Presentasi Kasus CA Cervix
Presentasi Kasus CA Cervix
Kanker Serviks
Disusun Oleh :
Vincentius Adrian Madargerong (11.2014.143)
Pembimbing :
dr. Toto Imam Soeparmo, SpOG, K. Onk
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun oleh:
Vincentius Adrian Madargerong
11.2014.143
Oktober 2015
Jakarta
Dokter Pembimbing
I.
Identitas pasien
No rekam medik
: 816358
Tanggal masuk RS
: 19 Oktober 2015
Nama
: Ny.A
Tanggal Lahir
: 23 Februari 1968
Umur
: 47tahun
Jenis kelamin
: Wanita
Pekerjaan
Alamat
II.
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada hari Selasa 27 Oktober 2015
Keluhan Utama :
Pasien mengeluhkan perdarahan yang tidak berhenti dari jalan lahir selama 6 bulan
sejak 10 bulan SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
1 tahun SMRS pasien mengeluhkan nyeri saat berhubungan dengan suami dan
didapatkan keluarnya darah dari jalan lahir sesaat setelah berhubungan. 10 bulan SMRS
pasien mengeluhkan keluarnya darah yang banyak dari jalan lahir tanpa disertai rasa
nyeri. Darah yang keluar dirasakan setiap hari dan menggumpal. Dalam sehari pasien
mengaku harus mengganti pembalut sebanyak 10 kali. Keluhan darah yang keluar dari
jalan lahir sudah dialami selama 6 bulan. 2 bulan yang lalu pasien menjalani operasi
nefrostomi bilateral. Sebelum dilakukan nefrostomi, pasien sempat menjalani terapi
hemodialysis. Sejak 10 bulan SMRS hingga saat ini pasien mengaku sudah turun berat
badan yaitu 20 kg. Kurang lebih sudah 1 bulan ini pasien sudah tidak ada keluhan
perdarahan dari jalan lahir. Saat ini pasien merasakan sesak, nyeri pada nefrostomi dan
pasien masih mual. Pasien mengaku saat ini keluar cairan encer warna putih, berbau
3
dan tidak begitu banyak kurang lebih 1 pampers dalam sehari dan itu juga tidak banyak
dari jalan lahir tanpa rasa nyeri.
Riwayat Kebidanan
Riwayat haid: Menarche usia 12 tahun, siklus teratur, lamanya haid 1 minggu.
Pasien mengaku tidak merasa nyeri saat haid.
Riwayat kehamilan sebelumnya: pasien sudah menikah sejak usia 13 tahun dan
sudah mempunyai 4 anak. Anak pertama lahir pada saat pasien berusia 18 tahun.
Kehamilan dan persalinan normal. Persalinan dibantu oleh bidan dan dukun.
Pemberian ASI eksklusif setiap anak kurang lebih 1 tahun 6 bulan sampai 2
tahun.
Pemeriksaan fisik
Keadan umum : tampak baik
Kesadaran
: Compos mentis
Vital sign
: 88 x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Suhu
: 36,7C
Status general
Kepala
Normochepali
Mata
Conjunctiva anemis
Pupil: isokor
Hidung
Bagian luar
Septum
Mukosa hidung
: tidak hiperemis
Cavum nasi
Telinga
Daun telinga
: normal
Liang telinga
: lapang
Membrana timpani
: intake
Sekret
: tidak ada
Bibir
: pucat
Palatum
Lidah
: normoglosia
Tonsil
: T1/T1 tenang
Faring
: tidak hiperemis
JVP
: (5+2) cm H2O
Leher
Kelenjar tiroid
Trakea
: letak di tengah
Thorax
Paru-Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas atas
Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
: tampak membuncit
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
: nyeri tekan (+), hepar teraba (-), lien teraba (-), terdapat
benjolan difus intraabdomen setinggi hipogastrica dextra
dan hipogastrica sinistra dari symphisis pubis.
Ekstremitas atas
Ekstremitas Bawah
IV.
Periksa luar
Inspekulo
perdarahan aktif.
-
Periksa Dalam
bagian distal, massa sepanjang dinding vagina proksimal, menyatu dengan uterus,
teraba uterus berukuran sekepala bayi dan kedua parametrium kaku.
Pemeriksaan Penunjang
-
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
26-10-2015
27-10-2015
Nilai Rujukan
Hematologi Rutin
9
Hemoglobin
9,1*
12-16 g/dL
Hematokrit
28*
37-47%
Eritrosit
3,1*
Leukosit
21720*
4800-10.800 /uL
Trombosit
185000
150.000-400.000/uL
MCV
91
80-96 fL
MCH
29
27-32 pg
MCHC
32
32-36 g/dL
Kimia Klinik
Albumin
3,1
2,6*
3,5-5,0 g/dL
Ureum
112
110*
20-50 mg/dL
Kreatinin
1,7
1,6*
0,5-1,5 mg/dL
Natrium (Na)
151
149*
135-147 mmol/L
Kalium (K)
4,5
4,3
3,5-5,0 mmol/L
Klorida (Cl)
120
120*
95-105 mmol/L
Pemeriksaan Rontgen
o Rontgen Thoraks PA
Tulang tulang intak
Lengkung hemidiafragma dan sinus kostofrenikus baik
Jantung tidak membesar, CTR<50%
Aorta elongasi, mediastinum superior tidak melebar
Trakea di tengah, kedua hilus tidak menebal
Coracan bronkovaskular ke dua paru baik
Tak tampak infiltrate/nodul pada kedua lapang paru
Kesan : cord an pulmo dalam batas normal, tidak tampak metastasis pada
rontgen thoraks.
10
o Kd. Empedu besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal, tidak tampak batu
dan sludge.
o Pancreas besar dan bentuk normal, tidak tampak lesi fokal, ductus pankreatikus
tidak melebar
o Lien besar dan bentuk normal, tidak tampak lesi fokal, V. lienalis tidak melebar.
o Kedua ginjal besar dan bentuk normal, struktur cortex dan medulla dalam batas
normal, tidak tampak lesi fokal, tidak tampak batu, tidak tampak dilatasi pelvio
calyces.
o V. urinaria besar dan bentuk normal, dinding tidak menebal, tidak tampak batu,
tidak terlihat indentasi massa.
o Uterus tampak lesi hypoechoic berdiameter 33,8 x 33,0 x 42,3 mm pada serviks.
o Tidak tampak pembesaran KGB para aorta.
o Kesan didapatkan massa serviks.
-
o Mikroskopik
Karsinoma
Sel
Skuamosa,
serviks
berkeratin
berdiferensiasi sedang.
