Anda di halaman 1dari 11

KELOMPOK 4

Proses penyerahan
kedaulatan dari
Belanda ke RIS

Muhammad.
Achyar
Azizah Aliyani
Ahmad
Kurmila Puji
Astuti
Reski Wahyuni

Delegasi resmi RI untuk mendapatkan pengakuan


dunia sejak proklamasi Kemerdekaan diketuai oleh
H.A. Salim, Wakil Menteri Luar Negeri. Kunjungan
ini menghasilkan perjanjian persahabatan RI dan
Mesir (Juni, 1947). Bagi RI perjanjian ini adalah
suatu dukungan moral yang tinggi, karena dengan
perjanjian ini kehadiran RI diakui secara resmi
dalam pergaulan internasional. Mesir akan selalu
dikenang sebagai negara yang pertama kali
mengakui kedaulatan RI. Setelah itu menyusul
perjanjian persahabatan dengan Suriah (3 Juli 1947)
dan Lebanon (9 Juli 1947) serta Irak. Negara-negara
Arab, India, Burma, Australia juga merupakan
negara-negara yang paling awal bersimpati pada RI.
Dengan berbagai usaha diplomatik dan kerjasama
internasional mereka membela perjuangan
kemerdekaan Indonesia.

Dukungan mereka dan keterampilan delegasi Indonesia


memperjuangkan hak kedaulatan bangsa berhasil menyudutkan
Belanda dalam percaturan politik internasional. India dan
Australia berhasil membawa masalah Indonesia ke Sidang Dewan
Keamanan PBB. Belanda bukan saja gagal total menjadikan
perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai "masalah dalam
negeri", tetapi juga harus menerima perantara internasional
untuk menyelesaikan konflik dua bangsa. Pada tanggal 1 Agustus
1947, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang
menuntut semua pihak yang bertikai untuk menghentikan tembakmenembak. Pada pukul 00:00 kedua belah pihak mengeluarkan
perintah "penghentian tembak ". Perdebatan tentang Indonesia di
Dewan Keamanan memberi tempat kepada Indonesia tampil di
forum PBB untuk memperjuangkan nasibnya. Berbagai usaha
Belanda dan sekutunya (terutama Belgia) untuk menghalangi
delegasi Indonesia gagal. Usaha mereka untuk mengikutsertakan

Mengikutsertakan wakil Kalimantan dan Negara Indonesia Timur juga


gagal. Pada tanggal 25 Agustus Dewan Keamanan menerima dua
resolusi, yang masing-masing diajukan oleh Cina dan Amerika Serikat.
Resolusi pertama mengharuskan setiap konsulat negara asing yang
berada di "Batavia" untuk melaporkan situasi di Indonesia, sedangkan
resolusi kedua memutuskan agar Dewan Keamanan menawarkan "jasajasa baiknya kepada kedua belah pihak". Berdasarkan resolusi ini
Dewan Keamanan membentuk "komisi jasa baik" (good offices
commission), yang terdiri atas tiga negara (Belgia, Australia dan
Amerika Serikat). Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas
Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 29 Agustus atau 4 hari setelah
terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis demarkasi baru yang
dikenal sebagai "Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari
dengan argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai wilayah
kekuasaan Belanda adalah yang berada di belakang pos-pos terdepan
pasukan KNIL/KL. Padahal di belakang pos-pos yang merupakan
benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI
lainnya cukup leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook"
ditolak mentah-mentah oleh RI.

Pada tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang


terdiri atas wakil Belgia (Paul van Zeeland), Australia (Richard
Kirby) dan Amerika Serikat (Prof. Graham) mendarat di
Jakarta. Konflik dengan Belanda selanjutnya dibawah
pengawasan internasional.
Untuk menengahi persengketaan tersebut KTN mengajak
kedua belah pihak untuk berunding di "wilayah netral" yakni
di kapal perang milik Amerika Serikat US Renville yang
sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Hasil perundingan tidak
jauh dari hal-hal yang telah disetujui dalam Persetujuan
Linggar Jati, kecuali dua hal yang penting, Pertama, "negara
boneka" Belanda telah bertambah jumlahnya mencakup
wilayah Sumatra, Jawa dan Madura, dan tidak akan berusaha
untuk memperluas lebih dari yang secara de fakto diakui
Belanda. Kedua, "Garis Van Mook" diterima sebagai garis
demarkasi, sehingga kantong-kantong TNI yang berada di
belakang "garis" tersebut harus dikosongkan. Dari hasil ini
tampak bahwa Amir Syarifuddin telah memberikan konsesi
yang lebih besar dari Syahrir yang telah dijatuhkannya.
Akibatnya, partai pendukungnya juga meninggalkannya. Pada
tanggal 23 Januari 1948, Kabinet Amir Syarifuddin

Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal


Desember 1948 meulai menemui jalan buntu. Pada tanggal 11
Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa tidak
mungkinlagi dicapai persetujuan antara kedua belah pihak.
Empat hari kemudian Wakil Presiden Mohammad Hatta minta
KTN untuk mengatur perundingan dengan Belanda, tetapi
Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul
23:00 malam, bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan
Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau tanggal 19
Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di
lapangan terbang Maguwo, yang dikenal dengan istilah Aksi
Militer Belanda II (2nd Dutch Military Action). Reaksi
internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada
tanggal 19 Desember 1948 sangat keras. Negara-negara Asia,
Timur Tengah dan Australia mengutuk serangan itu dan
memboikot Belanda dengan cara menutu lapangan terbang
mereka bagi pesawat Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal
22 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB memerintahkan
penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda dan
Republik. Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia
mengenai Indonesia diadakan di New Delhi pada tanggal 20

