Anda di halaman 1dari 16

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

Studi kasus Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik


Israel - palestina
(Ditujukan untuk memenuhi TUGAS HUKUM INTERNASIONAL)

oleh
1. Tegar Aditya
2. Ayuning Dwi Permata S.
3. Aisyah Aliev Rohmaniyah

120910101092
140910101033
140910101056

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2015

DAFTAR ISI

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL...................................................................................1


Studi kasus Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik Israel - palestina....................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.......................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MENURUT STARKE......................................................3
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MENURUT PASAL 38 AYAT 1 MAHKAMAH
INTERNASIONAL...........................................................................................................................6
STUDI KASUS PENGGUNAAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL.......................................................................8
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................14
KESIMPULAN...............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................15

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.
Salah satu aspek penting dalam hukum adalah kepastian, artinya hukum berkehendak
untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar manusia dalam masyarakat. Salah satu
hal yang berhubungan dengan kepastian tersebut adalah dari mana asal atau sumber hukum
itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum menjadi semakin penting sejak
hukum menjadi lembaga yang semakin formal. Dalam konteks hukum yang berkembang
menjadi semakin formal itu timbullah pertanyaan sumber hukum manakah yang sah
digunakan?.
Dalam perjalanannya Hukum Internasional berjalan berdasarkan pada beberapa
sumber hukum yang telah disetujui kebenarannya. Sumber hukum inilah yang digunakan
unruk menyelesaikan beberapa sengketa hukum internasional.
Ada beberapa pandangan mengenai sumber hukum internasional salah satunya
menurut pandangan Starke dan yang tercantum dalam pasal 38 ayat 1 mahkamah
internasional. Yang pada dasarnya pandangan pandangan tersebut mengungkapkan beberapa
kesamaan yang diakui kebenarannya dan disetujui berlakunya oleh subjek hukum
internasional.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apasajakah sumber hukum internasional menurut Starke?


2. Apasajakah sumber hukum internasional menurut pasal 38 ayat 1 MI?
3. Bagaimanakah konflik Israel-palestina ?
4. Bagaimanakah korelasi sumber hukum yang berkaitan?

1.3. Konsep pemikiran


Dalam penyelesaian suatu sengketa internasional, bisa mempergunakan satu atau
beberapa sumber hukum yang dirasa tepat untuk kasus sengketa tersebut. Pemilihan sumber
hukum manakah yang akan digunakan juga bisa berdasarkan dari bobot dan kondisi persoalan
yang akan dihadapi. Selain itu sumber hukum internasional juga merupakan pedoman
pelaksanaan hukum.
Sumber hukum Internasional ,yang selanjutnya kami singkat sebagai SHI
didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah
hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu.1
Secara material sumber hukum dapat diartikan sebagai sumber isi hukum atau dasar
berlakunya hukum dan atau tempat di mana kaidah-kaidah hukum itu diciptakan. Juga dapat
pula diartikan sebagai sumber hukum yang mempersoalkan sebab apakah hukum itu
mengikat? dan juga berarti sebagai sumber hukum yang menyelidiki masalah apakah yang
menjadi dasar mengikatnya hukum itu?2
Adapun pengertian lain sumber hukum dapat diartikan sebagai kekuatan-kekuatan
atau faktor-faktor (politic, sociologic, ekonomis, teknis, dan psikologis), yang membantu
dalam pembentukan hukum sebagai suatu bentuk perwujudan atau fenomena sosial dalam
kehidupan kemasyarakatan manusia. Dapat juga diartikan sebagai sumber hukum yang
meneliti faktor-faktor kausal atau penyebab yang turut membantu di dalam pembentukan
suatu kaidah.3
Untuk mengerti apa itu sumber hukum makalah ini mengutip pendapat starke dan
Mahkamah Internasional tentang apa itu sumber hukum . Kemudian makalah ini menjadikan
Hukum Perang (Laws of War) atau yang sekarang disebut sebagai Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Laws), atau Hukum Konflik Bersenjata (Laws of
Armed Conflict)

dan konvensi den hag 1907 untuk mendiskripsikan sekaligus menjadi

sumber hukum bahwa konflik apa yang dilakukan israel di palestina

adalah suatu

pelanggaran internasional.
1

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/sumber-hukum-internasional-kebiasaan.html#_

