Anda di halaman 1dari 3

Satu kebiasaan buruk saya sejak mahasiswa hingga kini, adalah ngantuk.

Bukan
sekedar kantuk, tapi bahkan tertidur pulas. Repotnya, ini terjadi saat mendengarkan
kuliah atau ceramah. Karena ketiduran, pernah sekali tempo saya dimarahi pembicara
didepan forum. Ini terjadi pada acara Perdossi di Padang, tahun 2001.
Kala itu saya ikut simpo, duduk di kursi paling depan, dan terus tertidur lelap.
Tampaknya ini diketahui pembicara. Pada sesi diskusi saya ajukan pertanyaan. Eh,
boro-boro jawaban yang saya peroleh, tapi malah disemprot, alias dimarahi. Lho ini
kan sudah saya terangkan saat presentasi, kenapa ditanya lagi. Makanya toh jangan
tidur kalau ikut simpo, demikian celetuk si pembicara. Mendapat jawaban ini, saya
langsung menimpali Lho kenapa saudara pembicara kok jadi sewot. Saya ikut simpo
ini bayar sendiri. Perkara mau tidur atau tidak kek, itu urusan saya. Tugas anda
menjawab pertanyaan peserta. Mendengar jawaban ini, maka gegerlah tawa hadirin.
Pembicara itu adl sejawat Hasan Sjahrir (Medan), yang kala itu blm menyandang gelar
Prof, doktor.
Demikian pula saat di Macao, tetap saja saya ngantuk. Kalau presentasinya
membosankan, saya biarkan saja kantuk itu berkelanjutan. Tapi bila menarik, kantuk
saya lawan dgn memotret presentasi, sekalian untuk bahan diskusi. Inilah 1 presentasi
yang sempat saya potret, yaitu tentang Optic Neuritis (ON) yang akan kita diskusikan.
Rasanya kita semua sudah faham
gejala ON. Gambar sebelah menunjukan mata normal dan mata
ON. Gejala ON adl, tiba-2 saja,
mata kabur atau spt berkabut,
disertai nyeri bola mata saat
digerakan. Pada 39,5% kasus,
nyeri bola mata biasanya menda
hului turunnya penglihatan. Pada
orang dewasa, ON sering terjadi
secara unilateral (satu mata),
sedang pada anak secara bilateral
(kedua mata).
Puncak gejala ON tercapai beb hari atau minggu setelah onset. Apabila diobati
dgn baik, paling lambat 8 minggu gejalanya sudah baik. Namun bila tdk juga baik dlm 8
minggu, maka kita patut sangsi bahwa diagnosisnya adl ON. Pemeriksaan oftalmoskopi
sangat menolong diagnosis. Namun pada kebanyakan pasien, tdk ditemukan edema
papil (retrobulbar ON), kecuali bila terjadi papillitis anterior atau ON luas. Karena itu
saya lebih senang mengobati ON ketimbang stroke, sebab biasanya dlm 1 minggu
pasien sudah bisa melihat kembali. Kesan pasien, dokternya pinter. Kadang pasien
bertanya, apa kelainan mata ini sebaiknya berobat ke dokter mata atau dokter saraf.
Mendapat pertanyaan stategis ini, saya selalu mengedukasi pasien dgn analogi
sederhana. Saya umpamakan mata sbg bola lampu (BL), sedang saraf mata sbg kabel.
Saya terangkan, kalau lampu itu padam, hanya ada 2 kemungkinan gangguan, di BL
atau di kabel. Kalau di BL maka ke dokter mata, bila kabelnya terganggu ke dokter
saraf. Selain mata, analogi semacam ini berlaku pula untuk gangguan di hidung,
telinga, gigi dll. Biasanya pasien langsung faham.
Dibawah ini adl abstract Prof Xiaojun Zhang

Optic Neuritis in China


Prof Xiaojun Zhang
Chairperson, Department of Neurology, Beijing Tongren Hospital, Capital Medical
University, Beijing, China
Idiopathic demyelinating optic neuritis (IDON) is the most common types of ON in
China, but its clinical features, visual and neurological outcomes are different from
IDON reported in Western Countries. IDON patients in china had more simultaneous
bilateral onset, severe visual loss, relatively worse visual recovery and less brain MRI

abnormallities. A group of Chinese severe optic neuritis patients showed a higher


