Anda di halaman 1dari 18

BIMBINGAN KONSELING

A.
a.

DEFINISI
Bimbingan
Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu (peserta didik) agar

dengan potensi yang dimiliki mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri, memahami
lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan yang lebih baik. Hal senada juga dikemukakan oleh
Prayitno dan Erman Amti (2004: 99), Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli
kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, atau orang dewasa; agar orang yang dibimbing
dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang
ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Sementara Bimo Walgito (2004: 4-5), mendefinisikan bahwa bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang
diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan hidupnya, agar
individu dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Chiskolm dalam McDaniel, dalam Prayitno dan Erman Amti
(1994: 94), mengungkapkan bahwa bimbingan diadakan dalam rangka membantu setiap individu untuk lebih mengenali
berbagai informasi tentang dirinya sendir
b.
Konseling
Konseling adalah hubungan pribadi yang dilakukan secara tatap muka antarab dua orang dalam mana konselor melalui
hubungan itu dengan kemampuan-kemampuan khusus yang dimilikinya, menyediakan situasi belajar. Dalam hal ini konseli
dibantu untuk memahami diri sendiri, keadaannya sekarang, dan kemungkinan keadaannya masa depan yang dapat ia
ciptakan dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, demi untuk kesejahteraan pribadi maupun masyarakat. Lebih lanjut
konseli dapat belajar bagaimana memecahkan masalah-masalah dan menemukan kebutuhan-kebutuhan yang akan datang.
(Tolbert, dalam Prayitno 2004 : 101).
Jones (Insano, 2004 : 11) menyebutkan bahwa konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang
konselor yang terlatih dengan klien. Hubungan ini biasanya bersifat individual atau seorang-seorang, meskipun kadangkadang melibatkan lebih dari dua orang dan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan
terhadap ruang lingkup hidupnya, sehingga dapat membuat pilihan yang bermakna bagi dirinya.
Kesimpulan :
Jadi disini saya simpulkan bahwa pengertian bimbingan dan konseling yaitu suatu bantuan yang diberikan oleh
konselor kepada konseli agar konseli mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya dan juga mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya

B. Landasan bimbingan dan konseling :


Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan
konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan
lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan
ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya
adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum
terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis,
landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah
ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam
melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun
estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki
atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut,

tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat
modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson,
Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai
berikut :

Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan
perkembangan dirinya.

Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan
kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.

Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui
pendidikan.

Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan
kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.

Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.

Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugastugas kehidupannya sendiri.

Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.

Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut
perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri
manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.

Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan
terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang
dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan
memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang
menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai
oleh konselor adalah tentang : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan individu; (d)
belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif
yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya
maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan
tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan, baik dari dalam diri individu
(motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik), menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas
tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu.
Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psikofisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan
pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada
lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang
memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang
sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada

individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap
potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam
lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang
dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi
(pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral
dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari
McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang
dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan
kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori
dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugas-tugas perkembangan individu
semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya
sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan
lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar,
seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya
dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru
dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu
yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk
terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau
pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan,
diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3)
Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif..
Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005)
menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya
dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian
adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider
dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai suatu proses respons individu baik yang bersifat
behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi
dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu
dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi
fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan
kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal,
diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari
Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual
dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :

Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian
atau pendapat.

Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang
datang dari lingkungan.

Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.

Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah
tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.

Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan.
Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.

Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang
terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu
yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang
melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi
aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup
kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan
segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami
tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan
kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena
itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus
dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan
dan psikologi kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi
kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada
dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan
untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam
memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang
melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan
perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak dijembatani, maka
tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses
perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor
dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam
sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan
bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan
bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun
sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung
menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula
menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang
unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju
ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar
komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu
diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan
dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk
lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka
tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilainilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang
menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis
dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau
analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya.

Sejak awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika,
pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat multireferensial. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik,
evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari
disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan
teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran
kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan
komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah
banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006)
mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang
dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara
virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk cyber counseling. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang
teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan
bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan
sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan,
konselor harus mampu mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil
pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan
bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya
pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses
bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai
makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan
kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan
perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan
kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006)
bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan
modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang
ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya
rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai
spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual
atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan
bimbingan dan konseling di Indonesia.
C. Asas-asas bimbingan dan konseling
1. Asas Kerahasiaan, Asas kerahasiaan ini merupakan asas kuasai dalam usaha bimbingan konseling. Jika asas ini benarbenar dilaksanakan, maka penyelenggaraan atau pemebrian bimbingan klient sehingga mereka akan mau manfaatnya jasa
bimbingan konseling dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya jika konselor tidak dapat memegang asas kerahasiaan dengan baik,
maka hilanglah kepercayaan klien, sehingga akibatnya percayaan bimbingan tidak dapat tempat dihati klien dan para caln
klien. Dan jika asas kerahasiaan ini benar-benar di jelankan maka bimbingan dan konselng akan berjalan dengan mancar dan
baik.
2.

