Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Oleh
Nana Danapriatna*
Abstract
Sulfur is a secondary plant nutrients to make the amino acids cystine, cysteine and
methionine and is part of biotin, thiamine, co-enzyme A and glutationin in plants. Sulfur also
functions as an activator, cofactor or regulator of enzymes and plays a role in plant
physiological processes and the formation of chlorophyll. Plants take the sulfur in the form
of SO4-2 anion derived from organic matter, soil minerals and fertilizer. The use of high
analysis fertilizer resulted in the emergence of sulfur deficiency symptoms in various
agricultural areas. Therefore, the provision of fertilizer sulfur or sulfur fertilizer carrier
needs to be done to correct it.
Keyword : Sulfur, Sulfur fertilizer, plant nutrients
I. Pendahuluan
Pertumbuhan tanaman yang baik memerlukan 16 jenis unsur hara esensial, yaitu N, P,
K, S, Ca, Mg, Cl, Fe, Mn, Cu, B, Mo, Zn, dari dalam tanah dan C, H, O dari udara (Tisdale,
et.al., 1985; Goeswono Soepardi, 1983). Keenambelas jenis hara tersebut mutlak diperlukan
oleh tanaman dalam pertumbuhannya. Proporsi kebutuhan hara tanaman untuk tumbuh secara
optimum ada yang dibutuhkan dalam jumlah banyak (makro) dan ada yang dibutuhkan dalam
jumlah sedikit (mikro).
Sulfur (S) bersama dengan kalsium dan magnesium merupakan hara tanaman
sekunder. Hal ini berarti S dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak tetapi lebih sedikit dari
unsur Nitrogen (N), Phosphosr ( P), dan kalium (K). Menurut Goeswono Soepardi (1983) S
merupakan penyusun asam amino metionin dan sistein. Struktur protein dalam tanaman
sebagian besar ditentukan oleh gugusan S. Unsur ini juga dikenal sebagai hara penting yang
diperlukan untuk produksi khlorofil.
Pada umumnya S yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal tanaman bervariasi
antara 0.1 sampai 0.5% dari bobot kering tanaman (Marschner, 1995). Tanaman mengambil S
berhubungan erat dengan serapan P dan juga berhubungan dengan serapan N (Gambar 1.).
153
Serapan S oleh sebagian besar tanaman berkisar antara 10 sampai dengan 15 % dari serapan
N. Pada tanaman sereal serapan S berkisar antara 60 sampai dengan 75 % serapan P (Prasad
dan Power, 1997). Dengan demikian apabila tanaman kekurangan Nitrogen atau Fosfor maka
kemungkinan besar akan terjadi pula kekurangan S atau sebaliknya.
Sulfur adalah salah satu hara esensial tanaman seperti nitrogen, fosfor, dan kalium
yang berkontribusi dalam meningkatkan hasil tanaman melalui tiga cara berbeda yaitu :
1. Memberikan hara secara langsung
2. Memberikan hara secara tidak langsung sebagai bahan tambahan/perbaikan tanah
terutama untuk tanah alkalis.
3. Meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara tanaman esensial lainnya terutama
nitrogen dan fosfor.
Gambar 1. Hubungan Serapan S dengan Serapan N dan P oleh Tanaman (Prasad dan Power, 1997)
Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan laporan penelitian dari seluruh bagian
dunia, terutama dari daerah tropis dan sub tropis, mengenai kekurangan sulfur pada tanaman
dan respon tanaman terhadap sulfur (Pasricha dan Fox, 1993). Begitu pula dengan Indonesia,
mulai banyak dilakukan penelitian mengenai kekurangan dan hubungan antara sulfur dengan
berbagai tanaman, terutama pada tanaman padi.
154
Gejala kekurangan sulfur pada pada padi sawah di Indonesia pertama kali dilaporkan
oleh Leijder dan Al-djabri (1972) pada tanah vertisol dari Ngale Jawa Timur. Adiningsih et
al. (1973) dan Widjaja Adhi (1975) juga melaporkan adanya kekurangan sulfur pada tanahtanah sawah di Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Hasil Survey Purnomo et.al. (1989) dan
Fagi et.al. (1994) menunjukan bahwa pada tanah-tanah sawah di Pulau Jawa dan Madura
mengalami kekurangan sulfur diperkirakan sekitar 2.052.650 ha dari total sawah 3.509.923
ha. Sedangakan sawah di Jawa Tengah yang mengalami kekurangan S sekitar 830.963 ha
dan di Jawa Barat sekitar 217.094 ha. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara S dapat
menjadi faktor pembatas yang perlu diperhatikan dalam budidaya padi sawah.
