Anda di halaman 1dari 10

Bab 17

DIABETES MELLITUS

DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok kelainan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia dan kelainan pada metablisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM
muncul dari defek pada sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya. Komplikasi
mikrovaskular, makrovaskular kronik serta neuropati bisa terjadi.

PATOFISIOLOGI

DM tipe I (sebelumnya disebut tergantung insulin atau


diabetes juvenile) merupakan 10% dari semua kasus diabetes. Umumnya terjadi pada
masa kanak-kanak atau dewasa muda dan biasanya muncul dari perusakan sel
pankreas yang dimediasi sistem imun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Ada
periode preklinis yang panjang (sampai 9-13 tahun) yang ditandai oleh kehadiran
penanda imun ketika perusakan sel diperkirakan terjadi. Hiperglisemia terjadi
ketika 80-90% sel hancur. Ada masa remisi singkat (fase bulan madu) yang diikuti
munculnya penyakit dengan resiko yang dihubungkan dengan komplikasi dan
kematian. Faktor yang memunculkan respon autoimun tidak diketahui, tapi prosesnya
dimediasi oleh makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi yang tersirkulasi ke
berbagai antigen sel (seperti, antibodi islet cell, antibodi insulin).

DM tipe II (sebelumnya disebut tidak tergantung insulin)


merupakan 90% dari semua kasus DM dan biasanya ditandai dengan resistensi
terhadap insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin manifestasinya berupa
peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa
hepatik, dan penurunan asupan glukosa ke otot rangka. Disfungsi sel terjadi
progresif dan memperburuk kontrol atas glukosa darah dengan berjalannya waktu.
DM tipe II terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (asupan kalori berlebih, kurang
latihan fisik, dan kegemukan) yang memperburuk genotip tertentu.

Sebab diabetes yang tidak umum (1-2% dari semua kasus)


termasuk kelainan endokrin (seperti akromegali, sindrom Cushing), gestational
diabetes mellitus (GDM), penyakit pada pankreas (seperti, pankreatitis), dan obatobatan (seperti, glukokortikoid, pentamidine, niasin, dan -interferon).

Kelainan glukosa puasa dan kelainan toleransi glukosa


adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pasien dengan level glukosa
plasma lebih tinggi dari normal tapi tidak didiagnosa DM (lihat bagian DIAGNOSA).
Kelainan ini adalah faktor resiko untuk berkembangnya DM dan penyakit
kardiovaskular dan dihubungkan dengan sindrome resistensi insulin.

Komplikasi mikrovaskular termasuk retinopati, neuropati,


dan nefropati. Komplikasi makrovaskular termasuk penyakit jantung koroner, stroke,
dan penyakit vaskular perifer.

TAMPILAN KLINIK
DM TIPE I

Individu dengan DM tipe I umumnya kurus dan rentan


terkena diabetic ketoacidosis (DKA) jika insulin tidak diberikan atau di bawah
kondisi stress parah dimana terjadi ekskresi berlebih hormon yang kerjanya
berlawanan dengan insulin.

Sekitar 20-40% pasien akan mengalami DKA setelah


beberapa hari mengalami poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat turun.
DM TIPE II

Pasien DM tipe II seringkali asimtomatik. Tetapi, beberapa mengalami komplikasi


serius, seperti neuropati.

Diagnosa DM tipe II bisa dilakukan pada pasien obese, pasien dengan keluarga
dekat yang mengidap DM tipe II, berasal dari etnis resiko tinggi, wanita yang baru
saja melahirkan bayi dengan berat badan besar atau dengan riwayat untuk GDM,
pasien dengan hipertensi, atau pasien dengan trigliserida tinggi (> 250 mg/dl) atau
high density lipoprotein cholseterol (HDL-C) rendah (<35 mg/dl).

DIAGNOSA

Skrining untuk DM tipe II sebaiknya dilakukan tiap 3 tahun pada


semua dewasa dari usia 45 tahun. Uji bisa dilakukan pada usia lebih muda dan lebih
sering pada individu dengan faktor resiko (seperti, riwayat keluarga untuk DM,
obesitas, jarang melakukan aktivitas fisik).

