Anda di halaman 1dari 3

Gotong Royong Dalam Rumah Rakyat

(Oleh: Henny Zahrany, Mahasiswa MBA ITB R48A)


Rumah sebagai kebutuhan pokok manusia saat ini perlu dibayar dengan biaya yang tidak
sedikit. Harga tanah melambung tinggi diikuti dengan naiknya harga komponen
pembangunan rumah. Lahan perumahan pun saat ini disesaki dengan perumahan mewah
untuk kalangan atas. Akibatnya hingga kini jumlah rumah tak layak huni pun mencapai 7,9
juta unit di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Deputi Perumahan Swadaya Kemenpera,
Jamil Ansari. Diberitakan oleh Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, jumlah backlog
housing tahun ini mencapai 15 juta unit. Hal ini diikuti dengan terus berkembangnya
kebutuhan pasokan rumah sebesar 700.000 unit per tahunnya. Langkah pemerintah untuk
membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam memiliki rumah yang layak
adalah melalui dua mekanisme bantuan, yaitu Bantuan Stimulan Swadaya untuk masyarakat
berpenghasilan dibawah upah minimum dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan
(FLPP) untuk masyarakat dengan penghasilan di atas upah minimum. Namun Ketua Umum
DPP Realestat Indonesia (REI), Setyo Maharso, mengatakan bahwa realisasi FLPP atau KPR
subsidi hingga bulan Agustus 2013 baru mencapai 51 persen atau sekitar 62.076 unit rumah,
pemerintah masih harus mengejar target FLPP sebesar 121.000 unit untuk tahun 2013.
Terdapat berbagai masalah dalam upaya mengurangi tingkat backlog housing di Indonesia
ini, terutama terkait dengan keadaan nilai tukar atau kurs rupiah baru-baru ini yang melemah
terhadap dollar. Kenaikan harga tanah tidak terkontrol serta biaya pembangunan pun
terdorong naik. Hal ini diperparah dengan masalah cuaca, perizinan, serta regulasi yang
menyulitkan pihak pengembang rumah rakyat. Seperti yang dikatakan oleh Eddy Ganefo
selaku Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia
(Apersi), bahwa cuaca yang tidak menentu menghambat pasokan bahan bangunan, serta
regulasi dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) terkait keharusan pemecahan persil tanah
ketika melakukan akad kredit serta jual beli rumah, pemecahan tersebut memakan waktu 6
bulan sehingga memperlambat proses pembangunan. Hal ini tentunya merugikan pihak
developer, sehingga akan lebih baik jika regulasi tersebut di ubah seperti semula sehingga
produktivitas developer meningkat.
MBR sebagai konsumen, menjadi semakin sulit untuk memperoleh rumah rakyat tersebut
karena daya beli pun merosot dengan harga yang semakin tinggi. Pemerintah pun mematok
price ceiling sebesar Rp.88 juta hingga Rp.145 juta per unit menurut masing-masing wilayah.

