Lembar Tugas Mandir2
Lembar Tugas Mandir2
Lembar Tugas Mandir2
pada
kondisi
Pendahuluan
Imunitas tubuh yang baik, memiliki peran yang esensial dalam menangani
patogen yang masuk ke dalam tubuh. Imunitas yang optimal dibiutuhan untuk
memberikan kerja optimal terhadap serangan patogan yang ingin masuk ke tubuh.
Namun, dalam keadaan seperti immunocompromised dimana imun tubuh tidak
optimal seperti keadaan normal, sehingga hal ini membantu patogen untuk
menginvasi tubuh. Keadaan immunocompromised sendiri bisa akibat infeksi HIV/AIDS,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, gangguan pada komponen sel darah putih
( neutropeni, dll). Patogen yang dalam keadaan normal tidak bisa menginvasi, malah
akan menginvasi dalam keadaan imun tubuh lemah seperti ini. Infeksi virus sendiri,
bila terjadi pada orang dengan immunocompromised dapat berkemungkinan besar
menyebabkan penyakit yang lebih parah dibandingkan dengan pada orang sehat yang
terinfeksi virus yang sama. Sejauh ini, terdapat beberapa jenis virus yang paling
sering ditemukan pada keadaan imun lemah ini yakni Herpes Simpleks
Virus(HSV) , Citomegalovirus (CMV), dan Epstein Barr Virus (EBV), dimana
masing- masing akan dibahas dalam tulisan ini. 1
Isi
Infeksi oportunistik akibat virus yang telah disebutkan diatas, baik HSV, CMV
dan EBV merupakan sama sama kelompok famili Herpesvirus. Ketiga virus yang akan
dibahas ini, berbeda dari mulai dari tingkayan sub famili, dimana untuk klasifikasi
Herpesvirus manusia dibagi menjadi beebrapa klasifikasi subfamili, yakni :
a. Alfaherpesvirus
Subfamili ini dicirikan dengan siklus pertumbuhan yang pendek, sitopatologi
berupa sitolitik dan mayoritas menyebabkan infeksi laten di neuron, yang
termasuk subfamili ini adalah HSV 1 dan 2.1
b. Betaherpesvirus
Subfamili ini dicirikan dengan siklus pertumbuhan yang panjang dan dapat
bersifat sitomegalik (pembesaran masif sel yang terinfeksi) serta menjadi laten
ada kelenjar sekretoris dan ginjal. Virus yang termasuk jenis ini adalah
Cytomegalovirus (CMV)). 1
c. Gammaherpesvirus
Subfamili ini dicirikan dengan siklus hidup yang bervarasi lamanya, dan dapar
bersifat laten di limfoid. Virus yang termasuk dalam subfamili ini adalah HSV 8
( Herpes yang terkait Sarkoma Kaposi) dan Epstein Barr Virus. 1
Walaupun memiliki anggota yang banyak, famili herpervirus memiliki sifat sifat
penting yang dapat dipelajari yang dapat dilihat dari tabel di bawah ini.
Tabel 1. Sifat sifat penting Herpesvirus 1
Virion
Sferis,
diameter
150-200nm
(ikosahedral)
Genom
DNA untai ganda, linier, 124-235 kbp,
sekuens diulang
Protein
Lebih dari 35 protein dalam virion
Replikasi
Selubung
Ciri khas yang menonjol
Replikasi virus famili Herpesvirus, proses transkripsi, replikasi genome, dan pelekatan
kapsidnya terjadi di dalam nukleus sel inang. Dalam replikasi yang terjadi, terdapat
tiga hal penting yang dikode , yakni : (1). Immediate-early genes, yang mengkode
protein regulator, (2). Early gene yang mengkode enzim untuk replikasi DNA virus, dan
(3) late genes , yang mengkode protein stuktural.