Asas kesukarelaan,

Dalam memahami pengertian bimbingan konseling dikemukakan bahwa bimbingan merupakan proses membantu individu.
Perkataan membantu disii mengandung arti bahwa bimbingan buka merupakan suatu paksaan, oleh karena itu proses
bimbingan dan konseling harus belangsung atas dasa kesusilaan, baik dari pihak siterbimbing atau klien. Maupun dari pihak

knselor klien diharapkan secra suka dan rela tanpa ragu-ragu ataupun merasa terpaksa, menyampaikan masalah yang
dihadapinya. Jika asas kesukarelaan ini memang benar-benar telah tertenam pada diri (calon) terbimbing/siswa atau klien,
sangat dapat diharapkan bahw mereka yang mengalami maalah akan dengan sukrela membawa masalahnya itu kepada
pembimbing untuk meminta bimbingan. Bagaimana halnya dengn klien kiriman, apakah dalam hal ini asaas sukarela
dilanggar? Dalam hal ini pembimbing berkewajiban mengembangkan sikap sukarela pada diri klien itu sehngga klien itu
mampu menghilankan rasa keterpaksaan data dirinya kepada pembimbing. Kesukarelaan tidak hanya dituntut pada diri
(calon), terbimbing/siswa atau klien saja, tetapi hendakmya berkembang pada diri penyelenggaraan. Para penyelenggara
bimbingan hendaknya mampu menghilangkan rasa bahw tugas kebimbingan konselingnya itu erupakan suatu yang memaksa
diri merasa
3.

Asas keterbukaan,

Dalam pelaksanaan bimbingan konseling sngat diperlukan suasana keterbukaan, baik keterbukaan dari konselor maupun
keterbukaan dari klien. Keterbukaan ini bukan hanya sekedar bersedia menerima saran-saran dari luar, malahan dari itu,
diharapkan masing-masing pihak yang bersangkutan tersedia membuka diri untuk kepentingan pemecahan masalah. Individu
yang membuka bimbingan diharapkan dapat berbicara sejujur mungkin dan berterus terang tentang dirinya sendiri. Sehingga
dengan keterbukaan ini penelaah serta pengkaji berbagai kekuatan dan kelemahan siterbimbing dapat dilaksanakan. Perlu
dieprhatikan bahwa keterbukaan hanya akan terjadi bila klien tidak lagi mempersoalkan asas kerahasian yang semestinyua
diterapkan oleh konselor. Untuk keterbukaan klien konselor harus terus-menerus membuina suasana hubungan konselof
sedemikian rupa. Sehingga klien yakni bahwa konselor juga bersikap terbuka dan yakin, bahwa asas keterbukaan memang
terselenggara. Keterbukaan disini ditinjau dari dua arah, dari pihak klien diharapkan pertama-tama mau membuka diri
sendiri sehingga apa yang ada pada dirinya dapat diketahui oleh orang lain (dalam hal ini konselor) dan kedua mau
membuka diri dalam ati mau menerima saran-saran dan masukan lainnya ari pihak konselor menjawab pertanyaanpertanyaan klien keterbukaan terwujud dari konselor sendiri. Jika hal itu memang dikehenaki oleh klien. Dalam hubungan
yang bersuasana seperti itu, masing-masing pihak bersifat transparan (terbuka) tehadap pihak lainnya.
4. Asas Kekinian,
Pada umumnya pelayanan bimbingan dan konseling bertitik tolak dari masalah yang dirasakan klien saat sekarang atau kini,
namun pada dasarnya pelayanan bimbingan konseling itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu masa
lalu, sekarang, dan masa yang akan dating, karma pada dsarnmya msalah klien yang langsung ditanggulangi melalu upaya
bimbingan dan konseling ialah masalah-masalah yang sedang dirasakan kini (sekarang), bukan masukan yang sudah lampau,
dan juga masalah yang mungkin akan dialami dimasa mendatang.
Dan dalam usaha yang bersifat pencegahan, pada dasarnya pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa yang perlu dilakukan
sekarang sehingga kemungkinan yang kurang baik dimasa dating dapat dihindari.
5. Asas kemandirian,
Pelayanan BK bertujuan menjadikan siterbimbing dapat bediri sendiri, tidak tergantung pada orang tua / tergantung pada
konselor individu yang dibimbing setelah dibantu diharapkan dapat mendiri dengan cirri-ciri pokok mampu :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengenal dri sendiri dan lingkungan sebagaimana adanya;


Menerima diri dendiri dan lingkungan secara positif dan dinamis.
Mengambil keputusan untuk dan leh diri sendiri.
Mengarahkan diri sesuai dengan keputusan itu, dan
Mewujudkan diri secara optimal sesuai dengan potensi, minat dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya.

