Anda di halaman 1dari 28

3

BAB II
ISI
A. Skenario PBL
SKENARIO
Seorang lelaki bernama Adi Nugroho berusia 19 tahun datang ke RSGMP
Unsoed dengan keadaan gigi depan berdesakan. Suku kebangsaannya adalah suku
jawa. Untuk riwayat penyakit sistemik dan riwayat dental tidak ada, selain itu pula
tidak ada family history yang berkaitan karena ayah, ibu, dan kakanya sehat.
Pemeriksaan ekstra oral menyatakan pasien memiliki bentuk kepala
brakisefalik, dan wajah lurus. Pemeriksaan intraoral memiliki palatum sempit dan
tinggi, hal ini menyebabkan pasien memiliki gigi crowding pada bagian anterior.
Serta pasien memiliki restorasi composite pada gigi 15.
Analisis diskrepansi model studi didapatkan diskrepansi pada rahang atas
kekurangan 6,7 mm, diskrepansi pada rahang bawah didapatkan kekurangan 5,2
mm. Kurve spee positf dengan ukuran 4 mm. Dia menginginkan untuk merapikan
gigi depannya yang berdesakan.

B. Tinjauan Pustaka
1. Analisis Umum
a. Identitas Pasien
Rekam medik tersebut tercantum identitas pasien, indentitas pasien
tersebut sangat penting untuk menunjang pemeriksaan. Selain untuk
mendapatkan informasi dan mendapatkan persetujuan dari pasien juga
terdapat identitas yang berkaitan dengan pertumbuhkembangan dan
berkorelasi menentukan diagnosis penyakit. Diantaranya yaitu umur pasien
selain sebagai identitas pasien juga sebagai data yang berkaitan dengan
perumbuhkembangan dentomaksilofasial pasien. Hal yang dimaksud adalah
adanya perubahan fase gigi geligi dari fase gigi sulung, gigi campuran, dan
gigi permanen dan adanya perubahan tersebut berkaitan dengan umur

pasien. Selain umur pasien, jenis kelamin juga berkaitan dengan


pertumbuhkembangan muka pria dan wanita (Rahardjo, 2011).
b. Anamnesa
Anamnesa merupakan pemeriksaan subyektif yang wajib dilakukan
sebelum melakukan tindakan, karena dengan anamnesa membantu kita
untuk memudahkan diagnosa. Dalam pemeriksaan anamnesa tersebut dibagi
menjadi:
1) CC (Chief Complain) : Masalah atau keadaan pasien yang dirasakan
pasien yang menyebabkan berobat.
2) PI (Present Illness) : Uraian keluhan utama, gejala lain yg ada, uraian
dugaan penyakit.
3) PMH (Past Medical History) : Menginformasikan keadaan pasien
terhadap Infeksi, pendarahan, obat-obatan juga penyakit serius, cedera
atau pembedahan yang pernah dialami.
4) PDH (Past Dental History) : Merupakan ringkasan dari penyakit yang
pernah/ sedang diderita merupakan informasi sikap pasien terhadap
kesehatan gigi, pemeliharaan dan perawatannya.
5) FH (Family History) : Menemukan adanya transmisi genetik /
predisposisi suatu penyakit, serta enemukan penyakit yang disebarkan
dalam suatu keluarga.
6) SH (Social History) : Pekerjaan, penyalahgunaan obat, perokok, dan
alkoholisme.
(Rahardjo, 2011).
2. Analisis Lokal
Menurut (Rahardjo, 2011), Analisis lokal terdiri atas pemeriksaan
analisis ekstraoral dan intraoral. Analisis ekstraoral meliputi bentuk
kepala, simetri wajah, tipe wajah, tipe profil, bibir, fungsi bicara, dan
kebiasaan jelek.
a. Bentuk kepala
Bentuk kepala perlu dipelajari karene bentuk kepala ada hubungannya
dengan bentuk muka, palatum dan lengkung gigi. Bentuk kepala seseorang
dibagi mejadi 3 yaitu : dolikosefalik (panjang dan sempit), mesosefalik
(bentuk rata-rata), dan brakisefalik (lebar dan pendek).
Seseorang dengan bentuk muka dolikosefalik (leptoprosop/sempit)
akan membentuk muka yang sempit, panjang dan protusif. Fossa anterior
yang panjang akan menghasilkan lengkung maksila dan palatum yang
sempit, panjang, dan dalam.

Bentuk kepala brakisefalik (euriprosop/lebar) akan membentuk muka


yang lebih besar dan kurang protusif. Fossa krina anterior yang lebar dan
pendek akan menghasilkan lengkung palatum yang lebar, pendek, dan
lebih dangkal.
Oleh karena itu dapat diketahui Indeks Sefalik = lebar kepala x 100
Panjang Kepala
Indeks Dolikosefalik : 0,75
Indeks mesosefalik : antara 0,76-0,79
Indeks Brakisefalik : 0,80
b. Simetri wajah
Wajah pasien dilihat dari depan untuk memeriksa proporsi lebar mata,
hidung dan mulut melihat apakah terdapat simetri atau asimetri dan
proporsi ukuran bilateral. Dengan dilihat melalui simetri wajah, mudah
akan dapat dikenali adanya asimetri rahang terhadap muka secara
keseluruhan.Misalnya pasien dengan gigitan terbuka anterior disertai
tinggi muka bagian bawah cenderung panjang, selain itu pula dapat
digunakan untuk menentukan pergeseran median lengkung geligi terhadap
median wajah.
c. Tipe wajah
Kompleks muka berhubungan dengan basis kranii. Berhubungan
dengan

tipe

kepala

sebelumnya

dolikosefalik,

brakisefalik,

dan

mesosefalik. Indeks wajah dapat dihitung dengan

Oleh karena itu dapat diketahui Indeks Wajah : lebar wajah x 100
Panjang wajah
Gambar 2.1 Tipe muka Leptosporop (kiri), Mesoprosop (tengah) Euriprosop
(kanan)

d. Tipe profil
Pemeriksaan profil menjadi sangat penting dikarenakanproporsi
skeletal, jurusan antropometer maupun vertikal dapat terlihat dari
pemeriksaan ini. Tipe profil dibagi menjadi 3 yatu : cekung (maloklusi
angle kelas 3), lurus, dan cembung (maloklusi angle kelas 2). Tuuan utama
pemeriksaan tipe profl diantaraya adalah menentukan poisi rahang dalam
posisi sagittal, evaluasi bibir dan letak insisivus, evaluasi proporsi wajah
dalam arah vertikal dan sudut mandibula.

