Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata

spondylo yang berarti tulang belakang (vertebra) dan listhesis yang berarti
bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae (biasanya
kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada
pertemuan lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan
tetapi hal tersebut dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi.
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik,
isthmus, degeneratif, traumatik dan patologis. Banyak kasus dapat diterapi secara
konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan radikulopati, klaudikasio
neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan yang tidak berhasil dengan
penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran yanf progresif, pembedahan
dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan
dekompresi elemen saraf jika dibutuhkan.3

3.2

Epidemiologi
1

Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3 % wanita. Karena


gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan
nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai. Sering
penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan
dan ketegangan otot betis. Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan
bahwa terdapat

predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolistesis dengan

prevalensi sekitar 69 % pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan
ini juga berhubungan dengan meningkatnya insidensi spina bifida sacralis.3
Kira-kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di L5-S1. 11,3 % terjadi
di L4-L5. Kelainan kongenital seperti spina bifida occulta berkaitan dengan
munculnya isthmic spondilolistesis.3 Degenarative spondilolistesis terjadi lebih sering
seiring bertambahnya usia. Vertebra L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding
lokasi lainnya. Sakralisasi L5 sering terlihat pada degenerative spondilolistesis L4L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali lebih sering pada wanita dibanding pria, dan
sering pada usia lebih dari 40 tahun. Spondilolistesis kongenital (tipe displastik)
terjadi 2 kali lebih sering pada wanita dengan permulaan gejala muncul pada usia
remaja. Tipe ini biasanya terjadi sekitar 14-21 % dari semua kasus spondilolistesis.

3.3

Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital


tampak pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional
dan stres/ tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam
terjadinya pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis :4
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi
akibat kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan
permukaan L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5.4
b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang
bermakna

pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars

interartikularis tanpa adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan


spondilolisis. Jika satu vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra
yang lain, kelainan ini disebut dengan spondilolistesis.
Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :

Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress spondilolistesis
dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren yang disebabkan oleh
hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur pars interarticularis dan

paling sering terjadi pada laki-laki.


Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars interartikularis.
Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars interartikularis masih
tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur mengisinya dengan tulang
baru.
5

Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada bagian
pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam menegakkan
diagnosis kelainan ini.

c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat

degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi


tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang.
Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada

elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan


dengan fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang

sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya.

3.4

Patofisiologi
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami spondilolistesis. Pertama

sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktifitas fisik yang berat
seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala
dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada

pria. Meskipun beberapa anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami


spondilolistesis, sangat jarang anak-anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis.
Spondilolistesis sering terjadi pada anak usia 7-10 tahun.
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-hari
mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing
mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmic,
degenerative, traumatic dan patologik. Spondilolistesis displastik merupakan
kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi lumbosacral joints dengan
permukaan sendi yang kecil dan inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang
terjadi, akan tetapi cenderung berkembang secara progresif, dan sering berhubungan
dengan deficit neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior
dan prosessus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area
permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral. Spondilolistesis displastik
terjadi akibat defek arkus neural, seringnya pada sacrum bagian atas atau L5. Pada
tipe ini, 95 % kasus berhubungan dengan spina bifida occulta. Terjadi kompresi
serabut saraf pada foramen S1, meskipun peregserannya minimal. Spondilolistesis
isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis
isthmic (juga sering disebut spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang
paling sering dijumpai dengan angka prevalensi 5-7 %. Fredericson et al
menunjukkan bahwa defek spondilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun,

dan pergeseran tersebut sering lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang
berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan
antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus intervertebralis
pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan spondilolistesis isthmic
tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Secara kasar
90 % pergeseran isthmus merupakan pergeseran tingkat rendah (low grade : kurang
dari 50 % yang mengalami pergeseran) dan sekitar 10 % bersifat high grade (lebih
dari 50 % yang mengalami pergeseran). Sistem grading untuk spondilolistesis yang
umum dipakai adalah system grading meyerding untuk menilai beratnya pergeseran.
Kategori tersebut didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior korpus vertebra
superior hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan
dengannya pada foto rontgen lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan sebagai
panjang korpus vertebra superior total :
Grade 1 adalah 0-25 %
Grade 2 adalah 25-50 %
Grade 3 adalah 50-75 %
Grade 4 adalah 75-100 %
Spondiloptosis lebih dari 100 %

Faktor

biomekanik

sangat

penting

perannya

dalam

perkembangan

spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan postural


akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal
dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik
pada pars interartikularis dan kelemahan pars interartikularis pada pasien muda.
Terdapat hubungan antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan
timbulnya defek pada pars interartikularis.
Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit
diskus degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis.
Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian
tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena.
Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat
hipertrofi ligament atau permukaan sendi. Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus
neural yang terkena / mengalami fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra
yang tidak stabil. Spondilolistesis patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai
tulang, atau berasal dari metastasis atau

penyakit metabolic tulang, yang

menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling abnormal serta penipisan bagian


posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage). Kelainan ini dilaporkan
terjadi pada penyakit Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell Tumor dan metastasis
tumor.4

3.5

Gambaran Klinis
Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe

pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya
berupa low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong,
terutama selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat
pergeseran (slippage), meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang
terjadi. Tanda neurologis berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai
system sensoris, motoric dan perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf.
Progresifitas listesis pada individu dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan
berhubungan dengan gambaran klinis/fisik berupa :5

Terbatasnya pergerakan tulang belakang


Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
Hiperkifosis lumbosacral junction
Kesulitan berjalan
Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan


muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering
terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat
stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar
saraf L5 sering terkena dan menyebabkan kelemahan otot ekstensor halluces longus.
Penyebab gejala klaudikasio neurogenic selama pergerakan adalah bersifat
10

multifactorial. Nyeri berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan


duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal dengan menegangkan ligamentum flavum,
mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi
tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang timbul.5

3.6

Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan radiologis.
1.