Berdasarkan gambar 1, prosesnya dimulai dari :
1. Invasi virus
Invasi melalui fusi antara glikoprotein selubung yang dimiliki virus dengan
reseptor selular spesifik pada sel host. Fusi membran akan melepaskan dua
protein dari virion, yakni VHS ( akan di sitoplasma dan akan menghentikan
proses sintesis protein host dan mendegradasi mRNA host) dan Vp16 ( akan
dibawa ke nukleus sebagai protein awal yang menginduksi pembentukan
protein virus awal). 2 Kemudian kapsid nya akan dibawa ke darah sitoplasma
menuju nukleus. Sebelum masuk ke nukleus, terjadi pelepasan kapsid,
kemudian DNA virus akan berhubungan dengan DNA host. 2
2. Replikasi
Pada proses ini, peran Vp16 terjadi, dengan berikatan dengan DNA host dan
mengiduksi ekspresi protein alfa sebagai hasi dari Immediately early gene.
Protein alfa ini akan menginduksi translasi dari protein beta yang akan berperan
dalam replikasi DNA virus. Beta protein merupakan hasil dari Early gene. 2
Protein beta sebagai pemulai replikasi DNA virus yang terus berlanjut hingga
terakhir akan menginduksi ekspresi Late gene untuk mengekspresikan protein
gamma sebagai pembentuk protein stuktural.
3. Perakitan
Protein gamma yang dihasilkan akan membentuk kapsid yang kosong, dan
kemudian akan tersisi oleh sekuens DNA virus yang telah di replikasi. Namun
kapsid ini masih membutuhkan protein selubung dan perangkat selubung
lainnya. Protein protein pelengkap ini akan dilengkapi selama proses Budding
terjadi mulai dari membran pernuklear, badan golg kemudian keluar dari sel
yang diinfeksinya. 2
Saat virus baru hasil replikasi keluar dari sel host, maka sel host tersebut
biasanya akan lisis. Namun di sel sel tertentu, virus ini bisa tetap dalam
keadaan laten, yang bisa teraktivasi dalam waktu tertentu. 2
Setelah membahas secara umum mengenai famili herpesvirus, maka akan dijelaskan
virus virus tertentu dalam famili ini yang berkaitan dengan infeksi oportunistik pada
pasien dengan sistem imun yang lemah. 2
Herpes Simpleks Virus (HSV)
Virus ini menunjukkan rentang pejamu,dan daerah infeksi yang cukup luas,
serta dapat menyebabkan berbagai penyakit juga.
a. Sifat virus
HSV sendiri terdiri dari HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Kedua virus ini dapat
dibedakan dengan analisis enzim retriksi DNA dan juga berdasarkan
transmisinya. Walaupun sama sama melalui kontak langsung, namun HSV tipe 1
tidak menyerang secara seksual, sedangkan HSV tipe 2 dapat menyebar lewat
seksual. 1 Masa inkubasi sejak infeksi bisa 2-20 hari dan sekali siklus yang terdiri
dari fase invasi asimptomatik, lalu fase replikasi dan lisis sel dapat berlangsung
selama 5-6 jam. 1
b. Epidemiologi
Data epidemiologi di Indonesia sendiri belum ada, namun HSV sendiri sudah
terkenal luas dan menginfeksi secara luas di dunia. Infeksi HSV tipe 1 diketahui
lebih sering dan lebih awal di dapatkan dibandingkan dengan HSV tipe 2. 50%
bahkan lebih orang dewasa di atas 50 tahun diketahui memiliki antibodi
terhadap HSV tipe 1 , dan pada kelompok sosioekonomi rendah, HSV tipe 1
kebanyakan dimiliki pada usia 30 tahunan. Dari segi gender, prevalensi antibodi
terhadap HSV tipe 2 lebih banyak sekitar 5% pada wanita dibandingkan dengan
pria. Reaktivasi pada HSV tipe 2 lebih tinggi dibandingkan dengan HSV tipe 1,
dimana pada HSV tipe 2 bisa terjadi 8-9 kali tiap tahunnya pada 30% penderita.