AQP4-antibody positivity (34.4%) and a higher risk of developing into neuromyelitis
optica (NMO).
A retrospective cohort study of 107 Chinese IDON case showed that 19 cases
(17.7%) developed into either multiple sclerosis (MS) or neuromyelitis optica (NMO)
during a averaged 9.5 years disease duration, of which 9 (47.4%) developed into MS
and the other 10 cases (52.6%) developed into NMO spectrum diseases.
Flare of optic neuritis at withdraw of cortical steroid is reported common in China.
The longstanding immunosuppressive treatment showed a preventing effect to relapse
of optic neuritis and conversion either MS or NMO. While infectious optic neuritis does
not account the main type of optic neuritis in China, the raising reported cases of
syphilitic optic neuritis and the high prevalence of hepatitis B virus infection still warn our
attention for differential diagnosis and different treatment strategies.
Yang patut disimak dari abstract ttg ON di China ini adalah: mengapa onset ON
sering terjadi bilateral. Tentu ini agak beda dgn yang kita lihat di praktek yang lebih
sering terjadi secara unilateral. Masalah severity dari visual loss dan relatively worse
visual recovery bisa diterima, toh itu tergantung dari luasnya kelainan.
Timbul pertanyaan, apa ada kaitannya dgn factor genetic. Kalau ada, apa itu?
Apakah factor genetic itu berakibat terhadap tingginya kadar antibody AQP4, atau ada
polimorfisme genetic sehingga timbul kecendrungan menjadi neuromyelitis optica
(NMO). Sayangnya, presentasi Prof Xiao tdk dirancang menjawab pertanyaan diatas
yang sifatnya lebih kearah neuro-pathogenesis. Inilah celah presentasi dimana saya
bisa membuat opini. Agar ada peningkatan awareness thd ON dan sebelum membahas
opini lebih lanjut, ada baiknya saya kutip dulu beberapa slide Prof Xiao.
Secara klinis sudah lama dikenal
bahwa ON dibagi atas primer dan
sekunder. Namun secara etiologis, pembagiannya lebih dari itu.
ON dibagi 2, yang dapat merusak
myelin dan ON yang berasal dari
proses otoimun, spt slide sebelah.
Spt biasa dlm klinis, tentu tidak
ada klasifikasi tunggal, tetapi selalu tumpang tindih. Contohnya,
ON related with other demyelinating disorders itu apa? Tentu
yang dimaksud adl ON yang
terkait misalnya dgn multiple
sclerosis (MS).
Kalau bicara tentang MS, tentu penyakit ini bisa digolongkan sebagai central
demyelinating disorder sekaligus juga sbg auto immune disorder.
Kadang saya tdk tahu, jenis ON
mana yang saya hadapi ketika
memeriksa pasien. Apakah jenis
typical atau atypical. Di praktek,
mana sempat hal itu dipikirkan.
Namun yang perlu diingat adalah,
bila jenisnya atypical maka sebabnya
bukan melulu terbatas pada nervus
optikus, tetapi oleh kelainan sekunder spt sarcoidosis, meningitis dll, spt
slide sebelah. Untungnya, baik itu
typical atau atypical terapinya tetap
sama, yaitu steroid juga. Secara
klinis tdk terlalu sulit membedakan
keduanya. Sebab pada jenis yang
atypical, visual loss yang terjadi
hanyalah 1 dari sekian gejala penyakit dasarnya.

Slide sebelah sangat melega


kan. Sebab 75% kasus bereaksi dgn baik terhadap terapi
steroid IV. Memang ada yang
responsnya yang kurang bagus, tapi itu terjadi pada pasien yang mengalami flare,
setelah penghentian terapi steroid. Perlu di ingat bahwa studi
ini subyeknya adl atypical ON.
Artinya, mungkin saja penyakit
primernya belum dikoreksi se
cara baik. Tentang penglihatan
(vision) yang jelek, rasanya
sebanding dengan kegagalan
terapi, yaitu 55% dibanding
60%.
Marilah kita mulai membahas opini sebagaimana dijanjikan diatas. Saya tidak akan
membahas kaitan antara factor genetic dengan tingginya kadar antibody AQP4, tapi
lebih memilih bagaimana kira2 mekanisme terjadinya ON sehubungan dengan naiknya
titer antibody AQP4. Ini fakta ilmiah yang diterangkan Prof Xiao tetapi tdk termonitor dlm
presentasinya.
AQP4 adl kepanjangan dari aquaporin4, suatu membrane water channels. Dia,
banyak terlibat dalam berbagai fungsi fisiologis spt water/salt homeostasis, exocrine
fluid secretion, and epidermal hydration. Ditingkat selluler, AQP4 mengatur transport air
secara osmotik, melintasi membran plasma sel dan memfasilitasi transportasi cairan
transepitelial, migrasi sel, neuroexcitasi, transportasi gliserol, mengatur proliferasi sel,
dll. AQP4 terkait dgn beb penyakit, satu diantaranya adl neuromyelitis optica, suatu
neuroinflammatory demyelinating disease. Seperti dugaan semula, ternyata ada factor
genetic yang disebut disease-relevant aquaporin polymorphisms. Kerusakan myelin
pada neuromyelitis optica terjadi melalui serangan autoantibodi terhadap saluran air
aquaporin-4 dari astrosit. Sekalipun tdk persis sama, ada kemiripan antara mekanisme
kerusakan yang terjadi pada ON dan neuromyelitis optica. Ada secercah harapan untuk
mengembangkan molecular aquaporin modulators bagi penyakit-2 yang sulit di terapi
dengan obat2 konvensional.
Sidang pembaca yang budiman.
Sebenarnya masih ada 1 lagi topic menarik lainnya yang ingin saya suguhkan. Yaitu,
hubungan mekanisme neurobiology antara ON dan MS. Tapi saya capek mencari
referensi terbaru. Biarlah nanti, siapa tahu ada yang ngundang bicara, hehehe.
Rasanya kajian polimorfisme pada ON cukup menarik untuk jadi bahan disertasi.
Sekarang bahan disertasi yang banyak diteliti sejawat kita adalah ttg polimorfisme pada
stroke. Memang bagus sih, tapi ada resikonya. Saking banyaknya intervening dan
confounding variables, ada kalanya hipotesisnya jadi tak terbukti.
Tulisan ini mengakhiri 3 seri laporan pandangan mata AOCN 2014.
Semoga bermanfaat.
Suwun MHM

Anda mungkin juga menyukai