http://www.negarahukum.com/hukum/sumber-sumber-hukum-internasional.html

http://www.negarahukum.com/hukum/sumber-sumber-hukum-internasional.html

BAB II PEMBAHASAN

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MENURUT STARKE


Lima kategori atau bentuk utama dari sumber hukum internasional menurut Starke, yaitu :
1. Kebiasaan
Sumber Hukum Internasional salah satunya adalah kebiasaan (costum). Sampai saat ini,
hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini
pada umumnya telah menjalani suatu proses sejarah yang panjang yang berpuncak pada
pengakuan oleh masyarakat internasional.
Istilah "kebiasaan" (custom) dan "adat istiadat" (usage) sering digunakan secara bergantian.
Secara tegas dapat dikatakan, ada suatu perbedaan teknis yang tegas di antara kedua istilah
tersebut. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan
mulai apabila adat-istiadat berakhir. Adat-istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang
belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hukum. Adat-istiadat mungkin bertentangan,
kebiasaan harus terunfikasi dan bersesuaian (self-consistent). Viner's Abrigement, yang
berkenaan dengan kebiasaan dalam hukum inggris, mengemukakan hal tersebut secara
singkat :
"kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat-istiadat yang telah
memperoleh kekuatan hukum".4
Suatu unsur dari kebiasaan, sebagaimana telah kita lihat, merupakan suatu bentuk kaidah
hukum internasional dari sejak zaman purba sampai dengan zaman modern
2. Traktat-Traktat
Traktat-traktat mewakili sumber material yang penting dari hukum internasional. Nilai
pentingnya tersebut makin bertambah. Pengaruh dari suatu traktat dalam memberi arahan
kepada pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional bergantung pada sifat hakikat
traktat yang bersangkutan. Dalam kaitan ini perlu kiranya untuk membuat perbedaan,
meskipun tidak bersifat kaku, antara lain:

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/sumber-hukum-internasional-kebiasaan.html#_
3

1. Traktat-traktat "yang membuat hukum" (law-making), yang menetapkan kaidahkaidah yang berlaku secara universal dan umum;
2. "Traktat-traktat kontrak" (Treaty contracts) misalnya, suatu traktat antara pokok
permasalahan khusus yang secara ekslusif menyangkut negara-negara ini.
Traktat-traktat "yang membuat hukum"
Suatu traktat "yang membuat hukum" pada hakikatnya tidak dapat menjadi suatu ketentuan
yang memmuat kaidah-kaidah hukum internasional yang senantiasa berlaku secara universal.
Kita terpaksa menerima adanya pembagian traktat-traktat "yang membuat hukum" dalam dua
macam :
1. Yang memuat kaidah-kaidah hukum internasional universal, misalnya: Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
2. Yang menetapkan kaidah-kaidah umum atau hampir umum.
Traktat-traktat Kontrak
Sebaliknya dari traktat "yang membuat hukum" traktat-traktat kontrak tidak secara langsung
menjadi "sumber" hukum internasional. Namun demikian, traktat-traktat ini diantara peserta
atau penandatanganan traktat dapat menjadi hukum yang khusus; oleh karena itu dipakai
istilah konvensi-konvensi "khusus" dalam pasal 38 (1) (a) Statuta International court of
justice. Traktat-traktat demikian juga memberi arahan kepada perumusan ketentuan hukum
internasional melalui pemberlakuan prinsip yang mengatur perkembangan kaidah kebiasaan.5
3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrasi
Ada dua cara di mana keputusan-keputusan Pengadilan Nasional mengarahkan pada
pembentukan kaidah hukum internasional:
1. Keputusan-keputusan yang dapat dipandang sebagai preseden-preseden berbobot, atau
pun sebagai sumber-sumber yang mengikat. Menurut Marshall C.J. dari Mahkamah
Agung Amerika

Serikat

"keputusan-keputusan

pengadilan

setiap

negara

menunjukkan bagaimana hukum internasional, dalam hal-hal tertentu, dimengerti di


negara-negara tersebut, dan yang akan dipertimbangkan dalam penggunaan kaidah
hukum yang harus berlaku di negara ini".
2. Keputusan pengadilan-pengadilan nasional, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama
untuk pembentukan kebiasaan, dapat menimbulkan perkembangan kaidah-kaidah
5

