkan
Mycobacterium tuberculosa pada seorang penderita
HIGM pernah dilaporkan, dimana tuberkulosis
merupakan kelainan yang umum dijumpai pada sel T
defisiensi dan jarang pada HIGM (Shah, 2005).
Common Variable Immunodeficiency (CVID)
Common Variable Immunodeficiency (CVID)
merupakan kelainan heterogen diferensiasi dan
maturasi sel B dengan produksi antibodi
disfungsional.
Pasien mengalami penurunan
konsentrasi serum IgG, gangguan respon antibodi
spesifik, dan infeksi rekuren (Claudia et al., 2008;
Silvia et al., 2008). Perkiraan prevalensi sekitar 1 :
25000, yang merupakan bentuk imunodefisiensi
primer yang paling banyak memberikan gambaran
klinis dan terutama dijumpai pada dewasa, laki-laki
dan perempuan sama banyaknya (Paller dan
Abrams, 2008; Luigi, 2010). Diagnosis klinis CVID
diberikan
pada
pasien
dengan
panhipogammaglobulinemia disertai jumlah sel B yang
normal atau mendekati normal (Waldrep et al.,
2009).
Sebuah pola familial turunan ditemukan
pada sekitar 10 hingga 20% pasien CVID, dan
sisanya sporadik dengan autosamal dominan lebih
banyak daripada autosomal resesif (Paller dan
Abrams, 2008).

Variabilitas fenotip dan penetransnya pada beberapa


defek molekuler terkait menunjukkan bahwa etiologi
CVID bersifat multifaktorial, dengan kombinasi defek
diferensiasi sel B yang menyebabkan defisiensi
antibodi.
Sementara etiologinya tetap tidak diketahui
pada sebagian besar pasien, defek gen telah
ditemukan pada sekitar 10 hingga 15 % pasien CVID
dalam tahun tahun terakhir. Oleh karenanya,
mutasi atau polimorfisme pada empat gen, dua
diantaranya hanya sedikit mempengaruhi pasien,
telah dikemukakan. Mutasi pada gen pengkode TACI
(transmembrane activator and calcium-moderator
and cyclophilin ligand interactor) juga telah
diidentifikasi pada 8 hingga 10 % pasien CVID
(Waldrep et al., 2009) Dua varian sekuensial TACI,
Cys104Arg dan Ala181Glu, ditunjukkan memiliki
asosiasi bermakna dengan CVID bahkan pada
kondisi heterozigot. Meski demikian, mutasi TACI ini
juga ditemukan pada beberapa individu sehat; oleh
karenanya, telah diajukan bahwa terdapat suatu
faktor genetik dan atau lingkungan tambahan yang
mempengaruhi perkembangan penyakit (Salzer et
al., 2009; Lee et al., 2008).
Beberapa polimorfisme nukleotida tunggal pada
gen pengkode Msh5, sebuah protein MMR yang
nampaknya terlibat pada CSR, baru baru ini
dilaporkan lebih sering terjadi pada pasien CVID dan
defisiensi IgA, menurut studi kohort AS dan Swedia.
Sekali lagi, polimorfisme ini juga ditemukan pada
individu yang sehat, dan faktor modfikasi penyakit
yang lainnya masih belum dapat ditentukan (Sekine
et al., 2007).

238

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Dua defek monogenetik yang baru baru ini


diidentifikasi sangat jarang menyebabkan CVID
tetapi mungkin mencontohkan bagaiman defek ini
mempengaruhi berbagai derajat maturasi sel B
dependen antigen yang menimbulkan kegagalan
produksi antibodi primer. Sembilan individu CVID
akibat defisiensi inducible costimulator (ICOS) juga
telah dilaporkan. Mereka semua membawa
penghapusan homozigos identik pada gen ICOS
dan nampaknya diturunkan dari nenek moyangnya
yang terdahulu (Salzer et al., 2006). Empat pasien
dari dua keluarga yang berjauhan, yang menderita
CVID akibat mutasi homozigot pada gen pengkode
protein permukaan sel B CD19 juga telah
dikemukakan. Fenotipnya ditandai dengan jumlah
sel B perifer total yang normal tetapi mengalami
pengurangan sel B memori yang hebat (Menno et
al., 2006).
Usia presentasi CVID sangatlah bervariasi.
Menurut studi registrasi Eropa barubaru ini pada
334 pasien, onset gejala usia terbanyak pada
dekade ketiga, dengan usia ratarata 26,3 tahun
dan median 24 tahun. Usia rata rata terdiagnosis
adalah pada usia 35,3 tahun, dengan median 33
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pasien
telah lama mengidap penyakit ini sebelum
imunodefisiensinya diketahui (Helen et al., 2008).

