Anda di halaman 1dari 10

Tugas Studi Kasus Sei Fujii V.

California dengan kasus


pembanding: Commonwealth V. Tasmania dan Kasus
Pengesahan Piagam ASEAN

Disusun Oleh:
Michiko Trihadianty

110110120388

UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

KASUS SEI FUJII V. CALIFORNIA


A. Fakta Hukum

1.

Sei Fujii, seorang imigran Jepang, merupakan seorang yang disegani di Little

Tokyo, Los Angeles, sebagai editor koran berbahasa Jepang Kashu Mainichi. Dengan
bantuan J. Marion Wright, Fujii membeli tanah di distrik Boyle Heights sebagai uji
coba dalam menentukan konstitusionalitas hukum tersebut. Fujii mengajukan gugatan
agar ia bisa membangun rumah di sana.
2.

Meskipun tanah tersebut tidak diperuntukkan sebagai tanah pertanian, Jaksa

Agung California Fred Howser terlibat ke dalam kasus dan berpendapat bahwa di
bawah Alien Land Act, Fujii tidak boleh membeli properti apapun.
3.

Alien Land Act merupakan peraturan yang diberlakukan di California pada

tahun 1913. Di dalam peraturan ini, imigran Jepang dan negara-negara Asia yang
tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraaan di bawah hukum
federal tidak dapat memiliki properti pertanian sendiri.
4.

Kasus Fujii diadili di hadapan Hakim Wilbur C. Curtis di Pengadilan Tinggi

Los Angeles, yang mana pada Maret 1949 memutuskan untuk mempertahankan
hukum negara bagian yang berlaku.
5.

Fujii dan Wright kemudian mengajukan kasasi di Mahkamah Agung Amerika

Serikat. Fujii dan Wright beranggapan bahwa Alien Land Act adalah bentuk
diskriminasi ras, yang dilarang baik di bawah klausa 14th Amendments Equal
Protection dan juga Pasal 1, 55 dan 56 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa yang
secara umum menjelaskan bahwa The UN Charter pledges the member of nations to
promote the observance of human rights and fundamental freedoms without
distinction as to race.
6.

Kasus Fujii diperkuat oleh Mahkamah Agung Oregon, yang telah

membatalkan Alien Land Law yang serupa dalam kasus Kenji Namba v. McCourt
(1949).
B. Masalah Hukum
1. Apakah kasasi yang diajukan berhasil dimenangkan oleh Fujii?
2. Apakah hukum yang diberlakukan di California merupakan pelanggaran
terhadap kesetaraan hak menurut Piagam PBB?
3. Apakah Alien Land Act akhirnya dihapus dari hukum Amerika Serikat?

C. Dasar Pertimbangan
Gibson, C.J. Plaintiff, sebuah banding dari Jepang dari penghakiman

menyatakan bahwa tanah tertentu yang dibeli oleh dia pada tahun 1948 telah
escheated kepada negara. Tidak ada perjanjian antara negara ini dan Jepang
yang diberikannya pada penggugat hak untuk memiliki tanah, dan satusatunya pertanyaan yang diajukan di banding ini keabsahan California hukum
tanah yang asing.
Hal ini pertama berpendapat bahwa hukum tanah telah batal dan digantikan
oleh ketentuan-ketentuan Piagam PBB negara-negara anggota berjanji untuk
mempromosikan ketaatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental tanpa membedakan ras. Penggugat bergantung pada laporan
dalam pembukaan dan dalam Pasal 1, 55 dan 56 piagam tersebut. Hal ini tak
bisa dipungkiri bahwa piagam merupakan sebuah perjanjian, dan konstitusi
federal kami menetapkan bahwa perjanjian yang dibuat di bawah otoritas
Amerika Serikat adalah bagian dari hukum tertinggi negeri ini dan bahwa
hakim di setiap negara terikat dengan demikian. Dalam konstitusi Amerika
Serikat, Pasal VI mengenai perjanjian, bagaimanapun, tidak secara otomatis
menggantikan hukum lokal yang sedikit pun tidak konsisten kecuali ketentuan
perjanjian adalah self-executing. Dalam kata-kata dari Ketua Mahkamah
Agung Marshall: Sebuah perjanjian adalah dianggap di pengadilan keadilan
sebagai setara dengan tindakan legislatif, setiap kali beroperasi dari dirinya
sendiri, tanpa bantuan dari setiap ketentuan legislatif. Tapi ketika ketentuan
penetapan impor kontrak-ketika salah satu pihak terlibat untuk melakukan
tindakan tertentu, perjanjian alamat sendiri untuk politik, bukan departemen
peradilan; dan legislatif harus melaksanakan kontrak, sebelum dapat menjadi
aturan untuk pengadilan.
D. Argumen Para Pihak
Fujii mengajukan kasasi dengan menggunakan Pasal 1, 55 dan 56 Piagam PBB yang
secara umum menjelaskan bahwa he UN Charter pledges the member of nations to
promote the observance of human rights and fundamental freedoms without
distinction as to race. Akhirnya Supreme Court California mengabulkan tuntutan
Fujii dan menganulir putusan judex factie dengan pertimbangan bahwa he
Californian legislation conlicted with the UN Charter (Article 55 (c) and 56), as
supplemented by the UDHR (Article 2 and 17). Selanjutnya, pengadilan