Demikian dengan iri-ciri umum dits haruslah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan peranan klien dalam
kehidupannya sehai-hari. Dengan demkian klien akan bisa mandiri, karena klien akan terus menyatakan ketergantungannya,
selama ketergantuannya itu memperoleh respon dari konselor. Sebaliknya rasa ketergantungan itu akan berhenti bila tidak
ditanggapi oleh konselor yang pada dasarnya disetiap tahap awal proses konseling, biasanya kliesn menampakkan sikap
yang lebih tergantung dibandingkan pada tahap akhir proses konseling. Oleh karna itu konselor dank lien harus beusaha
untuk menumbuhkan sikap kemandirian itu didalam diri klien dengan cara memberi respon yang cermat.
6.

Asas Kegiatan,

Dalam proses pelayanan bimbingan dan konseling kadang-kadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan kepada
kliennya. Dalam hal ini klien hrus mampu melakukan sendiri kegiatan tersebut dalam rangka mencapai sendiri kegiatan
kegiatan tersebut dalam rangka mencapai tujuan sebagai yang telah ditetapkan.

Karna usaha BK tidak akan memberikan buah yang berarti bila klien tidak melakukan sendiri kegatan dalam mencapai
tujuan BK. Hasil usaha BK tidak akan tercapai dengan sendirinya, melainkan hrus dengan kerja giat dari klien sendiri.
Konselor hendaklah membangkitkan semangat klien sehingga ia mampu dan mau melaksanakan kegiatan yang diperlukan
dalam penyeselesaiannya masalah yang menjadi pokok pembicaraan dalam konseling.
Asas ini merujuk pada konseling multi deminsional yang tidak hanya mengandalkan traksasi verbal antara klien dan
konselor. Dalam konseling yang berdimensi verbalpun asas kegiatan masih harus terselenggara, yaitu klien aktif pula
melaksanakan atau menerapkan hasil-hasil konseling.
7.

Asas Kedinamisan,

Keberhasilan usaha pelayanan BK ditandai dengan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku klien kea rah yang lebih
baik. Untuk mewujudkan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku itu membutuhkan proses dan aktu tertentu sesuai
dengan kedalaman dan kerumitan masalah yang dihadapi klien. Konselor dan klien serta pihak-pihak lain diminta untuk
memberikan kerja sama sepenuhnya agar pelayanan BK yang diberikan dapat dengan cepat menimbulkan perubahan dalam
sikap dan tingkah laku klien.
Perubahan tidaklah sekedar mengulang-ulang hal-hal yang lama yang sealu menuju ke suatu pembaruan sesuatu yang lebih
maju karna asas kedinamisan mengacu pada hal-hal baru yang hendaknya terdapat pada dan mnjadi cirri-ciri dari proses
konseling dan hasil-hasilnya.
Pelayanan BK berusaha memadukan sebagai aspek kepribadian klien. Sebagaimana diketahui individu memiliki berbagai
aspek kepribadian yang kalau keadaannya tidak seimbang, serasi dan terpadu justru akan menimbulkan masalah, disamping
keterpaduan pada diri klien, juga harus diperhatiakan keterpaduan isi dan proses layanan yang diberikan jangan hendaknya
aspek layanan yang satu tidak sesuai dengan aspek layanan yang lain.
Layanan BK memadukan berbagai aspek individu dengan dibimbing. Disamping keterpaduan pada diri individu yang
dibimbing, juga diperhatikan keterpaduan isi pada proses layanan yang diberikan. Jangan hendaknya aspek layanan yang
satu tidak serasi atau bukan bertentangan dengan aspek layanan yang lain.
8.

Asas Kenormatifan

Pelayanan BK tidak boleh bertentangan dengan norma-norma yang berlaku, baik ditinjau dari norma agama, norma adapt,
norma hukum/Negara, norma ilmu, maupun kebiasaan sehari-hari asaa kenormatifan ini terapkan terhadap isi maupun proses
penyelenggaraan BK. Seluruh isi layanan harus sesuai dengan norma-norma yang ada. Demikian pula prosedur, teknik dan
peralaan yang dipakai tidak menyimpang dari norma-norma yang dimaksudkan.
Tetapi harus diingat bahwa konselor tidak boleh memaksakan nilai atau norma yang dianutnya itu kepada kliennya, konselor
dapat membicarakan secara terbuka dan terus terang segala sesuatu yang menyangkut norma dan nilai-nilai itu, bagaimana
berkembangnnya, bagaimana penerimaan masyarakat, apa dan bagaimana akibatnya bila norma dan nilai-nilai itu terus
dianut dan laim sebagainya.
9.