Uji skrining yang dianjurkan umumnya adalah fasting glucose


plasma, FPG (glukosa plasma puasa). FPG normal <110 mg/dl.

Impaired fasting glucose, IFG (kelainan glukosa puasa) adalah


FPG >110 mg/dl tapi <126 mg/dl.

Impaired glucose tolerance, IGT (kelainan toleransi glukosa)


didiagnosa ketika sampel oral glucose tolerance test, OGTT (uji toleransi glukosa
oral) yang diambil 2 jam setelah makan >140 mg/dl tapi <200 mg/dl.

Revisi 1997 untuk kriteria diagnosa untuk DM pada Tabel 17-1.

Wanita hamil sebaiknya menjalani penilaian untuk resiko GDM


pada kunjungan prenatal pertama dan dilanjutkan dengan uji glukosa jika beresiko
tinggi (seperti, obesitas, riwayat pribadi untuk GDM, glikosuria, atau riwayat
keluarga yang kuat untuk DM). Skrining tidak diperlukan pada pasien resiko rendah
GDM (usia di bawah 25 tahun, berat badan normal, tidak ada riwayat keluarga untuk
DM, tanpa riwayat gangguan metabolisme glukosa atau kesulitan melahirkan, dan
tidak dari etnik yang beresiko tinggi untuk terkena DM).
Tabel 17-1
Tabel 17-2

HASIL YANG DIINGINKAN


Tujuan terapi pada DM mengurangi simtom hiperglisemia, mengurangi onset dan
perkembangan komplikasi mikrvaskular dan makrovaskular, mengurangi mortalitas, dan
meningkatkan kualitas hidup. Level glukosa plasma dan darah lengkap serta hemoglobin
terglikosilasi (HbA1C) yang diinginkan pada Tabel 17-2.

PERAWATAN
PRINSIP UMUM

Glisemi yang mendekati normal mengurangi resiko


komplikasi penyakit mikrovaskular, tapi diperlukan penanganan agresif pada faktor
resiko kardiovaskular (yaitu, berhenti merokok, penanganan dislipidemia, kontrol atas
tekanan darah, terapi antiplatelet) untuk mengurangi resiko penyakit makrovaskular.

Penanganan yang sesuai membutuhkan penetapan target


untuk glisemia, tekanan darah, dan tingkat lipid, pengawasan teratur untuk

komplikasi; melakukan self-monitoring blood glucose, SMBG (monitoring mandiri


glukosa darah) yang sesuai; dan penilaian atas parameter laboratorium.
TERAPI NON FARMAKOLOGI

Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk pasien DM tipe I
dengan berat badan rendah, fokusnya pada pengaturan pemberian insulin dengan diet
yang seimbang untuk mencapai dan menjaga berat badan yang sesuai. Pada
umumnya, diet tinggi karbohidrat (dalam bentuk gula sederhana dalam hidangan
campuran), rendah lemak (terutama untuk lemak jenuh), rendah kolesterol sesuai.
Kebanyakan pasien DM tipe II juga membutuhkan pembatasan kalori. Makanan
ringan sebelum tidur dan antar waktu makan biasanya tidak dibutuhkan jika
penanganan farmakologi sesuai.

Kebanyakan pasien mendapat manfaat dari peningkatan aktivitas fisik. Latihan


aerobik menurunkan resistensi insulin dan bisa memperbaiki glisemia pada beberapa
pasien. Latihan fisik sebaiknya dimulai ringan pada pasien yang sebelumnya jarang
beraktivitas fisik. Pasien lansia dan mereka dengan penyakit aterosklerotik sebaiknya
menjalani evaluasi kardiovaskular sebelum memulai porgram latihan.
TERAPI FARMAKOLOGI
Insulin

Berbagai sediaan insulin berbeda pada sumbernya (manusia atau hewan),


kemurnian, mula kerja, waktu untuk mencapai puncak efek, durasi efek, dan tampilan
(Tabel 17-3).