Tinjauan Pustaka

Pasien seringkali mencari pertolongan media


akibat infeksi bakteri akut dan kronis, dan yang
jarang ditemukan, infeksi virus. Komplikasi non
infeksius juga sering ditemukan, melebihi penyakit
autoimun,
penyakit
limfoproliferatif,
penyakit
granulomatisa, cakupan kelainan gastrointestinal,
seperti halnya dengan keganasan. Morbiditas dan
mortalitas bermakna berasal dari penyakit paru
kronik sebagai akibat infeksi rekuren dan kronik
seperti halnya dengan pneumonitis interstisiel limfoid
dan granulomatosa (Fried dan Bonilla, 2009).
Prevalensi
penyakit
autoimun
secara
keseluruhan diperkirakan mencapai 20 hingga 30 %
dan meliputi spektrum kelainan yang luas. Yang
paling
sering
dijumpai
adalah
purpura
trombositiopenik
idiopatik,
anemia
hemolitik
autoimun, arthritis rheumatoid, dan anemia
pernisiosa (Cunningham-Rundles, 2008). Kedua
keganasan hematologik dan tumor padat mengalami
peningkatan prevalensi pada pasien CVID. Paling
sering dijumpai adalah limfoma sel B non Hodgkin
dan kanker lambung, dengan laporan prevalensi
sekitar 2 hingga 8 % dan 1 hingga 2 %, secara
berurutan (Francisco et al., 2005). Studi tidak
menemukan peningkatan resiko keganasan di
antara pasien CVID, yang menunjukkan bahwa
imunodefisiensi itu sendiri merupakan salah satu
predisposisi kanker (Fried dan Bonilla, 2009).

Gambar 5. Common variable immunodeficiency (Gerd et al., 2003)

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Kelainan kulit yang dapat dijumpai berupa


noncaseating granuloma pada kulit, yang dapat pula
dijumpai pada paru-paru, hepar dan limpa. Warts
yang meluas dapat menjadi masalah utama pada
penderita CVID. Jaringan limfoid sering membesar
dan splenomegali ditemukan pada 25% penderita.
Alopecia areata dan lupus juga pernah dilaporkan
pada penderita CVID (Paller dan Abrams, 2008).
Pada observasi klinis 30 orang penderita CVID
didapatkan kelainan kulit berupa infeksi kulit sebesar
13%, atopy-allergy pada 26% pasien, alopesia 7%
dan psoriasis 7% ( Wood et al., 2007).

Gambar 6. Dermatitis di muka pada pasien CVID.


(Athar et al., 2006)
Pada pemeriksaan laboratorium pasien CVID,
didapatkan kadar IgG menurun di bawah 2 standar
deviasi (SD) di bawah usia rata rata. Pengurangan
pada kadar IgA atau IgM telah dimasukkan sebagai
bagian kriteria diagnosis oleh beberapa penulis.
Juga penting untuk menegakkan diagnosis adalah
bukti gangguan respon antibodi spesifik terhadap
infeksi atau tes vaksin. Jumlah sel B perifer bisa
normal atau berkurang. Jumlah dan fungsi sel T juga
berkurang pada beberapa pasien.(Fried dan Bonilla,
2009, Paller dan Abrams, 2008)

Gambar 7. Noncaseating granuloma pada anak


penderita CVID.(Paller dan Abrams, 2008)

239

Jumlah isotope sel B memori pada darah perifer


ditemukan merupakan salah satu dari beberapa
parameter berguna untuk membedakan fenotip
CVID. Pengurangan jumlah pertukaran sel B memori
(< 2 % sel B total) ditunjukkan berkorelasi dengan
komplikasi terkait penyakit seperti splenomegali dan
penyakit granulomatosa (Claudia et al., 2008). Satu
studi melaporkan korelasi bermakna dengan
penyakit autoimun jika kadar sel B memori
diturunkan ke < 0,55 % dari keseluruhan sel B.(Silvia
et al., 2008). Rendahnya persentase sel T CD4
muda juga berkorelasi dengan keparahan penyakit
dan splenomgeali (Giovannetti et al., 2007).

Gambar 8. Rekalsitran veruka vulgaris pada


penderita CVID (Paller dan Abrams, 2008)
Defisiensi IgA selektif (IgAD)
Defisiensi IgA selektif merupakan kelainan
imunodefisiensi primer yang paling sering dijumpai,
dengan prevalensi sekitar 1:700. Dua pertiga kasus
diantaranya asimptomatis.(Luigi D. Notarangelo,
2010, Abbas et al., 2010b) Patofisiologi dari IgAD
belum sepenuhnya dipahami, meskipun hubungan
dengan alel MHC dan ditemukannya frekuensi yang
lebih tinggi pada keluarga yang menderita CVID
telah dilaporkan.(Janzi M et al., 2009) Mutasi pada
TACI, pernah dilaporkan pada beberapa pasien
IgAD.(Abbas et al., 2010b) Pasien memiliki defek
pada diferensiasi sel B menjadi sel plasma yang
mensekresi IgA.(Abbas et al., 2010b) Pasien dewasa
dengan IgAD dan mempunyai riwayat infeksi
terkadang dihubungkan dengan defek pada subkelas
IgG (Luigi, 2010).
Selain keterkaitannya dengan perjalanan klinis
benigna pada sebagian besar pasien, subkelompok
pasien defisiensi IgA berkembang secara rekuren
menjadi infeksi paru dan gastrointestinal dengan
defisiensi antibodi, sedangkan infeksi invasif seperti
meningitis atau sepsis umumnya tidak terjadi.
Individu yang mengalami defisiensi IgA juga
mengalami peningkatan resiko terkena penyakit
autoimun, khususnya lupus eritemtosus sistemik,