Peningkatan kasus kekurangan unsure S pada areal pertanian di seluruh dunia
disebabkan hal sebagai berikut :
1. Semakin banyak sulfur yang diangkut dari tanah sebagai hasil dari meningatnya produksi
pertanian
Tulisan ini
mencoba membahas hal yang berkaitan dengan peranan sulfur bagi pertumbuhan tanaman
berdasarkan berbagai bahan referensi.
II. Sulfur di dalam Tanah
Total S dalam tanah bervariasi mulai dari sangat sedikit sampai dengan 1000 mg S kg1
tanah (0.1%), nilai yang lebih tinggi dapat ditemui pada tanah-tanah bermasalah seperti
tanah salin dan tanah sulfat masam (Takkar, 1988; Genesmurthy et. al., 1989). Sulfur dalam
tanah terdapat dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk S anorganik penting ada dalam
155
tanah sebab sebagian besar sulfur diambil oleh tanaman dalam bentuk SO42- (sulfat), begitu
juga bentuk S organik juga penting ada dalam tanah karena dapat meningkatkan total S tanah
(Prasad dan Power, 1997). Sebagian besar bentuk sulfur di dalam tanah adalah S organik
(Stevenson, 1982). Hampir semua sulfur dalam tanah tropis yang tidak dipupuk terdapat
dalam bentuk organik. Kadar S dalam tanah bervariasi dan dipengaruhi oleh penambahan
sulfur dari bahan organik, air irigasi, udara, pupuk dan pestisida.
Sulfur diserap oleh tanaman dalam bentuk sulfat (SO42-) dan hanya sebagian kecil
sulfur dalam bentuk gas SO2 yang diserap langsung oleh tanaman dari tanah dan atmosfer.
Bentuk S tersebut merupakan S anorganik yang bersifat aktif di dalam tanah. Sulfur
anorganik dihasilkan dari dekomposisi senyawa organik yang mengandung S dan dari pupuk
pembawa S (Engelstad, 1997). Bentuk sulfur anorganik yaitu SO42- terlarut, SO42- terjerap,
SO42- tak larut dan S anorganik tereduksi. SO42- terlarut dan terjerap merupakan fraksi sulfur
yang dapat tersedia bagi tanaman (Tisdale et.al, 1985).
Kandungan sulfat terlarut dalam tanah menurut Prasad dan Power (1997) bervarasi
tergantung dari beberapa faktor yaitu :
1. Temperatur : menentukan kecepatan mineralisasi bahan organik tanah.
2. Curah hujan : Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan pencucian unsur S
3. Asosiasi dengan kation : kehilangan akibat pencucian akan meningkat ketika kation
monovalen seperti Na dan K banyak dalam tanah dan berasosiasi dengan sulfat.
4. Kadar air tanah : Air tanah berpengaruh terhadap kandungan sulfat dalam larutan tanah
dengan dua cara yaitu (a) konsentrasi sulfat dalam larutan tanah menurun dengan
meningkatnya kadar air tanah (pengaruh pengenceran) dan (b) saat pengeringan tanah
karena evapotranspirasi yang tinggi akan terjadi pergerakan sulfat dari lapisan bawah ke
lapisan atas melalui kapiler dan menyebabkan peningkatan konsentrasi sulfat pada larutan
tanah lapisan atas.
5. Aplikasi pupuk yang mengandung S : Pemupukan akan meningkatkan kandungan S pada
larutan tanah.
Sulfur dalam bentuk SO42- dapat terjerap pada mineral liat, hidroksida dan oksida dari
besi dan alumunium, dan bahan organik tanah. Mineral liat silikat tipe 1:1 seperti kaolinit
156
menjerap sulfat lebih besar dari pada mineral liat silikat tipe 2:1. Sulfat terjerap merupakan
fraksi penting dari total S yang menyokong tanaman pada tanah oxisol dan ultisol.