1
Namun reaktivasi sendiri, terjadi akibat pengaruh berbagai faktor, seperti
paparan sinar matahari berlebihan, demam, mentruasi, stres fisik atau
emosional, dan supresi sistem imun tubuh. 1
c. Patogenesis
Trasnmisi infeksi terjadi secara kontak langsung dimana virus harus menembus
mukosa atau kulit yang luka untuk
memulai proses infeksinya. Infeksi HSV
tipe 1 biasanya terbatas pada orofaring,
sedangkan HSV tipe 2 akan meular
lewat jalur genital. Di tempat awal
masuk akan meajdi tempat awal
replikasi, kemudian akan menjangkau
ujung saraf terdekat , lalu dibawa ke
aliran saraf retrograd ke gangglio radiks
dorsalis yang berlanjut menjadi tempat
latensi. HSV tipe 1 akan berada di
ganglion trigeminalis, sedangkan HSV
tipe akan berada di gangglion sakralis
menyebabkan infeksi secara laten. 2
Periode latensi tidak terbatas waktu dan
tidak
dapat
ditentukan
karen
abergantung berbagai faktor, termasuk
imunitas host yang terinfeksi.selain
imunitas,
faktor
seperti
terpapar
stimulus yang provokatif (UV, demam,
stres fisik) dapat menjadi penyebab
reaktivasi HSV. 2 Latensi ini terjadi di
daerah yang dipersarafi ganglia tempat
latensi virus ini.
Gambar 2. Latensi
2
HSV
Secara sitopatologi, gambaran khas dari infeksi HSV adalah penggelembungan
sel yang terinfeksi, memproduksi badan inklusi intranukleus Cowdry Tipe A,
marginasi kromatin dan pembentukan sel raksasa berinti banyak yang
menandakan adanya infeksi herpesvirus (namun tampilan ini masih bisa untuk
HSV tipe 1,2 dan juga Varicella-zoster) . 2
d. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang muncul bergantung letak dari daerah yang terinfeksi.
Biasanya sindrom klinis akibat HSV-1 biasanya adalah :
a. Gingivostomatitis ( vesikel dan ulus di sekita gusi dan mulut) 4
b. Herpes okuler , keratitis, keratokonjungtivitis (vesikel dan ulkus pada mata,
konjuntiva, dan kornea) 4
c. Ensefalitis4
Sedangkan sindrom klinis akibat HSV- 2 biasanya adalah :
a. Balanophostitis ( vesikel dan ulkus pada ujung dan gland penis) 4
b. Vulvovaginitis ( vesikel dan ulkus pada mukosa vulva dan vagina) 4
Gambar
genital4
3.
Vesikel
pada
+++
Lesi genital
+++
++
++
Keratokonjungtivit
is
Retinitis
+++
Esofagitis
+++
Pneumonitis
+++
Hepatitis
++
Meningitis
+++
Ensefalitis dewasa
+++
Ensefalitis
neonatal
Mielitis
++
Eritema multiform
++
(+++)= sering, (++)=kadang kadang, (+) = tidak biasa , (-)= sangat jarang
e. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
berdasarkan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis, seperti biasa perlu ditanyakan mengenai keluhan pasien ,
riwayat penyakit sekarang,dahulu, penyakit keluarga, sosio-ekonominya.