Asas Keahlian,

Usaha layanan BK secara teratur, sistematik, dan dengan mempergunakan teknik serta alat yang memadai. Asa keahlian ini
akan menjamin keberhasilan usaha bimbingan dan konseling, dan selanjutnya kabar hasilan usaha bimbingan dan konseling
akan menaikkan kepercayaan masyarakat pada BK.
Asas keahlian selain mengacu kepada kualifikasi konselor (misalnya pendidikan sarjana bidang BK) juga kepada
pengalaman teori dan praktek BK perlu dipadukan oleh karna itu, seorang konselor ahi harus benar-benar menguasai dan
praktek konseling secara baik.
10. Asas Alih Tangan,
Dalam pemberian layanan BK, asas alih tangan jika konselor sudah mengerahkan kemampuannya untuk membantu indivisu,
namun individu yang bersangkutan belum dapat terbantu sebagaimana yang diharapkan, maka konselor dapat mengirim
individu tersebut kepada petugas / badan yang lebih ahli.

Disamping pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh konselor juga terbatas, maka ada kemungkinan suatu masalah
belum dapat diatasi setelah proses konseling berlangsung. Dalam hal ini konselor perlu mengalihkan tangankan (Referal)
klien pada pihak lain (konselor) yang lebih ahli untuk menangani masalah yang sedang dihadapi oleh klien tersebut
pengalihan tangan seperti ini adalah wajib, artinya masalah klien tidak boleh terkantung-kantung ditangan konselor yang
terdahulu itu.
11. Asas Tutwurihandayani,
Sebagaimana yang telah dipahami dalam pengertian BK bahwa Bk itu merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis,
sengaja, berenacana, terus-menerus dan terarah kepada suatu tujuan oleh karena itu kegiatan pelayanan BK tidak hanya
dirasakan pada saat klien mengalami masalah dan menghadapkannya kepada konselor / guru pembimbing saja kegiatan BK
harus senantiasa diikuti secara terus menerus dan aktif sampai sejauh mana klien telah berhasil mecapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Asas ini menunjuk pada suasana umum yang hendaknya tercipta dalam rangka hubungan keseluruhan antara pembimbing
dan yang dibimbing lebih-lebih dilingkungan sekolah, asas ini makin dirasakan manfaatnya, dan bahkan perlu dilengapi
dengan ingngarsa sung tulada, ing madya mangun karso.

D. Pengelolaan Layanan dan bimbingan konseling

Personal pelaksana pelayanan bimbingan adalah segenap unsur yang terkait dalam organisasi pelayanan bimbingan, dengan
coordinator dan guru pembimbing/konselor sebagai pelaksana utamanya. Uraian tugas masing-masing personel tersebut
adalah sebagai berikut:
1.

Kepala Sekolah

Sebagai penanggungjawab kegiatan pendidikan secara menyeluruh di sekolah yang bersangkutan, tugas kepala sekolah
adalah:
1.

Mengkoordinasikan segenap kegiatan yang diprogramkan di sekolah

2.

Menyediakan prasarana, tenaga, sarana dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan yang
efektif dan efisien.

3.

Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya
tindak lanjut pelayanan bimbingan.

4.

Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan di sekolah kepada Kanwil/Kandep yang menjadi


atasnya.

5.

Wakil Kepala Sekolah

Wakil kepala sekolah membantu kepala sekolah dalam melaksanakan tugas-tugas kepala sekolah termasuk pelaksanaan
bimbingan dan konsling.
1.

Koordinator bimbingan

Koordinator bimbingan bertugas mengkoordinasi para guru bimbingan dalam:


1.

Memasyarakatkan pelayanan bimbingan kepada segenap warga sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

2.

Menyusun program bimbingan

3.

Melaksanakan program bimbingan

4.

Mengadministrasikan pelayanan bimbingan

5.

Menilai program dan pelaksanaan bimbingan

6.

Memberikan tindak lanjut terhadap hasil penilaian bimbingan

7.

Guru pembimbing / Konselor

Sebagai pelaksana utama, tenaga inti dan ahli, guru pembimbing atau konselor bertugas:
1.

Memasyarakatkan pelayanan bimbingan

2.

Merencanakan program bimbingan

3.

Melaksanakan segenap layanan bimbingan

4.

Melaksanakan kegiatan pendukung bimbingan

5.

Menilai proses dan hasil pelayanan bimbingan dan kegiatan pendukungnya

6.