RESUME
1. Subjective
Seorang wanita 47 tahun dengan keluhan 1 tahun SMRS nyeri saat berhubungan
intim dan terdapat post coital bleeding. 10 bulan SMRS mengalami Abnormal
Uterine Bleeding selama 6 bulan setiap harinya, tanpa nyeri, dan setiap harinya harus
mengganti kurang lebih 10 pembalut. Riwayat hemodialysis 3 bulan SMRS dan
nefrostomi bilateral 2 bulan SMRS. Terdapat penurunan berat badan sebanyak 20 kg
selama 10 bulan.
Riwayat menarche pada usia 12 tahun. Menikah pertama usia 13 tahun dan
mempunyai 4 orang anak, anak pertama pada usia 18 tahun. Pasien menggunakan alat
11
kontrasepsi KB implant selama kurang lebih 10 tahun. Tidak ada yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien pada keluarga.
2. Objective
Didapatkan pada pemeriksaan fisik tanda tanda vital yaitu tekanan darah 100/70
mmHg, nadi 88x/menit, laju nafas 24 x/menit, dan suhu 36,7o C. Status generalis
pasien didapatkan konjungtiva anemis, bibir pucat, abdomen tampak kembung dan
terdapat edema pretibial dan pergelangan kaki kanan dan kiri.
Pada status obstetric dan ginekologi melalui periksa luar, inspekulo dan periksa
dalam didapatkan hasil dari pemeriksaan luar didapatkan tampak selang nefrostomi
bilateral. Pemeriksaan inspekulo didapatkan portio berbenjol-benjol, rapuh, dan tidak
didapatkan perdarahan aktif. Dari pemeriksaan dalam didapatkan teraba portio
berbenjol-benjol, massa di dinding vagina bagian distal, massa sepanjang dinding
vagina proksimal, menyatu dengan uterus, teraba uterus berukuran sekepala bayi dan
kedua parametrium kaku.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium darah dan kimia
klinik didapatkan hemoglobin 9,1 g/dL, hematocrit 28 %, eritrosit 3,1 juta/uL,
leukosit 21720/uL, albumin 2,6 g/dL, ureum 110 mg/dL, kreatinin 1,6 mg/dL, natrium
(Na) 149 mmol/L, klorida (Cl) 120 mmol/L. Pemeriksaan USG didapatkan massa
serviks diameter 33,8 x 33,0 x 42,3 mm. Dan dari pemeriksaan patologi anatomi
didapatkan kesimpulan karsinoma sel skuamosa serviks berkeratin diferensiasi
sedang.
3. Assesment
Diagnosis kerja
Diagnosis tambahan
: Anemia
CKD
4. Planning
-
Medikamentosa
o Ondansetron
IV
o Ranitidin
IV
12
o Tramal
IV
o Profenid
Supp
o Albumin
IV dan p.o
Non-Medikamentosa
o Rencana transfusi PRC dengan target Hb>10 g/dL
o Pro kemoterapi dan radiasi setelah repair nefrostomi dan KU baik
PROGNOSIS
Ad Vitam
: Dubia
Ad Functionam
: Malam
Ad Sanationam
: Dubia
Pendahuluan
Karsinoma Leher Rahim (Karsinoma Serviks) atau biasa disebut kanker serviks
adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim atau serviks (bagian terendah dari
rahim yang menempel pada puncak vagina. 90 % dari kanker serviks berasal dari sel
skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal sel kelenjar penghasil lendir pada
saluran servikal yang menuju ke dalam rahim. Kanker serviks biasanya menyerang wanita
berusia 35 55 tahun. Penyakit ini berawal dari infeksi virus yang merangsang perubahan
perilaku sel epitel serviks.1
Risiko terinfeksi virus HPV dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual,
kontrasepsi, atau merokok merupakan faktor resiko terjadinya kanker serviks. Mekanisme
timbulnya kanker serviks ini merupakan suatu proses yang kompleks dan sangat variasi
hingga sulit untuk dipahami.
Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker
payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih menempati urutan pertama sebagai
penyebab kematian akibat kanker pada usia reproduktif. Hampir 80% kasus berada di negara
13
Definisi
Kanker serviks adalah keganasan yang terjadi pada serviks yang merupakan bagian
terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama atau vagina. Dewasa ini,
kanker serviks sudah menjadi massalah nasional yang harus diperhatikan. Kanker ini menjadi
pembunuh nomor satu perempuan di Indonesia yang berusia antara 30 hingga 60 tahun.
Kesadaran, pengetahuan dan kepedulian tentang kanker serviks perlu ditumbuhkan agar lebih
banyak perempuan yang terselamatkan dari kanker tersebut.
Human Papilloma Virus (HPV) adalah sekumpulan grup virus yang menginfeksi
manusia pada sel epitel di kulit dan membran mukosa (salah satunya adalah daerah kelamin)
dan dapat menyebabkan keganasan. Virus ini memiliki type yang sangat banyak, hampir 100
tipe HPV sampai saat ini berhasil di identifikasi. Tipe HPV 16 dan 18 diketahui sebagai
penyebab 70% dari kasus keganasan di serviks wanita. Tipe HPV 6 dan 11 diketahui sebagai
penyebab dari 90% kasus kutil kelamin (Condyloma accuminatum). Cara penularannya
terutama melalui kontak atau hubungan seksual. Tidak terbukti penularan dari kolam renang,
maupun dari tempat duduk toilet atau penggunaan WC umum.1
14
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya diawali dengan pemeriksaan abdomen untuk
melihat bagaimana keadaan pada abdomen. Lalu selanjutnya dilakukan pemeriksaan luar
pada organ genitalia untuk melihat apakah ada kelainan pada bagian luar dari genitalia
pasien. Lalu pemeriksaan dilanjutkan dengan inspekulo dimana yang dinilai adalah portio
serviks uteri, forniks, vagina, massa, perdarahan atau cairan abnormal. Setelah dipastikan
dengan inspekulo maka dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam dimana dinilai keadaan
serviks dan vagina apakah didapatkan massa atau tidak, parametrium, nyeri goyang dan
perdarahan saat setelah dilakukan periksa dalam.1
Namun pada pasien dengan kecurigaan kanker serviks harus dilakukan pemeriksaan
skrining sedini mungkin. Penilaian profilaksis dan terapi vaksin serta pengembangan strategi
skrining yang berkesinambungan dengan tes HPV dan metode lain berdasarkan sitologi.