Gambar 2.2 Profil wajah A. cekung B. lurus C. cembung


Sumber: Rahardjo, 2011

e. Bibir
Pada ilmu ortodonti jaringan lunak yang berpengaruh adalah pipi,
bibir, dan lidah. Bibir juga dibagi menjadi dua, yaitu bibir kompeten dan
bibir tidak kompeten. Bibir kompeten keadaan dimana bibir cukup panjang
untuk mencapai kontak bibir atas tanpa kontraksi otot pada saat
mandibular dalam keadaan istirahat, sedangkan kadaan dimana diperlukan
kontraksi otot untuk mencapai kontak bibir atas dan bawah pada saat
mandibular dalam keadaan istirahat dinamakan bibir yang tidak kompeten.

Gambar 2.3 Bibir kompeten dan tidak kompeten


Sumber: Rahardjo, 2011

f. Fungsi bicara

Meskipun dokter bukanlah seorang speech pathologist akan tetapi


dokter gigi hendaknya terbiasa dengan beberapa teknik sederhana untuk
menganalisis cara bicara seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya
korelasi antara maloklusi dengan kelainan bicara akan tetapi karena
adanya mekanisme adaptasi, anak dengan maloklusi yang parah tetap
dapat berbicara tanpa gangguan.
Misalnya : awalnya suara yang dihasilkan adalah suara bilabial (p,b),
kemudian konsonan ujung lidah seperti t,d , menyusul suara sibilant (s,z)
yang mengharuskan penempatan lidah dekat namun tidak menyentuh
palatum yang terakhir adalah suara r yang membutuhkan penempatan
bagian posterior lidah yang tepat.
g. Kebiasaan jelek
Kebiasaan jelek dapat menyebabkan maloklusi, namun tidak semua
kebiasaan jelek dapat menyebabkan maloklusi. Terdapat 3 syarat
kebiasaan jelek dan dapat menyebabkan adanya maloklusi yaitu: lamanya
kebiasaan

berlangsung,

frekuensi

yang

cukup

serta

intensitas

melakukannya kebiasaan tersebut. Beberapa kebiasaan jelek diantaranya


adalah menghisap jari atau ibu jari, menghisap bibir atau menggigit bibir,
menggigit kuku.
Menghisap ibu jari merupakan kebiasaan jelek yang perlu dan sangat
dihindari, karena jika adanya kebiasaan jelek ini pada fase gigi sulung
memang tidak menghasilkan maloklusi hanya menimbulkan efek yang
sedikit. Namun, jika diteruksan hingga fase gigi permanen maka erupsi
gigi akan bersifat protusi, diastema, insisivi bawah linguoversi, gigitan
terbuka anterior, lengkung atas yang sempit.selain itu juga terdapat
kebiasaan lain yaitu retained infantile swallow merupakan kebiasaan jelek
dengan menelan dengan mendorong lidah kedepan (menempatkan lidah
diantara insisivus).
Selain itu, analisis intraoral meliputi keadaan jaringan periodontal, kebersihan
mulut, fase geligi, gigi yang ada, lidah, dan palatum.
a. Keadaan jaringan periodontal
Pemeriksaan jaringan periodontal penting

dilakukan

sebelum

menginjak ke tahap perawatan ortodonti, terutama kelainan mukogingival.


Pemeriksaan mukosa mulut meliputi mukosa pipi, palatum, lidah, dan
dasar mulut. Kelainan periodontal awal maupun lanjut tidak merupakan

kontraindikasi perawatan ortodonsi, yang dipentingkan adalah kondisi


jaringan periodontal harus tetap diperhatikan selama perawatan ortodontik.
b. Kebersihan mulut
Kebersihan mulut yang terjaga baik adalah indikator yang perlu
diperhatikan pasien dan diharapkan adanya kerjasama yang baik dari
pasien untuk cenderung menjaga rongga mulutnya. Berbeda dengan
keadaan jaringan periodontal tadi, kebersihan mulut yang buruk menjadi
kontraindikasi perawatan ortodonsi. Hal ini disebabkan oleh :
1) Bila kebersihan rongga mulut pasien jelek dengan memakai piranti
ortodonti akan memperparah keadaan kebershan mulut
2) Belum tentu terjalinnya kerjasama yang baik dengan pasien.
Perawatan ortodonti dapat dilakukan setelah kebersihan mulut sudah
mencapai standar kurang lebih 3 bulan.
c. Fase geligi
Pasien dating untuk merapihkan giginya yang berantakan pada
umumnya pada saat fase giginya pergantian atau permanen jarang datang
dalam fase geligi sulung. Fase geligi pergantian ditandai dengan
terdapatnya gigi sulung dan gigi permanen dalam rongga mulut (6-11
tahun).
d. Gigi yang ada
Sebelum melakukan suatu tindakan diperlukan untuk melihat gigi yang
ada didalam rongga mulut, baik gigi sulung, bercampur maupun gigi
permanen. Dapat dilihat secara visual maupun rontenogram. Baik
terdapatnya gigi yang berlebih ataupun kekurangan gigi.
e. Lidah
Pemeriksaan lidah meliputi ukuran, bentuk, dan fungsi. Ukuran dan
bentuk lidah mempengaruhi perawatan ortodonti yang digunakan. Lidah
yang terlalu besar (makroglosi) terhadap lengkung gigi adalah adanya
scalloping (yang merupakan cetakan sisi ingual gigi pada lidah) pada tepi
luar lidah. Besaran dan lamanya kekuatan yang mengenai gigi pada saat
berfungsi adalah sebagai berikut :

Asal Tekanan

Besaran Kekuatan

Lama Berlangsung

Sangat kuat
ringan

Sangat singkat
Sangat singkat

Kontak gigi pada saat:


mengunyah

Menelan
Tekanan lidah, bibir,
dan pipi:
Menelan
Berbicara
Istirahat

Sedang
Ringan
Sangat ringan

Singkat
Sangat singkat
Lama

Tekanan dari luar:


