Kata terangkai menembus celah sunyi di lembah sepi
Menghapus tabir layaknya angin semilir yang tak sempat mampir Di dalam lubuk merah berselubung darah penuh amarah Sepasang mata melotot menatap ke satu arah di hadapan tiang-tiang langit yang terdiam membisu Mengecam tembok-tembok batu yang hadir tatkala itu Telinga hanya mendengar seribu kecaman panas dari serpihan ledakan mesiu perang dingin Mulut pun ikut mencibir mencaci maki, menampar wajah datar sang pena yang merasa tak pernah membuat coretan Tapi, bukan itu yang ingin ku beritahu padamu kawan Benih masa depan yang ku semai, tumbuh subur, Slalu ku siram, ku beri pupuk, dan tak lupa ku rawat dengan sepenuh hati Namun, ketika ia udah mulai memunculkan pentil-pentil buah keberhasilan, hampir habis terserang hama kemalasan, yang meggerek akar-akar keloyalitasan Tidak hanya itu kawan Lilin yang ku nyalakan semakin meredup termakan api kekecewaan , terendam air keputusasaan Kini nyalanya kian lenyap, menggoyah langkah tersalah arah Berusaha ku tutup dengan dengan tangan-tangan hangat menyengat Agar goresan merah yag tlah megalir di nadiku tak berhenti seiring cahaya raib laksana kilat Ahhhhhhhhhhhh....kau......... teriakku Hanya melepas setangkai kekesalan dari duri-duri kaktus hitam Yang menempel di pundak patung baja, yang tak kenal siapa dia Ya sudahlah Mungkin, harus ku akui bunga-bunga kian gugur , gagal mekar, karna kebodohanku Tapi harapku, mentari pagi bisa memabawa air suci, tuk menyiram kembali Agar bersemi di waktu petang sebagai penganti hari