Namun metode yang sekarang ini sering digunakan adalah tes Pap dan IVA. Tes Pap memiliki
sensitivitas 51% dan spesifisitas 98%. Selain itu pemeriksaan Pap Smear masih memerlukan
15
penunjang laboratorium sitologi dan dokter ahli patologi yang relatif memerlukan waktu dan
biaya besar. Sedangkan IVA memiliki sensitivitas sampai 96% dan spesifisitas 97% untuk
program yang dilaksanakan oleh tenaga medis yang terlatih. Hal ini menunjukkan bahwa IVA
memiliki sensitivitas yang hampir sama dengan sitologi serviks sehingga dapat menjadi
metode skrining yang efektif pada Negara berkembang seperti di Indonesia.1
Pada tes IVA dengan mengunakkan tes visual dengan larutan asam cuka (asam asetat
2%) dan larutan iosium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna yang terjadi setelah
dilakukan olesan. Tujuannya untuk melihat adanya sel yang mengalami dysplasia sebagai
salah satu metode skrining kanker serviks. Namun tes ini tidak direkomendasikan pada wanita
pasca menopause, karena daerah zona transisional seringkali terletak kanalis servikalis dan
tidak tampak dengan pemeriksaan inspekulo.1
Sebelum melakukan pemeriksaan sebaiknya diberikan informasi mengenai prosedur
tindakan, bagaimana dikerjakan dan apa artinya hasil tes positif. Yakinkan pasien telah
memahami dan menandatangani informed consent. Pada pemeriksaan inspekulo secara umum
meliputi dinding vagina, serviks, dan fornik.
Interpretasi klasifikasi IVA sesuai temuan klinis pada hasil tes positif dapat ditemukan
plak putih yang tebal atau epitel acetowhite. Sedangkan pada hasil tes negatif terdapat
permukaan polos dan halus, berwarna merah jambu, ektropion, polip, servitis, dan inflamasi.
Khusus pada kanker terlihat massa mirip dengan kembang kol atau bisul.1,2
Kriteria wanita yang dianjurkan untuk menjalani tes kanker atau prakanker dianjurkan
bagi semua wanita berusia 30 dan 45 tahun. Kanker serviks menempati angka tertinggi
diantara wanita berusia 40 hingga 50 tahun, sehingga tes harus dilakukan pada usia dimana
lesi prekanker lebih mungkin terdeteksi, biasanya 10 sampai 20 tahun lebih awal. Wanita
yang memiliki faktor resiko juga merupakan kelompok yang paling penting untuk mendapat
pelayanan tes.
Waktu untuk menjalani tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi,
termasuk saat menstruasi pada massa kehamilan dan saat asuhan nifas atau paksa keguguran.
Untuk masing-masing hasil akan diberikan beberapa instruksi baik yang sederhana untuk
pasien (mis.kunjungan ulang untuk tes IVA setiap 5 tahun) atau isu-isu khusus yang harus
dibahas bersama, seperti kapan dan dimana pengobatan yang diberikan, resiko potensial dan
16
manfaat pengobatan, dan kapan perlu merujuk untuk tes tambahan atau pengobatan lebih
lanjut.1
Pemeriksaan Penunjang
Karena tes IVA sekarang ini adalah suatu kewajiban pemeriksaan fisik yang dilakukan
di Puskesmas dan di Rumah Sakit kepada setiap wanita dengan keluhan yang mengarah
kepada kecurigaan kanker serviks, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang yang
lebih lengkap seperti kolposkopi. Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan
kolposkop, yaitu suatu alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di
dalamnya. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar bila hasil pap smear abnormal.
Pemeriksaan ini untuk melihat kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian
asam asetat. Tidak hanya berbatas pada serviks, namun pemeriksaan ini juga dapat
memeriksa vulva dan vagina. Pemeriksaan kolposkopi dilakukan untuk menentukan waktu
dan lokasi biopsy harus di lakukan. Selain itu dapat dilakukan biopsy di daerah abnormal di
bagian yang telah dilakukan kolposkopi.3
Selain itu tes HPV juga berguna untuk menginterpretasikan hasil samar-samar dari tes
Papanicolaou. Jika perempuan memiliki tes Papanicolaou menunjukkan sel skuamosa atipikal
signifikansi ditentukan (ASCUS) dan tes HPV positif, maka pemeriksaan tambahan dengan
kolposkopi adalah merupakan indikasi.
Uji DNA HPV telah dipakai sebagai uji tambahan paling efektif cara mendeteksi
keberadaan HPV sedini mungkin. Uji DNA HPV dapat mengetahui golongan hr-HPV atau IrHPV dengan menggunakan tekhnik HCII atau dengan metode PCR, uji DNA HPV juga dapat
melihat genotipe HPV dengan metode DNA-HPV Micro Array System, Multiplex HPV
Genotyping Kit, dan Linear Array HPV Genotyping Test. Meode PCR dan elektroforesis
dapat mengetahui keberadaan HPV tanpa mengetahui genotipe secara spesifik.1-3
Metode Hybrid Capture II System digunakan untuk mengetahui keberadaan HPV
dengan memperkirakan kuantitas / jumlah virus tanpa mengetahui genotipe HPV-nya. Metode
Multiplex HPV Genotyping Kit digunakan untuk mendeteksi 24 genotipe HPV. Metode
17
DNA-HPV Micro Array digunakan untuk mendeteksi 21 genotipe HPV. Metode Linear Array
HPV Genotyping Test digunakan untuk mendeteksi 37 genotipe HPV.1-3
Dalam perkembangannya, banyak ahli dalam the American Cancer Society, the
American College of Obstetricians and Gynecologists, the American Society for Colposcopy
and Cervical Pathology, dan the US Preventive Services Task Force menetapkan protokol
skrining bersama-sama dengan melakukan skrining awal. Skrining dilakukan sejak seorang
wanita telah melakukan hubungan seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga
tahun dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini didasarkan pada
karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi prekursornya yang berhubungan dengan
infeksi HPV onkogenik dari hubungan seksual yang akan berkembang lesinya setelah 3-5
tahun setelah paparan pertama dan biasanya sangat jarang pada wanita di bawah usia 19
tahun.
Pemeriksaan DNA HPV juga dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Paps
smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan
bahwa Paps smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada
CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan
umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi
HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini
meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. 1-3 Walaupun infeksi ini sangat
sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring
dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditemukan kemudian lebih
dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila ini dialami pada wanita dengan usia yang
lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.3
Skrining untuk wanita di bawah 30 tahun berisiko dianjurkan menggunakan Thinprep
atau sitologi serviks dengan liquid-base method setiap 1-3 tahun. Skrining untuk wanita di
atas 30 tahun menggunakan Paps smear dan pemeriksaan DNA HPV. Bila keduanya negatif
maka pemeriksaan diulang 3 tahun kemudian. Skrining dihentikan bila usia mencapai 70
tahun atau telah dilakukan 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan hasil negatif.
Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan pemeriksaan radiologi seperti
rontgen, CT-scan, MRI untuk mengetahui abnormalitas yang mungkin ditemukan pada
metastasis. Dapat juga dilakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui keadaan abdomen dan
18
rongga panggul. Dilakukan juga pemeriksaan patologi anatomi dengan mengirim sampel
jaringan patologis untuk diteliti dibawah mikroskop untuk menentukan jenis kanker serviks
yang ada.
Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insiden kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada ras
Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk. Insiden dan
angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa decade terakhir di AS. Hal ini
karena skrining Pap menjadi lebih popular dan lesi serviks pre-invasif lebih sering dideteksi
daripada kanker invasive. Diperkirakan terdapat 3700 kematian akibat kanker serviks pada
2006. Di Indonesia diperkirakan di temukan 40 ribu kasus baru kanker serviks setiap
tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi, kanker
serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di Indonesia,
yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977, kanker serviks menduduki
urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.3
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar 76,2% di
antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu stadium IIBIVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan gangguan fungsi
ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus. Relative survival pada wanita dengan
lesi pre-invasif hampir 100%. Relative 1 dan 5 years survival masing-masing sebesar 88%
dan 73%. Apabila dideteksi pada stadium awal, kanker serviks invasif merupakan kanker
yang paling berhasil diterapi, dengan 5 YSR sebesar 92% untuk kanker lokal. Keterlambatan
diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial ekonomi yang
rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis histopatologi, dan
derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.3
Klasifikasi
Klasifikasi kanker dapat di bagi menjadi tiga, yaitu (1) klasifikasi berdasarkan
histopatologi, (2) klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks, dan (3)
klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO (The International
Federation of Gynekology and Obstetrics) :1-4
a. Klasifikasi berdasarkan histopatologi :
19
CIN
2,
perubahan
sel-sel
abnormal
lebih
kurang
tiga
perempatnya,
CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel. adalah luka derajat tinggi
(high grade lesion). Ia merujuk pada perubahan-perubahan prakanker pada sel-sel
yang mencakup lebih besar dari duapertiga dari ketebalan pelapis cervix, termasuk
luka-luka ketebalan penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan
carcinoma yang parah ditempat asal.
HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion) merujuk pada fakta bahwa
sel-sel dengan derajat yang parah dari dysplasia terlihat.
Tingkat
0
Kriteria
KIS (Karsinoma in Situ) atau karsinoma intra epitel, membrana basalis
masih utuh.
Ia
tumor sudah memasuki stroma tdk> 3mm dan sel tumor tidak terdapat
dalam pembuluh limfe/pembuluh darah. Kedalaman invasi 3mm
sebaiknya diganti dengan tdk> 1mm.
Ib occult = Ib yang tersembunyi, secara klinis tumor belum tampak
20
Ib occ
sebagai Ca, tetapi pada pemeriksaan histologik, ternyata sel tumor telah
mengadakan invasi stroma melebihi Ia.
Secara klinis sudah diduga adanya tumor yang histologik menunjukkan
Ib
II
IIa
tumor.
Penyebaran ke parametrium uni/bilateral tetapi belum sampai ke
IIb
dinding panggul
Penyebaran telah sampai ke 1/3 bagian distal vagina / ke parametrium
III
IIIa
IIIb
IV
IVa
IVb
21
Etiologi
Peristiwa kanker serviks diawali dari sel serviks normal yang terinfeksi oleh HPV.
Infeksi HPV umumnya terjadi setelah wanita melakukan hubungan seksual. Sebagian infeksi
HPV bersifat hilang timbul sehingga tidak terdeteksi dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun
pasca infeksi. Hanya sebagian kecil saja dari infeksi yang menetap dalam jangka waktu yang
lama sehingga menimbulkan kerusakan lapisan lendir menjadi prakanker.
Human papilloma virus (HPVs) adalah virus DNA famili papillomaviridae. HPV
virion tidak mempunyai envelope, berdiameter 55 nm, mempunyai kapsid ikosahedral.
Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb, mempunyai 8 open reading frames
(ORFs) dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E mengsintesis 6 protein E yaitu
E1, E2, E4, E5, E6 dan E7, yang banyak terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen,
sedangkan gen L mengsintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait dengan pembentukan
kapsid. Virus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan selaput
lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi.
22
E Protein
Perananya
E1
E2
E4
Mengikat sitokeratin
E5
E6
E7
L Protein
Peranannya
L1
L2
Klasifikasi
HPV dibagi menjadi 2 yaitu virus tipe low-risk (resiko rendah) dan high-risk
(resiko tinggi) yang dihubungkan dengan resiko keganasan.
a. HPV tipe low-risk (resiko rendah).
Tipe low-risk cendrung menyebabkan tumor jinak meskipun kadangkala dapat
menyebabkan kanker antara lain kanker anogenital yaitu tipe 6, 11, 42, 43, 44,
54, 61, 70, 72, dan 81
b. HPV tipe high-risk (resiko tinggi)
Tipe high-risk (resiko tinggi) cenderung menyebabkan tumor ganas. Lebih dari
30 tipe HPV yang diklasifikasikan onkogenik atau resiko tinggi (high- risk)
sebab hubungannya dengan kanker serviks yaitu tipe 16, 18, 31, 33, 34, 35, 39,
45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68 dan 82. HPV tipe 16 paling sering dijumpai dan
sekitar 50% kanker serviks invasif dijumpai HPV tipe 18, 45, 31, 33, 52 dan
58. Infeksi persisten HPV-16, HPV-18, HPV-31, HPV-45 sering menyebabkan
kanker serviks.1-3
23
Faktor Resiko
Berikut dijabarkan mengenai factor resiko pada pasien untuk terjadinya kanker serviks
yaitu:6
-Pola hubungan seksual
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker serviks meningkat
seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang dimulai pada usia dini,
yaitu kurang dari 20 tahun,juga dapat dijadkan sebagai faktr resko terjadinya kanker
servks. Hal ini diuga ada hubungannya dengan belum matannya daerah transformas pada
usia tesebut bila sering terekspos. Frekuensi hubungnga seksual juga berpengaruh pada
lebih tingginya resiko pada usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua.
-Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan. Semakin sering
melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks. Pemelitian di Amerika
Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan multiparitas setelah dikontrol dengan
infeksi HPV.
-Merokok
Beberapa penelitian menemukan hubungan yang kuat antara merokok dengan kanker
serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding seperti pola hubungan
seksual. Penemuan lain memperkuatkan temuan nikotin pada cairan serviks wanita
perokok bahkan ini bersifat sebagai kokarsinogen dan bersama-sama dengan karsinogen
yang telah ada selanjutnya mendorong pertumbuhan ke arah kanker.
-Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983
(Schiffman,1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks dipengaruhi
oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga mendapatkan bahwa semua
kejadian kanker serviks invasive terdapat pada pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain
mendapatkan bahwa insiden kanker setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi
daripada bukan pengguna kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh
peritz dkk menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat
kaitannya dengan hal tersebut.