240

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

dan
arthritis
rheumatoid,
dan
penyakit
gastrointestinal seperti penyakit inflamasi usus dan
penyakit celiac.Prevalensi asma dan alergi yang
lebih tinggi juga telah dilaporkan (Fried dan Bonilla,
2009). Kelainan kulit yang pernah dilaporkan
berupa manifestasi atopi, dengan ditemukannya IgE
spesifik (Shelly et al., 2006)
Defisiensi IgA selektif didefinisikan sebagai
kadar serum IgA di bawah 7 mg/dl disertai adanya
kadar serum IgG dan IgM yang normal pada pasien
berusia 4 tahun atau lebih setelah penyebab
hipogammaglobulinemia lainnya telah disingkirkan.
Anak muda dapat menderita keterlambatan fisiologis
pada produksi IgA yang semakin parah dan mungkin
tidak disadari.
Manifestasi klinis dan pemeriksaan respon
antibodi spesifik harus dipakai untuk menentukan
penanganan selanjutnya.(Francisco et al., 2005).
Defisiensi subkelas IgG
Defisiensi subkelas IgG didefinisikan sebagai
kadar subkelas IgG yang rendah (IgG1, IgG2, IgG3,
atau IgG4) dengan kadar IgG total yang normal dan
kadar isotope immunoglobulin yang normal. Kadang
kadang dihubungkan dengan defisiensi Ig .(Abbas
et al., 2010b; Francisco et al., 2005). Patofisiologi
defisiensi subkelas IgG masih belum diketahui, pada
beberapa pasien dilaporkan adanya delesi interstitial
pada kedua alel heavy chain immunoglobulin (Luigi,
2010).
Diagnosis defisiensi subkelas IgG masih
kontroversial, karena rendahnya salah satu atau
subkelas IgG yang lain ternyata ditemukan pula
pada sekitar 2 hingga 20 % individu yang sehat.
Diagnosis selanjutnya dipersulit dengan variasi
kadar subkelas IgG dmenurut usia dan melalui
metode
diferensiasi
yang
digunakan
pada
laboratorium individu untuk menentukan kadar
serum.(Xavier et al., 2005).
Rangkaian penampakan subkelas berbeda
selama masa kanak kanak mencerminkan
susunan daerah gen konstan rantai panjang pada
kromosom 14. Kadar IgG3 dan IgG1 meningkat
dengan cepat selama bayi, dilikuti dengan
perlambatan peningkatan kadar IgG2 dan IgG4,
dengan kadar dewasa yang biasanya tidak tercapai
sebelum pubertas. Karena IgG2 merupakan isotope
yang terutama bertanggung jawab untuk respon
terhadap polisakarida, maka dipostulasikan bahwa
defisiensi subkelas ini pada anak anak akan
meningkatkan resiko pasien terkena infeksi bakteri
berkapsul. Meski demikian, beberapa studi
mengidentifikasi anak dengan kadar IgG2 yang

Tinjauan Pustaka

rendah pada populasi normal tanpa adanya bukti


peningkatan kerentanan infeksi.(Fried dan Bonilla,
2009). Studi lain menemukan resolusi defisiensi
IgG2 pada semua anak yang diamati selama periode
waktu 6 tahun.(Atkinson dan Roifmann, 2007).
Defisiensi IgG3 paling banyak ditemui pada
dewasa, defisiensi IgG2 yang berhubungan dengan
defisiensi IgA paling banyak ditemui pada anak-anak
(Abbas et al., 2010b). Adanya gejala nampaknya
berkorelasi dengan gangguan respon antibodi
spesifik terhadap vaksin atau paparan alamiahnya
dengan pathogen (Fried dan Bonilla, 2009). Jika
pasiennya
simptomatik,
mereka
akan
memperlihatkan infeksi bakteri sinopulmonal yang
rekuren. Hubungan dengan penyakit atopi dan
autoimun juga telah dilaporkan, serupa dengan
defisiensi IgA (Francisco et al., 2005).
Defisiensi subkelas IgG dapat ditegakkan jika
salah satu atau subkelas IgG lain berada di bawah 2
SD, dengan kadar serum IgG yang normal. Hanya
jika infeksi terkait muncul dan diperlukan
pendeteksian lebih lanjut, meliputi pemeriksaan
respon antigen spesifik terhadap antigen protein dan
polisakarida (Fried dan Bonilla, 2009).
Defisiensi Antibodi Spesifik (SAD)
Defisiensi Antibodi Spesifik (SAD) ditandai
dengan terganggunya produksi antibodi (khususnya
terhadap antigen karbohidrat) tanpa adanya
abnormalitas jumlah total imunoglobulin atau jumlah
sel B (Luigi, 2010). Pasien memiliki respon yang
buruk terhadap antigen polisakarida seperti
polisakarida pneumococcal dan kapsul polisakarida
Haemophylus Influenza tipe b. defek molekuler yang
mendasarinya juga tidak diketahui. Prevalensi SAD
juga tidak diketahui tetapi diduga cukup tinggi,
dengan beberapa studi yang melaporkan 5 hingga
10 % anak yang dievaluasi untuk infeksi rekuren
(Fried dan Bonilla, 2009). Pasien yang menunjukkan
gejala PAD, sebagian besar mengalami infeksi
bakterial rekuren pada saluran pernapasan atas dan
bawah (Luigi, 2010).
Diagnosis SAD memerlukan bukti respon yang
buruk terhadap vaksin polisakarida dalam konteks
konsentrasi serum immunoglobulin yang normal.
Mungkin sulit untuk menegakkan diagnosis pada
anak berusia kurang dari 2 tahun, karena respon
inkonsisten mereka terhadap uji tantangan vaksin.
Respon abnormal terhadap protein vaksin atau bukti
hasil laboratorium abnormal selanjutnya dapat
menjadi indikasi adanya defek yang lebih luas dan
sebaiknya dievaluasi dengan cermat mengenai
adanya imunodefisiensi lain(Fried dan Bonilla, 2009).