Guru mata pelajaran dan pelatih

Sebagai tenaga ahli pengajaran dan atau pelatihan dalam mata pelajaran atauu program latihan tertentu, dan sebagai personel
yang sehari-hari langsung berhubungan dengan siswa, peranan guru mata pelajaran dan pelatihan dalam layanan bimbingan
adalah:
1.

Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan kepada siswa

2.

Membantu guru pembimbing mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan

3.

Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan kepada guru pembimbing.

4.

Menerima siswa alih tangan dari pembimbing yaitu siswa yang menuntut guru pembimbing memerlukan
pelayanan pengajaran khusus seperti pengajaran perbaikan, program pengayaan.

5.

Wali kelas

Sebagai pengelola kelas tertentu, dalam pelayanan bimbingan wali kelas berperan:
1.

1.

Membantu guru pembimbing melaksanakan tugas-tugas khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawab

D.

1.

Membantu guru mata pelajaran atau pelatih melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan,
khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.

2.

Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya di kelas yang menjadi
tanggung jawab, untuk mengikuti/ menjalani dan atau kegiatan bimbingan.

Mekanisme Kerja Pelaksanaan Pengelolaan Bimbingan Konseling

Guru mata pelajaran Membantu memberikan informasi tentang data siswa, meliputi:
1.

Daftar nilai siswa

2.

Observasi

3.

Catatan anekdot

Wali Kelas Disamping sebagai orang tua kedua di sekolah, juga membantu mengkoordinasi informasi dan kelengkapan data,
meliputi :
1.

Daftar nilai

2.

Angket siswa

3.

Angket orang tua

4.

Catatan anekdot

5.

Laporan observasi siswa

6.

Catatan home visit

7.

Catatan wawancara

Guru pembimbing Disamping memberikan layanan informasi kepada siswa juga sebagai sumber data yang meliputi :
1.

Kartu akademis

2.

Catatan konseling

3.

Data psikotes

4.

Catatan konferensi kasus

Kegiatan guru pembimbing yang perlu diketahui oleh kepala sekolah, adalah :
1.

Melaporkan kegiatan bimbingan dan konseling sebulan sekali

2.

Laporan tentang kelengkapan data

1.

E.

Pola penanganan siswa bermasalah

Pembinaan siswa dilakukan oleh seluruh unsur pendidikan di sekolah, orang tua, masyarakat, pemerintah. Pola tindakan
terhadap siswa bermasalah di sekolah adalah sebagai berikut : seorang siswa yang melanggar tata tertib dapat ditindak oleh
kepala sekolah. Tindakan tersebut diinformasikan kepada wali kelas yang bersangkutan. Sementara itu guru pembimbing
berperan dalam mengetahui sebab-sebab yang melatarbelakangi sikap dan tindakan siswa tersebut. Guru pembimbing
bertugas membantu menangani masalah siswa tersebut dengan meneliti latar belakang tindakan siswa melalui serangkaian
wawancara dan informasi dari sejumlah sumber data, setelah wali kelas merekomendasikannya.

1.

F.

Mekanisme Penanganan Siswa di Sekolah

Gambar 01 Mekanisme Penanganan siswa bermasalah disekolah

Sejak tahun 1975, bimbingan dan konseling (BK) telah diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan
program pendidikan di sekolah. Tahun 1990 tebit Peraturan Pemerintah nomor 28 dan 29, yang secara tegas dinyatakan
bahwa bimbingan merupakan suatu layanan pendidikan yang harus diperoleh semua peserta didik dalam rangka membantu
mereka mengarahkan perencanaan masa depan sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan masing-masing. Pelayanan BK

kepada siswa mencakup 4 bidang : yaitu pribadi, sosial, belajar, dan karir. Keempat bidang tersebut akan dilayani melalui
lima aktivitas layanan :
1.

Identifikasi masalah (pendataan), yaitu penetapan jenis dan masalah serta latar belakang sebagai landasan untuk
pelayanan selanjutnya.

2.

Diagnosis, yaitu dalam kerangka menelusuri faktor penyebab munculnya masalah yang dialami siswa.

3.

Prognosis, yaitu menganalisis kemungkinan terentaskan masalah yang dialami siswa dengan berbagai alternative
penyelesaian masalah.

4.

Treatment, yaitu menentukan metode atau teknik yang digunakan dalam mengentaskan masalah yang dialami
siswa.

5.

Evaluasi dan tindak lanjut, sebagai upaya untuk mengetahui keberhasilan atau kegagalan pelayanan yang diberikan
dan sekali gus juga sebagai kelanjutan penelitian terhadap layanan BK selanjutnya.