Di daerah tropika basah seperti Indonesia sulfat mudah hilang dari tanah melalui
berbagai cara, yaitu terangkut oleh tanaman dan organisme tanah, tererosi, dan tercuci.
Pengelolaan tanah dan tanaman menentukan keberadaan sulfat karena erosi. Tekstur yang
kasar mempercepat kehilangan sulfat. Pencucian sulfat dari lapisan bagian atas tanah dapat
merupakan penyebab terjadinya kekurangan S dibagian tersebut. Jerapan sulfat dipengaruhi
oleh sejumlah sifat tanah, antara lain: jumlah (kadar) dan tipe mineral liat, hidroksida, horison
atau ke dalaman tanah, pH, konsentrasi sulfat, waktu kehadiran anion lain dan bahan organik
(Tisdale et al. 1985). Nisbah C:N:S dalam bahan organik adalah sekitar 125 : 10 : 1.2. Dalam
keadaan aerobik bakteri yang sama dapat mengoksidasi S menjadi H2S04. Unsur S dapat pula
dioksidasi oleh bakteri Khemotropik dari genus Tiobacillus (Mengel dan Kirkby, 1987).
Bagan siklus sulfur dapat dilihat pada Gambar 2.
organik, total sulfur organik, dan mineralisasi S. Tanaman mendapatkan sulfat tersedia selain
dari tanah dan pupuk yang membawa S juga mendapatkan sulfur dari air pengairan, air hujan,
dan udara.
Oleh karena itu untuk menduga kebutuhan sulfur tanaman dalam rangka
Secara umum jumlah S yang termineralisasi dari tanah secara tidak langsung
berhubungan dengan tipe tanah, C, N atau S, C:N, N:S, C:S rasio, pH tanah, atau N yang
termineralisasi. Rasio C:S menunjukkan ukuran kemudahan bahan organik melepaskan sulfat
ke dalam tanah. Freney (1986) mengemukakan bahwa SO42+ dilepaskan dari bahan organik
pada saat C:S rasio dibawah 200 dan diimobilisasi saat rasio lebih besar dari 400.
Immobilisasi dan mineralisasi terjadi keduanya pada saat rasio antara 200 dan 400. Oleh
karena itu, pupuk organik yang akan diberikan harus telah dikomposkan terlebih dahulu
sehingga nilai rasio C:S nya dibawah 200.
beberapa reaksi metabolisme seperti karbohidrat, lemak dan protein. Sulfur juga dapat
merangsang pembentukan akar dan buah serta dapat mengurangi serangan penyakit (Tisdale
et al. 1985 ).
Tanaman membutuhkan sulfur dalam jumlah yang hampir sama dengan fosfor. Oleh
karena itu, untuk menunjang pertumbuhan tanaman yang optimal diperlukan ketersediaan
sulfur yang cukup tinggi di dalam tanah. Selanjutnya diungkapkan pula bahwa sulfur
merupakan penyusun protein dan diduga erat berhubungan dengan reduksi nitrat, sehingga
tanaman yang kekurangan sulfur ditandai dengan adanya akumulasi nitrat (Trudinger, 1986).
Sulfur banyak diserap oleh tanaman padi selama masa pertumbuhan dan mencapai
maksimum pada fase pembungaan. Pada fase ini, sulfur terakumulasi di daun, sebagian besar
di daun muda. Kadar S-total di daun dan batang padi tinggi pada awal pertumbuhan. Setelah
stadia itu, sulfur disimpan dalam daun dan tangkai, kemudian ditranslokasikan ke gabah (Fox
dan Blair, 1986). Oleh karena itu, sulfur harus tersedia pada awal pertumbuhan sampai
sekurang-kurangnya pada fase anakan aktif untuk memperoleh hasil yang optimal.
Kekurangan sulfur akan menghambat sintesis protein, akibatnya terjadi akumulasi
asam-asam amino yang tidak mengandung S di dalam tanaman. Oleh karena itu, jaringan
tanaman yang kekurangan sulfur mempunyai nisbah N-organik/S-organik yang lebih tinggi
(70/1 80/1) dari pada jaringan tanaman normal. Nisbah ini dapat dijadikan petunjuk apakah
suatu tanaman mendapat suplai S yang cukup atau tidak (Schnug dan Silvia, 2000).