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/sumber-hukum-internasional-traktat.html#_
4

kebiasaan hukum internasional. Dengan demikian, misalnya beberapa kaidah tertentu


dari hukum ekstradisi dan pengakuan negara pada tahap awal bermula dari keputusankeputusan yang seragam yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan nasional.
Keputusan-keputusan pengadilan arbitrasi internasional
Keputusan-keputusan Pengadilan Arbitrasi Internasional seperti Permanent Court of
Arbitration, British-American Mixed Claims Tribunal, dan lain-lain, telah memberikan
sumbangan terhadap perkembangan hukum internasional. Dalam bidang-bidang berikut ini,
keputusan arbitrasi telah ikut menambah atau memperjelas tentang apa yang menjadi hukum:
kedaulatan teritorial, netralitas, yurisdiksi negara, hukuman kerja paksa negara dan tanggung
jawab negara. Banyak arbitrasi terkenal dipandang sebagai hal-hal yang menonjol dalam
sejarah hukum internasional, misalnya : Alabama Claims Arbitration (1872), Behring
Fisheries Arbitration (1893) dan North Atlantic Fisheries Case (1910).
Perbedaan pokok antara keputusan arbitrasi dan keputusan yudisial bukan terletak pada
prinsip-prinsip yang oleh masing-masing pengadilan diterapkan, tetapi dalam cara pemilihan
para hakim, jaminan masa jabatan para hakim, kebebasan para pihak dalam pengadilanpengadilan itu, dan fakta bahwa pengadilan yudisial international diatur oleh serangkaian
aturan prosedur yang tetap, bukan oleh ketentuan ad hoc bagi tiap-tiap perkara. Juga harus
ditekankan bahwa fungsi-fungsi sebuah pengadilan yang dinyatakan tidak sesuai dengan
hukum internasional, sedangkan suatu pengadilan arbitrasi tidak perlu selalu memusatkan
dirinya pada fungsi-fungsi demikian, pengadilan ini seringkali berkaitan dengan suatu
penentuan dalam penyelesaian suatu sengketa tanpa memandang apakah pokok permasalahan
dalam perkara itu menyangkut penataan atau tidaktaatan terhadap hukum internasional atau
tidak.
4. Karya-karya Hukum
Karya-karya hukum bukan merupakan "sumber" hukum yang berdiri sendiri, walaupun
kadang-kadang opini hukum mengarahkan pada pembentukan hukum internasional. Menurut
laporan sebuah badan ahli Liga Bansa-Bangsa, opini hukum hanya penting sebagai suatu
sarana

guna

menjelaskan

kaidah-kaidah

hukum

internasional

dan

mempermudah

pembentukan hukum internasional. Opini hukum ini tidak dengan sendirinya punya otoritas,
meskipun dapat saja menjadi otoritatif apabila kemudian dimasukkan dalam kaidah kebiasaan
5

hukum internasinal; hal ini pun karena tindakan negara-negara atau badan-badan lain untuk
menjadikannya sebagai kebiasaan, dan bukan dari kekuatan yang dimiliki oleh opini hukum
tersebut.
5. Keputusan organ atau lembaga internasional
Keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan organ lembaga internasional, atau
konferensi-konferensi internasiona, dapat membawa ke arah pembentukan kaidah-kaidah
hukum internasional walaupun keputusan demikian belum dapat dikatakan sebagai sumber
hukum internasional dalam arti sesungguhnya.

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MENURUT PASAL 38 AYAT 1 MAHKAMAH


INTERNASIONAL
1. Traktat/Perjanjian Internasional (International Convention)
Merupakan persetujuan yang dibuat oleh negara yang berdasarkan hukum
internasional dan menimbulkan akibat hukum tertentu. Menurut Harmaily dkk, traktat
adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara (bilateral) atau banyak negara
(mulitlateral).
Perjanjian Internasional itu ada 2 :
Tertulis
: yang dituangkan dalam instrumen-instrumen berbentuk
perjanjian tertulis dan pembentukannya melalui prosedur atau aturan tertentu

hukum internasional (formal).


Tidak tertulis : uang diekspresikan melalui instumen-instrumen yang tidak
tertulis, dapat berupa ucapan, tindakan tertentu dari subjek hukum
internasional dan tulisan yang pembentukannya

tidak melalui atau

membutuhkan prosedur tertentu.