WHO mereview berbagai peneltian yang menghubungkan penggunaan kontrasepsi
oral dengan risko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa sulit untuk
menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama penggunaan kontraseps
oral berinteraksi dengan factor lain khususnya pola kebiasaan seksual dalam
24
mempengaruhi resiko kanker serviks. Selain itu, adanya kemungkinan bahwa wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering melakukan pemeriksaan smera
serviks,sehingga displasia dan karsinoma in situ nampak lebih frekuen pada kelompok
tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan asosiasi antara lama
penggunaan kontrasepsi oral dengan resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor
confounding.
-Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti betakaroten
dan vitamin A serta asam folat, berhubungna dengan peningkatan resiko terhadap displasia
ringan dan sedang.. Namun sampasaat ini tdak ada indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi
tersebut akan enurunkan resiko.
-Sosial ekonomi
Studi secara deskrptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat antara
kejadian kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah. Hal ini juga diperkuat
oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih prevalen pada wanita dengan
tingkat pendidkan dan pendapatan rendah. Faktor defisiensi nutrisi, multilaritas dan
kebersihan genitalia juga dduga berhubungan dengan massalah tersebut.
-Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi bahan yang
menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata memberi resiko yang
rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya kebersihan genetalia yang dikaitkan
dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan panjang terhadap kejadian kanker serviks.
Jumlah pasangan ganda selain istri juga merupakan factor resiko yang lain.
Patofisiologi
Proses terjadinya infkesi HPV mengikuti fisiologi siklus sel yang terdiri dari 4 fase,
yaitu G1, S, G2 dan M. Dimana pada saat fase S, terjadi replikasi DNA dan pada fase M
terjadi pembelahan sel atau mitosis. Dan G adalah gap yang berada antara fase S dan M.
Perlu diketahui pada infeksi HPV ada peran dari p53 yang terdapat juga pada siklus sel,
dimana berpengaruh pada transisi G2-M dan juga transisi G1-S. Sedangkan pRb berpengaruh
pada transisi G1-S. Mutasi oleh infeksi HPV ini akan menyebabkan inaktivasi fungsi p53 dan
pRb yang menyebabkan proliferasi yang tidak dapat dikontrol.
25
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi pada jaringan
permukaan epitel, sehingga dimungkinkan sel masuk kedalam sel basal. Sel basal terutama
sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi dan mensintesis
keratin. Protein virus pada infeksi HPV mengambil ahli perkembangan siklus sel dan
mengikuti diferensiasi sel seperti gambar diatas.
26
Lebih rincinya mengenai proses yang terjadi pada tingkat selularnya, integrasi DNA
virus dengan genom sel tubuh merupakan awal dari proses yang mengarah transformasi.
Genom HPV berbentuk sirkuler dan panjangnya 8 kb, punya 8 open reading frames (ORFs)
dan dibagi menjadi gene early (E) dan late (L). Gen E mengisi 6 protein E yaitu E1, E2, E4,
E5, E6, E7, yang banyak terkait dalam proses replikasi virus dan onkogen, sedangkan gen L
mengsintesis 2 protein L yaitu L1 dan L2 yang terkait dengan pembentukan kapsid. Protein
E6 dan E7 disebut onkogen karena kemampuannya mengikat protein proapoptotik, p53 dan
pRb sehingga sel yang terinfeksi aktif berproliferasi yang mengakibatkan terjadinya lesi pre
kanker yang kemudian dapat berkembang menjadi kanker.2,3
Integrasi DNA virus dimulai pada daerah E1-E2. Integrasi menyebabkan E2 tidak
berfungsi, tidak berfungsi E2 menyebabkan rangsangan terhadap E6 dan E7 yang akan
menghambat p53 dan pRb. E6 mempunyai kemampuan yang khas mampu berikatan dengan
p53. P53 yaitu protein yang termasuk supresos tumor yang menregulasi siklus sel baik pada
G1-S maupun G2-M. Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 teraktifasi dan meningkatkan
ekspresi p21, menghasilkan cell arrest atau apoptosis. Proses apoptosis ini juga merupakan
cara pertahanan sel untuk mencegah penularan virus virus pada sel-sel didekatnya.
Kebanyakan virus tumor menghalangi induksi apoptosis. E6 membentuk susunan kompleks
dengan regulator p53 seluler ubiquitin ligase / E6AP yang meningkatkan degrasi p53.
Inaktifasi p53 menghilangkan kontrol siklus sel, arrest dan apoptosis. Penurunan p53
menghalangi proses proapoptotik, sehingga terjadi peningkatan proliferasi.2,3
Sehingga semua proses yang terjadi di atas itu memungkinkan HPV menyerang epitel
serviks dan terjadi kanker serviks. Mengingat dasar siklus sel dimana setiap fase harus
menghasilkan sel yang sesuai dengan fasenya. Jadi apabila ada produk sel yang dihasilkan
tidak sesuai dan hilangnya fungsi dari p53 maka akan tercipta banyak sel-sel rusak yang
berkembang.2,3
27
28
CRF
29
Penatalaksanaan
destruksi dapat dilakukan pada LISDR dan LISDT (Lesi intraeoitelial serviks derajat tinggi).
Demikian juga terapi eksisi dapat ditujukan untuk LISDR dan LISDT. Perbedaan antara
terapi destruksi dan terapi eksisi adalah pada terapi destruksi tidak mengangkat lesi tetapi
pada terapi eksisi ada spesimen lesi yang diangkat.Terapi NIS yang lain adalah dengan
destruksi lokal. Tujuannya metode ini untuk memusnahkan daerah-daerah terpilih yang
mengandung epitel abnormal yang kelak akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.8
Cara yang lain adalah dengan menggunakan krioterapi yang bertujuan untuk
menyembuhkan penyakit dengan cara mendinginkan bagian yang sakit sampai dengan suhu
00 C. Pada suhu sekurang-kurangnya 250C sel-sel jaringan termasuk NIS akan mengalami
nekrosis. Sebagai akibat dari pembekuan sel-sel tersebut, terjadi perubahan tingkat seluler
dan vaskular, yaitu sel-sel mengalami dehidrasi dan mengkerut, konsentrasi elektrolit dalam
sel terganggu, syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein disertai status umum sistem
mikrovaskular. Pada saat ini hampir semua alat menggunakan N20.9
Elektrokauter memungkinkan untuk pemusnahan jaringan dengan kedalaman 2-3mm.
