Anda di halaman 1dari 4

Jawaban: Di dalam beberapa hadis telah disebutkan tentang perintah memelihara dan memanjangkan jenggot,

diantaranya sabda Nabi SAW:


. .
Berbedalah kalian dengan kaum musyrikin, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis. (HR. Bukhari Muslim)
Dengan dalil ini para ahli fikih berbeda pendapat, apakah hadis tersebut merupakan perintah wajib ataukah sunnah?
Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu hukumnya wajib, sedangkan ulama Syafiiyah berpendapat bahwa hukumnya
adalah sunnah. Banyak teks-teks ulama Syafiiyah yang menjelaskan tentang hukum ini. Diantaranya, perkataan Syaikhul
Islam, Zakariya Al-Anshari:
)( .
Makruh mencabut jenggot ketika baru tumbuh, demi terlihat tidak berjenggot (amrod) dan berpenampilan menawan.
(Asna al-Mathalib, 1/551).
Imam Al-Ramli mengomentari perkataan Syaikhul Islam tersebut dalam Hasyiyahnya terhadap kitab Asna al-Mathalib:

( : ) : . .
Perkataannya (makruh mencabut jenggot dst), demikian juga dengan mencukurnya. Perkataan al-Hulaimi Seseorang
tidak boleh mencukur jenggot dan alisnya adalah pendapat lemah. (Hasyiyah Asna al-Mathalib, 1/ 551).
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
( ) : .
Mereka (ulama) menyebut dalam persoalan jenggot dan semisalnya, beberapa perkara mahruh, di antaranya mencabut
dan mencukur jenggot, juga kedua alis. (Tuhfah al-Minhaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Pendapat tersebut dikuatkan oleh Imam Ibnu Qasim Al-Abbadi dalam Hasyiahnya terhadap Tuhfah al-Muhtaj, beliau
berkata:
) ( :.
Perkataannya (atau diharamkan, maka itu menyalahi pendapat yang mutamad), dalam Syarah al-Ubab, asy-Syaikhan
(Nawawi dan Rafii) mengatakan makruh mencukur jenggot. (Hasyiyah Tuhfah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, 9/ 375-376).
Al-Allamah Al-Bujairami dalam kitabnya al-Iqna berkata:
.
Sesungguhnya mencukur jenggot itu hukumnya makruh bagi laki-laki, dan bukan haram. (al-Iqna, 4/ 346).
Penyebutan kata laki-laki (ar-Rajul) dalam teks tersebut, bukan lawan dari perempuan, akan tetapi lawan dari anak kecil.
Karena konteksnya adalah makruh mencukur jenggot atau mencabutnya di awal tumbuhnya untuk anak kecil. Oleh
karena itu, al-Bujairami mengomentari bahwa awal tumbuhnya jenggot bukan merupakan landasan kemahruhannya,
namun hukum mahruh itu juga berlaku untuk pria dewasa.
Dan selain ulama Syafiiyah ada juga ulama yang berpendapat makruhnya mencukur jenggot, diantaranya adalah Imam
Qadhi Iyadh pengarang kitab Asy-Syifa, salah seorang ulama Malikiyah, dia berkata:
.
Makruh mencukur, memotong dan membakar jenggot. (Dinukil oleh al-Hafidz al-Iraqi dalam Tarh at-Tasyriib, 2/ 83,
dan asy-Syaukani dalam Nail al-Authar, 1/ 143).
Tampaknya, para ulama yang berpendapat wajibnya memanjangkan jenggot, dan haram mencukurnya, melihat ada alasan
lain di luar teks sabda Nabi SAW, yaitu mencukur jenggot itu merupakan aib, dan menyelisihi kebiasaan lelaki di zaman
mereka. Saat itu lelaki yang mencukur jenggotnya akan dicela dan menjadi bahan gunjingan di jalanan.
Dalam pembahasan tentang tazir (hukuman jerah), imam ar-Ramli berkata bahwa tazir tidak dikenakan sebab mencukur
jenggot.