Insulin umum mempunyai mula kerja yang relatif lambat ketika diberikan
subkutan, memerlukan injeksi 30 menit sebelum makan untuk mendapatkan kontrol
glukosa post prandial yang optimal dan mencegah hipoglisemi setelah makan yang
tertunda.

Insulin lispro dan insulin aspart adalah analog insulin yang diproduksi dengan
modifikasi pada molekul insulin manusia. Insulin ini lebih cepat diserap dengan
durasi efek lebih singkat dari insulin normal. Insulin ini bisa diberikan segera
sebelum makan, menghasilkan efek lebih baik untuk menurunkan glukosa post
prandial daripada insulin normal pada DM tipe I, dan mengurangi hipoglisemi setelah
makan yang tertunda.

NPH dan insulin Lente durasinya intermediet, dan insulin Ultralente


durasinya panjang. Variasi pada absorpsi, penggunaan oleh pasien, dan perbedaaan
pada farmakokinetik bisa menyebabkan respon gluksoa yang labil, nocturnal (malam
hari) hipoglisemia, dan hiperglisemia sewaktu puasa.

Insulin glargine adalah analog insulin manusia durasi panjang yang tanpa
puncak, dikembangkan untuk menghilangkan kerugian insulin durasi intermediet
atau panjang lainnya. Insulin ini lebih kurang menyebabkan nocturnal hipoglisemia
daripada insulin NPH ketika diberikan sebelum tidur pada pasien DM tipe I.
Tabel 17-3

Pada DM tipe I, rerata kebutuhan harian insulin adalah 0,5-0,6 unit/kg. Ini bisa
turun sampai 0,1-0,4 unit/kg pada fase bulan madu. Dosis lebih tinggi (0,5-1 unit/kg)
diperlukan ketika terjadi serangan akut atau ketosis. Pada DM tipe II, sering
diperlukan dosis 0,7-2,5 unit/kg untuk pasien dengan resistensi insulin.

Hipoglisemia merupakan efek samping paling umum dari insulin. Perawatannya


adalah sebagai berikut:
o
Glukosa (10-15 g) oral adalah perawatan yang dianjurkan untuk pasien
yang sadar.
o
Dextrosa IV bisa diperlukan jika pasien tidak sadar.
o
Glukagon, 1 g IM, adalah perawatan pilihan pada pasien yang tidak sadar
ketika tidak bisa digunakan rute IV.
Sulfunilurea (Tabel 17-4)

Glyburide, glipizide, dan sulfonilurea lainnya memberikan aksi hipoglisemia


dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas. Semua sulfonilurea sama
efektifnya untuk menurunkan gula darah ketika diberikan dalam dosis yang setara.
Umumnya, HbA1C akan turun 1,5-2,0%.

Efek samping paling umum adalah hipoglisemia, yang lebih menjadi masalah
dengan obat yang bekerja lama (seperti,chlorpropamide). Individu dengan resiko
tinggi termasuk lansia, mereka dengan gangguan fungsi ginjal atau penyakit liver
stadium lanjut, dan mereka yang tidak makan, melakukan olahraga berlebihan, atau
kehilangan berat badan dalam jumlah besar. Berat bertambah umum terjadi; efek
samping yang kurang umum termasuk kulit kemerahan,anemia hemolitik, gangguan
saluran cerna, dan cholestasis. Hiponatremia paling umum terjadi dengan
chlorpropamide tapi juga telah dilaporkan dengan tolbutamide.

Dosis awal yang dianjurkan sebaiknya dikurangi pada pasien lansia yang sudah
mengalami kompromi fungsi renal dan liver. Dosis bisa dititrasi tiap 1-2 minggu
(interval lebih panjang untuk chlorpropamide) untuk mendapatkan target glisemi.
Meglitinide

Serupa dengan sulfonilurea, meglitinide menurunkan glukosa dengan merangsang


sekresi insulin pankreas, tapi pelepasan insulin adalah tergantung glukosa dan akan
hilang pada konsentrasi glukosa darah rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk
hipoglisemi parah. Agen in menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak
dan lebih hebat menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea
durasi panjang. Rerata pengurangan HbA1C adalah 0,6-1 %. Obat-obat ini sebaiknya
diberikan sebelum makan. Jika ada waktu makan yang dilewatkan, maka obat ini juga
tidak diminum. Saat ini tidak ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk lansia.