menambahkan bahwa Clearly such a discrimination against people of one race is


contrary to both the letter and the spirit of the Charter, which, as a treaty, is
paramount to every law of every state in conlict with it. Sebenarnya secara
substansial isi Piagam PBB hanya merupakan prinsip-prinsip umum yang tidak
mengikat,

sehingga

perlu

tindakan

lebih

lanjut

dari

negara

untuk

pengimplementasiannya, namun Supreme Court California tampaknya berpendapat


lain. Set- elah menelaah Pasal 104 dan 105 Ayat 1 dalam Piagam PBB tersebut, yang
mana Pasal 104 menyatakan bahwa he Organisation shall enjoy in the territory of
each of its Members Members such privileges and immunities as are necessary for
the fulilment of its purposes. Pengadilan menginterpretasikan kedua pasal tersebut
sebagai keinginan dari pembuat Piagam PBB agar pasal-pasal dalam Piagam PBB
ber- laku secara efektif di pengadilan tanpa perlu pengaturan lebih lanjut.
E. Analisis

Dalam menentukan apakah suatu perjanjian adalah bersifat self-executing di


pengadilan melihat maksud dari pihak penandatangan seperti yang dituturkan
oleh bahasa instrumen, dan apabila instrumen tersebut tidak pasti, jalan
mungkin harus keadaan sekitar pelaksanaannya. Agar ketentuan perjanjian
untuk operasi tanpa bantuan pelaksanaan undang-undang dan memiliki
kekuatan dan pengaruh undang-undang, itu harus muncul bahwa perumus
perjanjian dimaksudkan untuk meresepkan aturan itu, berdiri sendiri, akan
berlaku di pengadilan.
Hal ini jelas bahwa ketentuan pembukaan dan pasal 1 piagam yang diklaim
bertentangan dengan hukum tanah asing tidak self-executing. Mereka
menyatakan tujuan umum dan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tidak
dimaksudkan untuk memaksakan kewajiban hukum di negara-negara anggota
individu atau menciptakan hak orang pribadi. Meskipun negara-negara
anggota telah diwajibkan diri untuk bekerja sama dengan organisasi
internasional dalam mempromosikan penghormatan, dan ketaatan, hak asasi
manusia, jelas bahwa itu dimaksudkan bahwa tindakan legislatif mendatang
oleh beberapa negara akan diperlukan untuk mencapai tujuan yang dinyatakan,
dan tidak ada yang menunjukkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan
untuk menjadi aturan hukum bagi pengadilan negeri ini setelah ratifikasi
piagam.