Tinjauan Pustaka

Hipogammaglobulinemia
(THI)

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

transient

pada bayi

Antibodi maternal yang didapatkan melalui


transplasenta melindungi bayi terhadap patogen
hingga produksi antibodinya sendiri telah mencapai
kadar yang cukup. Keadaan antara hilangnya
antibodi maternal dan onset sintesis antibodi sendiri
memperlihatkan
periode
fisiologik
Hipogammaglobulinemia, biasanya bertahan dari
usia 3 hingga 6 bulan. Perpanjangan dan aksentuasi
fase ini dengan penurunanan kadar IgG, dan pada
beberapa kasus, juga produksi IgA dan IgM hingga
masa kanak kanak dini dipikirkan bertanggung
jawab pada kasus Hipogammaglobulinemia transient
pada bayi (THI). Istilah ini menyimpang dari
kenyataan bahwa Hipogammaglobulinemia menetap
hingga masa kanak kanak pada sebagian besar
kasus dan mungkin tidak bersifat transient pada
kasus lain tetapi lebih merupakan adanya defisiensi
antibodi profunda yang lebih berat seperti
CVID.(Qian et al., 2009).
Terlambatnya produksi antibodi kadang
kadang
berkaitan
dengan
infeksi
rekuren.
Manifestasi infeksius meliputi infeksi saluran napas
atas, dan yang jarang ditemukan, adalah
pneumonia. Yang lebih langka, infeksi invasif seperti
sepsis atau meningitis juga telah dilaporkan
(Francisco et al., 2005). Pada sebuah laporan di
Cina sebanyak 91 pasien menderita THI, dilaporkan
29 dari 91 orang pasien mempunyai penyakit atopi,
termasuk didalamnya dermatitis atopi (Qian et al.,
2009).
Pemeriksaan laboratorium menemukan serum
IgG di bawah 2SD usia kontrol rata rata. Kadar
serum IgA dan, yang lebih jarang, IgM juga menurun
(Mona et al., 2005).
Pemeriksaan sebaiknya
meliputi respon antibodi spesifik terhadap vaksin dan
juga kuantifikasi flow cytometric subset limfosit untuk
menemukan defek substansial lainnya. Respon
antibodi spesifik seringkali normal pada pasien
Hipogammaglobulinemia transient. Pasien sebaiknya
dipantau sepanjang waktu hingga kadarnya
mencapai nilai normal. Penyakit ini sendiri bisa
sembuh sendiri; meski demikian, intervensi medis
diindikasikan
untuk
beberapa
pasien,
dan
diagnosisnya harus dibedakan dengan penyakit
lainny (Fried dan Bonilla, 2009).
Penatalaksanaan
Seiring komplikasi infeksi yang terutama
ditemukan pada masalah klinis sebagai akibat
defisiensi antibodi, penanganan sebagian besar
dipusatkan pada pencegahan dan penanganan
infeksi seperti halnya pemantauan untuk mendeteksi
dini adanya komplikasi. Terapi pengganti antibodi
dan terapi antimikroba memainkan peran penting
dalam perawatan pasien PAD. Ketahanan dan
penanganan komplikasi non infeksius seperti