Pada tanggal 24 Januari 1948, Konferensi Asia di New


Delhi mengirimkan resolusi kepada Dewan Keamanan
PBB, yang antara lain menuntut dipulihkannya Pemerintah
Republik ke Yogyakarta; dibentuknya Pemerintahan
Interim; ditariknya tentara Belanda dari seluruh
Indonesia; dan diserahkannya kedaulatan kepada
Pemerintah Indonesia Serikat, pada tanggal 1 Januari
1950.
Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia,
pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua belah
pihak menghentikan permusuhan, dipulihkannya
pemerintah pusat Republik Indonesia ke Yogyakarta;
dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya
kedaulatan kepada Indonesia pada waktu yang disepakati.
tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan
Keamanan PBB agar membantu kedua belah pihak untuk
melakukan perundingan berdasarkan resolusi tanggal 28
Januari 1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian
delegasi Republik yang dipimpin Mr. Mohammad Roem
bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen di

Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.


Perundingan berjalan alot, sehingga memerlukan
kehadiran Mohammad Hatta dari Bangka dan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta.
Setelah hampir tiga minggu berunding, maka pada
tanggal 7 Mei 1949 kedua delegasi sepakat untuk
mengeluarkan pernyataan masing-masing pihak, yang
kemudian dikenal sebagai Pernyataan Roem-Royen
(Roem-Royen Statement). Masalah terpenting dari
penyataan itu adalah kesediaan Belanda untuk
mengembalikan Pemerintah Republik ke Yogyakarta.
Tanggal 4 Agustus 1949 Presiden Soekarno mengangkat
delegasi Republik Indonesia untuk Konferensi Meja
Bundar yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Delegasi
BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak, dan
Delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. J.H. van
Maarseveen.

Konferensi yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus 1949


hingga 2 November 1949 ini diikuti pula oleh UNCI.
Pada hakekatnya KMB menghasilkan tiga isu utama
persetujuan, yakni:
Piagam Penyerahan Kedaulatan
Piagam Uni-Nederland dengan lampiran persetujuan
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia
Serikat
Persetujuan Peralihan/Perpindahan yang memuat
peraturan-peraturan yang bertalian dengan penyerahan
kedaulatan
Hal lengkap KMB disampaikan Perdana Menteri
Mohammad Hatta pada Sidang Pleno KNIP tanggal 6
hingga 15 Desember 1949. KNIP menerima hasil KMB
dengan 226 setuju, 62 tidak setuju, dan 31 suara blangko.
PErsetujuan KNIP itu diberikan dalam dua bentuk, yakni
sebuah maklumat dan dua buah undang-undang. Maklumat
KNIP diumumkan Presiden RI pada tanggal 14 Desember
1949, berisi tentang negara Repbulik Indonesia Serikat
memegang kedaulatan atas seluruh wilayah; dan bahwa alat

Persetujuan KNIP atas hasil KMB melancarkan jalan bagi


terbentuknya Republik Indonesia Serikat, sebagaimana
diharuskan oleh KMB. Pada tanggal 14 Desember 1949
delegasi RI dan delegasi negara-negara bagian, yang tergabung
dalam BFO menandatangani Piagam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat. Dengan piagam ini resmilah pula negaranegara tersebut menjadi bagian dari Republik Indonesia
Serikat.
Pada tanggal 15 Desember 1949, Dewan Pemilih Presiden RIS
dibentuk. Dewan ini diketuai oleh Mr. Mohammad Roem. Pada
tanggal 16 Desember dewan ini memilih calon tunggal Ir.
Soekarno sebagai Presiden RIS. Pelantikan dilaksanakan di Siti
Hinggil, Kraton Kesultanan Yogyakarta para tanggal 17
Desember 1949. Selanjutnya Presiden Soekarno secara resmi
menunjuk Drs. Mohammad Hatta sebagai formatur kabinet.
Pada tanggal 20 Desember Kabinet RIS yang dipimpin oleh
Perdana Menteri Mohammad Hatta dilantik. Karena Presiden
RI, Soekarno dan WAkil PResiden, Mohammad Hatta
menduduki jabatan barunya dalam RIS, maka untuk
melaksanakan fungsinya di Negara Republik Indonesia,
ditunjuk Mr. Assaat sebagai pejabat (Acting) Presiden RI yang

Dengan telah selesainya pembentukan RIS dan kabinetnya,


maka "penyerahan kedaulatan" dari tangan Belanda kepada
RIS sebagaimana diatur dalam KMB dapat dilaksanakan.
Pemerintah RIS menunjuk Perdana Menteri Mohammad
Hatta untuk memimpin delegasi RI ke negeri Belanda untuk
menerima naskah penyerahan kedaulatan langsung dari
Ratu Yuliana. Sedangkan di Jakarta wakil RIS, Sei Sultan
Hamengkubuwono IX menerimanya dari Wakil Mahkota
Belanda A.H.J Lovink. Upacara dilaksanakan di dua tempat
secara bersamaaan pada tanggal 27 Desember 1949.

Anda mungkin juga menyukai