Kebiasaan
kekuatan ortodontik

Sedang
sedang

Bervariasi
Bervariasi

Tekanan intrinsic
Serat PDL
Serat gingiva

Ringan
Bervariasi

Lama
Lama

Sumber : Proffit, dkk., 2007


f. Palatum
Bentuk kepala dolikosefalik akan didapatkan bentuk palatum yang
sempit, panjang, dan dalam. Pada bentuk kepala brakisefalik akan
didapatkan bentuk palatum yang lebar, pendek, dan dangkal. Palatum
berkorelasi dikarenakan palatum merupakan proyeksi konfigurasi fosa
kranial anterior. Bentuk palatum mempengaruhi retensi peranti lepasan.
Pada palatum yang tinggi akan memberikan retensi dan penjangkaran yang
lebih baik.
3. Analisis Fungsional
Path of closure yang normal ditandai dengan tidak adanya deviasi
ataupun displacement mandibula kearah sagital maupun kearah lateral
menentukan oklusi sentrik yang baik. Deviasi mandibular tidak akan
menyebabkan

kelainan,

namun

displacement

dapat

menyebabkan

maloklusi.
a. Path of closure
Path of closure adalah arah gerakan mandibula dari posisi istirahat ke
oklusi sentrik. Idealnya path of closure dari posisi istirahat ke posisi oklusi
maksimum berupa gerakan engsel sederhana melewati free way space
yang besarnya 2-3 mm, arahnya keatas dan ke depan.
Free way space adalah jarak antar oklusal pada saat mandibula dalam
posisi istirahat
1) Deviasi mandibula
Deviasi mendibula adalah apabila path of closure yang berawal dari
posisi kebiasaan mandibula akan tetapi gigi mencapai oklusi

10

maksimum mandibular dalam posisi relasi sentrik. Deviasi mandibula


menyebabkan rasa sakit, keausan pada gigi, dan rusaknya jaringan
periodontal.
2) Displacement mandibula
Displacement mandibula adalah terjadi apabila path of closure yang
berawal dari posisi istirahat, akan tetapi terkena halangan oklusal.
4. Analisis Model Studi
Model studi merupakan rekam ortodontik yang digunakan untuk
menganalisis suatu kasus dan memberikan banyak informasi. Beberapa hal
yang dapat dilihat pada model diantaranya adalah :
a. Bentuk lengkung geligi
Untuk mengetahui bentuk lengkung gigi model dilihat dari pandangan
oklusal kemudian diamati bentuk lengkung giginya. Bentuk lengkung
geligi yang normal adalah parabola. Sedangkan bentuk lengkung geligi
yang tidak normal adalah lebar, dan menyempit didaerah anterior. Bentuk
lengkung geligi berhubungan dengan bentuk kepala, dan bentuk wajah.
b. Diskrepansi pada model
Diskrepansi merupakan perbedaan antara tempat yang tersedia
(available space) dengan tempat yang dibutuhkan (required space).
Diskrepansi ini merupakan diskrepansi total yang terdiri dari diskrepansi
pada model, diskrepansi sefalometrik, kurva spee, dan pergeseran molar ke
mesial. Dengan menggunakan diskrepansi ini dapat digunakan untuk
menentukan macam perawatan pasien baik dengan ekstraksi gigi
permanen atau dengan tidak melakukan ekstraksi gigi permanen.
Untuk mengetahui available space dapat dilakukan dengan :
1) Membagi lengkung rahang (dari mesial gigi 6) menjadi 4 segmen.
Ukur lebar tiap segmen lalu jumlahkan.

Gambar 2.4 Pengukuran Persegmen

11

Sumber : Proffit, dkk., 2007


2) Menggunakan brass wire, diletakkan pada permukaan oklusal gigi-gigi

posterior dan permukaan insisal gigi-gigi anterior. Susun gigi-gigi


dalam lengkung yang ideal, ukur sisa ruang yang tersedia.

Gambar 2.5 Pengukuran Brass Wire


Sumber : Proffit, dkk., 2007
3)

Membagi lengkung pada tiap regio menjadi beberapa segmen. Ukur


panjang masing-masing segmen dan jumlahkan

Gambar 2.6 Pengukuran Beberapa Segemen


Sumber : Proffit, dkk., 2007

12

Untuk mengetahui required space dapat dilakukan dengan :


a. Ukur lebar mesio distal setiap gigi menggunakan jangka sorong dan
jumlahkan.

Gambar 2.7 Pengukuran Mesio Distal


Sumber : Proffit, dkk., 2007

Available space dan required space selain melalui teknik diatas juga dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus untuk menghitung lebar benih gigi
yaitu:

ukuran gigi sulung pada model = ukuran benih gigi sesungguhnya


ukuran gigi sulung pada foto

ukuran benih gigi foto

Selain itu, juga dapat pula digunakan menggunakan metode moyers yaitu
Estimasi ruangan yang diperlukan untuk gigi 3,4,5 menggunakan lebar MD gigi 32,31,41,42 pada model.

13

Gambar 2.8 Tabel Moyers

c. Kurva spee
Kurva spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang
lakrimal (lakrima) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini
berkontak dengan empat lokasi yaitu permukaan anterior kondil, daerah
kontak distooklusi moar ketiga, daerah kontak mesiooklusi molar pertama,
dan tepi insisisal.Kurva spee dalam keadaan normalnya tidak melebihi 1,5
mm.
d. Diastema
Diastema merupakan terdapatnya ruang diantara dua gigi yang
berdekatan, dan menyebabkan gingiva diantara kedua gigi tersebut terlihat.
Diastema pada fase gigi campur merupakan keadaan normal namun dalam
keadaan fase gigi permanen perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Diastema dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Lokal, apabila terdapat diantara 2 atau 3 gigi, dapat disebabkan karena
mesiodens, frenulum labii yang abnormal, gigi yang tidak ada,
kebiasaan jelek dan persistensi.
2) Umum, apabila terdapat pada sebagian besar gigi, dapat disebabkan
oleh faktor keturunan, lidah yang besar dan oklusi gigi yang traumatis
(Rahardjo, 2011).
e. Analisis ukuran gigi
Ukuran gigi yang proporsional diperlukan untuk mendapatkan oklusi
yang baik. Tooth size analysis (analisis Bolton) dilakukan dengan
mengukur lebar mesiodistal setiap gigi permanen. Kemudian dibandingkan
dengan tabel standar Bolton ini. Apabila perbedaan ukuran gigi kurang
dari 1,5 mm maka jarang berpengaruh secara signifikan, sedangkan
apabila perbedaan ukuran gigi lebih dari 1,5 mm sebaiknya dimasukan
untuk pertimbangan perawatan ortodontik.
f. Midline lengkung gigi
Garis median rahang atas ditentukan oleh titik pertemuan rugae
palatina kedua kiri dan kanan untuk acuan di anterior, sedangkan di
posterior titik yang dipakai adalah titik pada raphe palatina. Pada keadaan
normal garis ini melewati titik kontak insisiv sentra latas. Kemudian
penentuan garis median rahang bawah dilakukan dengan membuat titik
pada perlekatan frenulum labial dan lingual yang biasanya melewati titik
kontak insisiv sentral bawah (Rahardjo, 2011).