Bimbingan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan boleh dikatakan rumit, karena berkaitan dengan perilaku
manusia, yang berdimensi jamak dan sukar sekali diramalkan. Oleh sebab itu, konselor yang peduli dengan siswa tentu akan
selalu meningkatkan kreativitas setiap saat. Atas dasar asumsi itulah makalah ini disajikan kepada peserta seminar, semoga
pokok kajian yang disampaikan dapat menambah khasanah pengetahuan dan kererampilan kita para konselor sekolah dalam
rangka menuju konselor yang professional.
Pada bagian awal penjelasan akan diuraikan konsep tentang BK Perkembangan, (selama ini kita lebih menganut dan
mendahulukan konsep penyembuhan dan pemecahan masalah), Struktur layanan BK Perkembangan dan Mekanisme
pemecahan masalah.
Dengan melihat gambar di atas, kita dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah
tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya
penyesuaian diri atau perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua pendekatan tersebut
seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas, sementara
tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian, siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya
mengandalkan pendekatan disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil orang tua/wali
siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari
dikeluarkan). Jika tanpa intervensi Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan
meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat semakin memperparah keadaan. Tetapi
dengan intervensi Bimbingan dan Konseling di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan
pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk
tidak berusaha menggugurkan kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya, keinginan
untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus
dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digaris bawahi, dalam hal ini bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa
untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang kepala sekolah, dan tugas Guru
BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat
pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa bermasalah tetap masih menjadi
perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam
hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya,
sebagaimana tampak dalam bagan berikut :

Tingkatan masalah siswa berserta mekanisme penanganannya

1.

Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman
sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing
oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan
mengadakan kunjungan rumah.

2.

Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar
sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas
sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan
berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula
mengadakankonferensi kasus.

3.

Masalah (kasus) berat,seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas,
siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan
referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih
dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.

Dengan melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan
Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai
pihak lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan perkembangan pribadi secara
optimal.

1.

G.

Beban tugas guru pembimbing/ Konselor

Sesuai dengan keputusan surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Administrasi
Kepegawaian Negara Nomor : 043/P/1993 dan Nomor 25 tahun 1991 diharapkan pada setiap sekolah ada petugas yang
melaksanakan layanan bimbingan yaitu guru pembimbing / konselor dengan rasio satu orang guru pembimbing untuk 150
orang siswa, dan beban tugas atau penghargaan jam kerja guru pembimbing ditetapkan 36 jam / minggu, yang meliputi :
1.

Kegiatan penyusunan program layanan dihargai sebanyak 12 jam.

2.

Kegiatan melaksanakan pelayanan dihargai sebanyak 18 jam.

3.

Kegiatan evaluasi pelaksanaan pelayanan dihargai sebanyak 6 jam.

4.

Sebagaimana guru meta pelajaran, guru pembimbing yang membimbing dihargai sebanyak 18 jam.

1.

H.

Hambatan dalam Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah


1.

Para pengelola sekolah masih beranggapan bahwa tugas sekolah adalah mengajar, oleh karena itu semua
dana dan usaha dipusatkan untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa agar mereka mendapat ijazah
untuk melanjutkan sekolah. Mutu sekolah diukur berdasarkan jumlah siswa yang lulus dengan nilai
ijazah yang baik. Sekolah yang seperti ini kurang menghargai dan memperhatikan pelaksanaan program
bimbingan dan konseling di sekolah. Kehadiran konselor di sekolah dipandang sebagai pemborosan
biaya. Penanganan di serahkan pada wali kelas / guru. Tetapi di pihak lain wali kelas dan guru tidak
mempunyai cukup waktu dan keahlian untuk memberikan bimbingan pada siswanya

2.

Kepala sekolah dan guru masih belum memiliki pengetahuan yang benar mengenai peranan dan
kedudukan program bimbingan dalam kesatuannya dengan program pendidikan di sekolah. Di pihak
lain kepala sekolah memberikan tugas kepada petugas bimbingan yang bukan tugasnya, misalnya para
konselor ikut menangani disiplin sekolah

3.

Banyak lembaga pendidikan konselor, seperti IKIP, kurang memberikan bekal praktek bimbingan kepada
para calon petugas bimbingan. Akibatnya setelah lulus dan bertugas di lapangan, para petugas bimbingan
kurang memahami tugas pokoknya. Mereka sibuk daftar pribadi dan membantu tugas kepala sekolah
dalam bidang administrasi sekolah, termasuk melakukan tugas disiplin sekolah. Para siswa menangkap
bahwa sifat BP sebagai pusat pengadilan, sehingga mereka takut terhadap pembimbing.

4.

Nama staf bimbingan memberikan kesan kepada guru bahwa fungsi bimbingan telah memiliki
spesifikasi. Oleh karena itu mereka bebas dari tugas membimbing siswa, jika menemukan siswa yang
nakal, mereka menyerahkan / menyusun siswa yang nakal tersebut menghadap guru pembimbing

5.

