231
Correspondence
Dr. Maria Magdalena, Sub Bagian
Alergi dan Imunologi, Bagian/SMF
Ilmu Kesehatan Kulit dan
KelaminFakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin/ RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar,
Indonesia
Pendahuluan
Defisiensi antibodi primer merupakan kelainan
diakibatkan
defek
yang
menyebabkan
ketidakmampuan untuk memproduksi antibodi efektif
untuk berespon terhadap patogen (Wood et al.,
2007). Defek pada fungsi atau perkembangan sel B
menyebabkan sintesa antibodi yang abnormal
(Abbas et al., 2010b). Kelainan pada defisiensi
antibodi mencakup sebuah spektrum penyakit yang
dapat diamati dengan menurunnya kadar antibodi,
mulai dari bentuk penyakit dengan tidak dihasilkan
imunoglobulin dari semua kelas antibodi sama sekali
sampai dengan defisiensi selektif, yaitu defisiensi
untuk antibodi kelas tertentu saja. Derajat keparahan
penyakit tergantung pada derajat kekurangan
antibodi bersangkutan (Wood et al., 2007).
Sebagian besar defisiensi antibodi yang telah
didefinisikan pada tingkat molekuler berasal dari
defek intrinsik perkembangan dan fungsi sel B.
Mengingat sel plasma yang berasal dari sel B, hanya
merupakan satusatunya sel di dalam tubuh yang
mensekresi immunoglobulin. Meski demikian,
beberapa kelainan yang bermanifestasi akibat
gangguan produksi antibodi mungkin juga timbul
akibat defek sel T atau sel lain yang saling bekerja
sama dengan atau membantu sel B pada proses
perkembangan sel B (Francisco et al., 2005). Lebih
jauh lagi, sebagian besar pasien penderita defisiensi
antibodi menderita sindrom
232
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
233
234
Tinjauan Pustaka
Agammaglobulinemia
Agammaglobulinemia merupakan defisiensi
antibodi langka yang disebabkan oleh defek
perkembangan sel B dan ditandai dengan rendahnya
atau tidak adanya sel B, hipogammaglobulinemia,
dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi (Fried
dan Bonilla, 2009).
X-linked Agammaglobulinemia (XLA)
X-Linked Agammaglobulinemia bertanggung
jawab pada sekitar 85% kasus agammaglobulinemia
dan disebabkan oleh defisiensi tirosin kinase BTK
(Luigi, 2010). Mutasi BTK telah diketahui melalui 5
domain gen fungsional, yang terletak di bagian
tengah kromosom X pada Xq22. gen ini biasanya
bersifat penetran sepenuhnya, kelainan resesif
terkait X. meski demikian, telah dipaparkan
mengenai fenotipe atipikal yang sifatnya lebih ringan.
Tinjauan Pustaka
235
recessive
agammaglobulinemia
Pada
perkiraan
10
%
kasus,
agammaglobulinemia tidak didasarkan pada mutasi
BTK, tetapi diturunkan sebagai jalur autosomal dan
oleh
karenanya
digolongkan
sebagai
agammaglobulinemia resesif autosomal (ARA).
Defek molekuler penyebabnya bersifat heterogen,
dengana beberapa komponen kunci pada saat
perkembangan sel B dini (pre-BCR signaling) yang
terganggu pada individu berbeda. Defek spesifik
belum diketahui pada sekitar 5 % pasien (Francisco
et al., 2005,; Conley et al., 2005; Abbas et al.,
2010b).
Gejala klinis dan laboratorium ARA penting untuk
mengetahui seseorang yang menderita XLA.
Autosomal recessive agammaglobulinemia (ARA)
dicurigai
pada
wanita
penderita
agammaglobulinemia, bagi keluarga dengan pola
keturunan autosomal, jika defeknya ditemukan, atau
jika mutasi BTK telah disingkirkan untuk pasien laki
laki (Francisco et al., 2005; Conley et al., 2005).