14

g. Malposisi Gigi
1) Elongasi atau ekstrusi atau supraversi atau supraklusi yaitu keadaan
dimana gigi lebih tinggi dari garis oklusi.
2) Depresi atau instrusi atau infraversi atau infraklusi yaitu keadaan
3)

dimana gigi lebih rendah atau tidak mencapai bidang oklusi.


Transfersi merupakan posisi gigi berpindah dari kedudukan normal.
Berikut beberapa macam-macam transfersi, diantaranya.
1) Mesioversi : gigi lebih ke mesial dari normal
2) Distoversi : gigi lebih ke distal dari normal
3) Bukoversi : gigi lebih ke bukal dari normal
4) Palatoversi : gigi lebih ke palatine dari normal
5) Linguoversi : gigi lebih ke lingual dari normal
6) Labioversi : gigi lebih ke labiar dari normal
7) Transposisi : gigi berpindah posisi erupsinya di daerah gigi lain
8) Aksiversi : gigi seakan berpindah tapi ujung sumbunya pada akar
tetap
9) Torsoversi : gigi berputar terhadap sumbunya, tetapi kedua ujung
sumbu tidak berubah,
(Candrawasih, 2012).

Gambar 2.9 Malposisi Gigi

h. Relasi Gigi Posterior


Hubungan gigi atas dan bawah dalam keadaan oklusi dengan
pemeriksaan pada molar pertama permanen dan kaninus permanen.
Pemeriksaan dilaukan dalam jurusan sagital, transversal, dan vertikal.
1) Relasi jurusan sagital
a) Netroklusi : tonjol mesiobukal M1 RA terletak pada bukal groove
M1 RB.
b) Distoklusi : tonjol mesiobukal M1 RA terletak diantara tonjol
mesiobukal M1 RB dan P2 RB.

15

c) Mesioklusi : tonjol mesiobukal M1 RA terletak pada tonjol distal


M1 RB.
d) Gigitan tonjol : tonjol mesiobukal M1 RA beroklusi dengan tonjol
mesiobukal M1 RB.
e) Tidak ada relasi : tidak adanya molar pertama permanen.
2) Relasi Jurusan Transversal
Keadaan normal relasi transversal gigi posterior adalah gigitan fisura
luar RA, hal ini menyebabkan RA lebih lebar dari RB. Jika RA terlalu
lebar atau terlalu sempit dapat menyebabkan perubahan relasi gigi
posterior dalam jurusan transversal : gigitan tonjol, gigitan fisura
dalam atas, dan gigitan silang total luar RA.
3) Relasi Jurusan Vertikal
Hal ini dapat menyebabkan gigitan terbuka yang berarti tidak adanya
kontak antara gigi atas dan bawah pada saat oklusi.
i. Relasi Gigi Anterior
1) Overbite
Overbite insisal adalah jarak vertikal antara ujung gigi-gigi
insisivus rahang atas dan bawah dalam keadaan oklusi. Overbite yang
ideal adalah insisivus bawah berkontak dengan sepertiga permukaan
palatal gigi insisivus rahang atas dengan jarak 2-4 mm (Bakar, 2013).
Gambar 2.10 Overbite Insisial

2) Overjet
Overjet insisal adalah jarak horizontal antara gigi-gigi insisivus
rahang atas dan bawah pada keadaan oklusi. Hubungan overjet yang
ideal adalah insisivus rahang atas terletas insisivus rahang bawah
dengan jarak 2-4 mm Overjet berlebihan adalah jarak yang lebih 4
mm, overjet kecil / kebalikan adalah kurang dari 2 mm, edge-to-edge
bite yaitu ketika jaraknya 0 mm. Overjet menggambarkan hubungan

16

molar kelas II dan kelas III Angle. Overjet 5 mm mengindikasikan


maloklusi kelas II Angle (Bakar, 2013).

Gambar 2.11 Overjet Insisal

Gambar 2.12 Perbedaan Overbite dan Overjet

3) Open bite
Open bite adalah keadaan yang mana gigi geligi rahang bawah
tidak menyentuh gigi geligi antagonis rahang bawah ketika oklusi
sentrik. Open bite dapat melibatkan dental atau skeletal. Open bite
dapat terjadi pada segmen anterior atau posterior dari lengkung gigi,
yang disebut open bite anterior atau open bite posterior.

Gambar 2.13 Open Bite


4) Crossbite

17

Crossbite adalah suatu keadan saat relasi sentrik terdapat satu atau
beberapa gigi rahang atas terdapat di sebelah palatinal atau lingual
gigi-gigi rahang bawah. Crossbite dapat mengenai seluruh atau
setengah rahang, sekelompok gigi, atau satu gigi saja. Dapat dibedakan
menjadi dua:
1) Cross bite anterior
2) Cross bite posterior

Gambar 2.14 Macam Cross bite


j.