Traktat juga dapat berakhir apabila :
Telah tercapainya tujuan dari traktat
Habis berlakunya traktat tersebut
Punahnya salah satu pihak atau punahnya objek traktat tersebut
Adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri traktat
Diadakannya traktat yang baru untuk mengakhiri traktat yang terdahulu
Dipenuhinya syarat-syarat untuk berakhirnya traktat
Diakhirinya traktat secara sepihak dan diterima pengakhirannya oleh pihak
lain

2. Hukum Kebiasaan Internasional


Merupakan peraturan-peraturan yang terbentuk dari pola tindakan yang dilakukan
secara berulang-ulang dan bersifat umum, serta diakui dan diterima oleh masyarakat
sebagai hukum.
Kebiasaan internasional baru bisa menjadi hukum apabila :
1. Terdapat pola tindak yang berulang dan bersifat umum
2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum
3. Prinsip-Prinsip Hukum Umum
Prinsip-prinsip hukum umum yang dicantumkan dalam pasal 38 ayat 1 huruf C
Statuta Mahkamah Internasional sebagai berikut : the general principle of law
recognized by civilized nations. Walaupun dari istilahnya tidak mencerminkan
adanya proses pembentukan hukum seperti dalam istilah perjanjian dan kebiasaan
internasional, para ahli berdasarkan ayar 38 ayat 1 menanggap prinsipprinsip
hukum sebagai sumber hukum formal, yang berdiri sendiri dan terpisah dari
perjanjian internasional maupunkebiasaan internasional, anggapan ini muncul
berdasarkan pada teori hukum alam.
4. Keputusan Peradilan (Yurisprudensi)
Keputusan badan peradilan internasional yang dimaksud disini adalah putusan
mengadili perkara perselisihan atau persengketaan yang diajukan di pengadilan
tersebut, dan putusan tersebut harus dibaca sebagai decision dalam arti yang lebih
sempit, yaitu sebagai judgement.

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional sumber hukum internasional dapat
diklasifikasikan atas dua golongan sebagai berikut: Sumber-sumber utama atau sumbersumber primer, yang terdiri atas perjanjian-perjanjian Internasional, kebiasaan-kebiasaan
internasional, dan prinsip-prinsip Hukum Umum. Sumber-sumber tambahan, atau sumbersumber subsider, terdiri atas Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran sarjanasarjana yang paling terkemuka dari berbagai Negara.
Jika ditinjau dari sudut pandang sejarah, maka kebiasaan-kebiasaan Internasional, merupakan
sumber yang terpenting/terutama. Karena Kebiasaan-kebiasaan Internasional merupakan
sumber hukum yang tertua dalam sejarah. Dilihat dari segi empiris maka, dapat dikatakan
bahwa perjanjian-perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang paling utama atau
yang paling penting, dari kedua sumber lainnya; karena kenyataan dewasa ini menunjukkan
makin bertambah banyaknya persoalan-persoalan yang diatur dengan perjanjian-perjanjian
internasional antara negara-negara, termasuk pula masalah-masalah yang tadinya diatur oleh
7

hukum kebiasaan. Apabila kita memandang dari sudut fungsinya, maka dapat dikatakan
bahwa prinsip-prinsip/ asas-asas hukum umum, merupakan sumber hukum yang terutama
atau yang terpenting. Karena, sumber hukum inilah yang bersifat luwes/fleksibel, yakni
memberikan kesempatan dan kelonggaran kepada Mahkamah Internasional untuk
menemukan atau membentuk kaidah-kaidah hukum baru, yang dapat mengembangkan
hukum internasional, atau membuka kemungkinan bagi adanya sumber-sumber hukum
internasional yang baru, berdasarkan prinsip-prinsip hukum umum tadi.
Tanpa harus terjebak dalam perdebatan siapa yang terpenting maka uraian dalam bahasan ini
mengikuti urutan menurut Pasal 38 (1) Statuta mahkamah Internasional.6

STUDI KASUS PENGGUNAAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL DALAM


PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Hukum Perang (Laws of War) atau yang sekarang disebut sebagai Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Laws), atau Hukum Konflik Bersenjata (Laws of
Armed Conflict) memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban umat manusia,
maupun dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, suatu hal yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal
250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan
bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia,
sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa.
Dunia telah membuktikan betapa dahsyat dan mengerikannya akibat dari penggunaan bom
atom selama masa Perang Dunia II. Bom-bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan
Hirosima mengakibatkan kedua kota tersebut rusak total. Bukan hanya nyawa saja yang
hilang, banyak sekali benda-benda budaya menjadi hancur terkena bom atau peluru-peluru
yang digunakan untuk menyerang sasaran musuh oleh para pihak yang berkonflik. Hal ini
mendorong diadakannya Konperensi Internasional di Den Haag guna mengatasi dan
mencegah akibat yang lebih buruk yang menimpa benda-benda budaya semasa konflik
bersenjata. Konperensi dilaksanakan pada tahun 1954 dan menghasilkan Konvensi Den Haag
6

http://www.negarahukum.com/hukum/sumber-sumber-hukum-internasional.html

tahun 1954 tentang Perlindungan terhadap Benda-benda Budaya dalam Masa Konflik
Bersenjata. Konvensi inilah yang sampai sekarang digunakan untuk mencegah dan
melindungi benda budaya dari bahaya kerusakan bilamana suatu negara terlibat dalam suatu
konflik bersenjata.
Walaupun perlindungan terhadap benda budaya telah diatur di dalam sebuah Konvensi
Internasional, tetapi masih ada perilaku-perilaku yang menyebabkan rusak bahkan hancurnya
benda budaya. Contohnya dalam masa Perang Dunia II, sebuah kapal Jepang yang bernama
AWA MARU yang sedang berlayar dari Hongkong menuju Jepang mengangkut bendabenda budaya (relief good). Perjalanan tersebut telah diberitahukan Jepang pada pihak
lawannya termasuk Amerika Serikat. Pihak Amerika Serikat pun telah menyampaikan berita
tersebut pada Angkatan Bersenjatanya termasuk Angkatan Lautnya. Penerima telegraf
(telegrafis) kapal selam Amerika Serikat Queen Fish setelah menerima berita tersebut
belum dapat menyampaikannya kepada Komandannya, karena sedang melakukan inspeksi di
kapal. Sewaktu kapal Awa Maru terlihat oleh kapal selam Queen Fish pada tanggal 1
April 1945, Komandan kapal selam itu segera memerintahkan untuk men-torpedo kapal
Awa Maru tersebut hingga tenggelam.
Tindakan Amerika serikat itu diprotes keras oleh pihak Jepang karena melanggar Hukum
Internasional dan akhirnya Amerika Serikat menindak Komandan kapal selam itu dengan
mengajukannya ke Mahkamah Militer dan kemudian ia dihukum dibebaskan dari jabatannya.
Cuplikan sejarah diatas disajikan sebagai bahan kajian awal dalam melihat peran Hukum
Humaniter Internasional dalam melindungi suatu benda atau benda budaya. Bahkan dalam
Konvensi Den Haag tahun 1907 Pasal 27 (Konvensi IV) tentang Peraturan Perang di Darat
dinyatakan dengan tegas:
In sieges and bombardments all necessary steps must be taken to spare, as far as possible,
buildings dedicated to religion, art, science, or charitable purposes, historic monuments,
hospitals, and places where the sick and wounded are collected, provided they are not being
used at the time for military purposes.
Pengaturan tersebut diatas diatur kembali dalam Pasal 5 Konvensi Den Haag IX tahun 1907
tentang Pemboman oleh Armada Angkatan Laut yang menyatakan adanya keharusan bagi
para Komandan untuk menyelamatkan benda-benda tersebut dan dalam Pasal 27 Konvensi
IV tentang Peraturan Perang di Darat.
9

Masalah perlindungan terhadap benda-benda budaya juga mendapatkan perhatian khusus


dalam Konferensi Diplomatik Hukum Humaniter Internasional dalam Konflik Bersenjata di
Jenewa (1974-1977) yang dalam Pasal 53 Protokol Tambahan I Jenewa tahun 1977
ditetapkan bahwa :
Without prejudice to the provisions of the Hague Convention for the Protection of Cultural
Property in the Event of Armed Conflict of 14 May 1954, and of other relevant international
instruments, it is prohibited:
(a) to commit any acts of hostility directed against the historic monuments, works of art or
places of worship which constitute the cultural or spiritual heritage of peoples;
(b) to use such objects in support of the military effort;
(c) to make such objects the object of reprisals.
Adapun peraturan yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan benda budaya yakni
Konvensi Den Haag tahun 1954 dengan nama resmi : Convention for the Protection of
Cultural Property in the Event of Armed Conflict. The Hague, 14 May 1954.
Dalam Konvensi Den Haag tahun 1954 diatur mengenai pengertian benda budaya. Menurut
Pasal 1 Konvensi Den Haag 1954, pengertian benda budaya dapat digolongkan menjadi 3
(tiga) kategori, yaitu:
a.