Repaglinide (Prandin) dimulai pada 0,5-2 mg dengan dosis maksimum 4 mg tiap


makan (sampai 4 makan per ahri atau 16 mg/hari)

Nateglinide (Starlix) diberikan 120 mg tiga kali sehari sebelum makan. Dosis
bisa diturunkan sampai 60 mg tiap makan pada pasien yang HbA1C mendekati target
terapi ketika terapi dimulai.
Biguanide

Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia. Metformin mengurangi


produksi glukosa dan meningkatkan penggunaan glukosa di perifer. Metformin juga
bisa menyebabkan anoreksia ringan yang membantu kontrol glisemi dengan
memperkecil bertambahnya berat atau merangsang pengurangan berat. Insulin harus
ada agar metformin bisa bekerja. Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea
dalam mengontrol glukosa darah. Metformin umumnya lebih mempengaruhi lipid,
mengurangi trigliserida puasa sekitar 16% dan low density lipoprotein cholesterol

(LDL-C) sekitar 8%, dan meningkatkan HDL-C sekitar 2%. Metformin tidak
menyebabkan hipoglisemia ketika digunakan sendirian.
Tabel 17-4

Efek samping paling umum adalah mual, muntah, diare, anoreksia dan rasa
logam. Efek ini bisa dikurangi dengan mentitrasi dosisnya perlahan dan
menggunakannya bersama makanan. Sediaan lepas lambat (Glucophage XR)
mengurangi efek samping saluran cerna dan bisa digunakan sekali sehari, tapi
mempunyai efek yang berbahaya pada lipid dan bisa tidak mempunyai aktivitas
glisemik yang setara dengan sediaan metformin konvensional.

Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali sehari dengan
makanan (atau 850 mg sekali sehari) dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu (atau 850
mg tiap 2 minggu) sampai dicapai total 2000 mg/hari. Dosis harian maksimum yang
dianjurkan adalah 2550 mg/hari.

Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan 500 mg dengan
makanan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total 2000 mg/hari.
Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan dosis sekali sehari pada dosis
maksimum, bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.
Thiazolidinediones (Glitazone)

Agen-agen ini mengaktifkan PPAR, suatu faktor transkripsi nuklear yang


penting pada diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak. Agonis PPAR
mengurangi resistensi insulin pada perifer (membuat otot dan lemak sensitif terhadap
insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin harus ada dalam jumlah yang signifikan
sehingga aksi ini bisa terjadi. Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan
meningkatkan HDL-C, tapi LDL-C juga meningkat.

Pioglitazone (Actos) dimulai 15-30 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 45


mg/hari.

Rosiglitazone (Avandia) dimulai 2-4 mg sekali sehari. Dosis maksimum adalah 8


mg/hari. Respon yang sedikit lebih besar bisa muncul ketika dosis 4-8 mg/hari
diberikan dalam dua dosis terbagi.

Bisa butuh 3-4 bulan untuk melihat efek antihiperglisemi sepenuhnya. Monoterapi
seringkali tidak efektif kecuali obat diberikan di awal perjalanan penyakit ketika
jumlah sel masih cukup dan terjadi hiperinsulinemia.

Edema dan bertambah berat bisa menjadi masalah substantial bagi pasien yang
menggunakan glitazone dengan atau tanpa insulin secretagogu. Retensi cairan bisa
merangsang atau memperburuk gagal jantung kongestif pada pasien dengan
kompromi pada fungsi ventrikel kiri. Rosiglitazone dan pioglitazone tampaknya tidak
memberikan masalah toksisitas liver yang menyebabkan troglitazone ditarik dari
pasar. Tetapi, uji kerusakan liver (AST, ALT) sebaiknya diperoleh ketika memulai
terapi, selama tiap bulan pada tahun pertama, dan secara periodik setelahnya. Kedua
obat tidak boleh diberikan jika baseline AST atau ALT melebihi 2,5 kali batas atas
normal. Pemberiannya harus dihentikan jika hasil uji melebihi tiga kali batas atas
normal atau ada tanda atau simtom kerusakan liver.
Inhibitor Glukonidase

Agen-agen ini mencegah pemecahan sukrosa dan karbohidrat kompleks di


intestinal kecil, sehingga memperlama absorpsi karbohidrat. Ini berefek langsung

pada berkurangnya konsentrasi glukosa post prandial sementara glukosa puasa relatif
tidak berubah. Efek pada kontrol glisemi cukup moderat, dengan rerata pengurangan
HbA1C 0,3-1%.