Namun dengan kenaikan bahan baku rumah, Deputi Bidang Pembiayaan Sri hartoyo
mengatakan bahwa harga maksimal rumah subsidi dinaikan menjadi Rp.115 juta dari Rp.95
juta untuk wilayah Jabodetabek dan Rp.105 juta dari sebelumnya Rp.88 juta untuk wilayah
lainnya, serta khusus untuk Papua menjadi Rp.165 juta dari Rp.145 juta. Tentunya penentuan
price ceiling untuk harga rumah rakyat sudah sepatutnya naik seiring dengan adanya inflasi,
hal ini juga dapat mengurangi beban developer dalam menghasilkan margin dalam penjualan
rumah rakyat. Namun bagaimana dengan nasib masyarakat berpenghasilan rendah?
Pemerintah perlu untuk memberikan kemudahan bagi MBR dalam memperoleh rumah
rakyat, seperti mengenai besarnya uang muka serta suku bunga dan masa tenor KPR rumah
rakyat. Besarnya uang muka diharapkan dapat menarik konsumen kelas bawah dan dapat
disesuaikan menurut tipe rumah, seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum APERSI,
Anton R Santoso. Lalu akan lebih baik jika uang muka rumah rakyat ini bersifat tetap,
sehingga tidak mengikuti fluktuasi harga rumah. Selain itu diketahui melalui situs resmi
Kemenpera bahwa besaran suku bunga dan masa tenor KPR bersubsidi saat ini mencapai
7,25% dengan masa tenor 20 tahun. Walaupun suku bunga KPR bersubsidi tersebut rendah,
namun dengan masa tenor yang panjang maka dana jangka panjang lah yang akan digunakan,
oleh karena itu kenaikan suku bunga BI tidak akan mempengaruhi suku bunga KPR
bersubsidi. Dengan catatan ketetapan tersebut telah dievaluasi dengan benar dan seksama
oleh pemerintah agar tidak memberatkan salah satu pihak.
Menyikapi permasalahan backlog housing dan masalah terkait pembangunan rumah rakyat
tersebut, Menpera mengeluarkan UU Tapera yang diharapkan akan rampung bulan Desember
2013 ini. Melalui UU Tapera tersebut pemerintah menyediakan dana yang dihimpun dari para
pekerja dan perusahaan sebesar 5 % dari gaji pokok. Namun undang-undang tersebut masih
menunggu persetujuan dari berbagai pihak termasuk Menteri Keuangan, terutama terkait
tambahan 2,5 % potongan dari pemberi kerja. Kendati persentase iuran tersebut masih sangat
jauh dengan negara lain, seperti Singapura yang mencapai 30 % dari gaji, diharapkan dengan
iuran tersebut dapat mengurangi tingkat backlog.
Dalam prinsip ekonomi, insentif sangat mempengaruhi pekerjaan manusia. Ketika insentif
ditingkatkan maka orang akan lebih banyak melakukan pekerjaan tersebut. Peran pemerintah
sangatlah besar dalam menyediakan insentif tersebut. Kemudahan dalam hal perizinan,
penyediaan lahan, ketentuan pajak dan price control yang tepat dapat meningkatkan minat
para pengembang dalam membangun rumah rakyat. Sebaliknya ketika terdapat kebijakan

ataupun pembatasan yang menyulitkan, developer mau tidak mau akan mengurangi
pembangunan rumah rakyat tersebut. Hal ini tentunya berlaku bagi sisi konsumen, harga
pembelian naik, bunga cicilan KPR naik, ketersediaan rumah rakyat terbatas, hal-hal tersebut
perlu diimbangi kembali dengan insentif, seperti pengaturan besaran uang muka yang
ditetapkan sesuai tipe rumah dan bersifat tetap sehingga tidak mengikuti fluktuasi harga
rumah, lalu mengatur besaran bunga cicilan KPR yang rendah dengan masa tenor yang
panjang.
Upaya dalam mensukseskan pembangunan rumah rakyat harus dijalankan dengan prinsip
gotong royong. Semua pihak yang terkait perlu memegang prinsip kepemilikan, tanggung
jawab, dan akuntabilitas. Ketetapan dan ketentuan terkait rumah rakyat oleh pemerintah
diharapkan tidak lagi goyah sehingga menyebabkan tertundanya rencana kerja seperti pada
realisasi FLPP tahun 2012 yang lalu. Timing dalam pengeluaran kebijakan sangatlah penting
agar kebijakan tersebut berjalan efektif. Masyarakat umum juga memiliki peran penting
melalui UU Tapera, sosialisasi UU Tapera diperlukan ketika undang-undang ini telah
disahkan, agar masyarakat mengetahui pentingnya iuran tersebut bagi kesejahteraan
masyarakat dalam memperoleh kebutuhan pokok mereka, rumah.

Anda mungkin juga menyukai