236
Tinjauan Pustaka
Tabel 2. Pembagian tipe sindrom HIGM berdasarkan genetik.(Davies dan Thrasher, 2010)
Tinjauan Pustaka
237
238
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
239
240
dan
arthritis
rheumatoid,
dan
penyakit
gastrointestinal seperti penyakit inflamasi usus dan
penyakit celiac.Prevalensi asma dan alergi yang
lebih tinggi juga telah dilaporkan (Fried dan Bonilla,
2009). Kelainan kulit yang pernah dilaporkan
berupa manifestasi atopi, dengan ditemukannya IgE
spesifik (Shelly et al., 2006)
Defisiensi IgA selektif didefinisikan sebagai
kadar serum IgA di bawah 7 mg/dl disertai adanya
kadar serum IgG dan IgM yang normal pada pasien
berusia 4 tahun atau lebih setelah penyebab
hipogammaglobulinemia lainnya telah disingkirkan.
Anak muda dapat menderita keterlambatan fisiologis
pada produksi IgA yang semakin parah dan mungkin
tidak disadari.
Manifestasi klinis dan pemeriksaan respon
antibodi spesifik harus dipakai untuk menentukan
penanganan selanjutnya.(Francisco et al., 2005).
Defisiensi subkelas IgG
Defisiensi subkelas IgG didefinisikan sebagai
kadar subkelas IgG yang rendah (IgG1, IgG2, IgG3,
atau IgG4) dengan kadar IgG total yang normal dan
kadar isotope immunoglobulin yang normal. Kadang
kadang dihubungkan dengan defisiensi Ig .(Abbas
et al., 2010b; Francisco et al., 2005). Patofisiologi
defisiensi subkelas IgG masih belum diketahui, pada
beberapa pasien dilaporkan adanya delesi interstitial
pada kedua alel heavy chain immunoglobulin (Luigi,
2010).
Diagnosis defisiensi subkelas IgG masih
kontroversial, karena rendahnya salah satu atau
subkelas IgG yang lain ternyata ditemukan pula
pada sekitar 2 hingga 20 % individu yang sehat.
Diagnosis selanjutnya dipersulit dengan variasi
kadar subkelas IgG dmenurut usia dan melalui
metode
diferensiasi
yang
digunakan
pada
laboratorium individu untuk menentukan kadar
serum.(Xavier et al., 2005).
Rangkaian penampakan subkelas berbeda
selama masa kanak kanak mencerminkan
susunan daerah gen konstan rantai panjang pada
kromosom 14. Kadar IgG3 dan IgG1 meningkat
dengan cepat selama bayi, dilikuti dengan
perlambatan peningkatan kadar IgG2 dan IgG4,
dengan kadar dewasa yang biasanya tidak tercapai
sebelum pubertas. Karena IgG2 merupakan isotope
yang terutama bertanggung jawab untuk respon
terhadap polisakarida, maka dipostulasikan bahwa
defisiensi subkelas ini pada anak anak akan
meningkatkan resiko pasien terkena infeksi bakteri
berkapsul. Meski demikian, beberapa studi
mengidentifikasi anak dengan kadar IgG2 yang
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
Hipogammaglobulinemia
(THI)
transient
pada bayi
241
242
Pasien
agammaglobulinemia
atau
hipogammaglobulinemia berat (< 200 mg/dl)
mungkin memerlukan loading dose (misalnya 1 dosis
1 g/kg berat badan atau dibagi menjadi dosis
terpisah). Untuk terapi maintenance PAD, dianjurkan
pemberian dosis permulaan 400 hingga 600
mg/kg/bulan. Terapi ini diberikan secara intra vena
setiap 3 hingga 4 minggu atau secara s.c. sekali
seminggu atau setiap minggu lainnya. Waktu paruh
eliminasi fisiologis rata rata IgG sekitar 23 hari,
dengan variabilitas luas, berkisar dari sekitar 20
hingga 60 hari, yang diamati di antara individu yang
mendapatkan terapi pengganti intra vena atau
subkutan (Bonnila, 2008).
Secara umum, dosis dan interval disesuaikan
untuk menjaga kadar serum tetap berada di atas 500
mg/dl. Meski demikian, regimen pengganti harus
disesuaikan dengan keadaan masingmasing pasien
dan responnya terhadap pengobatan, beberapa
studi telah memperlihatkan bahwa dosis yang lebih
tinggi dari dosis standar bermanfaat untuk pasien
pasien tertentu. Mempertahankan kadar IgG (> 800
mg/dl) mungkin diindikasikan bagi pasien penyakit
paru kronik dan atau sinusitis refrakter kronik. Kedua
kondisi ini memperlihatkan tantangan pengobatan
PAD, karena perkembangan penyakit yang tetap
berlanjut meski telah diberikan terapi yang adekuat.