Bahasa yang digunakan dalam artikel 55 dan 56 tidak lazim digunakan dalam
perjanjian yang telah dianggap diri pelaksana dan untuk menciptakan hak dan
kewajiban pada individu. Dalam kasus lain ketentuan perjanjian yang
ditegakkan tanpa menerapkan undang-undang di mana mereka ditentukan
secara rinci aturan yang mengatur hak dan kewajiban individu atau secara
khusus asalkan warga satu bangsa harus memiliki hak yang sama sementara di
negara lain seperti yang dinikmati oleh warga negara itu sendiri.
Hal ini penting untuk dicatat bahwa ketika para perumus piagam dimaksudkan
untuk membuat ketentuan-ketentuan tertentu yang efektif tanpa menerapkan
undang-undang yang mereka menggunakan bahasa yang jelas dan pasti dalam
memanifestasikan niat itu.
Untuk membedakan mana yang termasuk 'berlaku dengan sendirinya' dan 'yang tidak
berlaku dengan sendirinya' persoalan selanjutnya berpaling pada 'apakah Piagam
merupakan selfexecuting treaty'. Untuk menjawab itu menurut Supreme Court of
California harus melihat pada traktat itu sendiri, dengan maksud para penandatangan
dan mengkaji semua situasi yang relevan. Setelah melalui pengujian menyeluruh,
Pengadilan berkesimpulan bahwa ketentuan-ketentuan yang relevan dalam Piagam
tidak dimaksudkan untuk menjadi self-executing. Walaupun ketentuan-ketentuan yang
dikandung Piagam memuat prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB, tapi 'tidak
membebankan kewajiban hukum terhadap negara-negara anggota atau memberikan
hak kepada individu'. Menurut Shaw, terdapat sebuah anggapan apabila Kongres
tidak membuat peraturan yang bertentangan, maka kewajiban internasional dapat
dibebankan kepada suatu negara.

Dikaitkan dengan kasus Commonwealth v. Tasmania, kasus ini bermula ketika


pemerintah negara bagian Tasmania berencana untuk membangun sebuah
bendungan/dam. Bendungan tersebut akan dibangun di sungai Franklin
sebelah barat daya wilayah negara bagian Tasmania pada akhir tahun 1970
oleh Hydro Electric Commission.1 Bendungan tersebut dibutuhkan oleh
pemerintah Tasmania guna mendukung perkembangan perekonomian bagi
masyarakatnya. Proyek tersebut akan menyediakan 1/3 kebutuhan listrik di
negara bagian Tasmania dan akan membanjiri sekitar 35% wilayah di areal
sungai Franklin.2
1 http://lawgovpol.com/case-study-tasmanian-dams-affair/ -- diakses pada tanggal 09-03-2016.
2 Ibid

Akan tetapi, rencana tersebut mendapat penolakan dari sebagian masyarakat


yang menaruh perhatian terhadap kelestarian lingkungan yang ada di situs
bendungan

tersebut.

Menurut

mereka,

area

yang

menjadi

proyek

pembangunan dam tersebut merupakan area yang memiliki kekayaan flora dan
fauna yang sangat besar serta terdapat situs kuno peninggalan suku Aborigin
sehingga mereka menentang proyek pemerintah Tasmania tersebut. Mereka
yang menaruh perhatian terhadap isu lingkungan tergabung dalam sebuah
gerakan yang dikenal dengan Tasmania Wilderness Society (TWS) yang
dipimpin oleh Bob Brown.3
Pemerintah negara bagian Tasmania dituntut untuk segera menghentikan
proyek pembangunan dam tersebut oleh gerakan masyarakat yang dipimpin
oleh TWS. Gerakan perlawanan tersebut mencapai puncaknya dengan adanya
pembangkangan sipil yang memblokade situs proyek dam di sungai Franklin.
Aksi tersebut berujung dengan ditahannya sukarelawan yang ikut melakukan
blokade, termasuk Bob Brown. Kelompok TWS kemudian mengalihkan
gerakannya di level federal dan juga organisasi internasional seperti
UNESCO. TWS mendukung Partai Buruh dalam pemilu federal yang
diadakan pada tahun 1983. Pemilu federal tersebut dimenangkan oleh Partai
Buruh dengan dukungan dari gerakan anti-dam yang mampu menggalang
dukungan masyarakat untuk memilih calon dari Partai Buruh yaitu Bob
Hawke yang kemudian terpilih menjadi Perdana Menteri.
Perdana Menteri terpilih, Bob Hawke menepati janjinya pada waktu kampanye
dengan