Acarbose (Precose) dan miglitol (Glyset) didosiskan serupa. Terapi dimulai


dengan dosis rendah (25-50 mg dengan satu kali makan sehari) dan ditingkatkan
bertahap (selama sebulan) sampai maksimum 50 mg tiga kali sehari untuk pasien <60
kg atau 100 mg tiga kali sehari untuk pasien >60 kg.

Efek samping paling umum adalah perut kembung, diare, dan kejang abdominal,
yang bisa dikurangi dengan memperlambat titrasi dosis. Jika hipoglisemia terjadi
ketika digunakan bersama dengan agen hipoglisemi (sulfonilurea atau insulin),
produk glukosa oral atau parenteral (dextrosa) atau glukagon harus diberikan karena
obat akan menginhibit pemecahan dan absrpsi molekul gula yang lebih komplek
(seperti, sukrosa).
FARMAKOTERAPI DM TIPE I

Semua pasien DM tipe I membutuhkan insulin, tapi tipe dan cara pemberiannya
berbeda antar individu dan klinisi.

Strategi terapi sebaiknya dilakukan untuk mencocokkan asupan karbohidrat


dengan proses penurunan glukosa (biasanya insulin) dan latihan fisik. Dilakukan
modifikasi diet sehingga pasien tetap bisa menjalankan aktivitasnya secara normal.

Gambar 17-1 menunjukkan hubungan konsentrasi gluksoa dan sekresi insulin


sepanjang hari dan bagaimana berbagai regimen insulin bisa diberikan.

Waktu onset insulin, puncak, dan durasi efek harus memenuhi pola makan dan
jadwal latihan untuk mendapatkan konsentrasi glukosa darah mendekati normal untuk
sepanjang hari

Regimen dua injeksi harian yang bisa dengan kasar memperkirakan sekresi
insulin fisiologis adalah campuran injeksi dosis pagi insulin NPH dan insulin
konvensional sebelum sarapan dan sekali lagi sebelum makan petang (lihat Gambar
17-1 no.1). ini dengan asumsi bahwa insulin NPH pagi memberikan basal insulin
basal sepanjang hari dan menutupi kebutuhan untuk makanan tengah hari, insulin
pagi hari untuk menutupi sarapan, insulin NPH petang untuk basal insulin untuk sisa
hari, dan insulin petang untuk makan petang. Pasien bsa memulai dengan 0,6 unit/kg
per hari, dimana dua per tiga diberikan pagi hari dan sisanya untuk dosis petang.
Insulin aksi cepat (seperti, NPH) sebaiknya terdiri dari dua per tiga dosis pagi dan
satu setengah dosis petang. Tetapi, kebanyakan pasien sulit untuk dikontrol asupan
glukosa dari makanan dengan pendekatan ini. Jika glukosa puasa di pagi hari terlalu
tinggi, dosis NPH petang bisa dipindahkan ke sebelum tidur (hingga total tiga injeksi
per hari). Ini bisa memberikan intensifikasi terapi yang cukup untuk beberapa pasien.

Konsep injeksi basal-bolus mencoba untuk meniru fisiologi insulin normal


dengan memberikan insulin kerja intermediet atau kerja panjang sebagai komponen
basal dan insulin kerja singkat sebagai bagian bolus (lihat Gambar 17-1, no.2-4).
Terapi intensif menggunakan pendekatan ini dianjurkan untuk semua dewasa sewaktu
diagnosa untuk memperkuat pentingnya kontrol glisemi dari awal terapi. Karena
anak-anak dan remaja menjelang pubertas relatif terlindungi dari komplikasi
mikrovaskular dan harus ditangani dengan regimen yang praktis penggunaannya,

terapi yang kurang intensif (dua injeksi per hari insulin campuran) bisa diberikan
sampai mereka mencapai pubertas.