Tingginya kadar IgG dapat mencegah kejadian atau
perkembangan komplikasi berikutnya (Fried dan
Bonilla, 2009).
Kondisi infeksius spesifik mungkin memerlukan
pemberian terapi immunoglobulin dosis tinggi
sementara, misalnya pengobatan pasien XLA yang
menderita meningoensefalitis enteroviral kronik, di
mana mempertahankan kadar IgG > 1000 mg/dl
telah menunjukkan hasil yang baik. Bagi pasien SAD
yang serum total IgGnya secara kuantitatif normal,
maka peningkatan kadar IgG tidak akan membantu
pengobatan; oleh karenanya, pengobatan harus
dititrasi berdasarkan respon klinis (Fried dan Bonilla,
2009).
Pemberian IgG subkutan terbukti aman dan
sama efektifnya dengan
IgG intra vena untuk
mengobati PAD dan banyak digunakan sebagai
terapi alternatif pemberian IgG intra vena (Gardulf et
al., 2006).
Keuntungan utamanya adalah efek
samping sistemik yang lebih rendah, fluktuasi
konsentrasi serum IgG yang lebih kecil, dan
perbaikan kualitas hidup bagi pasien yang berobat di
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
243
Daftar Pustaka
Abbas, A. K., Lichtman, A. H. & Pillai, S. 2010a
Antibodies and antigens. dalam Schmitt, W.
(Ed.) Cellular and molecular immunology. 6
ed. Philadelphia, Elsevier.
Abbas, A. K., Lichtman, A. H. & Pillai, S. 2010b
Congenital
and
Acquired
Immunodeficiencies. dalam Schmitt (Ed.)
Cellular and Molecular Immunology 6ed.
Philadelphia, Elsevier.
Aghamohammadi, A., Taher Cheraghi, Nima
Rezaei,
Hirokazu
Kanegane,
Sina
Abdollahzede,
Mojtaba
Talaei-Khoei,
Golnaz Heidari, Fariborz Zandieh, Mostafa
Moin & Miyawaki, T. 2009 Neutropenia
Associated
with
X-Linked
Agammaglobulinemia in an Iranian Referral
Center Iran J Allergy Asthma Immunol. 8:
43-7.
Athar Moin, Abolhassan Farhoudi, Mostafa Moin,
Zahra Pourpak & Bazargan, N. 2006
Cutaneous Manifestations of Primary
Immunodeficiency Diseases in Children.
Iranian J
Allergy, Asthma and
Clin
Immunol. 5: 121-6.
Atkinson, A. R. & C.M.Roifmann 2007 Low serum
Immunoglobulin G2 levels in infancy can be
transient. Pediatrics. 120: 543-7.
Avni Y. Joshi, Vivek N. Iyer, John B. Hagan &
Jennifer L. ST. Sauver. 2009 Incidence and
Temporal
Trends
of
Primary
Immunodeficiency:A
Population-Based
Cohort Study. Mayo Clin Proc. 84: 16-22.
Ballow, M. 2008 Immunoglobulin therapy: methods
of delivery. J Allergy Clin Immunol. 122:
1038-9.
Baron I Ruiz, Martin Mateos MA &.Plaza Martin AM.
2010
X-linked
agammaglo-bulinemia,
mutation
A1246G
(R372G).
Allergol
Immunopathol. 106: 1-3.
Bonnila, F. A. 2008 Pharmacokinetics of
immunoglobulin
administered
via
intravenous or subcutaneous routes. Allergy
Clin. N. Am. 28: 803-19.
Boyle, J. M. & Buckley, R. H. 2007 Population
prevalence
of
diagnosed
primary
immunodeficiency diseases in the United
States. J.Clin Immunol 27: 497-502.
Claudia Wehr, Teemu Kivioja, Christian Schmitt,
Berne Ferry, Torsten Witte, Efrem Eren,
Marcela Vlkova & Manuel Hernandez 2008
The Euroclass trial: defining subgroups in
common variable immunodeficiency. Blood.
111: 77-86.
244
Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka
245