160
Gambar
3.
Penurunan kandungan klorofil secara drastis pada daun merupakan gejala khas pada
tanaman yang mengalami kekurangan sulfur (Maschner, 1995). Kekurangan Sulfur dapat
didiagnosis dari gejala visual tanaman, analisis tanaman dan tanah, dan respon tanaman
terhadap pemberian sulfur. Gejala ini terlihat dari warna kuning pada daun muda diikuti oleh
daun yang lebih tua, terhambatnya pertumbuhan, dan menekan jumlah produksi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Setiap jenis tanaman berbeda-beda dalam menunjukkan gejala kekurangan sulfur.
Taraf kecukupan dan kekurangan sulfur dalam bagian tanaman yang berbeda untuk beberapa
jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 1.
Aplikasi sulfur dapat memberi dampak yang positif pada hasil panen padi seperti yang
ditunjukkan dari hasil penelitian Ismunadji (1982). Pemberian sulfur meningkatkan hasil
panen, butir padi per malai, berat butir padi, dan mengurangi persentase butir padi hampa.
Tuherkih et.al. (1998), melaporkan bahwa pemberian pupuk S 30 kg/ha dapat meningkatkan
tinggi tanaman dan hasil hijauan segar dan dapat meningkatkan kadar N, K, dan S serta
161
protein kasar, serat kasar, dan abu pada tanaman. Hasil penelitian Mustofa dan Abd El-Kader
(2006) pada tanaman pisang memperlihatkan bahwa pemberian pupuk sulfur dapat
meningkatkan hasil buah dan kualitas buah pisang.
Tebel 1. Taraf Kecukupan dan Kekurangan Sulfur dalam Beberapa Tanaman (Prasad dan
Power, 1997)
Tanaman
Kekahatan
Kecukupan
1,5 2,3
2,3
Barley
1,2
1,4
Gandum
1,2
1,4
Kedelai
1,4
2,2 2,8
Tembakau
Daun
1,2 1,8
1,5 2,6
Kembang kol
Bagian atas
1,8
1,9
Lobak sawi
Bagian atas
Kacang tanah
Seluruh tanaman
162
Sulfur telah diaplikasikan sejak dahulu dalam bentuk amonium sulfat, super fosfat,
dan kalium sulfat. Namun demikian sejalan dengan peningkatan penggunaan pupuk analisis
tinggi seperti urea, DAP, dan amonium polyphosphate (APP), aplikasi sulfur secara perlahan
semakin berkurang. Oleh karena itu, perlu adanya penambahan sulfur dalam bentuk unsur S,
gipsum atau pirit, serta pupuk organik tergantung ketersediaan bahan dan kebutuhan dari
tanaman dan tanah. Untuk tanaman padi sulfur dapat diaplikasikan ke dalam tanah dalam
bentuk pupuk anorganik, seperti ZA, Amonium fosfat sulfat, Alumunium sulfat, dan pupuk
SCU (sulfat coated urea).
Cara lain untuk menanggulangi kekurangan sulfur pada pertanaman padi sawah yaitu
dengan cara diberikan dalam bentuk tepung belerang sebanyak 24 48 kg/ha yang
diaplikasikan bersama-sama dengan pupuk urea dan SP 36 sebagai pupuk dasar sesuai
dengan rekomendasi setempat.
Tabel 2. Klasifikasi Tentatif dari Tanaman Berdasarkan Kebutuhan Pupuk Sulfur (Spencer, 1975)
Tanaman
Grup I (Tinggi)
Alfalfa
30 70
Lobak
20 60
Grup II (Moderat)
Kelapa
50
Tebu
20 - 40
Cengkeh
10 40
Kopi
20 40
Kapas
10 30
163
15 25
Sereal hijauan
10 20
Sereal biji-bijian
5 20
Kacang tanah
5 10
V. Penutup
Sulfur merupakan unsur hara esensial yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah
cukup banyak (makro sekunder). Tanaman mengambil sulfur dari tanah dalam bentuk sulfat
(SO42-) dan sebagian kecil dari udara dalam bentuk SO2. Bentuk sulfur dalam tanah terdapat
dalam bentuk anorganik dan organik. Sebagian besar sulfur dalam tanah berada dalam
bentuk organik.