Etiologi Maloklusi

Penyebab terjadinya maloklusi juga dapat diklasifikasikan menjadi dua


faktor yaitu, faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik:
1) Faktor intrinsik, terdiri dari:
a) Premature loss / gigi sulung tanggal prematur
Premature loss pada gigi sulung akan menyebabkan gigi sebelahnya
bergeser mengisi ruang bekas gigi sulung dulu tumbuh (mesial
drifting).
b) Persistensi gigi sulung,
Persistensi dapat terjadi karena benih gigi tetap lambat erupsi,
perkembangan gigi tetap lambat, terlambat resorbsi akar gigi sulung,
ataupun ankilosis. Persistensi akan menyebabkan terganggunya arah
pertumbuhan gigi lain. Contoh, apabila gigi insisivus sulung
persistensi akibatnya gigi insisivus tetap palatoversi/ linguoversi.
c) Gangguan erupsi gigi tetap
Hal ini disebabkan karena posisi akar gigi sulung, supernumary
teeth, tumor, hormonal dan impaksi.
d) Gigi tetap tanggal pada usia dini
Tanggalnya gigi tetap yang terlalu dini disebabkan karena karies atau
trauma. Akibat yang terjadi hilang kontak dengan gigi tetangga,
sehingga adanya pergeseran gigi.
e) Restorasi gigi tidak baik

18

Apabila tumpatan tidak baik akan mengganggu gigi tetangganya,


contoh apabila tumpatan kelas II GV Black tidak baik menyebabkan
titik kontak dengan gigi sebelahnya hilang dan menyebabkan
pergeseran gigi sehingga terjadi maloklusi.
f) Perlekatan frenulum labii terlalu rendah
Perlekatan frenulum labii yang terlalu rendah mengakibatkan
diastema sentral diantara gigi tetap rahang atas (Iman, 2008).
2) Faktor ektrinsik, terdiri dari:
a) Kebiasaan buruk
(1) Kebiasaan menghisap jari, menyebabkan gigi insisivus rahang
atas protusif dan gigi insisivus rahang bawah linguoversi, open
bite anterior, penyempitan lengkung rahang atas.
(2) Kebiasaan mendorong lidah, menyebabkan gigi geligi terdorong
ke depan dan protusi.
(3) Kebiasaan bernafas melalui mulut, mengakibatkan penyempitan
lengkung rahang atas, palatum tinggi dan gigi berjejal. Hal
tersebut terjadi karena pada saat bernapas lidah pada dasar mulut
menyebabkan perkembangan maksila tidak seimbang.
(4) Lip habits, kebiasaan menghisap/ menggigit/ menekan bibir.
Menghisap atau menekan bibir mengakibatkan gigi insisivus
rahang atas labioversi/protusi. Menekan bibir mengakibatkan
ketidakmampuan menutup bibir tanpa kontraksi otot orbicularis
oris dan otot mentalis.
b) Penyakit lokal
(1) Penyakit nasofaringeal

dan

tersumbat

jalannya

napas,

menyebabkan kebiasaan bernapas melalui mulut sehingga


maloklusi.
(2) Infeksi telinga tengah, menyebabkan kerusakan TMJ.
(3) Tumor/ kista, menyebabkan terganggunya pertumbuhan gigi.
(4) Karies, menyebabkan premature loss
(Iman, 2008).
k. Diagnosa Maloklusi

Klasifikasi Angle terdapat 3 kelas yaitu kelas I Angle (neutro oklusi), kelas
II Angle (disto oklusi), dan kelas III Angle (mesio oklusi).
1) Kelas I Angle (neutro oklusi)
Pada kelas ini, hubungan mandibula dan maksila normal dengan
tanda-tanda tonjol mesiobukal gigi M1 atas terletak di buccal groove

19

gigi M1 bawah, gigi C atas terletak pada embrassure gigi C bawah


dan P1 bawah, dan tonjol mesiolingual M1 atas terletak di fossa
central M1 bawah. Maloklusi kelas 1 Angle ini terbagi menjadi 5
tipe yaitu.
a) Tipe 1 : Terjadi crowding pada gigi anterior atau kaninus lebih
ke arah labial (ektopik),
b) Tipe 2 : Gigi-gigi anterior terutama maksila nampak labioversi
c)

atau protrusive.
Tipe 3 : Terdapat crossbite anterior karena inklinasi gigi atas ke

palatinal.
d) Tipe 4 : Terdapat crossbite posterior.
e) Tipe 5 : Gigi posterior mengalami mesial drifting.
2) Kelas II Angle ( Disto Oklusi)
Pada kelas ini, lengkung gigi mandibula dan mandibula lebih ke arah
distal dalam hubungannya dengan maksila. Tanda-tanda pada kelas
ini antara lain tonjol mesiobukal M1 atas terletak di ruangan antara
tonjol mesiobukal M1 bawah dan tepi distal tonjol bukal P2 bawah
dan tonjol mesiolingual M1 atas terletak di embrasure tonjol
mesiobukal M1 bawah dan tepi distal tonjol bukal P2 bawah. Kelas
II Angle ini terbagi menjadi 2 divisi yaitu.
a) Kelas II Angle Divisi 1
Apabila gigi-gigi anterior maksila berinklinasi ke arah labial
atau protrusive.
b) Kelas II Angle Divisi 2
Jika gigi-gigi anterior maksila berinklinasi ke palatal atau
retrusif. Biasanya terjadi pada insisivus sentral, sedangkan
insisivus lateral proklinasi.
3) Kelas III Angle (Mesio Oklusi)
Pada kelas ini, lengkung gigi mandibula dan mandibula lebih ke arah
mesial dalam hubungannya dengan maksila. Tanda pada kelas ini
antara lain tonjol mesiobukal M1 atas terletak di antara bagian distal
tonjol distal gigi M1 bawah dan tepi mesial tonjol mesial gigi M2
bawah dan adanya crossbite anterior. Deway memodifikasi kelas III
Angle menjadi 3 tipe yaitu.
a) Tipe 1 : Pada tipe ini apabila rahang beroklusi akan
menyebabkan gigi insisivus edge to edge.

20

b)

Tipe 2 : Pada tipe ini insisivus mandibula crowded dan memiliki

c)

lingual relation terhadap insisivus maksila.


Tipe 3 : Pada tipe ini gigi insisivus maksila crowded dan

crossbite dengan gigi anterior mandibula.


(Bhalaji, 2006 ; Sulandjari, 2008 ; Zenab, 2010 ).
l. Macam Perawatan dan Rencana Perawatan
Rencana perawatan dapat dilakukan beberapa tindakan, diantaranya:
1) Tindakan non ekstraksi
a) Enamel stripping/grinding/slicing
Pengurangan enamel dapat dilakukan pada sisi distal atau mesial gigi
sulung atau permanen. Enamel stripping selain menyediakan ruangan
juga dapat membentuk gigi permanen ke bentuk yang lebih baik atau
memperbaiki titik kontak

Gambar 2.15 Sebelum dan sesudah enamel slicing

b) Ekspansi
Ekspansi adalah suatu prosedur untuk melebarkan lengkung gigi, dan
dapat dilakukan baik dalam arah sagital (protraksi) maupun
transversal. Gejala klinis yang terlihat pada defisiensi lengkung gigi
adalah kontraksi lengkung gigi, gigitan silang (anterior maupun
posterior), gigi yang berjejal serta koridor bukal yang lebar.
Beberapa

indikasi

dari

perawatan

dengan

ekspansi,

diantaranya.
(1) Gigitan silang anterior (anterior crossbite).
(2) Gigitan silang posterior (posterior crossbite) bilateral atau
unilateral.

