Anda di halaman 1dari 14

CLINICAL SCIENCE SESSION

EPISTAKSIS
Disusun oleh:
Reni Yuditha Kathrine

1301-1212-0619

Preceptor:
Nur Akbar Aroeman, dr., M.Kes., Sp. THT-KL(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014

EPISTAKSIS
DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu tanda atau keluhan
bukan penyakit. Etiologi dari epistaksis ini harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati
epistaksis secara efektif. Trauma dan dehidrasi mukosa merupakan penyebab paling umum
dari epistaksis. Perdarahan terjadi ketika mukosa hidung tererosi sehingga pembuluh darah
terekspos dan kemudian pembuluh darah pecah.
VASKULARISASI
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis interna (Internal
Carotid Artery/ ICA) dan karotis eksterna (External Carotid Artery/ ECA). ICA melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi septum
dan dinding lateral superior. ECA memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui facial artery dan internal maxillary artery.
1) Facial artery akan mengalirkan darah ke superior labial artery yang akan menyuplai
anterior nasal floor dan anterior nasal septum melalui septal branch .
2) Internal maxillary artery akan masuk ke pterygomaxillary fossa dan bercabang
menjadi

6:

posterior

superior

alveolar,

descending

palatine,

infraorbital,

sphenopalatine, pterygoid canal, dan pharyngeal.


Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui
foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan
dinding lateral hidung.
Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior
septum nasi.
Kiesselbach plexus atau disebut Littles area merupakan anyaman anastomosis cabang
pembuluh darah arteri sphenopalatina, arteri ethmoid anterior, arteri labialis superior, dan
arteri palatine mayor. Kiesselbach plexus ini terletak di anterior cartilaginous septum,
superficial dan mudah cedera oleh trauma.

Vaskularisasi hidung

LOKASI EPISTAKSIS
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis, yaitu dari bagian
anterior dan posterior.
1) >90% perdarahan terjadi di anterior dan berasal dari Littles area di mana
Kliesselbach plexus terbentuk, merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai
anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Epistaksis anterior ini
umumnya dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.

Epistaksis anterior

2) Epistaksis posterior, terjadi di bagian belakang rongga hidung, berasal dari arteri
sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan
3

jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan risiko yang lebih besar seperti
terganggunya jalan napas, aspirasi darah, dan kesulitan mengontrol darah yang dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok.

Epistaksis posterior

ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Lebih dari 90% perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area
Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Penyebab
epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal seperti trauma, iritasi mukosa hidung,
abnormalitas septum, peradangan pada hidung maupun tumor; penyebab sistemik seperti
blood dyscrasias, arteriosclerosis, hereditary hemorrhagic telangiectasia; serta idiopatik.
1) Lokal
a) Trauma
Trauma yang dapat menyebabkan epistaksis diantaranya yaitu bersin, mengorek
hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang
merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.
Trauma yang paling umum menyebabkan epistaksis adalah pengorekan hidung tang
berulang, menyebabkan ulserasi mukosa septum anterior dan kemudian terjadi
perdarahan. Hal ini biasanya didapatkan pada anak-anak.
b) Inflamasi

Rhinosinusitis bakteri, virus, maupun alergi menyebabkan inflamasi pada mukosa dan
dapat mengakibatkan epistaksis. Namun perdarahan yang terjadi pada kasus ini
umumya minor dan hanya tampak sebagai sekret hidung dengan bercak darah.
Penyakit granulomatosis seperti sarcoidosis, Wegener granulomatosis, syphilis dan
rhinoscleroma dapat menyebabkan terbentuknya krusta mukosa dan mukosa menjadi
lebih rapuh, menyebabkan epistaksis yang berulang.
Bayi muda dengan gastroesophageal reflux ke hidung dapat mengalami epistaksis
sekunder karena inflamasi.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten,
kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah. Hemongioma,
karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Biasanya pasien
juga datang dengan tanda dan gejala hidung tersumbat dan rhinosinusitis yang
biasanya unilateral.
d) Abnormalitas septum.
Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi
perdarahan hidung. Deviasi septum dan spurs dapat mengganggu aliran udara normal
pada hidung, menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi perdarahan pada
kebanyakan pasien terletak di anterior dari spurs.
e) Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti antihistamin dan kortikosteroid dapat menyebabkan
iritasi mukosa terutama ketika diaplikasikan langsung ke septum nasal daripada ke
dinding lateral. Obat-obatan seperti NSAID juga seringkali terkait dengan terjadinya
epistaksis.
f) Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan
udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi
pada mukosa. Epistaksis terjadi lebih sering pada iklim kering dan selama cuaca
dingin karena dehumidifikasi mukosa hidung oleh sistem penghangat rumah.
2) Sistemik
a) Kelainan darah misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia, ITP, diskrasia
darah, obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Koagulopati yang didapat bentuknya bisa
primer (akibat penyakit) ataupu sekunder (akibat treatment). Trombositopenia dan
penyakit liver merupakan contoh penyakit dengan penurunan faktor koagulasi,
5