241

penyakit autoimun dan keganasan juga merupakan


unsur penting pada penanganan penyakit defisiensi
antibodi
primer.(Cunningham-Rundles,
2008)
Follow-up periodik pasien defisiensi antibodi
dianjurkan untuk mendeteksi komplikasi yang bisa
terjadi
selain pengobatan adekuat
dengan
gammaglobulin dan atau antimikroba.
Terapi Pengganti Imunoglobulin
Beberapa penelitian telah memperlihatkan
kemanjuran terapi pengganti gammablobulin untuk
menrunkan insiden infeksi saluran napas atas dan
bawah dan mengurangi penggunaan antimikroba
dan angka perawatan rumah sakit bagi pasien PAD
(Fried dan Bonilla, 2009). Secara umum diterima
bahwa pasien dengan penurunan produksi antibodi
spesifik yang signifikan memerlukan terapi pengganti
immunoglobulin (Jordan et al., 2006). Terapi
pengganti merupakan kunci utama pengobatan PAD
spectrum lanjut, meliputi agammaglobulinemia,
CVID, dan defek CSR (atau sindrom hiper Ig-M),
yang
semuanya
ditandai
dengan
derajat
hipogammaglobulinemia
berbeda,
gangguan
produksi antibodi spesifik, dan kerentanan akan
infeksi rekuren dan atau infeksi berat. Diagnosis dini
dan pemberian terapi immunoglobulin bagi pasien ini
tidak hanya penting untuk mencegah infeksi akut
seperti pneumonia atau meningitis tetapi juga untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas yang
berkaitan dengan komplikasi kronik seperti penyakit
paru kronik atau infeksi enteroviral kronik (Fried dan
Bonilla, 2009).
Pasien dengan defisiensi antibodi yang lebih
ringan (khususnya anakanak, yang memerlukan
pengobatan immunoglobulin) sebaiknya diperiksa
ulang pada waktuwaktu tertentu setelah terapi
pertama. Terapi pengganti lebih baik dihentikan
pada musim semi atau musim panas, di mana
insiden infeksi pernapasan cukup rendah; respon
antibodi dapat diperiksa ulang setelah 4 hingga 6
bulan. Pada beberapa kasus, perjalanan klinis dan
respon vaksin akan membaik seiring pertambahan
waktu; sedangkan pada kasus lain, terapi harus
tetap dilanjutkan (Jordan et al., 2006; Francisco et
al., 2005).
Mayoritas pasien THI simptomatik dapat
ditangani dengan antibiotik profilaksis, tetapi pada
yang gagal atau tidak dapat mentoleransi
pengobatan antimikroba mungkin bertahan dengan
pengganti gammaglobulin jangka pendek dan
sebaiknya dievaluasi ulang secara periodik
(Francisco et al., 2005). Defisiensi subkelas IgG dan
defisiensi IgA selektif bukanlah indikasi terapi
pengganti, tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu
bahwa terdapat produksi antibodi yang buruk, infeksi
rekuren yang tidak tertangani dan respon yang buruk
terhadap antibiotik (Fried dan Bonilla, 2009).

242

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Pasien
agammaglobulinemia
atau
hipogammaglobulinemia berat (< 200 mg/dl)
mungkin memerlukan loading dose (misalnya 1 dosis
1 g/kg berat badan atau dibagi menjadi dosis
terpisah). Untuk terapi maintenance PAD, dianjurkan
pemberian dosis permulaan 400 hingga 600
mg/kg/bulan. Terapi ini diberikan secara intra vena
setiap 3 hingga 4 minggu atau secara s.c. sekali
seminggu atau setiap minggu lainnya. Waktu paruh
eliminasi fisiologis rata rata IgG sekitar 23 hari,
dengan variabilitas luas, berkisar dari sekitar 20
hingga 60 hari, yang diamati di antara individu yang
mendapatkan terapi pengganti intra vena atau
subkutan (Bonnila, 2008).
Secara umum, dosis dan interval disesuaikan
untuk menjaga kadar serum tetap berada di atas 500
mg/dl. Meski demikian, regimen pengganti harus
disesuaikan dengan keadaan masingmasing pasien
dan responnya terhadap pengobatan, beberapa
studi telah memperlihatkan bahwa dosis yang lebih
tinggi dari dosis standar bermanfaat untuk pasien
pasien tertentu. Mempertahankan kadar IgG (> 800
mg/dl) mungkin diindikasikan bagi pasien penyakit
paru kronik dan atau sinusitis refrakter kronik. Kedua
kondisi ini memperlihatkan tantangan pengobatan
PAD, karena perkembangan penyakit yang tetap
berlanjut meski telah diberikan terapi yang adekuat.
Tingginya kadar IgG dapat mencegah kejadian atau
perkembangan komplikasi berikutnya (Fried dan
Bonilla, 2009).
Kondisi infeksius spesifik mungkin memerlukan
pemberian terapi immunoglobulin dosis tinggi
sementara, misalnya pengobatan pasien XLA yang
menderita meningoensefalitis enteroviral kronik, di
mana mempertahankan kadar IgG > 1000 mg/dl
telah menunjukkan hasil yang baik. Bagi pasien SAD
yang serum total IgGnya secara kuantitatif normal,
maka peningkatan kadar IgG tidak akan membantu
pengobatan; oleh karenanya, pengobatan harus
dititrasi berdasarkan respon klinis (Fried dan Bonilla,
2009).
Pemberian IgG subkutan terbukti aman dan
sama efektifnya dengan
IgG intra vena untuk
mengobati PAD dan banyak digunakan sebagai
terapi alternatif pemberian IgG intra vena (Gardulf et
al., 2006).
Keuntungan utamanya adalah efek
samping sistemik yang lebih rendah, fluktuasi
konsentrasi serum IgG yang lebih kecil, dan
perbaikan kualitas hidup bagi pasien yang berobat di

Tinjauan Pustaka

rumahnya sendiri (Ballow, 2008). Efek samping lokal


(eritema, pembengkakan, dan kulit tegang)
umumnya terjadi akibat pemberian IgG subkutan. hal
ini bersifat ringan dan biasanya hilang dalam 24 jam.
Jarang ditemukan efek samping yang lama. Jumlah
total IgG yang diberikan per bulan secara umum
sama, baik dengan pemberian IgG intra vena. dan
pemberian subkutan (Ballow, 2008).