Komponen basal insulin bisa disediakan oleh insulin NPH, Lente, atau
Ultralente sekali atau (yang lebih umum) dua kali sehari atau insulin glargine sekali
sehari. Insulin glargine adalah suplemen insulin basal yang praktis untuk kebanyakan
pasien karena tidak mempunyai puncak efek yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan makanan dan aktivitas dengan insulin kerja panjang lainnya.
Gambar 17-1

Komponen insulin bolus diberikan sebelum makan dengan insulin biasa, insulin
lispro, atau insulin aspart. Onset yang cepat dan durasi singkat dari insulin lispro dan
insulin aspart lebih dekat meniru fisiologis normal daripada insuln biasa, sehingga
pasien bisa menggunakan variasi jumlah yang berbeda berdasarkan pada level SMBG
preprandial, level aktivitas yang akan dilakukan, dan asupan karbohidrat yang akan
diambil. Kebanyakan pasien mempunyai dosis insulin preprandial yang bisa mereka
variasikan berdasar algoritma (aturan pemberian) insulin. Hitung karbohidrat adalah
alat yang efektif untuk menentukan jumlah insulin yang akan diinjeksikan
preprandial.

Sebagai contoh, pasien bisa mulai dengan sekitar 0,6 unit/kg per hari insulin,
dengan insulin basal 45% dari total dosis dan insulin prandial 25% dari tortal dosis
sebelum sarapan, 15% sebelum makan siang dan 15% sebelum makan malam.
Kebanyakan pasien membutuhkan dosis total harian antara 0,5-1 unit/kg per hari.

Continous subcutaneous insulin infusion, CSII, (infusi insulin subkutan


berkelanjutan) adalah bentuk terbaik untuk pengiriman insulin basal-bolus (lihat
Gambar 17-1 no 5). Dosis insulin basal bisa bervariasi, konsisten dengan perubahan
kebutuhan insulin sepanjang hari. Pada pasien terpilih, CSII bisa memberikan kontrol
glisemi lebih baik. Tetapi, metode ini membutuhan perhatian lebih besar untuk detail
dan frekuensi SBMG jika dibandingkan dengan empat injeksi tiap hari.

Semua pasien yang menerima insulin sebaiknya mendapat edukasi pada


pengenalan dan pengatasan hipoglisemi.
FARMAKOTERAPI DM TIPE II (GAMBAR 17-2)

Pasien simtomatik bisa awalnya membutuhkan insulin utnuk mengurangi


toksisitas glukosa (yang bisa mengurangi sekresi insulin sel dan memperburuk
resistensi insulin).

Pasien dengan HbA1C <7% biasanya dirawat dengan ukuran terapi gaya hidup.
Mereka dengan HbA1C >7% tapi <8% awalnya dirawat dengan agen oral tunggal.
Kebanyakan pasien dengan nilai HbA1C lebih tinggi dari 9%-10% membutuhkan dua
agen atau lebih untuk mencapai target glisemi.

Pasien obese (>120% berat badan ideal) sebaiknya memulai dengan metformin,
dititrasi sampai paling tidak 2000 mg/hari, jika tidak ada kontraindikasi. Suatu
thiazolidinedione (rosiglitazone, pioglitazone) bisa digunakan pada pasien dengan
intoleransi atau dikontraindikasikan terhadap metformin.
Gambar 17-2

Pasien dengan berat badan mendekati normal bisa dirawat dengan


insulin secretagogu.

Inhibitor glukosidase bisa digunakan pada pasien yang beresiko


untuk hipoglisemi, pada pasien dengan manifestasi terutama hiperglisemi
postprandial, dan dalam kombinasi dengan hampir semua obat lain.

Jika terapi awal gagal sebaiknya digunakan obat kedua sebagai


tambahan. Penggantian obat dari kelas lain sebaiknya disimpan untuk kasus
intoleransi obat.