Apabila tidak ditemukan penyakit liver, maka alkoholisme dan penggunaan


antikoagulan oral dapat ditanyakan karena berkaitan dengan koagulopati dan
epistaksis.
b) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Pasien
ini juga menderita telangiektasis di wajah, tangan atau bahkan di traktus
gastrointestinal dan/atau pembuluh darah paru.
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat keluarga positif,
mudah memar, ataupun perdarahan yang lama berhenti baik dari trauma minor
maupun tindakan operasi. Contoh penyakit ini adalah hemophilia dan von Willebrand
disease.
c) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, aneurysms,
nefritis kronik, sirosis hepatis, vascular neoplasm, endometriosis, sifilis, diabetes
melitus dapat menyebabkan epistaksis. Arteriosclerotic vascular disease dianggap
sebagai alasan atas tingginya prevalensi epistaksis pada orang-orang tua. Hipertensi
jarang secara langsung menyebabkan epistaksis. Yang umum terjadi yaitu pada pasien
dengan hipertensi, pembuluh darah menjadi lebih mudah rapuh akibaat long-standing
disease tersebut. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik.
c) Biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
d) Gangguan endokrin
Pada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang
beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase
menstruasi.
e) Defisiensi Vitamin C dan K
f) Alkoholisme

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN


6

Setelah mengevaluasi ABC (airway, breathing, circulation), idealnya kita harus


melakukan evaluasi yang sistematik terhadap pasien sebelum dilakukan pengontrolan
perdarahan (namun tidak memungkinkan untuk perdarahan yang berat). Di sini kita harus
menentukan karakteristik epistaksisnya. Estimasikan jumlah kehilangan darah, lamanya
epistaksis, perdarahannya intermittent ataupun terus menerus, lokasi perdarahan.
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat penyakit
sebelumnya ataupun kelainan darah harus ditanyakan. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur
untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat
menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak
produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat
pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang
sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain atau
larutan lidokain yang ditetesi larutan epinephrine 1/10.000 ke dalam hidung untuk
menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan
dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung
dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa:
a) Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.


Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Tampilan endoskopi epistaksis posterior

f) Skrining terhadap koagulopati


Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.
PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan,
mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu
kedaan umum pasien.. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali
bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Kepala penderita tidak boleh
hiperekstensi karena dapat berisiko darah mengalir ke faring dan terjadi aspirasi.
8

b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan
dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke
arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).

Metode Trotter

c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi
dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk
membersihkan bekuan darah.
d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan
kaustik dengan silver nitrate atau dengan elektrokauter. Elektrokauter dengan
insulated suction cautery unit lebih digunakan pada kasus perdarahan yang berat dan
lokasi perdarahan yang lebih posterior. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal
terlebih dahulu.
e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang
dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari
kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis
mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Tampon anterior dan tampon rol anterior

f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon


Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3
buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon
harus menutup koana (nares posterior).
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior
sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter
kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq
dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung
kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon
ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan
pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan
di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi
pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang
ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar
melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

10

Tampon Bellocq

g) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon
diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air.

Tampon posterior dengan Kateter Foley

h) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi
ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
i) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi
dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.

Medikasi
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk menangani epistaksis yaitu:
11

1) Topical vasoconstrictors
Bekerja pada alpha-adrenergic receptors di mukosa hidung, menyebabkan pembuluh
darah berkonstriksi. Obat yang digunakan yaitu Oxymetazolind 0,05% (Afrin). Obat
ini diaplikasikan langsung pada membran mukosa. Efek dekongesti terjadi tanpa
perubahan yang drastis terhadap tekanan darah, redistribusi vaskular ataupun stmulasi
kardiak. Dapat dikombinasikan dengan lidocain 4% untuk memberikan efek anastesi
nasal dan vasokonstriksi yang lebih efektif.
2) Antibiotic oinment
Mupirocin oinment 2% (bactroban nasal). Obat ini menghambat pertumbuhan bakteri
dengan cara menghambat sintesis RNA dan protein.
3) Agen kauterisasi
Silver nitrate. Agen ini akan mengkoagulasikan protein selular dan menyingkirkan
jarungan granulasi. Agen ini juga memiliki efek antibakterial.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat),
air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.
DIAGNOSIS BANDING
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar
dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii
yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.

PENCEGAHAN
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :

12

1. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada
kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.
2. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
3. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 0,6cm ke dalam hidung.
4. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
5. Bersin melalui mulut.
6. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
7. Batasi penggunaan obat obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
8. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
9. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi.
PROGNOSIS
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk.

DAFTAR PUSTAKA

13

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC,
1997.
2. Warta Medika. Mimisan atau Epistaksis. Warta Medika [serial online] 2007 Jul 2 [cited
2009 Mar 4] Available from : http://www.wartamedika.com/2007/07/mimisan-atauepistaksis.html
3. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan.
Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131.
4. Wikipedia. Epistaxis. Wikipedia 2009 Feb 10 [cited 2009 Feb 28] Available from:
http://en.wikipedia.org/wiki/Epistaxis
5. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19
[cited 2009 feb 28] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
6. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2009 Mar 1] Available from:
http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM%20FK
%20UII
7. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28
[cited Mar 2] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
8. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2009 Mar 4 Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
9. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2 [cited 2009
Mar 4] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx
10. http://www.aafp.org/afp/ 20050115/305_f1.jpg
11. http://2.bp.blogspot.com/_xZs05pnMnmA/SDGr_fthRkI/AAAAAAAAAHE/LAPUON5Ekg/s320/01e61e00.jpg
12. http://www.ghorayeb.com/EpistaxisPosteriorEndoscopicView.html
13. http://www.scribd.com

14

Anda mungkin juga menyukai