movable or immovable property of great importance to the cultural heritage of every

people, such asmonuments of architecture, art or history, whether religious or secular;


archaeological sites; groups of buildings which, as a whole, are of historical or artistic
interest; works of art; manuscripts, books and other objects of artistic, historical or
archaeological interest; as well as scientific collections and important collections of books or
archives or of reproductions of the property defined above;
b.

buildings whose main and effective purpose is to preserve or exhibit the movable

cultural property defined in sub-paragraph (a) such as museums, large libraries and
depositories of archives, and refuges intended to shelter, in the event of armed conflict, the
movable cultural property defined in subparagraph (b);
c.

centres containing a large amount of cultural property as defined in sub-paragraphs

(a) and (b), to be known as "centres containing monuments".


10

Dalam ketentuan tersebut juga menggambarkan adanya suatu keharusan terhadap semua
pihak untuk melakukan suatu tindakan-tindakan penghormatan yang dimaksud itu diatur
dalam Pasal 4 Konvensi Den Haag 1954. Hal ini menunjukkan, bagaimana hebatnya suatu
peperangan tetap ada larangan terhadap perusakan benda-benda budaya, hal ini lebih
disebabkan karena statusnya sebagai Common Heritage Of Mankind.
Akan tetapi pengaturan seperti tersebut diatas memberikan adanya tindakan-tindakan yang
memungkinkan bagi para pihak untuk membenarkan tindakannya sendiri, walaupun hal itu
jelas-jelas merupakan pelanggaran. Walaupun demikian, dengan mengesampingkan
kemungkinan tersebut, Konvensi ini telah menunjukkan adanya suatu keseriusan dalam
mengupayakan perlindungan terhadap benda-benda budaya dimasa perang maupun masa
damai.
Hal yang paling penting dimengerti adalah kerusakan terhadap benda budaya sangat
merugikan bagi siapapun yang ada di dunia ini tanpa terkecuali. Perlu diketahui bahwasanya
benda budaya itu bukan saja gambaran peradaban dari suatu bangsa tertentu akan tetapi
secara bersama-sama membentuk suatu peradaban dunia. Dengan demikian adanya missing
link dalam peradaban bangsa tertentu akan sangat berpengaruh terhadap kesinambungan
peradaban umat manusia seluruhnya.
Peristiwa sejarah tersebut kemudian di aplikasikan menjadi sumber hukum untuk mengkaji
Konflik konflik Israel-Palestina. Konflik israel-palestina telah memakan banyak korban.
Bukan hanya korban nyawa manusia yang melayang melainkan juga korban material
terutama rusaknya benda-benda bersejarah di wilayah yang dianggap suci oleh tiga agama
besar yakni Islam, Kristen, dan Yahudi di wilayah Baitulmaqdis (Yerusalem).
Salah satu yang menjadi korbannya ialah benda-benda bersejarah yang sekaligus bendabenda keagamaan bagi umat Islam yakni Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif. Hal ini
menjadikan prioritas oleh karena Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif tersebut merupakan
tempat suci umat Islam yang ketiga setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di
Madinah, dan juga merupakan kiblat pertama umat Islam serta tempat bersejarah bagi
perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW.
Beberapa contoh pengerusakan yang dilakukan pihak Israel yakni pembakaran Masjid AlAqsa yang terjadi pada kisaran tahun 1967 dan yang lebih memprihatinkan yaitu berupa
pengalian-pengalian di bawah kompleks Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif yang terus
11

dilakukan oleh Israel hingga pada saat ini sehingga menyebabkan retaknya dinding Masjid
tersebut bahkan hingga runtuh.
Pengalian-pengalian terowongan yang dilakukan oleh Israel dimaksudkan untuk mencari
sisa-sisa