Pemberian antibiotik profilaksis


Pasien dengan fenotipe PAD yang lebih ringan,
meliputi pasien THI, defisiensi IgA selektif, atau
defisiensi subkelas IgG, yang datang dengan infeksi
pernapasan atas dapat ditangani dengan baik
dengan pemberian kemoprofilaksis antibakterial. Hal
ini secara khusus membantu pasien penderita
defisiensi transient ringan. Oleh karenanya,
profilaksis dengan antibiotik dipertimbangkan
sebagai model terapi awal bagi kebanyakan pasien
THI dan seringkali dibutuhkan hanya selama musim
dingin (Francisco et al., 2005).
Banyak ahli menganjurkan antibiotik profilaksis
selain pengganti immunoglobulin bagi pasien CVID
atau XLA yang menderita komplikasi infeksius kronik
yang sulit ditangani, seperti sinusitis kronik atau
bronkiektasis. Kurangnya infus IgG ke permukaan
mukosa dan kurangnya IgM dan IgA pada beberapa
pasien merupakan faktor yang berperan terhadap
menetapnya infeksi selain adanya pengganti
gammaglobulin (Fried dan Bonilla, 2009).
Regimen antibiotik profilaksis standar untuk
PAD sebagain besar diambil dari data penelitian
pasien imunokompeten yang menderita infeksi
pernapasan atas rekuren. Profilaksis biasanya
dimulai
dengan
amoksisilin,
trimetoprimsulfametoksazol, atau azitromisin. Jika tidak efektif,
obat lain seperti amoksisilinklavulanat atau
klaritromisin (atau yang lainnya) juga dapat
digunakan. Beberapa praktisi menggunakan dosis
terapeutik
penuh,
dan
yang
lain
hanya
menggunakan setengahnya. Beberapa melakukan
rotasi antibiotik preventif setiap 1 hingga 6 bulan,
dan yang lainnya mempertahankan terapi dengan
satu obat saja. Tidak ada data publikasi mengenai
keefektifan regimen pada populasi pasien ini (Fried
dan Bonilla, 2009).

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

243

Daftar Pustaka
Abbas, A. K., Lichtman, A. H. & Pillai, S. 2010a
Antibodies and antigens. dalam Schmitt, W.
(Ed.) Cellular and molecular immunology. 6
ed. Philadelphia, Elsevier.
Abbas, A. K., Lichtman, A. H. & Pillai, S. 2010b
Congenital
and
Acquired
Immunodeficiencies. dalam Schmitt (Ed.)
Cellular and Molecular Immunology 6ed.
Philadelphia, Elsevier.
Aghamohammadi, A., Taher Cheraghi, Nima
Rezaei,
Hirokazu
Kanegane,
Sina
Abdollahzede,
Mojtaba
Talaei-Khoei,
Golnaz Heidari, Fariborz Zandieh, Mostafa
Moin & Miyawaki, T. 2009 Neutropenia
Associated
with
X-Linked
Agammaglobulinemia in an Iranian Referral
Center Iran J Allergy Asthma Immunol. 8:
43-7.
Athar Moin, Abolhassan Farhoudi, Mostafa Moin,
Zahra Pourpak & Bazargan, N. 2006
Cutaneous Manifestations of Primary
Immunodeficiency Diseases in Children.
Iranian J
Allergy, Asthma and
Clin
Immunol. 5: 121-6.
Atkinson, A. R. & C.M.Roifmann 2007 Low serum
Immunoglobulin G2 levels in infancy can be
transient. Pediatrics. 120: 543-7.
Avni Y. Joshi, Vivek N. Iyer, John B. Hagan &
Jennifer L. ST. Sauver. 2009 Incidence and
Temporal
Trends
of
Primary
Immunodeficiency:A
Population-Based
Cohort Study. Mayo Clin Proc. 84: 16-22.
Ballow, M. 2008 Immunoglobulin therapy: methods
of delivery. J Allergy Clin Immunol. 122:
1038-9.
Baron I Ruiz, Martin Mateos MA &.Plaza Martin AM.
2010
X-linked
agammaglo-bulinemia,
mutation
A1246G
(R372G).
Allergol
Immunopathol. 106: 1-3.
Bonnila, F. A. 2008 Pharmacokinetics of
immunoglobulin
administered
via
intravenous or subcutaneous routes. Allergy
Clin. N. Am. 28: 803-19.
Boyle, J. M. & Buckley, R. H. 2007 Population
prevalence
of
diagnosed
primary
immunodeficiency diseases in the United
States. J.Clin Immunol 27: 497-502.
Claudia Wehr, Teemu Kivioja, Christian Schmitt,
Berne Ferry, Torsten Witte, Efrem Eren,
Marcela Vlkova & Manuel Hernandez 2008
The Euroclass trial: defining subgroups in
common variable immunodeficiency. Blood.
111: 77-86.