Lesi NIS 1 yang kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada umumnya dapat
disembuhkan dengan efektif. Diatermi Elektroagulasi Radikal dapat memusnahkan jaringan
lebih luas (sampai kedalaman 1cm) dan efektif dibandingkan elektrokauter tapi harus
dilakukan dengan anestesia umum. Tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, dianjurkan
hanya terbatas pada NIS1/2 dengan batas lesi yang dapat ditentukan. CO2 Laser adalah
muatan listrik yang berisi campuran gas helium, nitrogen dan gas CO2 yang menimbulkan
sinar laser dengan gelombang 10,6 u.8-10
Sedangkan terapi NIS dengan cara eksisi dapat dilakukan konisasi (cone biopsy)
dengan membuat sayatan berbentuk kerucut pada serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh
ahli patologi. Digunakan untuk diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks. Lalu
dengan cara Punch Biopsy yaitu menggunakan alat yang tajam untuk mengambil sampel
kecil jaringan serviks.9
Pentalaksanaan yang lain dengan Loop electrosurgical excision procedure (LEEP)
yang menggunakan arus listrik yang dilewati pada kawat tipis untuk memotong jaringan
abnormal kanker serviks. Kemudian Trakelektomi radikal (radical trachelectomy) yang
dilakukan oleh dokter bedah yang mengambil leher rahim, bagian dari vagina, dan kelenjar
31
getah bening di panggul. Pilihan ini dilakukan untuk wanita dengan tumor kecil yang ingin
mencoba untuk hamil di kemudian hari.9
Tindakan bedah yang lain adalah menggunakan histerektomi yang merupakan sebuah
tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat uterus dan serviks (total) ataupun
salah satunya (subtotal). Biasanya dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi
FIGO). Umur pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik, dapat
juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga harus bebas dari penyakit
umum yang beresiko tinggi seperti penyakit jantung, ginjal dan hepar.
Dimana tindakan histerektomi dapat dibedakan menjadi dua yaitu total histerektomi
dengan pengangkatan seluruh rahim dan serviks serta radikal histerektomi yang dilakukan
dengan pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung telur, tuba falopi maupun kelenjar
getah bening di dekatnya.
Sedangkan dengan terapi kanker serviks invasif dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu pembedahan dan radioterapi. Terapi ini menggunakan sinar ionisasi (sinar X) untuk
merusak sel-sel kanker. Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks pada
serviks serta mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik.
Kanker serviks stadium II B, III, IV diobati dengan radiasi. Metoda radioterapi
disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan kuratif atau paliatif. Pengobatan
kuratif ialah mematikan sel kanker serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya dan atau
bermetastasis
mempertahankan
seperti
rektum,
ke
kelenjar
sebanyak
vesika
getah
mungkin
urinaria,
bening
kebutuhan
usus
halus,
panggul,
jaringan
ureter.
dengan
sehat
Radioterapi
di
dengan
tetap
sekitar
dosis
kuratif hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Bila sel kanker
sudah
keluar
rongga
panggul,
maka
radioterapi
hanya
bersifat
paliatif
yang
Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit.
Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
Efek samping dari terapi penyinaran seperti iritasi rektum dan vagina, kerusakan
kandung kemih dan rektum. Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh
melakukan hubungan seksual. Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit
dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan seksual.
Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan
bahan dasar air. Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih.
Untuk kemoterapi penatalaksanaan kanker dapat dilakukan pemberian obat melalui
infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan utamanya untuk membunuh sel
kanker dan menghambat perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada
jenis kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai penyembuhan yang
dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain,
pengobatan mungkin hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatan adjuvant.11
Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol penyakit dalam
periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan
dalam fase akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup
yang lebih baik. Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase karena
terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan
Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide
Adremycin Platamin), PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain lain.9-11
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi awal bersama terapi
radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA adalah cisplatin, flurouracil. Sedangkan obat
kemoterapi yang paling sering digunakan untuk kanker serviks stage IVB / recurrent seperti
mitomycin, pacitaxel, ifosamide, topotecan telah disetujui untuk digunakan bersama dengan
cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat digunakan ketika radiasi tidak dapat
dilakukan atau tidak menampakkan hasil kanker serviks yang timbul kembali atau menyebar
ke organ lain.8-11
33
Efek samping dari kemoterapi seperti adanya lemas yang timbulnya mendadak atau
perlahan dan tidak langsung menghilang saat beristirahat, kadang berlangsung terus sampai
akhir pengobatan. Mual dan muntah yang berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan
obat anti mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan. Gangguan pencernaan, karena ada
beberapa obat kemoterapi yang dapat menyebabkan diare, bahkan ada yang diare sampai
dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai terjadi sembelit. Bila terjadi diare kurangi
makan-makanan yang mengandung serat, buah dan sayur. Harus minum air yang cukup untuk
mengatasi kehilangan cairan. Namun apabila susah BAB dianjurkan makan-makanan yang
berserat.
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga minggu setelah
kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan rambut patah didekat kulit kepala. Dapat
terjadi seminggu setelah kemoterapi. Efek pada otot dan saraf akan menyebabkan kesemutan
dan mati rasa pada jari tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki. Efek pada darah
akan berpengaruh pada kerja sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah
merah, sehingga jumlah sel darah merah menurun. Yang paling sering adalah penurunan sel
darah putih (leukosit). Penurunan sel darah terjadi setiap kemoterapi, dan test darah biasanya
dilakukan sebelum kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah kembali
normal.
Penurunan jumlah sel darah dapat menyebabkan orang menjadi mudah terkena
infeksi. Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit adalah sel darah yang
memberikan perlindungan infeksi. Ada juga beberapa obat kemoterapi yang menyebabkan
peningkatkan leukosit.
Untuk manajemen nyeri kanker berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal
3 tingkatan obat, yaitu nyeri ringan (VAS 1-4) obat yang dianjurkan antara lain
Asetaminofen, OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid), nyeri sedang (VAS 5-6) obat
kelompok pertama ditambah kelompok opioid ringan seperti kodein dan tramadol sedangkan
nyeri berat (VAS 7-10) obat yang dianjurkan adalah kelompok opioid kuat seperti morfin dan
fentanil.12
Pencegahan
34
Infeksi HPV risiko tinggi merupakan penyebab terjadinya kanker serviks, sehingga
tindakan skrining mengalami pergeseran yang semula ditujukan untuk pencegahan sekunder
bergeser untuk tujuan pencegahan primer. Mencegah terjadinya infeksi HPV risiko tinggi
merupakan pencegahan primer dan dianggap lebih penting, karena pencegahan sekunder
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain pencegahan sekunder tidak mencegah terjadinya
NIS (CIN). Terapi lesi prakanker yang baru terdeteksi pada pencegahan sekunder seringkali
menimbulkan morbiditas terhadap fungsi fertilitas pasien, dan pencegahan sekunder akan
mengalami hambatan pada sumber daya manusia dan alat yang kurang.