mengeluarkan

kebijakan

yang

akan

menghentikan

proyek

pembangunan dam tersebut yaitu World Heritage Properties Conservation Act


1983 (Cth4). Kebijakan berupa undang-undang World Heritage Properties
Conservation Act 1983 (Cth) tersebut merupakan penerapan dari perjanjian
internasional yang telah diikuti oleh pemerintah Australia sejak tahun 1974
yaitu UNESCO Convention for Protection of the World Cultural and Natural
Heritage.5 Kebijakan pemerintah federal tersebut akan menghentikan segala
bentuk pembangunan yang terkait dengan bendungan di areal sungai Franklin.
Akan tetapi, pemerintah Tasmania tidak mengakui keabsahan kebijakan
3 Ibid.
4 http://www.crispinhull.com.au/high-court-book/chapter-5-major-cases-3/ -- diakses pada tanggal 0903-2016.
5 http://www.saulwick.info/biogs/E000444b.htm -- diakses pada tanggal 09-03-2016.

pemerintah federal tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan Konstitusi.


Pada titik ini upaya menghentikan proyek dam di sungai Franklin yang semula
di tingkat negara bagian beralih hingga ke tingkat nasional yang melibatkan
pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian Tasmania. Kasus ini juga
menarik perhatian masyarakat luas karena melibatkan kedua level pemerintah
yaitu pemerintah federal/Commonwealth dan pemerintah negara bagian/state,
khususnya pemerintah Tasmania.
Pada bulan Juli 1983, Pengadilan Tinggi Australia mengeluarkan keputusan
terkait dengan kasus Franklin Dam. Keputusan tersebut terbagi menjadi 4:3
dengan suara mayoritas menyatakan bahwa UU yang dikeluarkan pemerintah
federal telah sesuai dengan Konstitusi6. Pemerintah federal menggunakan
power/kekuasaannyaexternal affairs, trade corporations, dan race power
sebagaimana mestinya. Keputusan High Court tersebut mengakhiri proyek
pembangunan Franklin Dam yang dilakukan oleh HEC dengan dukungan
pemerintah Tasmania.
Namun kasus tersebut menyisakan kekhawatiran terkait dengan keputusan
High Court yang menyatakan bahwa pemerintah federalberbasis pada
external affairs powerdapat menerapkan isi dalam perjanjian internasional
ke dalam kebijakan domestiknya dalam bidang apa pun sesuai dengan
perjanjian internasional yang diikuti. Hal itu memungkinkan pemerintah
federal mengeluarkan kebijakan di ruang lingkup yang merupakan
kewenangan negara bagian. Pada gilirannya akan mengganggu balance of
power antara Commonwealth dengan State sehingga kemudian berdampak
pada sistem federal yang dianut oleh Australia.
Perkembangan federalisme menjadi suatu hal yang pasti mengingat pada
masa-masa awal pembentukan negara federal permasalahan di masyarakat
yang menjadi acuan pembagian ranah kekuasaan masing-masing level
pemerintah tidak sebanyak dan seberagam seperti pada masa kini. Sehingga,
agar pemerintah mampu mengatasi isu-isu yang berkembang di masyarakat
maka penyesuaian- penyesuaian selayaknya dilakukan.
Berbeda dengan kasus Sei Fujii, pada kasus Tasmania dapat dikatakan
peraturan yang dibuat oleh Commonwealth dapat langsung diberlakukan
kepada negara bagiannya, sehingga dapat dikatakan suatu bentuk self6 http://ohrh.law.ox.ac.uk/the-tasmanian-dams-case-30-years-on-unfulfilled-promises/ -- diakses pada
tanggal 09-03-2016.

executing meskipun dinilai adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan


wewenang dengan dalih external affairs.
Kasus pembanding selanjutnya, yakni pengesahan piagam ASEAN di
Indonesia yang menuai beberapa argumen. Pengesahan terhadap piagam
ASEAN dianggap akan menghambat perekonomian Indonesia. Mahkamah
Konstitusi menyatakan menolak permohonan uji materi Pasal 1 ayat (5) dan
Pasal 2 ayat (2) huruf n UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam
ASEAN. Permohonan ini diajukan sejumlah LSM yang tergabung dalam
Aliansi untuk Keadilan Global. Dalam putusan ini, dua hakim konstitusi,
Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati menyatakan dissenting opinion
(pendapat berbeda).
Pasal 1 angka (5) mengatur prinsip pasar tunggal dengan basis produksi
tunggal, yang berarti pelaksanaan kesepakatan perdagangan ASEAN itu harus
sama (homogen). Ketentuan ini menjadi landasan bagi ASEAN untuk
melakukan perdagangan bebas di tingkat ASEAN. Seperti ACFTA, ASEANKorean Free Trade Agreement, dan ASEAN-Ausralian Free Trade Agreement.
Aliansi menilai pemberlakuan Piagam ASEAN yang menyangkut perdagangan
bebas itu merugikan industri dan perdagangan nasional. Sebab, Indonesia
harus tunduk dengan segala keputusan yang diambil di tingkat ASEAN.
Karena itu, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan
Pasal 1 angka 5 dan Pasal 2 ayat (2) huruf n UU Pengesahan Piagam ASEAN
karena dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4)
UUD 1945.
Dalam putusannya, Mahkamah beralasan Pasal 1 angka 5 tidak berlaku
otomatis. Karena, Pasal 5 ayat (2) ASEAN Charter menyebutkan negaranegara anggota wajib mengambil langka-langkah yang diperlukan termasuk
pembuatan legislasi dalam negeri yang sesuai. Jadi, terbentuknya kawasan
perdagangan ASEAN bergantung pada negara anggota ASEAN.
Meski Indonesia telah mengikatkan diri dalam perjanjian internasional.
Namun sebagai negara berdaulat Indonesia tetap mempunyai hak mandiri
untuk memutus keterikatan perjanjian jika dirasa merugikan atau tidak
memberikan manfaat. ASEAN Charter merupakan perjanjian antar negara
ASEAN yang dari sudut pandang nasional merupakan kebijakan makro dalam
bidang perdagangan. Maka kebijakan makro itu bisa saja diubah apabila tidak

memberi manfaat atau mendatangkan kerugian, sehingga perlu ditinjau atau


dievaluasi kembali oleh pemerintah dan DPR.
Selain itu, karena pelaksanaan ASEAN Charter digantungkan pada masingmasing negara anggota ASEAN sesuai amanat Pasal 5 ayat (2) ASEAN
Charter, maka Pemerintah Indonesia perlu membuat aturan pelaksanaan yang
sesuai kepentingan nasional berdasarkan UUD 1945.
Kewajiban suatu negara tidak lahir karena perjanjian internasional telah
disahkan dengan undang-undang. Tetapi, kewajiban itu lahir karena para pihak
(antar-negara) sebagai subyek hukum telah menyetujui bersama suatu
perjanjian. Hal ini sesuai asas pacta sunt servanda.
Dalam hukum internasional, perjanjian internasional merupakan sumber
hukum kedua setelah kebiasaan internasional. Jadi undang-undang suatu
negara tidak disebut sebagai sumber hukum internasional. Persetujuan DPR
atas suatu perjanjian internasional (oleh presiden) merupakan mekanisme
internal negara Indonesia (Pasal 11 UUD 1945).
Sementara itu, Hamdan dan Maria berpendapat UU No. 38 Tahun 2008
sebagai bentuk hukum persetujuan DPR atas ASEAN Charter tidak dapat
dijadikan objek pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi
wewenang Mahkamah. Karena itu, seharusnya permohonan ini tidak dapat
diterima (niet otvankelijk verklaard).
Usai persidangan, kuasa hukum pemohon, Ahmad Suryono menilai putusan
MK ini lebih banyak melakukan pengujian formil daripada pengujian materil.
MK, menurutnya, tidak menangkap ruh dari pengujian undang-undang ini.
Dari kasus diatas, dapat dikatakan bahwa Piagam ASEAN tidak secara otomatis
berlaku sepenuhnya tanpa adanya ratifikasi dan penyesuaian terhadap kondisi dari
negara dalam hal ini Indonesia. Indonesia dalam memandang perjanjian internasional,
tidak menganut self-executing karena dalam praktik, Indonesia menganut model
dualisme dengan pendekatan transformasi dalam penerapan perjanjian internasional
di level nasional. Semua perjanjian internasional yang telah diratifikasi harus
ditransformasikan ke dalam undang-undang agar dapat digunakan oleh hakim karena
hakim hanya terikat oleh peraturan hukum yang dibuat oleh DPR dan perjanjian
internasional hanya dapat diterapkan melalui metode interpretasi hukum.

Anda mungkin juga menyukai