Namun jika terdapat kecurigaan terhadap HSV perlu dilakukan penggalian lebih
dalam mengenai aktivitas hubungan seksual pasien. 1,2.4
Pemeriksaan fisik untuk mencurigai adanya HSV ini, sesuai dengan ada
tidaknya manifestasi klinis yang telah disebutkan pada bagian manifestasi
klinis. 1,2.4
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk menyingkirkan berbagai
kemungkinan infeksi lainnya. Spesimen dapat diambil dari (1) hapusan pada
lesi, (2) cairan vesikel, atau (3)biopsi jaringan. 1,2.4 Terdapat beberapa
pemeriksaan Lab yang dapat dilakukan, yakni :
1. Sitopatologi
Dilakukan pewarnaan dengan Giemsa pada goresan dasar vesikel, kemudian
cek di bawah mikroskop apakah terdapat sel raksasa berinti banyak ( namun
ini masih berkemungkinan untuk HSV tipe 1,2 dan varicella) 1,2.4
2. Isolasi dan identifikai virus
isolasi virus merupakan cara definitif untuk diagnostik, dimana dilakukan
inokulasi biakan jaringan , kemudian dilakukan uji Nt atau dengan
immunoflourosensi dengan antiserum spesifik. 1,2.4
3. Uji PCR
Dilakukan amplifikasi dari spesimen yang didapatkan. Pemeriksaan ini
termasuk pemeriksaan yang spesifik dan sensitif untuk pendeteksian. PCR
biasanya digunakan untuk kasus ensefalitis dimana digunakan cairan
cerebrospinal untuk di PCR.
PCR ini juga dapat digunakan untuk membedakan anatar HSV tipe 1 dan 2.
1,2.4
4. Serologi
Serologi untuk mendeteksi antibodi yang mulai muncul 4-7 hari pasca infeksi
dan mencapai puncak dalam 2-4 minggu. Namun pemeriksaan ini hanya
untuk kasus primer dan keperluan epidemiologi saja. 1,2.4
f.
Diagnosis
Penegaka diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul di bagian
tubuh tertentu dan khas untuk infeksi HSV. Untuk menguatkan dugaan bisa dilakukan
berbagai pemeriksaan diatas (dengan pertimbangan keadaan pasien dan efektivitas
pemeriksaan).
g. Tatalaksana
Tatalaksana awal yang dapat dilakukan dimulai dengan menjaga kebersihan
perorangan terutama daerah yang terinfeksi dengan mencuci pakai sabun dan
air, dan dikeringkan. Jangan sampai lembab karena akan memperlambat
oenyembuhan dan memudahkan infeksi bakteri. 4
Pemerian antiviral sendiri lebih sering diberikan pada kasus reaktivasi bukan
pada kasus primer. Tujuan pemberiaannya adalah untuk mencegah dan
mengobat infeksi, menyembuhkan gejala seperti eritema, vesikel yang berisi
cairan ulkus, bekas ulkus, dengan cara menghambat polimerasi DNA. 4
Antiviral yang dapat digunakan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Antiviral yang dapat diberikan pada kasus HSV 4
Jenis infeksi
Nama obat
HSV non genital
Asiklovir (200 mg oral 5 kali/hari,
selama 5-10 hari) atau 5% topial 5
kali/hari selama 5 hari untuk herpes
labialis atau Asiklovir 3% zalf mata 5
kali hari selama 14 hari untuk Keratitis
HSV
HSV Genital awal
Asiklovir (200 mg oral 5 kali/hari,
selama 5-10 hari) atau
Valasiklovir ( 500 mg oral dua kali/hari
selama 5-10 har)
HSV genital rekuren
Sama seperti HSV awal atau
Famsiklovir (125 mg oral 2 kali/hari
selama 5 hari)
HSV Genital (supresi imun)
Asiklovir (200mg oral 3 kali/hariatau
400 mg oral dua kali /hari selama >6
bulan), atau
Valasiklovir (500 mg oral 1-2 kali/hari
selama > 6 bulan) atau
Famsiklovir ( 250 mg oral 1-2 kali/hari
selama > 6 bulan )
Asiklovir (5-10 mg /kg IV 3 kali/hari
elaam 7-21 hari)
Asiklovir jangka panjang mungkin
diperlukan untuk ensefalitis rekuren
h. Pencegahan 4
Pencegahan yang dapat dilakukan yakni pencegahan transmisi, melalui
penggunaan kondom.Pada kelompok rentan , penggunaan antiviral valasiklovir
harian dalam jangka waktu lama dapat mengurangi infeksi HSV tipe 2.