Banyak petugas bimbingan bukan lulusan studi psikologi pendidikan dan bimbingan banyak sarjana
pendidikan non BP diberi tugas sebagai konselor sekolah. Mereka umumnya guru yang berhasil
mencapai gelar sarjana pendidikan. Akibatnya banyak program bimbingan tidak terlaksana dengan baik,
bahkan banyak yang melanggar prinsip-prinsip bimbingan, misalnya seorang konselor menghukum
siswa yang melanggar peraturan sekolah. Sehingga kesan siswa terhadap staff bimbingan sama.

E. Peranan guru dalam layanan bimbingan dan konseling


Peran guru dalam bimbingan konseling, meliputi :
1.

Peran guru kelas/mata pelajaran

Di sekolah, tugas dan tanggung jawab utama guru adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran siswa. Kendati demikian,
bukan berarti dia sama sekali lepas dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Peran dan konstribusi guru mata
pelajaran tetap sangat diharapkan guna kepentingan efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Bahkan dalam batas-batas tertentu guru pun dapat bertindak sebagai konselor bagi siswanya. Wina Senjaya (2006)
menyebutkan salah satu peran yang dijalankan oleh guru yaitu sebagai pembimbing dan untuk menjadi pembimbing baik
guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Sementara itu, berkenaan peran guru mata
pelajaran dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam
melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli,
memahami dan menghargai tanpa syarat. Prayitno (2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata
pelajaran dalam bimbingan dan konseling adalah :
1.

Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa

2.

Membantu guru pembimbing/konselor mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan
konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.

3.

Mengalih tangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada guru
pembimbing/konselor

4.

Menerima siswa alih tangan dari guru pembimbing/konselor, yaitu siswa yang menuntut guru
pembimbing/konselor memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan,
program pengayaan).

5.

Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang
pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.

6.

Memberikan kesempatan dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan
konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.

7.

7)

8.

Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling
serta upaya tindak lanjutnya.

Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.

Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi sangat menentukan keberhasilan proses
belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka
mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan.
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:

1.

Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber
informasi kegiatan akademik maupun umum.

2.

Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.

3.

Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk
mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan
terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.

4.

Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicitacitakan.

5.

Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.

6.

Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.

7.

Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar.

8.

Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.

9.

Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah
laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner,
mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1.

Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar
mengajar (pre-teaching problems).;

2.

Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang,
menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai
orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik
(manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).

3.

Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus
memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang
ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu
sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga
mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus
membantu pemecahannya (remedial teaching).
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah,
guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah
pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga
(family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu
masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi
pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1.

Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;

2.

Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam
pendidikan;

3.

Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;

4.

Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;

5.

Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;

6.

Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik
sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan

7.

Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi kepada masyarakat.

Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1.

Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;

2.

Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan
penguasaan keilmuannya;

3.

Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;

4.

model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan

5.

Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan
gurunya.

Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :


1.

Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu
mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

2.

seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki
kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat
mencapai tujuan pendidikan;

3.

Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai
cara untuk mencapai tujuan pendidikan;

4.

Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi
membuat suatu hal yang baik; dan

5.

Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan
mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam
pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning).
Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran,
seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta
didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan
belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks,
sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya.
Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang
tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang
tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang
lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara
profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus
melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus

paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil
penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya
justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
1.

Peran Wali Kelas

Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
1) Membantu guru pembimbing/konselor melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung
jawabnya.
2) Membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya di
kelas yang menjadi tanggung jawabnya.
3) Membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya,
untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan dan konseling;
4)

Berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus; dan

5)

Mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada guru pembimbing/konselor.

6)

Kerjasama guru dan konselor dalam layanan bimbingan konseling.


1.

Peran guru pembimbing/konselor

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang harus dimili oleh seorang guru penyuluh / konselor.
1.

Kwalifikasi Dan Pendidikan Guru Penyuluh

Untuk menghadapi kebutuhan dewasa ini seorang guru penyuluh sekurang-kurangnya harus seorang sarjana muda. Ia harus
memiliki kwalifikasi yang memungkinkannya untuk dapat melaksanakan tugas penyuluhan dengan berhasil baik.
Diantarannya : kecakapan scholastic, minat terhadap pekerjaannya, dan berkepribadian yang baik.
1.

Kewajiban Dan Tanggungjawab Guru Penyuluh

Pada umumnya guru penyuluh bertanggungjawab dalam melaksanakan Bimbingan Pendidikan ( Educational Guidance ),
dan Bimbingan dalam masalah-masalah pribadi ( Personal Guidance ). Iapun harus menetapkan kasus-kasus yang perlu
mendapatkan perhatiannya dengan segera dengan jalan meneliti catatan-catatan sekolah, mengadakan pertemuan-pertemuan
dengan anggota-anggota staff sekolah lainya, melaksanakan observasi yang dilakukannya sendiri dan menggunakan teknik
sosiometrik.