( : . : ) .
Perkataannya: (Tidak boleh mencukur jenggot), guru kami berkata, karena mencukurnya itu merupakan bentuk dari
mutilasi, sehingga hal itu sangat tercela. Bahkan terkadang anak-anaknya pun terkena imbas celaan tersebut.
(Hasyiyah Asna Mathalib, 4/ 162).
Keterkaitan teks perintah dengan adat-istiadat merupakan sebuah qarinah (alasan) untuk mengalihkan sebuah perintah
yang asalnya bermakna wajib, ke makna sunah, dan jenggot merupakan adat-istiadat. Para ahli fikih menyatakan akan
kesunahan banyak hal yang terdapat teks jelas perintah dari Nabi SAW, karena berkaitan dengan sebuah adat. Contohnya
hadis:
. .
Ubahlah uban dan jangan sampai menyerupai musuh kalian dari kaum musyrikin. Benda terbaik untuk mengubah uban
kalian adalah tumbuhan inai (pacar) dan tumbuhan katam. (HR. Bukhari Muslim)
Bentuk perintah dalam hadis di atas tidak kalah tegas dari hadis memanjangkan jenggot. Akan tetapi ketika mengubah
warna uban itu tidak diingkari oleh masyarakat, baik dilakukan maupun tidak, maka ahli fikih berpendapat hukumnya
sunnah, dan tidak wajib.
Para ulama Islam senantiasa berpijak pada metodologi berpikir seperti itu. Oleh karenanya, mereka melarang keras
memakai topi dan berpakaian ala Eropa. Mereka berpendapat akan kekufuran orang yang memakai topi dan pakaian ala
Eropa. Itu bukan karena perbuatan tersebut merupakan bentuk asli dari sebuah kekufuran, namun karena di zaman itu
perbuatan tersebut menunjukkan akan kekufuran. Ketika berbusana ala Eropa sudah menjadi adat-istiadat, maka tidak ada
seorang pun ulama yang mengatakan pelakunya adalah kafir.
Sesungguhnya hukum memanjangkan jenggot di zaman salaf saleh seluruh penduduk bumi baik kafir maupun muslim
memanjangkannya, karena tidak ada alasan untuk mencukurnyamerupakan masalah yang diperselisihkan oleh para
ulama (baca: masalah khilafiyah). Jumhur ulama menyatakan wajib memanjangkannya, sedangkan ulama Syafiiyah
memandangnya sebagai sebuah sunnah dan orang yang mencukurnya tidak berdosa.
Oleh karena itu, kami berpendapat harus mengamalkan pendapat Syafiiyah di era sekarang ini, karena adat-istiadat telah
berubah. Mencukur jenggot hukumnya makruh dan memanjangkannya adalah sunnah, seorang muslim yang
melakukannya akan mendapatkan pahala. Dalam memanjangkan jenggot harus memperhatikan kebagusan tampilan, dan
senantaisa merapikannya, sehingga sesuai dengan wajah orang yang bersangkutan. Wallahu ala wa alam.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah, seorang ulama besar dan faqih di Saudi Arabia pernah
ditanyakan, Apakah termasuk dalam dua ayat yang disebutkan sebelumnya (yaitu surat At Taubah ayat 65-66, pen)
bagi orang-orang yang mengejek dan mengolok-olok orang yang memelihara jenggot dan yang komitmen dengan agama
ini?
Beliau rahimahullah menjawab, Mereka yang mengejek orang yang komitmen dengan agama Allah dan yang
menunaikan perintah-Nya, jika mereka mengejek ajaran agama yang mereka laksanakan, maka ini termasuk mengolokolok mereka dan mengolok-olok syariat (ajaran) Islam. Dan mengolok-olok syariat ini termasuk kekafiran.
Adapun jika mereka mengolok-olok orangnya secara langsung (tanpa melihat pada ajaran agama yang dilakukannya
baik itu pakaian atau jenggot), maka semacam ini tidaklah kafir. Karena seseorang bisa saja mengolok-olok orang
tersebut atau perbuatannya. Namun setiap orang seharusnya berhati-hati, jangan sampai dia mengolok-olok para
ulama atau orang-orang yang komitmen dengan Kitabullah dan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal. 120)

Menyemir rambut hitam dengan warna kuning atau merah bila bermaksud menyerupai ahli
bid'ah, maka hukumnya harom.
Adapun hukum menyemir uban dengan warna kuning atau merah itu pada asalnya sunnat,
namun karena terjadi tasyabbuh bi ahlil bid'ah, maka hukumnya khilaf yaitu ada tiga pendapat :
Menurut Imam Izzuddin hukumnya tetap sunnat
Menurut Imam Ghozali hukumnya harom
Menurut Syeikh Isma'il Haqi al Hanafi hukumnya harom apabila bermaksud tasyabbuh.


12 - 11
:
:
:
,
:

,
,
.
) 45 (
(
) (13 : )
:

,
,
.
7 ) 592 - 591 (
) (
) ( .....
)
( :
:
:
,
.........
.
5 436
: - -
,









1 ) 387
(
) (
, ,
, , ,

} { .
; ,
, :
,
, , : .
4 ) 39 (
) ( ,
) (
,
.
,
.

Anda mungkin juga menyukai