Pencegahan primer hanya mungkin dilakukan dengan deteksi terjadinya infeksi HPV
risiko tinggi terlebih dahulu. Identifikasi terjadinya infeksi HPV risiko tinggi dapat dilakukan
dengan Hybrid Capture (HC) atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Selain itu,
berbagai macam cara mendeteksi HPV, antara lain dengan Vira Pap, Vira Type, dan HPV
Profile. Dengan metode-metode tersebut dapat diidentifikasi kelompok HPV risiko rendah
(HPV tipe 6, 11, 42, 43 dan 44), dan risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, 31, 33 , 35, 39,45, 51, 52,
56 dan 58).12
Pemeriksaan HC dinilai lebih mudah dilakukan dalam program skrining karena
mampu mendeteksi LSIL, ASCUS dan HSIL secara lebih sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan pap smear, walaupun dengan spesifisitas yang lebih rendah. Sensitivitas HC
pada NIS I, HSIL dan kanker adalah sebesar 51,5%, 89,3% (85,2-96,5%), dan 100%,
berturut-turut, dengan spesifisitas 87,8% (81-95%).13
Pedoman Vaksinasi HPV (Dimodifikasi dari Pedoman Vaksinasi HPV yang Disusun
HOGI) Perjalanan penyakit kanker serviks invasive, Sel epitel serviks normal, terinfeksi HPV
risiko tinggi, berdegenerasi menjadi lesi prakanker kemudian berdegenerasi menjadi kanker
serviks invasive.
Vaksin dibuat dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein)
yang merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat imunogenik
kuat.
Vaksinasi HPV merupakan pencegahan primer kanker serviks uterus (vaksinasi
profilaksis HPV 16,18). Pap smear merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Pencegahan
yang terbaik adalah dengan melakukan vaksinasi dan pap smear untuk menjangkau infeksi
35
HPV risiko tinggi lainnya, karena jangkauan perlindungan vaksinasi tidak mencapai 100%
(89%).14
Jenis vaksin bivalen (16, 18) dan quadrivalen (16, 18, 6, 11). HPV 16 dan HPV 18
merupakan HPV risiko tinggi (karsinogen), sedangkan HPV 6 dan 11 merupakan HPV risiko
rendah (non-karsinogen).14
Tujuan vaksinasi adalah untuk mencegah infeksi HPV 16, 18 (karsinogen kanker
serviks). Vaksinasi tidak bertujuan untuk terapi. Lama proteksi vaksin bivalen 53 bulan, dan
vaksin quadrivalen berkisar 36 bulan.12,13 Untuk perempuan yang belum terinfeksi HPV 16
dan HPV 18. Usia pemberian vaksin (disarankan usia >12 tahun). Belum cukup data
efektivitas pemberian vaksin HPV pada laki-laki. 30 Efektivitas pada penelitian fase II proteksi
NIS 2/3 karena HPV 16 dan 18 pada yang divaksinasi mencapai 100% (Protokol 007), dan
proteksi 100% dijumpai sampai 2-4 tahun pengamatan (follow up).
22
bivalen (HPV tipe 16 dan 18) mempunyai proteksi silang terhadap HPV tipe 45 (dengan
efektivitas 94%) (cross protection) dan HPV tipe 31 (dengan efektivitas 55%).15
Populasi target berdasarkan pustaka vaksin diberikan pada perempuan usia antara 926 tahun (rekomendasi FDA-US). Populasi target tergantung usia awal hubungan seksual (di
negara Uni Eropa usia 15 tahun, Italia usia 20 tahun, di Czech 29 tahun, Portugal usia 18
tahun hanya 25% dan di Iceland 72%).14 Vaksinasi pada ibu hamil tidak dianjurkan,
sebaiknya vaksinasi diberikan setelah persalinan. Sedangkan pada ibu menyusui vaksinasi
belum direkomendasikan. Vaksin diberikan secara suntikan intramuskular. Diberikan pada
bulan 0, 1, 6 (dianjurkan pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Efek samping terdiri dari
nyeri pelvis, nyeri lambing, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, diare, dan febris. Seluruh
petugas kesehatan meliputi para medis, dokter umum, dokter spesialis yang mendapat
pelatihan pemberian vaksin HPV.14,15
Prognosis
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah umur penderita, keadaan umum,
tingkat klinik keganasan, sitopatologi sel tumor, kemampuan ahli atau tim ahli yag
menanganinya serta sarana pengobatan yang ada.
Table 1. Stadium Kanker Serviks8,10
36
Stadium
Karsinoma in situ
100
85
II
60
33
Pembahasan
Dari anamnesis didapatkan keluhan yang dirasakan pasien diawali dengan adanya
nyeri saat berhubungan dan post coital bleeding. 2 bulan setelah itu keadaan pasien semakin
buruk dimana terjadi perdarahan dari jalan lahir setiap hari selama 6 bulan. Dan juga disertai
penurunan berat badan sebanyak 20 kg dalam rentang waktu 10 bulan. Dari anamnesis sudah
mendukung untuk gejala dari kanker serviks pada pasien ini. Selain itu pada pasien ini
terdapat beberapa factor resiko yang dapat mencetuskan kanker serviks yaitu seperti usia
pasien yang sudah 47 tahun. Factor resiko dari coitus pada usia muda, pada pasien ini
didapatkan pasien menikah usia 13 tahun dan mempunyai anak pertama usia 18 tahun. Pasien
juga sudah mempunyai 4 anak dari pernikahan dengan suaminya yang sekarang dimana
mendukung factor resiko yaitu multiparitas. Pasien juga mempunyai riwayat menggunakan
alat kontrasepsi implant selama kurang lebih 10 tahun yang juga merupakan factor resiko.
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarganya menderita penyakit yang sama dengan pasien
dan pasien juga tidak merokok. Pasien juga merupakan lulusan sekolah dasar dan bekerja
hanya sebagai rumah tangga, maka dapat dikatakan pendidikan, hygine dan sosial
ekonominya menengah ke bawah walaupun tidak menutup kemungkinan sebaliknya.
Dari pemeriksaan fisik tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 100/70 mmHg
yang terjadi mungkin karena anemia yang dialami pasien. Pada status generalis didapatkan
konjungtiva anemis, dan bibir pucat dikarenakan perdarahan yang dialami pasien sehingga
terjadi anemia. Perut pasien tampak kembung, bising usus yang menurun yang mungkin
37
karena massa intraabdomen atau cairan yang ada di rongga peritonium, terdapat shifting
dullness dikarenakan adanya cairan yang terkumpul di rongga peritonium, dan teraba massa
intraabdomen difus setinggi hipogastrika kanan dan kiri yang diduga merupakan massa
tumor. Terdapat edema pretibial dan pergelangan kaki kanan dan kiri mungkin dikarenakan
selang nefrostomi yang kiri tersumbat dan tidak dapat mengalir maka muncul gejala tersebut.
Atau mungkin karena keadaan hypoalbuminemia yang menyebabkan perpindahan cairan ke
rongga peritoneum, dan bisa juga dari keganasan yang terjadi pada serviks. Pada status
obstetric dan ginekologi pemeriksaan luar didapatkan tampak selang nefrostomi bilateral.