Citomegalovirus
CMV
berdasarkan
subfamilinya,
merupakan
kelompok
yang
dapat
menyebabkan
sel
yang
diinfeksi
membesar (sitomegali), juga terdapat
badan inklusi pada sel yang terinfeksi
CMV dimana karakteristik ini sering
dikenal sebagai owls eye. Infeksi
perinatal dari CMV sendiri telah dikenal
luas, dan merupakan bagian dari infeksi
TORCH. 2
Gambar5. Owls eye pada pneumonia paru
(CMV)
a. Epidemiologi
Secara epidemiologi, di Indonesi belum terdapat data khususnya. Namun di
seluruh dunia, infeksi CMV dikenal sebagai infeksi yang terjadi sepanjang tahun
tanpa variasi musiman terhadap angka infeksi. Di Ameriksa sendiri, hampir 50%
populasi dewasa seropositif terhadap CMV,namun di negara berkembang
berkisar >90%. Kasus infeksi perinatal sendiri terjadi cukup tinggi di Amerika
(0,5% - 2%). 1.2Dampak yang diberikan terhadap janin yang terinfeksi yang
simptomatis dapat mengalami kelainan retardasi mental, kebutaan dan tuli ,
dan
kasus
asimptomatis
nya
dapat
menimbulkan
keluhan
neurologik.Transmisinya melalui hasil sekresi tubuh yang kemudian berkontak
dengan orang yang rentan. Transmisinya dapat terjadi secara horizontal,
vertikal, dan seksual. Hasil sekresi ini termasuk ASI air liur, urin, namun di organ
yang ditransplantasikan juga dapat terjadi. 1.2
b. Patogenesis
CMV akan menginfeksi host yang berkontak dengan produk sekresi yang
mengandung CMV. Proses inkubasi pada dewasa dan anak sekitar 4-8 minggu,
sejak CMV menginfeksi. CMV akan bereplikasi pada jaringan fibroblast dan juga
dalam sel epitel saluran pernapasan, kelenjar saliva dan ginjal serta menetap
dalam limfosit. 1.2
Infeksi CMV pertama kali merupakan infeksi primer, yang dapat berlangsung
secara simptomatis dan asimptomatis. CMV seperti viru famili herpesvirus
lainnya akan menetap dalam jaringan tubuh host, sampai waktu yang tidak
terbatas (infeksi laten). 1.2
Di waktu tertentu, dapat terjadi reaktivasi, akibat penyakit penyakit tertentu,
atau keadaan supresi imun host. Hal ini akan memicu reaktivasi CMV. 1.2
Pada infeksi primer pun, biasanya virus akan tetap dilepaskan secara intermiten
melalui faring dan di urine selama berbulan bulan sampai tahunan setelah
infeksi primer.