Sulfur dibutuhkan tanaman dalam pembentukan asam-asam amino sistin, sistein dan
metionin. Sulfur juga merupakan bagian dari biotin, tiamin, ko-enzim A dan glutationin
dalam tanaman. Sulfur juga berfungsi sebagai aktivator, kofaktor atau regulator enzim dan
berperan dalam proses fisiologi tanaman dan pembentukan klorofil.
Penggunaan pupuk analisis tinggi berdampak terhadap munculnya gejala kekurangan
sulfur pada berbagai areal pertanian. Oleh karena itu, pemberian pupuk sulfur ataupun pupuk
pembawa sulfur perlu dilakukan untuk mengkoreksi hal tersebut.
Daftar Pustaka
Adiningsih, J.S,, T. Prihatini and S. Mursidi. 1973. Nutrient evaluation on South Suawesi
soils. Publication No. 16/1973. The Soil Research Institute. (In Indonesia)
Anonim. 2007. Sulfur Cycle. http://filebox.vt.edu/users/chagedor/biol_4684/Cycles/ sulf.JPG.
Diakses tanggal 10 Pebruari 2007.
Anonim.2007. Sulfur deficient Maize (Corn). http://www.enst.umd.edu/files/PicsWeil/
SulfurCornRRW.jpg. Diakses tanggal 10 Pebruari 2007
164
London
Mengel, K. and E.A. Kirkby. 1987. Principles of Plant Nutrition. 4th ed. International
Potash Institute. Worblaufen-Bern, Switzerland.
Mustofa, E.A.M and A.A. Abd El-Kader. 2006. Sulfur fertilization on growth yield and fruit
quality of grand nain banana cultivar. J.Appl.Sci.Res., 2(8) : 470 476.
Pasricha, N.S. and R.L. Fox. 1993. Plant nutrient sulfur in tropics and subtropics. Adv.
Agron. 50 : 209-269.
165
Prasad, R. and J.F Power. 1997. Soil Fertility Management For Sustainable Agriculture.
CRCLewis Publishers. Boca Raton New York.
Purnomo, J, .D. Santoso, dan Moersidi. 1989. Status belerang tanah-tanah sawah Pulau Jawa.
Pros. Pen. Tanah 8 : 89 100.
Schnug, E. and H. Silvia. 2000. Significance of interactions between sulfur and nitrogen
supply for growth and quality of crop plant. Sulfur Nutrition and Sulfur Assimilation
in
Higher
Plants.
pp.
345
347.
www.dekker.com/servlet/product/DOI/101081EESS120001619/object/refences.html.
Diakses : 25 Meret 2005.
Spencer, K. 1975. Sulfur requirements of crops, in Sulphur in Australian Agriculture, K.D.
McLachlan, Ed., Sydney University Press, Sydney, pp. 98108.
Stevenson, F.J. 1982. Humus chemistry, genesis, composition, reactions. John Wiley & Sons.
New York.
Takkar, P.N. 1988. Sulfur status of Indian soils. Proc. The Sulphur Institute Fertilizer
Association of India Symp. Sulfur in Indian Agriculture, New Delhi, 5/1/2/1-31.
Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. 4th ed.
MacMillan Publishing Company. New York.
Trudinger, P.A. 1986. Chemistry of the sulphur cycle. p. 2 22. In : M.A. Tabatai (Editor) :
Sulphur in Agriculture. No27 in the series Agronomy. Madison, Wisconsin, USA.
Tuherkih, E., I.G.P Wigena, J. Purnomo, dan D. Santoso. 1998. Pengaruh pupuk belerang
terhadap sifat kimia tanah dan hasil hijauan pakan ternak pada padang
penggembalaan. Pros. p. 283 292. dalam Prosiding Pertemuan pembahasan dan
komunikasi hasil penelitian tanah dan agroklimat bidang kimia dan biologi tanah.
Bogor, 10 12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Widjaja Adhi, I.P.G. 1975. Research in soil fertility in the framework of soil test study for
rice. Newsl.Soil Sci.Soc. Indonesia 3 : 17 27.
166