Pemeriksaan inspekulo didapatkan portio berbenjol-benjol, rapuh, dan tidak didapatkan
perdarahan aktif. Dari pemeriksaan dalam didapatkan teraba portio berbenjol-benjol, massa di
dinding vagina bagian distal, massa sepanjang dinding vagina proksimal, menyatu dengan
uterus, teraba uterus berukuran sekepala bayi dan kedua parametrium kaku. Pemeriksaan fisik
yang didapat pada pasien sesuai dengan gambaran hasil pemeriksaan pada kasus kanker
serviks.
Pada pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan yaitu hematologi rutin, kimia
klinik, rontgen, USG dan pemeriksaan Patologi Anatomi didapatkan hemoglobin 9,1 g/dL,
hematocrit 28 %, eritrosit 3,1 juta/uL, leukosit 21720/uL pada hematologi rutin, dimana
penyebab turunnya Hb karena perdarahan dari jalan lahir yang sudah lama dialami oleh
pasien, hematocrit merupakan efek lanjutan dari hemoglobin yang rendah. Leukositosis pada
pasien ini dikarenakan kanker serviks menganggu imunitas tubuh sehingga bisa muncul
keluhan demam dan tanda infeksi lainnya. Dari pemeriksaan kimia klinik didapatkan kadar
ureum kreatinin yang tinggi yang diakibatkan dari kanker serviks yang menginvasi atau
mungkin hanya menekan saja sehingga mengganggu fungsi ginjal. Hal ini diikuti dengan
peningkatan albumin dan gangguan elektrolit pada pasien ini. Dari pemeriksaan USG juga
dilakukan untuk staging sampai dimana kankernya menginvasi, didapatkan gambaran massa
serviks. Dan dari pemeriksaan patologi anatomi kesimpulannya adalah karsinoma sel
skuamosa serviks berkeratin diferensiasi sedang.
Diagnosis kerja utama pada pasien ini adalah karsinoma sel skuamosa serviks
berkeratin diferensiasi sedang stadium IIIB dengan anemia dan CKD. Dasar diagnosis awal
didapat dari pemeriksaan patologi anatomi dan untuk stadium berdasarkan FIGO, maka
apabila sudah mengganggu fungsi ginjal yaitu ditandai dengn meningkatnya ureum kreatinin
38
dan pembesaran ukuran ginjal atau hidronefrosis. Pasien juga mempunyai riwayat dilakukan
hemodialysis sehingga untuk stadium didapatkan yaitu IIIB. Lalu untuk diagnosis tambahan
anemia didapatkan dari hemoglobin pada hematologi rutin tanggal 27 Oktober 2015 adalah
9,1 g/dL.
Pemberian terapi pada pasien kanker serviks stadium IIIB, maka terapinya hanyalah
simptomatik. Medikamentosa yang dapat diberikan seperti ondansetron dan ranitidine untuk
mengatasi mual muntah dari peningkatan ureum dan kreatinin. Diberikan juga tramal dan
profenid suppositoria untuk analgetik mengatasi cancer pain.
Pengawasan yang ketat terhadap pasien perlu dilakukan mengingat pasien saat ini
dalam keadaan anemia sehingga perlu diberikan tranfusi PRC (Packed Red Cell) sampai
kadar Hb pasien mencapai kadar normal. Pemberian tranfusi PRC memerlukan waktu yang
tidak singkat sehingga diperlukan beberapa hari untuk pasien bisa mencapai kadar Hb yang
normal kembali. Pasien juga dijadwalkan untuk repair nefrostomi, apabila sudah selesai
memperbaiki selang nefrostomi maka direncanakan segera untuk kemoterapi dan radiasi.
Prognosis pada pasien kanker serviks stadium IIIB sudah kurang 40% 5 years
survival rate maka dari itu ad vitam prognosanya dubia karena masih memungkinkan kanker
serviks dapat mengancam nyawa atau dapat regresi. Ad functionam pada pasien ini malam
dikarenakan fungsi tubuhnya sudah banyak yang terganggu dan tidak bisa dikembalikan ke
keadaan seperti sebelum sakit. Ad sanationam pada pasien ini dubia, karena pasien harus
tetap meminum obat dan rutin untuk kemoterapi dan radiasi.
Kesimpulan
HPV risiko tinggi merupakan karsinogen kanker serviks uteros. Vaksin HPV adalah
vaksin HPV kapsid L1 tipe 16 dan 18, dan pemberian vaksin bertujuan mencegah infeksi
39
HPV tipe 16 dan 18 (vaksinasi profilaksis). Vaksinasi HPV memberi perlindungan terhadap
infeksi HPV sebesar 89%.
Daftar Pustaka
5. Kilas proses infeksi virus, DNA, dan morfologi sel. Nat Rev Cancer. 2007. Nature
Publishing Group. (diakses pada tanggal 26 Oktober 2015). Diunduh dari :
http://www.medscape.com/viewarticle/553264
6. AW Braithwaite, G Del Sal and X Lu. Some p53-binding proteins that can function as
arbiters of life and death. (diakses pada tanggal 26 Oktober 2015). Diunduh dari :
http://www.nature.com/cdd/journal/v13/n6/fig_tab/4401924f1.html
7. American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. At lanta. American Cancer Society.
8. Zhai Y, Kuick R, Nan B, Ota I et al. Gene expression analysis of preinvasive and
invasive cervical squamous cell carcinomas identifies HOXC10 as a key mediator of
invasion. Cancer Res: 2007.h.67;10163-72.
9. Scotto L, Narayan G, Nandula SV, Arias-Pulido H et al. Identification of copy number
gain and over expressed genes on chromosome arm 20q by an integrative genomic
approach in cervical cancer: potential role in progression. Genes Chromosomes
Cancer: 2008.h.47;755-65.
10. Healthwise. Cervical cancer. (diakses pada tanggal 26 Oktober 2015). Diunduh dari :
http://www.webmd.com/cancer/cervical-cancer/
40
11. Defination of Precancerous. (diakses pada tanggal 26 Oktober 2015). Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=5018
12. Wiknjosastro H, et all. Serviks Uterus. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono;2009.h.380-7.
13. Hum SH, Lee JK, Oh MJ, Hur JY, Na JY, Park KY, et al. Persistent HPV infection
after conization in patients with negative margins. Gynecol Oncol: 2006;p.101;41822.
14. Longatto FA, Erzaen M, Brnacas M, Roteli MC, Naud P, Derchain SFM, et al. Human
Papillomavirus testing as a optional screening tool in low-resource settings of Latin
America:
experience
from
the
Latin
American
screening
study:Int
Gynecol;2006.p.16;955-62.
15. Koutsky LA, Harper DM. Current findings from prophylactic HPV vaccine trials.
Vaccine:2006.p.243:3114-3121.
41