Terapi kombinasi awal baik untuk pasien dengan HbA1C >9% -10%.
Produk kombinasi oral yang mengandung glyburideb dan metformin (Glucovance)
telah disetujui sebagai terapi pilihan pertama.

Setelah pasien gagal dengan dua obat, bisa ditambahkan kelas ketiga
(biasanya rosiglitazone atau pioglitazone), meski terapi seperti ini saat ini belum
disetujui FDA. Suatu alternatif adalah menambah insulin sewaktu tidur,
menggunakan insulin kerja intermediet atau kerja panjang.

Hampir semua pasien pada ahirnya menjadi insulinopeni dan


membutuhkan terapi insulin. Pasien seringkali berpindah ke insulin dengan
menggunakan injeksi insulin kerja intermediat atau kerja panjang sebelum tidur
dengan agen oral yang digunakan terutama untuk kontrol glisemia sepanjang hari. Ini
menyebabkan lebih kurang hiperinsulinemia sepanjang hari dan berat yang bertambah
lebih sedikit daripada menggunakan strategi pemakaian insulin tradisional. Insulin
sensitizers umum digunakan dengan insulin karena kebanyakan pasien resisten
insulin.

Ketika kombinasi insulin sebelum tidur dan medikasi oral untuk


sepanjang hari gagal, regimen insulin multiple dose dengan atau tanpa insulin
sensitizer bisa digunakan.

Karena variasi pada resistensi insulin, dosis insulin bisa berkisar dari
0,7-2,5 unit/kg per hari atau lebih.

Pasien lansia yang baru saja didiagnosa DM tipe II sebaiknya target


glisemi-nya lebih longgar karena peningkatan resiko untuk hipoglisemi dan
kemungkinan resiko jangka panjang terjadinya komplikasi mikrovaskular. Pasien
yang lebih kurus bisa dirawat dengan menggunakan insulin secretagogue yang
kerjanya lebih singkat. Metformin bisa menjadi masalah di usia tua, karena resiko
ketoasidosis meningkat dengan bertambahnya usia. Regime insulin sederhana bisa
menjadi pendekatan yang diinginkan untuk pasien lansia yang baru didiagnosa DM.
PENANGANAN KOMPLIKASI MIKROVASKULAR
Retinopati

Pasien dengan retinopati sebaiknya diperiksa oleh optalmologis paling tidak tiap
6-12 bulan.

Retinopati tahap awal masih bisa dinormalkan dengan kontrol glisemi. Penyakit
yang lebih parah tidak bisa dibantu dengan kontrol glisemi, bahkan kondisinya bisa
memburuk dengan perbaikan glisemi jangka pendek.

Fotokoagulasi laser telah terbukti meningkatkan penglihatan pada pasien diebetes.


Neuropati

Neuropati perifer adalah komplikasi paling umum pada pasien DM tipe II rawat
jalan. Parestesis, numb, atau nyeri bisa menjadi simtom dominan. Kaki bisa lebih
terserang dari tangan. Peningkatan kontrol glisemi bisa meringankan beberapa

simtom. Terapi farmakolgi adalah simtomatik dan empirik, termasuk dosis rendah
tricyclic antidepresan, anti konvulsan (fenitin, gabapentin, carbamazepin),
kapsaicin topikal, dan berbagai analgesik, termasuk NSAID.

Gastroparesis bisa sangat parah dan melemahkan pasien. Perbaikan kontrol


glisemi, penghentian pengobatan yang memperlambat motilitas lambung, dan
penggunaan metoclorpramide (biasanya hanya untuk beberapa hari) atau
eritromisin bisa membantu.

Pasien dengan orthostatic hipotension (= hipotensi karena postur tubuh) bisa


membutuhkan volume expander dan agen adrenergik.

Diare Diabetic sering terjadi malam hari dan seringkali bisa sembuh dengan
penggunaan antibiotik seperti doksisiklin atau metronidasol selama 10-14 hari.
Octreotide bisa berguna pada kasus yang tidak merespon antibiotik pilihan pertama.

