EPILEPSI
Oleh:
Lissa Maria Sianipar (0961050119)
Pembimbing :
dr. Charles Antoni, Sp.A
LATAR BELAKANG
Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia dan menempati
urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan peredaran darah otak. Dengan
tatalaksana yang baik sebagian besar penderita dapat terbebaskan dari penyakitnya,
namun untuk ini ditemukan banyak kendala, di Indonesia di antaranya kurangnya
dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter umum dan paramedis dalam
menanggulangi penyakit ini. salah satu penyebab dari kendala tadi adalah kurikulum
yang minimal untuk penyakit ini.
Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, terbukti dengan
adanya istilah-istilah bahasa dikenal untuk penyakit ini seperti sawan, tapi pengertian
akan penyakit ini masih kurang bahkan salah sehingga penderita digolongkan dalam
penyakit gila, kutukan dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan
disembunyikan. Akibatnya banyak penderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan
mendapat pengobatan yang tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan
psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya.
Di Indonesia belum ada data epidemiologis yang pasti tetapi diperkirakan ada
900.000-1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan penyakit ini belum
merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional. Karena cukup banyaknya
penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga keterampilan para dokter dan
paramedis lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.
BAB II
PEMBAHASAN
DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri-ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel
saraf.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulanya
kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial.
ETIOLOGI
Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di
sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis
atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi
otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.
Bila ditinjau dari faktor etiologis, maka epilepsi dibagi menjadi 2 kelompok :
1. Epilepsi idiopatik
Sebagian besar pasien, penyebab epilepsi tidak diketahui dan biasanya pasien tidak
menunjukkan manifestasi cacat otak dan tidak bodoh. Sebagian dari jenis idiopatik
disebabkan oleh interaksi beberapa faktor genetik. Kata idiopatik diperuntukkan bagi
pasien epilepsi yang menunjukkan bangkitan kejang umum sejak dari permulaan
serangan.
Dengan bertambah majunya pengetahuan serta kemampuan diagnostik, maka
golongan idiopatik makin berkurang. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsi idiopatik .
2. Epilepsi simtomatik
Hal ini dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan intrakranial dan
ekstrakranial. Penyebab intrakranial, misalnya anomali kongenital, trauma otak,
neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak, jaringan parut. Penyebab yang
bermula ekstrakranial dan kemudian menganggu fungsi otak, misalnya: gagal jantung,
gangguan pernafasan, gangguan metabolisme (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia),
gangguan keseimbangan elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi (dehidrasi, hidrasi
lebih). Kelainan struktural tidak cukup untuk menimbulkan bangkitan epilepsi, harus
dilacak faktor-faktor yang ikut berperan dalam mencetuskan bangkitan epilepsi,
contohnya, yang mungkin berbeda pada tiap pasien adalah stress, demam, lapar,
hipoglikemia, kurang tidur, alkalosis oleh hiperventilasi, gangguan emosional.
PATOGENESIS
Konsep terjadinya epilepsi telah dikemukakan satu abad yang lalu oleh John Hughlings
Jackson, bapak epilepsi modern. Pada fokus epilepsi di korteks serebri terjadi letupan yang
timbul kadang-kadang, secara tiba-tiba, berlebihan dan cepat; letupan ini menjadi bangkitan
umum bila neuron normal disekitarnya terkena pengaruh letupan tersebut. Konsep ini masih
tetap dianut dengan beberapa perubahan kecil. Adanya letupan depolarisasi abnormal yang
menjadi dasar diagnosis diferensial epilepsi memang dapat dibuktikan. Terjadinya epilepsi
sampai saat ini belum terungkap secara rinci.
Beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap, misalnya :
Sel Glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstrasel disekitar neuron dan
terminal presinap. Pada keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur konsentrasi ion
kalium ekstrasel dapat terganggu dan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel
neuron disekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstrasel dibanding
3
Aktivitas
ini
tidak
menjalar
ke
sekitarnya
melainkan
Kejang Parsial
Kejang parsial merupakan kejang dengan onset lokal pada satu bagian
tubuh dan biasanya disertai dengan aura. Kejang parsial timbul akibat
abnormalitas aktivitas elektrik otak yang terjadi pada salah satu hemisfer
2.
dilatasi.
Tonik Klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
Atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh
3.
b. PEMERIKSAAN FISIK
5
sedangkan
adanya
kelainan
umum
pada
EEG
menunjukkan
Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan antara lain foto polos kepala,
angiografi serebral, CT-scan, MRI. Pada foto polos kepala dilihat adanya
tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, asimetris tengkorak, perkapuran
abnormal tetapi pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan. Angiogarafi
dilakukan pada pasien yang akan dioperasi karena adanya fokus epilepsi
berupa tumor.
CT-scan dan MRI digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi
otak kongenital. Indikasi CT-scan dan MRI antara lain kesulitan dalam
mengontrol kejang, ditemukannya kelainan neurologis yang progresif dalam
pemeriksaan fisik, perburukan dalam hasil EEG, curiga terhadap peningkatan
tekanan intrakranial dan pada kasus-kasus dimana dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan.
DIAGNOSIS BANDING
1. Sinkope
Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan aliran
darah ke dalam otak dan anoksia. Sebabnya ialah tensi darah yang menurun
mendadak, biasanya ketika penderita sedang berdiri. Pada 75% kasus-kasus terjadi
akibat gangguan emosi. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak
pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara
berangsur, nadi melemah, tekanan dara rendah. Dengan diaringkan horizontal
penderita segera membaik.
2. Hipoglikemia
Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.
Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
3. Histeria
Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita terutama antara
7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin
menarik perhatian. Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol atau perubahan
7
pasca serangan seperti terdapat pada epilepsi. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak
menyerupai kejang tonik-klonik, tetapi bisa menyerupai sindroma hiperventilasi.
Timbulnya serangan sering berhubungaqn dengan stress.
PENGOBATAN EPILEPSI
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang
terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan
mencapai reseptor susunan saraf pusat.
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh.
Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi.
Prinsip pengobatan epilepsi :
1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi
2.
4.
2.
3.
4.
5.
OAE II
OAE II
Serangan absens
OAE I
OAE II
: Benzodiazepin
Serangan mioklonik
OAE I
OAE II
: Etosuksimid
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor
yang menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada
faktor yang sama dengan remisi kejang.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai
Epilepsi. Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2.
Yogyakarta: Gajahmada University Press; 2007: h.119-133.
2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo,
penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h.
100-102.
3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan,
Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.190-197.
4. Lumbantobing SM. Etiologi Dan Faal Sakitan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo
Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
1999: h.197-203.
5. Soetomenggolo Taslim.
Pemeriksaan
Penunjang
Pada
Epilepsi.
Dalam:
6. Ismael Sofyan. Klasifikasi Bangkitan Atau Serangan Kejang Pada Epilepsi. Dalam:
Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 1999: h.204-209.
7. Soetomenggolo Taslim. Kelainan Menyerupai Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo
Taslim, Ismael Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
1999: h.209-214
8. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara;
2009: h. 103-113.
9. Lazuardi Samuel. Pengobatan Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael
Sofyan, Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.226-241.
10.
Haslam Robert. Sistem Saraf; Bab 543 Kejang-Kejang Pada Masa Anak.
Dalam: Nelson Waldo E, penyunting. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi-15.
Volume-3, diterjemahkan oleh Wahab Samik. Jakarta: EGC; 2000: h.2056-2060.
11