Gambaran Klinis Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena
merupakan gejala khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan
aktivitas. Aktivitas membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan
dapat menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang
belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada
bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti
subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya baik dan masalah tulang
belakang umumnya tidak berhubungan dengan penyakir atau kondisi lainnya.

2.

Pemeriksaan Fisik Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang


terjadi bersifat ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk
postur. Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya

11

spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada


pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya
pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari
level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien dalam posisi telungkup
(prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat
diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada
tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai.
Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah
diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki
mereka keatas seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui pada posisi tersebut.
Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya
negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada
pasien dengan sindrom cauda equine yang berhubungan dengan lesi derajat
tinggi.

3.

Pemeriksaan

Radiologis

Foto

polos

vertebra

merupakan

modalitas

pemeriksaan awal dalam diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray


pada pasien dengan spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri.
Film posisi AP, Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi
lateral persendian lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis.
Posisi lateral pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi

12

fetal, membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis,


karena defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien
berada dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan
seperti bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis.
Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan
CT scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik dengan
foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan tulang
telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa penyembuhan yang
definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan abnormalitas pada
tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering digunakan karena
selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat mengidentifikasi jaringan
lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf ) lebih baik dibandingkan
dengan foto polos.

3.7

Penatalaksanaan
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative

dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien, tipe
subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah

13

menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi


vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis yang
ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu. Apabila muncul gejala yang
masih ringan, terapinya biasanya diberikan latihan agar tidak terjadi kekakuan
vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi vertebra. Namun, jika gejala yang
timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai mengganggu aktivitas pasien,
maka operasi menjadi pilihan terbaik.6
1.

Konservatif (Non operatif) Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest),


penyangga eksternal ke bagian vertebra yang terkena defek, terapi
medikamentosa dan fisioterapi. Penyangga eksternal biasanya menggunakan
brace.
a. Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan spondilolistesis
mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk meminimalisasi gejala yang
dialami serta mencegah terjadinya progresi dari subluksasi tersebut. Langkahlangkahnya adalah sebagai berikut :

Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan nyeri


Bed rest selama episode nyeri akut
Menjaga berat badan agar tidak overweight
Membatasi gerakan lumbar

b. Penyangga eksternal (bracing)

14

Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif. Tujuan


penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah terjadinya
progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam beberapa kasus brace
juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
c. Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses inflamasi dan
spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle relaxants
digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau steroid untuk
mengurangi proses inflamasi.
d. Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound,
stimulasi elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu mengurangi
spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa dilakukan untuk membantu
meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat bahwa latihan ini apabila dilakukan
pada fase akut dapat semakin merusak bagian yang sedang mengalami
inflamasi.
e. Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk menstimulasi
penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat meningkatkan sirkulasi ke
area yang mengalami kerusakan, dan membantu merilekskan otot sekitarnya.

15

Cara ini sangat mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis


yang telah menyebabkan iritasi pada jaringan disekitarnya.
f. Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan
merilekskan jaringan otot sekitar.
g. Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari terjadinya
injuri untuk mengurangi inflamasi dan menghilangkan nyeri.
h. TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu menghilangkan
nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri yang teradiasi.

Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien


muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip) yang
diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan beberapa tingkat
keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung
hebat dan menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin
memiliki penyakit degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran ringan (low
grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan

16

fisik dan gambaran radiografi. Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama
dan penyebab disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk
mempertimbangkan factor tingkah laku dan psikososial yang berperan dalam
timbulnya disabilitas pada pasien tersebut.
2.

Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk
dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil.
Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi
(facet joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Indikasi
intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah :

3.8

Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi

konservatif).
Klaudikasio neurogenik.
Pergeseran berat ( High grade slip >50 %).
Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas, progresifitas

listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.


Spondilolistesis traumatic.
Spondilolistesis iatrogenic.
Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

Komplikasi
17

Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan


pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang membutuhkan
penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi
komplikasi seperti nerve root injury (<1%), kebocoran LCS (2-10 %), kegagalan
melakukan fusi (5-25 %), infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1-5 %).
Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat fusi
ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk menderita spondilolistesis isthmic atau kongenital yang lebih progresif.
Radiografi serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk
mengetahui perkembangan pasien ini.6

3.9

Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan

akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan
vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang
sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi
pada 30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan
semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf, ha lini akan membutuhkan
dekompresi.6

18

Anda mungkin juga menyukai