Pada pasien dengan imun lemah, yang terjadi biasanya perpanjangan waktu
infeksi dan reaktivasi yang lebih sering dari individu normal. 1.2
Selain itu, untuk kondisi ibu hamil yan terinfeksi CMV, keadaan viremia yang
dialami ibu, bisa melewati barier plasenta dan virus masuk ke janin. Prevalensi
kejadian ini sendiri 1% diantara ibu yang seropostif terhadap CMV(infeksi
rekuren), namun untuk infesi pada ibu seronegatif (primer) maka akibat klinis
terhadap bayi semakin buruk. Selain intrauterine, transmisi ke bayi bisa melalui
perinatal, sekresi saluran genital yang mengandung CMV dan dilewati bayi saat
persalinan pervaginam, dan juga melalui ASI. 1.2
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang disebabkan oleh CMV sendiri, yakni :
1. Pada infeksi kongenital CMV
Pada kondisi infeksi ini, manifestasi klinis yang dapat terjadi yakni
hepatosplenomegaly, retinitis, ruam, dan gangguan sistem saraf pusat. 1.3
2. Infeksi sitomegalovirus primer (10% pada anak dan dewasa)
Pada kondisi infeksi ini , biasanya akan asimtomatik, namun ketika
simptomatik maka gejala yang ditimbulkan adalah sindrom mononukleusis
infeksius yakni malaise, mialgia, demam lama, kelainan fungsi hati,
limfositosis dan faringitis. 1.3
3. Infeksi pada pasien immunocompromised
Infeksi pada kondisi pasien dengan imun yang lema, manifestasinya
berpeluang besar menjadi parah dan mengancam jiwa serta melibatkan paru
paru, saluran pencernaan, hati, retina, dan sistem saraf pusat. 1.3
4. Infeksi kongenital dan perinatal
Infeksi dari ibu ke janin sendiri, manifestasi yang ditimbulkan akan berat bila
terjadi di bawah 16 minggu kehamilan. 1.3 Gejala infeksi yang dapat dilihat
pada bayi baru lahir dapat berupa bayi yang terinfeksi namun tanpa gejala,
sampai berupa demam, kuning (jaundice), gangguan paru, pembengkakan
kelenjar limfe, pembesaran hati dan limpa, bintik merah di sekujur tubuh,
serta hambatan perkembangan otak (microcephaly). Hal ini bisa
menyebabkan buta, tuli, retardasi mental bahkan kematian. Tetapi ada juga
yang baru tampak gejalanya pada masa pertumbuhan dengan
memperlihatkan gangguan neurologis, mental, ketulian dan visual. 1.3
d. Diagnosis
Diagnosis yang dilakukan terhadap infeksi CMV melalui berbagai pemeriksaan,
baik isolasi virus, maupun serologi.
Berikut merupakan pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan
infeksi CMV.
Tabel 5. Rangkuman pemeriksaan dalam diagnosis CMV 6
e. Tatalaksana
Tatalaksana yang umum digunakan adalah ganciklovir. Gansiklovir ini biasanya
digunakan pada pasien dengan immunosupresi. Penggunan gansiklovir akan
menurunkan beratnya penyakit retiitis, esofagitis, kolitis.
Berikut lebih lengkap mengenai tatalaksana yang diberikan pada pasien CMV.
Tabel 6. Tatalaksana pasien CMV2
f.
Prognosis
Pada pasien dengan imun yang baik, biasanya sindrom mononukleosis
infeksiosa akan teratasi spontan. Namun pada pasien dengan imun yang lemah,
pronosis menjadi lebih serius dan bisa berakhir dengan infeksi CMV sistemik.
Pada pasien AIDS, CMV akan teratasi bila jumlah CD4 naik diatas 100/mm2. 1,7
g. Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasarkan transmisi, dimana harus menghindari
kontak cairan tubuh dari orang yang terinfeksi CMV. Pada kasus
1. Mononukleosis
infeksiosa
Periode
inkubasi
yang
diperlukan
biasanya
30-50
hari,
kemudian
timbul
gejala
malaise, demam ,
nyeri kepala, lelah
dan
nyeri
tenggorok,
pembesaran
kelenjar
getah
bening dan limpa.
Gejala
gejala
tersebut akan hilang dengan sendirinya dan berlangsung selama 2-4
minggu. 2,8,9
2. Hairy leukoplakia pada lidah
Lesi ini merupakan lesi yang muncul seperti kutil yang berkembang di
bagian lidah pada beberapa orang dengan immunosupresi ( AIDS,
transplantasi). 1,2,8,9
g. Pencegahan
Karena virus biasanya ditransmisikan asimptomatik melalui oral dan kasusnya
sangat biasa di populasi, intervensi epidemiologis untuk mencegai penyebaran
sejauh ini tidak ada. 7
Referensi :
1. Jawetz E, Melnick J, Brooks G, Butel J, Morse S, Vasquez Moctezuma I. Medical
Microbiology. 25th ed. New York: McGraw Hill; 2010.