21

(3) Lengkung gigi atau lengkung basal yang sempit yang


disebabkan pertumbuhan ke arah lateral kurang.
(4) Adanya " space loss", sebagai akibat pergeseran gigi molar
permanen ke mesial pada pencabutan gigi desidui terlalu awal
(premature loss).
(5) Adanya gigi depan berjejal yang ringan, dengan diskrepansi
lengkung gigi 4 6 mm (Foster, 1993).
c) Distalisasi Gigi Molar atas
Distalisasi gigi molar atas bertujuan untuk memperoleh ruangan
guna memperbaiki susunan gigi geligi atau memperbaiki hubungan
gigi molar. Indikasi distalisasi molar atas adalah pada kasus
maloklusi klas II ringan hingga sedang, terutama pada kasus yang
disebabkan oleh premature loss, pada kasus gigi berjejal ringan
hingga sedang, baik untuk tipe wajah mesofacial atau brachifacial,
profil wajah lurus atau flat dan masih mempunyai potensi
pertumbuhan. Alat untuk distalisasi gigi molar dapat intraoral atau
ekstraoral. Headgear merupakan alat distalisasi molar ekstra oral
yang paling sering digunakan. Headgear mendistalisasi gigi molar
sebesar 3 mm dalam 3 bulan (Foster, 1993).
2) Tindakan Ekstraksi
Pencabutan gigi permanen perlu dilakukan apabila diskrepansi total
menunjukan kekurangan tempat lebih dari 8 mm. Pemilihan gigi yang
akan dicabut membutuhkan pertimbangan yang kompleks yang
menyangkut semua aspek perawatan ortodontik.
C. Pembahasan Kasus
Berdasarkan analisis model studi terdapat poin-poin penting yang dapat
kita analisis untuk mendapatkan rencana perawatan. Analisis model studi
merupakan rekam ortodontik untuk menganalisis kasus dan memberikan
banyak informasi. Keadaan yang dapat dilihat diantaranya adalah:
1. Bentuk lengkung geligi
Bentuk lengkung geligi pada rahang atas pasien adalah parabola.
Dengan puncak lengkung curved, kaki lengkung merupakan garis lurus
(straight), menyebar (divergent) jika diperpanjang tidak bertemu
diposterior, gigi M2 tidak berbelok ke posisi median line tapi lurus
merupakan terusan gigi-gigi depannya.

22

Bentuk lengkung geligi pada rahang bawah pasien adalah


trapezoid. Dengan kaki lengkung straight, divergent, puncak lengkung
datar, gigi C-C merupakan titik sudut dari trapezium.
Bentuk lengkung geligi ini berhubungan dengan bentuk kepala,
bentuk lengkung kepala pasien adalah brakisefalik ini berkaitan
dengan lengkung geligi pasien yang cenderung lebar.
2. Diskrepansi pada model
Diskrepansi pada model dapat dihitung melalui metode sitepu dan
perhitungan mesiodistal. Untuk rahang atas sendiri, penghitungan
diskrepansi dilakukan dengan menggunakan metode sitepu. Penggunan
metode tersebut dengan indikator jumlah 4 insisif rahang bawah dan
dapat mengetahui jumlah yang dibutuhkan (required space).
Jumlah 4 insisif rahang bawah adalah 22 mm. Kemudian
dicocokan dengan tabel sitepu.

RA = Jumlah 2 insisif rahang atas + 2Y(RA)


= 28,3 +2 (22,37)
= 80,7
Penghitungan dengan metode sitepu tersebut diketahui space required
yaitu 80,7.
Kemudian mencari tempat yang tersedia (available space) dengan
menggunakan metode per-segmen dengan menggunakan jangka
sorong. Penghitungan dibagi menjadi 4 segmen, dari mesial 17 sampai
mesial 13 + distal 12 sampai mesial 11 + mesial 21 sampai distal 22 +
mesial 23 sampai mesial 17 = 74, sehingga didapatkan available space
74 mm.
Diskrepansi RA = available space required space = 74 80,7 = -6,7
mm.
Hal ini menunjukan adanya kekurangan tempat pada rahang atas
sekitar 6,7 mm.

23

Pencarian ruang pada rahang bawah dilakukan dengan metode


pengukuran mesiodistal. Dengan mencari available space dan required
space, available space diketahui melalui perhitungan per-segmen
dengan menggunakan jangka sorong. Rahang bawah dibagi menjadi 4
segmen mesial 37 sampai mesial 33 + distal 32 sampai mesial 31 +
mesial 41 sampai distal 42 + mesial 43 sampai mesial 47 = 58 mm.
Required space didapatkan dengan menjumlahkan masing-masing gigi
geligi dari 35 sampai 45. Maka required space didapatkan sebesar 63,4
mm.
Diskrepansi RB = available space required space = 58 63,4 = -5,2
Hal ini menunjukan adanya kekurangan tempat pada rahang bawah
sekitar 5,2 mm.
3. Kurva spee
Kurva spee dari pasien didapatkan hasil positif dikarenakan bentuk
kurvanya jelas dan dalam. Dan pula didapatkannya gigi insisif yang
sura posisi atau gigi posterior yang infra posisi atau gabungan dari
keadaan tersebut.
Dengan kedalaman kurva spee adalah 4 mm. Hal ini dikarenakan gigi
yang terlalu supra posisi atau infra posisi.
4. Diastema
Anaisis model studi tidak didapatkannya diastema, baik diastema
sentral ataupun diastema multiple.
5. Analisis Ukuran Gigi dan Simetri Gigi Geligi
Analisis pengukuran gigi dilakukan dengan menggunakan jangka
sorong, serta mengetahui simetrian gigi geligi dilakukan dengan
menggunakan simetroskop.
Rahang Atas