Conley, M. E., A.Broides, V.Hernandez-Trujillo,


V.Howard, H.kanegane, T.Miyawaki &
Shurtleff, S. A. 2005 Genetic analysis of
patient with defects in early B-cell
development. Immunol. Rev. 203: 216-234.
Cunningham-Rundles,
C.
2008
Autoimmune
Manifestations
in
Common
Variable
Immunodeficiency. J Clin Immunol. 28: 42-5.
Davies, E. G. & Thrasher, A. J. 2010 Update on the
hyper immunoglobulin M syndromes. British
Journal of Haematology. 149: 167-80.
Francisco A. Bonilla, I. Leonard Bernstein, David A.
Khan, Zuhair K. Ballas, Javier Chinen,
Michael M. Frank, Lisa J. Kobrynski, Arnold I.
Levinson, Bruce Mazer, Robert P. Nelson, J.,
Jordan S. Orange, John M. Routes, William
T. Shearer & Sorensen, R. U. 2005 Practice
parameter
for
the
diagnosis
and
management of primary immunodeficiency. J
Annals of Allergy, Asthma & Immunol. 94: 163.
Fried, A. J. & Bonilla, F. A. 2009 Pathogenesis,
Diagnosis, and Management of Primary
Antibody Deficiencies and Infections. Clin.
Microbiol. Review. 22: 396-414.
Gardulf, A., U. Nicolay, O.Asensio, E. bernatowska,
A.Bock & carvalho, B. C. 2006 Rapid
subcutaneous IgG replacement therapy is
effective and safe in children and adults with
primary immunodeficiencies-a prospective,
multi-national study. J. Clin. Immunol. 26:
177-85.
Gerd Rudiger, antonio Pezzutto & wirth, J. 2003
Humoral immunodeficiencies. Color Atlas of
Immunology. Berlin, Geog Thieme Verlag.
Giovannetti, A., M. Piedorminici, F.Mazzetta,
M.Marziali, C.Renzi, A.M.Mileo & Felice, M.
D. 2007 Unravelling the complexity of T cell
abnormalities
in
common
variable
immunodeficiency. J. Immunol. 178: 393243.
Helen Chapel, Mary Lucas, Martin Lee, Janne
Bjorkander,
David
Webster,
Bodo
Grimbacher, Claire Fieschi, Vojtech Thon,
Mohammad R. Abedi & Hammarstrom9, L.
2008 Common variable immunodeficiency
disorders: division
Janzi M, Kull I, Sjoberg R, Wan J & E, M. 2009
Selective IgA deficiency in early life:
association to infections and allergic
diseases during childhood. Clin Immunol.
134: 437-46.

244

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Jin-Kyong Chun, Taek Jin Lee, Jae Woo Song, John


A Linton & Kim, D. S. 2008 Analysis of
Clinical Presentations of Bruton Disease: A
Review of 20 Years of Accumulated Data
from Pediatric Patients at Severance
Hospital. Yonsei Med J 49: 28-36.
Jordan S. Orange, Elham M. Hossny, Catherine R.
Weiler, Mark Ballow, Melvin Berger,
Francisco A. Bonilla, Rebecca Buckley,
Javier Chinen, Yehia El-Gamal, D., B.,
Mazer, Robert P. Nelson, Dhavalkumar D.
Patel,
Elizabeth,
Secord,
Ricardo,
Sorensen, Richard L. Wasserman &
Charlotte Cunningham-Rundles 2006 Use of
intravenous immunoglobulin in human
disease: A review of evidence by members
of the Primary Immunodeficiency Committee
of the American Academy of Allergy,
Asthma and Immunology, J Allergy Clin
Immunol. 117: 526-53.
Justin R Sigmon, Kasasbeh, E. & Krishnaswamy, G.
2008
X-linked
agammaglobulinemia
diagnosed late in life: case report and
review of the literaturature. Clinical and
Molecular Allergy. 6: 1-7.
LeBien, T. W. & Tedder, T. F. 2008 B lymphocytes:
how they develop and function. BLOOD.
112: 1570-80.
Lee, J., E.Ozcan, I.Rauter & Geha, R. S. 2008
Transmembrane activator and calciummoderator and cyclophilin ligand interactor
mutations
in
common
variable
immunodeficiency. Curr. Opin. Allergy Clin.
Immunol. 8: 520-6.
Luigi
D.
Notarangelo
2010
Primary
immunodeficiencies. J Allergy Clin Immunol.
125: 183-94.
Melchers, F. 2005 The pre-B cell recepyor: selector
of fitting immunoglobulin heavy chain for the
B-cell repertoire. Nat. Rev. Immunol. 5: 57884.
Menno C. van Zelm, Ismail Reisli, M. D., Mirjam van
der Burg, Diana Castao & Carel J.M. van
Noesel 2006 An Antibody-Deficiency
Syndrome Due to Mutations in the CD19
Gene. N Engl J Med. 354: 1901-12.
Mona Iancovici Kidon, Zeev T Handzel, Rivka
Schwartz, Irit Altboum, Stein, M. & Zan-Bar,
I.
2005
Symptomatic
hypogammaglobulinemia in infancy and childhood
clinical outcome and in vitro immune
responses BMC Family Practice. 5: 1-7.
Notarangelo L, Casanova JL & ME, C. 2006a
Primary immunodeficiency diseases: an
update from the international union of
immunological
societies
primary
immunodeficiency diseases classification
committee meeting in Budapest, 2005. J
Allergy Clin Immunol. 117: 883-96.

