kau tahu, aku melalui minggu minggu menyedihkan itu. Dan yang
lebih membuat semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah
mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya aku tidak pernah yakin atas
segalanya. Aku tidak pernah baik baik saja. Enam bulan berlalu, hanya
berkutat mengenangmu. Mendendangkan lagu lagu patah hati.
Membaca buku buku patah hati. Hidupku jalan ditempat.
maafkan aku. Suara Alysa bahkan kalah dengan desau angin, matanya
mulai basah menahan tangis.
tidak ada yanng perlu dimaafkan. Aku mendongak keluar, menatap
purnama. Berusaha mengusir rasa sesak yang tiba tiba menyelimuti
hati. Sudahlah. Buat apa diingat lagi. Kemudian kembali menatap wajah
Alysa, tersenyum, saat itu aku akhirnya menyadari, aku tidak akan pernah
bisa melanjutkan hidup dengan hati yang hanya tersisa separuh. Tidak
bisa. Hati itu sudah rusak, tidak utuh lagi. Maka aku memutuskan
membuat hati yang baru. Ya, hati yang benar benar baru.
Hening sejenak lagi.
Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu ragu, cemas, apakah
dihati yang baru itu masih tersisa namaku?
***
Setahun silam. Ditempat yang sama.
Bedanya tidak ada kesedihan di sana. Aku mengeluarkan kotak cincin
batu bulan itu.
aku tahu ini bukan permata. Tersenyum, hanya cincin sederhana,
berhiaskan batu bulan, simbol tanggal kelahiran mu. Apakah kau suka?
Alysa mengangguk angguk. Tersenyum amat lebarnya. Menjulurkan
tangannya. Ia mencoba memasangkan cincin tersebut. Sumringah
menatap wajahku.
ini akan menjadi cincin pernikahan kita.
Kalimat itu meluncur begitu saja. Aku lupa kalau selama sebulan terakhir
merencanakan banyak hal. Menyiapkan prolog dan kalimat pembuka yang
indah. Malam itu, menatap wajahnya, kalimat itu meluncur begitu saja.
Alysa menatapku. Matanya membulat. Mukanya memerah. Tersenyum.
Kemudian tersipu, mengangguk. Sungguh, malam itu berubah seperti ada
seribu kembang api yang meluncur menghias angkasa. Hatiku menyala
oleh rasa bahagia. Keramaian rumah makan tepi jurang terasa ingar.
Orang orang yang menghabiskan makanan diatas meja.