Gigi

Asimetris ( 11 lebih ke mesial 11;21

Kanan Kiri

Normal

7,6

7,6

7,40-9,75

6,5

6,5

6,05-8,10

7,8

7,5

7,05-9,32

7,2

7,2

6,75-9,00

dari 21)
Asimetris (22 lebih kemesia 12;22
dari 12)
Asimetris (13 lebih ke mesial 13;23
dari 23)
Asimetris (14 lebih ke mesial 14;24

24

dari 24)
Asimetris (15 lebih ke mesial 15;25

5,8

5,8

6,00-8,10

dari 25)
Simetris

16;26

9,8

9,8

9,95-12,10

Simetris

17;27

7,2

7,1

8,75-10,87

Rahang Bawah

Gigi

Kanan

Kiri

Normal

Simetris

31;41

5,0

5,0

4,97-6,60

Asimetris (32 lebih ke mesial 32;42

6,0

6,0

5,45-6,85

6,3

6,4

6,15-8,15

7,4

7,4

6,35-8,75

6,9

7,0

6,80-9,55

11,3

12

10,62-

dari 42)
Asimetris (33 lebih ke mesial 33;43
dari 43)
Asimetris (34 lebih ke mesial 34;44
dari 44)
Asimetris (35 lebih ke mesial 35;45
dari 45)
Asimetris (36 lebih ke mesial 36;46
dari 46)

13,05

Asimetris (37 lebih ke mesial 37;47


dari 47)
6. Malposisi Gigi Geligi
Regio 1

Malposisi Gigi

11

Distolabio Torsoversi

12

Mesio Palatoversi

13

Ektopik

14

Normal

15

Normal

10,1

10,7

8,90-11,37

25

16

Normal

17

Normal

18

Partial Eruption

Regio 2

Malposisi Gigi

21

Normal

22

Normal

23

Normal

24

Normal

25

Normal

26

Palatoversi

27

Normal

28

Partial Eruption

Regio 3

Malposisi Gigi

31

Normal

32

Normal

33

Mesiolabio Torsoversi

34

Mesiobuko Torsoversi

35

Palatoversi

36

Mesiolinguo Torsoversi

37

Normal

38

Uneruption

Regio 4

Malposisi Gigi

41

Normal

26

42

Distolinguo Torsoversi

43

Normal

44

Normal

45

Normal

46

Normal

47

Normal

48

Uneruption

7. Pergeseran Garis Median


Rahang atas tidak bergeser, karena garis median tepat berada
diantara papilla insisiva. Dan pula jatuh tepat diantara kedua insisif
sentral atas. Penentuan garis median rahang atas ditentukan dari titik
pertemuan rugae palatine kedua kiri dan kanan yang dianggap stabil
(anterior) dan pada titik rafe palatine (posterior).
Rahang bawah mengalami pergeseran kekiri, hal ini dapat dilihat
dari garis median jatuh pada gigi 42. Karena titik normal biasanya
melewati titik kontak insisif sentral bawah. Penentuan garis median
rahang bawah ini pertemuan antara frenulum labial dan frenulum
lingualis. Maka, untuk rahang atas tidak terjadi pergeseran garis
median. Sedangkan pada rahang bawah terjadi pergeseran midline
sekitar 2 mm.
8. Kelainan Kelompok gigi
Crowding atau gigi berdesakan terjadi pada rahang atas dan rahang
bawah pada sisi kiri. Supraposisi terjadi pada rahang atas regio 2.
Infraposisi terjadi pada rahang bawah regio 3.
9. Relasi Gigi Geligi Posterior
Relasi gigi geligi posterior dilihat dari 3 jurusan, yaitu jurusan sagital,
jurusan tranversal, dan jurusan vertikal.
a. Jurusan Sagital
Dilihat dari relasi kaninus, pada regio kanan tidak ada relasi
dikarenakan gigi 13 mengalami ektopik. Pada region kiri terjadi
distoklusi dikarenakan terdapat gigi rotasi pada 33.
Dilihat dari relasi molar, pada region kanan terdapat relasi
neutroklusi dimana cusp mesiobukal M1 RA permanen terdapat

27

pada bukal groove M1 RB permanen. Cusp mesiolingual M1 RA


permanen terdapat pada embrasure M1 dan P1 RB permanen. Dan
cusp distobukal M1 RA permanen terdapat pada central fossa M1
RB permanen.
b. Jurusan Transversal
Dilihat dari jurusan tranversal terdapat gigitan fisura luar
RA/normal. Tidak terjadi gigitan tonjol, gigitan fisura dalam RA,
gigitan silang total luar RA/RB, dan gigitan silang total dalam
RA/RB.
c. Jurusan Vertikal
Dilihat dari jurusan vertikal normal, tanpa adanya gigitan terbuka
atau open bite.
10. Relasi Gigi Geligi Anterior
Relasi gigi geligi anterior dilihat dari 2 jurusan, yaitu jurusan sagital,
dan jurusan vertikal.
a. Jurusan Sagital
Dilihat dari jarak gigit (over jet) normal yaitu 2 mm. Karena jarak
normal untuk over jet adalah 2-3 mm, tanpa adanya gigitan tonjol,
dan gigitan terbalik.
b. Jurusan vertikal
Dilihat dari tumpang gigit (overbite) normal yaitu 2 mm. Karena
jarak normal untuk overbite adalah 1-2 mm, tanpa adanya gigitan
tonjol, gigitan dalam, dan gigitan terbuka.
Analisis model studi dilakukan untuk mengetahui berbagai macam
poin diatas. Hal ini dilakukan untuk menentukan diagnosis dan rencana
perawatan pasien, sebelum itu perlu juga diketahui etiologi atau penyebab
maloklusi diatas.
Terdapat berbagai macam etiologi maoklusi, etiologi maloklusi pasien
adalah DDM (Disharmony Dento Maxilar). Hal ini dikarenakan rahang
dan gigi kurang harmonis, rahang atas sempit ditandai dengan palatum
yang tinggi dan dalam disertai dengan gigi yang besar-besar.
Diagnosa dari kasus tersebut adalah pasien mengalami maloklusi angle
kelas I tipe 1. Hal ini dikarenakan pasien mengalami crowding anterior
dan ektopik. Pengklasifikasian malokusi angle kelas 1 tipe 1 ini karena
dilihat dari relasi molar normal atau neutroklusi, sedangkan hanya terdapat
sedikit kelainan yaitu gigi berdesakan dan ektopik pada gigi 13.