Haikal Sulaiman (kuil suci bagi orang Yahudi) yang dihancurkan hingga rata

dengan tanah pada tahun 70 Masehi oleh tentara Romawi. Terowongan tersebut digali,
mengarah langsung ke Kubbatus Sakhra (Kubah As-Sakhrah atau Kubah Karang atau Dome
of the Rock), melintasi ruang bawah Masjid Al-Aqsa lurus ke utara dan jika sudah berfungsi,
terowongan itu akan menjadi jalan tembus dari Dinding Ratapan ke Kubah Karang, yang
dalam ideologi agama Yahudi, lebih suci lagi daripada Dinding Ratapan.
Israel telah menggali terowongan di bawah Masjid Al-Aqsa sepanjang 400 meter dari
Kampung Barat Arab memanjang hingga di pondasi-pondasi tembok Al-Buraq di bawah ke
utara Kampung Islam.
Tidak hanya disitu saja, pada tanggal 15 februari 2004, sebagian halaman Masjid Al-Aqsa
sejauh 100 meter ke salah satu pintu barat masjid longsor akibat terowongan yang digali oleh
pemerintah Israel.
Perlindungan Masjidil Aqsa Al-Haram Al-Sharif merupakan persoalaan yang sangat rumit.
Penerapan sanksi terhadap pelaku-pelaku perusakan tersebut sangat kecil kemungkinan untuk
dilakukan. Mengingat bahwa tindakan-tindakan perusakan tersebut seringkali tidak
dihiraukan oleh pemerintah Israel bahkan mendapatkan dukungan langsung dari pemerintah
Israel. Sedangkan pemerintah Israel sendiri juga mengadakan program resmi berupa
penggalian-penggalian di bawah kompleks Haram Al-Sharif dengan dalih mencari situs-situs
suci umat Yahudi.
Dengan dalil teologis, pemerintah Israel secara tidak langsung memprogramkan
penghancuran Masjid Al-Aqsa. Bahkan peninggalan-peninggalan umat Islam lainnya yang
berada di pintu Al-Magharibah Masjid Al-Aqsa yang menjadi lokasi penggalian, dihancurkan
guna kelangsungan proses penggalian selanjutnya.
Israel sevagai pelaku tindak perusakan benda budaya tersebut sudah cukup jelas dimana pada
proses penyelesaiaannya dapat ditangani sendiri melalui hukum negara yang bersangkutan
seperti yang tercantum dalam Pasal 28 Konvensi Perlindungan Benda Budaya Dalam Masa
Konflik Bersenjata, Den Haag 1954, dalam Protokol Konvensi tersebut secara lebih rinci.

12

Akan tetapi didalam prakteknya, penegakan hukum terhadap Konvensi ini tidak pernah
dilakukan.
Dalam kasus Israel-palestina Penaplikasian pasal 28 tersebut didalam penegakan langkahlangkah hukumnya tidak berjalan sesuai dan adanya dukungan negara dalam tindak kejahatan
tersebut, maka dalam hal ini timbul secara otomatis tanggung jawab negara terhadap
masyarakat internasional mengingat bahwa tindakan tersebut sebagai perusakan benda
budaya yang notabene adalah warisan bersama umat manusia. Jadi dalam hal ini tidak hanya
bangsa Palestina saja yang merasa dirugikan, akan tetapi seluruh bangsa-bangsa beradab di
dunia ini.
Alternatif selanjutnya sebagai suatu cara menjatuhkan sanksi kepada pelakunya yaitu
membawa persoalan tersebut ke forum-forum internasional seperti Majelis Umum PBB,
Dewan Keamanan PBB, serta melalui laporan-laporan kepada organ-organ khusus PBB
(dalam hal ini UNESCO, United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization).
Yang pada akhirnya akan ditindaklanjuti penyelesaian konflik tersebut ke forum Mahkamah
Internasional.

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Sejarah antara jepang dan amerika yang terjadi di masa lalu menjadi sebuah
pembelajaran bagi umat manusia , tentang betapa dahsyat efek kehancuran yang di akibatkan
oleh perang. Hal tersebut munculnya suatu hukum internasional yang mengatur tentang
kejahatan perang. Lahirnya Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian
Laws), atau Hukum Konflik Bersenjata (Laws of Armed Conflict) menjadi Sumber hukum
yang sangat berguna untuk menyelesaikan suatu konflik yang terulang atau sama. Sumber
hukum yang di akui dan diratifiksi oleh dunia akan menjadi Hukum Internasional.
13

DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumsumberhukum.com/2014/05/sumber-hukum-internasional-kebiasaan.html#_
http://www.negarahukum.com/hukum/sumber-sumber-hukum-internasional.html

Error: Reference source not foundMochtar.2010. Pengantar Hukum Internasional.Bandung:


P.T.Alumni

14

Anda mungkin juga menyukai