Pewarisan Adat Melalui Pendidikan
Pewarisan Adat Melalui Pendidikan
Pendidikan Informal
Oleh Drs. Yulsafli, M.A
Anggota Pengurus MAA Provinsi Aceh
dan Dosen Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
dilanggar, orang tersebut dianggap tidak punya adat dan si empunya rumah
dan si tamu akan mendapat sanksi sosial.
Ada pula norma yang disebut folkways (norma kebiasaan), yaitu
perbuatan yang dilakukan berulang-ualang dalam bentuk yang sama.
Misalnya kenduri pesta (dalam bahasa Aceh disebut meukeurija). Setiap
orang Aceh yang mempunyai status sosial yang tinggi selalu menyelenggara
pesta dalam bentuk yang besar dengan mengudang rubuan sanak-saudara
dan krabat-krabat dekatnya. Secara ada, orang Aceh harus membantu
penyelenggaraan kenduri pesta itu mulai dari awal sampai persta selesai.
Karena secara adat pula, bila kenduri pesta itu tidak terlaksana sebagaimana
yang direncanakan, maka yang harus menanggung malu bukan hanya tuan
rumah yang menyelenggarakan pesta tersebut, tapi semua masyarakat di
kampong itu akan ikut malu, bila kenduri pesta itu tidak berlangsung sesuai
yang direncanakan.
Seperti yang telah disebutkan pada awal tulisan ini, bahwa adatkebudayaan harus diwariskan dari generasi ke generasi agar dia tidak
hilang. Pewarisan itu tentulah melalui pendidikan, baik pendidikan
informal, pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal. Sebagaimana
kita ketahui bahwa belajar itu berlangsung seumur hidup, dari ayunan
sampai ke liang lahat. Dengan demikian, pendidikan itu berawal secara
informal, yaitu di lingkungan rumah tangga.
Rumah tangga merupakan institusi pendidikan yang sangat penting.
Di sinilah anak mulai di bentuk. Dalam konsep Islam disebutkan bahwa
anak bagaiklan kertas putih. Orang tuanyalah yana meyahudikan atau
menasranikannya. Dalam konsep Barat disebutkan bahwa anak bagaikan
tabularasa atau botol yang kosong. Lingkungannyalah yang akan mengisi
botol tersebut, yaitu lungkungan rumah tangga (informal), lingkungan
sekolah (formal), dan lingkungan masyarakat (non-formal).
Dalam masyarakat Aceh bentuk pendidikan informal mulai
terabaikan. Malah, sebagian generasi kini tidak lagi mengetahui instrumeninstrumen untuk mendidik karena instrument tersebut tidak terwarisi dari
generasi sebelumnya. Padahal instrumen itu sangat penting kerena dengan
instrumen itulah adat-kebudayaan dapat diwariskan. Dengan demikian,
anak-anak usia pra-sekolah hampir tidak lagi memperoleh pendidikan
seperti apa yang dimaksudkan dalam konsep pendidikan Islam maupun
konsep pendidikan Barat.
Melalui pendidikan informal, adat dan kebudayan Aceh dapat
diwariskan dengan rateb (lagu untuk menidurkan anak). Untaian-untaian
kata dalam rateb tidak hanya memenuhi rasa estetik anak, tetapi juga