28

Penentuan ini dapat memperkuat prognosis dari perawatan yang akan


dilakukan pasien. Karena maloklusi angle kelas I tipe 1 ini merupakan
kasus yang tergolong mudah untuk dilakukan perawatan sehingga
memiliki prognosis yang baik, selai dilihat dari kasus pasien juga kita
melihat dari beberapa sudut pandang lain diantaranya adlah sosisal
ekonomi pasien yang baik sehingga menunjang perawatan dan pasien pula
yang sangat kooperatif dalam mengikuti rangkaian proses perawatan.
Penentuan rencana perawatan dapat dilakukan setelah melalui berbagai
macam tahapan yaitu dengan melakukan analisa umum, analisa local,
analisa fungsional, dan analisa model studi. Oleh karena itu, dapat
diketahui rencana perawatannya adalah sebagai berikut:
1. Rahang Atas
a. Pencarian Ruang
Berdasarkan kasus, pencarian ruang tersebut didapatkan diskrepansi
kekurangan ruang sebesar 6,7 mm melalui metode sitepu, berdasarkan
metode sitepu pula jika dalam rentang 5mm-9mm adalah indikasi
slicing, ekspansi, dan ekstraksi.
Pencarian ruang terebut didapatkan dengan cara melakukan ekstraksi
pada gigi 14. Ekstraksi dipilih dikarenakan ruang 6,7 mm ini cukup
besar yang tidak memungkinkan dilakukan slicing karena akan terlalu
banyak menghabiskan sisi sisi gigi. Selain tidak memungkinkan
dilakukan slicing, tidak pula memungkinkan dilakukan ekspansi.
Walaupun

berdasarkan

metode

pont,

didapatkan

perhitungan

konvergen pada lengkung rahang dan memungkinkan indikasi ekspansi


kearah lateral, namun akan sangat sedikit jumlah ekspansinya. Hal ini
diperkuat dengan perhitungan metode howes yang menunjukan jarak
inter fossa canina > jarak inter P (konvergen). Hal ini menunjukan
bahwa melalui metode howes merupakan indikasi ekspansi, namun
hanya sebesar 1,4 mm saja. Lengkung rahang tersebut memungkinkan
untuk dilakukanya ekspansi. Jika dilakukan ekspansi yang terlalu besar
maka gigi akan divergen dan akan mudah relaps, selain itu pula
interdigitasi rahang atas dan bawah dalam kondisi baik, jika dilakukan
ekspansi salah satu rahang saja tidak direkomendasikan.

29

Ekstraksi pada gigi 14 dengan ukuran 7,2 mm akan memberikan ruang


lebih dari diskrepansi yang dibutuhkan 7,2 mm-6,7 mm = 0,5mm.
kelebihan ruang sekitar 0,5 mm akan

dapat digunakan untuk

mesialisasi gigi geligi posterior memberikan tempat bagi gigi M3


untuk tumbuh dengan baik
b. Plat aktif
Penggunaan labial bow berdiameter 0,7 mm, digunakan pada gigi
anterior untuk menggerakan gigi 11 dan 13 ke posterior dan sebagai
penahan saat gigi lain dilakukan koreksi agar tetap pada lengkung yang
benar. Dilanjutkan dengan penggunaan cantilever tunggal berdiamter
0,5 mm digunakan pada gigi 11,12,13 untuk menggerakan ke distal.
Setelah terdapat tempat yang cukup, kemudian penggunaan cantilever
ganda berdiameter 0,5 mm digunakan pada gigi 12 untuk menggerakan
gigi 12 kelabial. Maka gigi crowding dan ektopik anterior dapat
dikoreksi.
2. Rahang Bawah
a. Pencarian Ruang
Berdasarkan kasus

pasien

tersebut

didapatkan

diskrepansi

kekurangan ruang sebesar 5,2 mm melalui pengukuran lebar


mesiodistal.
Pencarian ruang terebut didapatkan dengan cara melakukan
ekstraksi pada gigi 14. Ekstraksi dipilih dikarenakan ruang 6,7 mm ini
cukup besar yang tidak memungkinkan dilakukan slicing karena akan
terlalu banyak menghabiskan sisi sisi gigi. Selain tidak memungkinkan
dilakukan slicing, tidak pula memungkinkan dilakukan ekspansi.
Walaupun

berdasarkan

metode

pont,

didapatkan

perhitungan

konvergen pada lengkung rahang dan memungkinkan indikasi ekspansi


kearah lateral, namun akan sangat sedikit jumlah ekspansinya. Hal ini
diperkuat dengan perhitungan metode howes yang menunjukan jarak
inter fossa canina > jarak inter P (konvergen). Hal ini menunjukan
bahwa melalui metode howes merupakan indikasi ekspansi, namun
hanya sebesar 1,4 mm saja. Lengkung rahang tersebut memungkinkan
untuk dilakukanya ekspansi. Jika dilakukan ekspansi yang terlalu besar
maka gigi akan divergen dan akan mudah relaps, selain itu pula

30

interdigitasi rahang atas dan bawah dalam kondisi baik, jika dilakukan
ekspansi salah satu rahang saja tidak direkomendasikan.
Ekstraksi pada gigi 35 dengan ukuran 6,9 mm akan memberikan
ruang lebih dari diskrepansi yang dibutuhkan 6,9 mm-5,2 mm = 1,7
mm. kelebihan ruang sekitar 1,7 mm akan dapat digunakan untuk
mesialisasi gigi geligi posterior memberikan tempat bagi gigi M3
untuk tumbuh dengan baik.
b. Plat Aktif
Penggunaan labial bow berdiameter 0,7 mm digunakan pada gigi
anterior untuk menahan gigi saat dilakukan pergerakan pengkoreksian
gigi kedistal. Penggunaan cantilever tunggal berdiameter 0,5 mm
digunakan pada gigi 41,31,32,33,34 untuk menggerakan ggigi tersebut
ke distal agar crowding terkoreksi.
Oleh karena itu, berdasarkan beberapa analisis tersebut dapat
ditetapkan rencana perawatan yaitu penggunaan alat lepasan baik pada
rahang atas dan rahang bawah.

Anda mungkin juga menyukai