Tinjauan Pustaka

Notarangelo L, G.Lanzi, S., S.Peron & A.Durandy


2006b Defects of class-switch recombination.
J. Allergy Clin.Immunol. 117: 855-64.
Wood P, Stanworth S, Burton J, Jones A, Peckham
DG, Green T, Hyde, C. & Chapel, H. 2007
Recognition,
clinical
diagnosis
and
management of patients with primary
antibody deficiencies: a systematic review.
Clinical and Experimental Immunology. 149:
41023.
Paller, A. S. & Abrams, M. 2008 Genetic
immunodeficiency diseases. dalam Wolff, K.,
Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A.,
paller, A. S. & Leffell, d. J. (Eds.) Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New
York, Mc Graw Hill.
Qian Ji-hong, Zhu Jian-xing, Xiao-dong, Z. & Tongxin, C. 2009 Clinical features and follow-up of
Chinese
patients
with
symptomatic
hypogammaglobulinemia in infancy Chinese
Medical Journal. 122: 1877-87.
Rezaei N, F.A Bonilla, K.E Sullivan, E. de Vries &
Orange, J. S. 2008 An introduction to primary
immunodeficiency diseases. dalam Rezaei
N, A. Aghamohammadi & Notarangelo, L. D.
(Eds.) Primary immunodeficiency diseases. 5
ed. Berlin, Springer-Verlag.
Salzer, U., A.Maul-pavicic, C.Cunningham-Rundles,
S.Urschel, B.H, B. & J.Litzman 2006 ICOS
deficiency in patients with common variable
immunodeficiency. Clin. Immunol. 113: 234240.
Salzer, U., C. Bacchelli, S.Buckridge, Q.PanHammarstrom, S. Jennings & V.Lougaris, A.
2009 Relevance of biallelic versus
monoallelic TNFRSF13B mutations in
distinguishing disease-causing from riskincreasing TNFRSF13B variants in antibody
deficiency syndromes. Blood. 113: 1967-76.
Sawada, A., Y. Takihara, Y. Kim & Matsuda-Hashii,
Y. 2005 A congenital mutation of the novel
gene LRRC8 causes agammaglobulinemia in
humans. J. Clin. Investig. 112: 1707-13.
Sekine, H., R.C.Ferreira, Q. Pan-Hammarstrom,
R.R.Graham & B.Ziemba 2007 Role for
Msh5 in the regulation of Ig class switch
recombination. Proc. Natl. Acad.Sci. 104:
7193-8.
Shah, I. 2005 Hyper IgM syndrome with tuberculous
osteomyelitis and scrofuloderma. Indian
Pediatrics 42: 952-3.
Shelly Chandran, Dheeraj Khetan, Rajendra
Chaudhary, Ramnath Misra & Aggarwal, A.
2006 Low prevalence of IgA deficiency in
north Indian population. Indian J Med Res.
123: 653-6.

Tinjauan Pustaka

Majalah Kesehatan PharmaMedika, 2011 Vol,3, No,1

Silvia Snchez-Ramna, Lin Radigana, Joyce E.


Yua,
Susan
Barda,
Charlotte
&
Cunningham-Rundlesa 2008 Memory B cells
in common variable immunodeficiency:
Clinical associations and sex differences Clin
Immunol. 128: 31421.
Waldrep, M. L., Zhuang, Y. & Jr, H. W. S. 2009
Analysis of TACI mutations in CVID & RESPI
patients who have inherited HLA B*44 or
HLA*B8. BMC Medical Genetics. 10: 1-5.
Winkelstein, J. A., M.C. Marino, H.M. lederman, S.M.
Jones, K. Sullivan, A.W. Burks, M.E. Conley,
Cunningham-Rundles, C. & Ochs, H. D.
2006 X-linked agammaglobulinemia: report
on a United States registry of 201 patients.
Medicine (Baltimore). 85: 193-202.
Wood, P.2009.Primary antibody deficiencies:
recognition, clinical diagnosis and referral of
patients. Royal Collage of Physicians. UK.
Xavier Bossuyt, Godelieve Marien, Isabelle Meyts,
Marijke Proesmans & Kris De Boeck 2005
Determination of IgG subclasses: A need for
standardization, J Allergy Clin Immunol.115:
872-3.

245

Anda mungkin juga menyukai