F. Kode Etik bimbingan dan konseling

Berdasarkan keputusan pengurus besar asosiasi bimbingan dan konseling Indonesia (PBABKIN) nomor
010 tahun 20006 tentang penetapan kode etikprofesi bimbingan dan konsseling, maka sebaian dari kode etik itu
adalah sebagai berikut:
1. Kualifikasi konselor dalam nilai, sikap,keterampilan, pengetahuan dan wawasan.

a. Konselor wajib terus menerus mengembangkan dan menguasai dirinya. Ia wajib mengerti kekurangankekurangan dan prasangka-prasangka pada dirinya sendiri, yang dapat mempengarui hubunganya dengan
orang lain dan mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan profesional serta merugikan klien.
b. Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati jajni, dapat dipercaya,
jujur,tertib dan hormat.
c. Konselor wajib memiliki rasa tangggung jawab terhadap saran maupun peringatan yang diberikan
kepadanya, khususnya dari rekan rekan seprofesi dalam hubunyanga dengan pelaksanaan ketentuanketeentuaan tingkah laku profesional sebagaimana di atur dalam Kode Etik ini.
d. Konselor wajib mengutamakan mutu kerja setinggi mungkin dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi,
termasuk keuntungan material, finansial, dan popularitas.
e. Konselor wajib memiiki keterampilan menggunakan tekhnik dan prosedur khusus yang dikembangkan
ataas dasar wawasan yang luas dan kaidah-kaidah ilmiah.
2. Penyimpanan dan Penggunann Informasi.
a. Catatan tentang diri klien yang meliputi data hasil wawancara, testing, surat menyurat, perekaman dan data
lain, semuanya merupakan informasi yang bersifat rahasia dan hanya boleh digunakan untuk kepentingan
klien. Penggunaan data/ informasi untuk keperlian riiset atau pendidikan calon konselor dimungkinkan,
sepanjang identitas kien di rahasiakan.
b. Penyampaian informasi klien kepada keluarga atau kepada anggota profesi lain membutuhka persetujuan
klien.
c. Penggunaan informasi tentang klien dengan anggota profesi yang sama atau yang lain dapat dibenarkan,
asalkan untuk kepentingan klien dan tidak meruikan klien.
d. Keterangan mengenai informasi profesional hanya boleh diberikan kepada orang yang berwenang
menafsirkan dan menggunakanya.
3. Hubungan dengan Penberian pada Pelayanan.
a. Konselor wajib menangani klien selama ada kesempatan dalam hubungan antara klien dengan konselor.
b. Klien sepenuhnya berhk mengakhiri hubungsn dengan konselor, meskipun proses konseling belum
mencapai suatu hasil yang kongkrit. Sebaliknya konselor tidak akan melanjutkan hubugan apabila klien
ternyata tidak memperoleh manfaat dari hubungan itu.
4. Hubungan dengan Klien.
a. Konselor wajib menghormati harkat, martabat, integritas dan keyakinan klien.
b. Konselor wajib menempatkan kepetingan klienya di atas kepentingan pribadinya.
c. Dalam melakukan tugasnya konselor tidak mengadakan pembedaan klien atas dasar suku, bangsa, warna
kulit, agama atau status sosial ekonomi.
d. Konselor tidak akan memaksa untuk memberikan bantuan kepada seseorang tanpa izin dari orang yang
bersangkutan.
e. Konselor wajib memberikan bantuan kkepada siapapun lebih-lebih dalam keadaan darurat atau banyak
orang yang menghendaki.
f. Konselor wajib memberikan pelayanan hingga tuntas sepanjang dikehendaki oleh klien.
g. Konselor wajib menjelaskan kepasa klien sifat hubungan yang sedang dibinadan batas-batas tanggung
jawab masig-masing dalam hubungan profesional.
h. Kon selor wajib mengutamakan perhatian kepada klien, apabila timbul masalah dalam kesitiaan ini, maka
wajib diperhatikan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dan juga tuntutan profesinya sebagai konselor.
i. Konselor tidak bisa memberikan bantuan kepada sanak keluarga, teman-teman karibnya, sepanjang
hubunganya profesional.
5. Konsultasi dengan Rekan Sejawat.

Dalam rangka pemberian pelayanan kepada seorang klien, kalau konselor merasa ragu-ragu
tentang suatu hal, maka ia wajib berkonsultasi dengan sejawat selingkungan profesi. Untuk hal itu ia harus
mendapat izin terlebih dahulu dari kliennya.
6. Alih Tangan Kasus
Yaitu kode etik yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan
layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien)
kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli.

Anda mungkin juga menyukai