Disfungsi ereksi seringkali neuropati dan vasculogenic. Sildenafil efektif pada


sekitar setengah pasien diebetes dengan disfungsi ereksi.
Netropati

Kontrol glukosa dan tekanan darah adalah yang terpenting untuk pencegahan
netropati, dan kontrol tekanan darah adalah yang terpenting untuk menghambat
perkembangan netropati.

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor adalah terapi awal yang


dianjurkan. Angiotensin receptor blocker bisa juga mempunyai efek proteksi. Diuretik
sering diperlukan karena kondisi bertambahnya volume.
PENANGANAN KOMPLIKASI MAKROVASKULAR
Penyakit Jantung Koroner

Penanganan berbagai faktor resiko (penanganan disipidemia dan hipertensi,


berhenti merokok, terapi antiplatelet) mengurangi kejadian makrovaskular.

Menurut panduan NCEP ATP III terkini (lihat bab 8), adanya DM adalah faktor
resiko yang setara dengan panyakit jantung koroner, dan target LDL-C adalah <100
mg/dl. Setelah tujuan ini tercapai (biasanya dengan statin), penanganan trigliserida
yang tinggi (>200 mg/dl) bisa dimulai. Tujuan non-HDL untuk pasien dengan DM
adalah <130 mg/dl. Niasin atau fibrate bisa ditambahkan untuk mencapai tujuan itu
jika trigliserida antara 201-499 mg/dl, atau jika pasien memiliki HDL-C yang rendah
(<40 mg/dl).

The American Diabetes Association menganjurkan target tekanan darah <130/85


mmHg pada pasien dengan DM. the National Kidney Foundation menganjurkan
target <130/80. Pada pasien dengan proteinuria >1 g/hari dan gangguan fungsi ginjal,
target <125/75 mmHg dianjurkan. ACE inhibitor umumnya dianjurkan untuk terapi
awal. Diuretik atau Ca channel blocker berguna sebagai agen kedua atau ketiga.

Terapi blocker memberikan perlindungan lebih hebat dari serangan ulang


penyakit jantung koroner pada pasien diabet daripada pasien non-diabet.
Menghilangkan simtom hipoglisemi lebih menjadi masalah pada pasien DM tipe I
daripada pasien DM tipe II.
Penyakit Vaskular Perifer dan Ulser Kaki

Nyeri kaki dan ulser kaki yang sulit sembuh umum dijumpai pada DM tipe II.

Penghentian merokok, menangani dislipidemia, dan terapi antiplatelet merupakan


strategi perawatan yang penting.

Pentoxifylline (Trental) atau cilostazol (Pletal) bisa berguna pada pasein terpilih.
Re-vaskularisasi berhasil pada pasien terpilih.
Pengangkatan jaringan dan penggunaan alas kaki yang sesuai serta perawatan
kaki sangat penting pada penanganan awal lesi kaki. Perawatan topikal bisa
bermanfaat pada lesi yang lebih parah.

EVALUASI HASIL TERAPI

HbA1C adalah standar terkini sebagai lanjutan untuk kontrol


glisemi jangka panjang dari 3 bulan sebelumnya.

Apa pun regimen insulin yang dipilih, penyesuaian kasar pada


dosis total harian insulin bisa dibuat berdasarkan pengukuran HbA 1C dan simtom
seperti poliuri, polidipsi (= merasa sangat haus), serta bertambah atau berkurangnya
berat. Penyesuaian insulin yang lebih baik bisa ditentukan berdasarkan hasil dari
SBMG.

Pasien yang menerima insulin sebaiknya dimonitor untuk


hipoglisemi dengan menanyakan mengenai berkeringat pada malam hari, palpitasi (=
denyut jantung yang tidak teratur), dan mimpi buruk, dan juga hasil dari SBMG.

Pasien dengan DM tipe II sebaiknya melakukan urinalisis rutin


sewaktu diagnosis sebagai uji skrining awal untuk albuminuria. Jika positif, urine 24
jam akan digunakan untuk membantu dalam mengembangkan rencana perawatan.
Jika urinalisis negatif untuk protein, bisa dilakukan uji untuk mengevaluasi kehadiran
mikroalbuminuria.

Anda mungkin juga menyukai