Pernikahan
dibawah usia 20 tahun dinyatakan sebagai pernikahan dini. Hal ini berkaitan dengan
upaya yang dilakukan BKKBN untuk mendewasakan usia pernikahan bagi remaja.
Motivasi Menikah
Motivasi menikah dalam hal ini, pernikahan yang akan dilakukan berasal dari kemauan diri
individu itu sendiri. Tidak sedikit pasangan yang menikah bukan karena kemauan sendiri.
Pernikahan yang tidak diinginkan sejak awal akan berdampak buruk pada kelangsungan
pernikahan, karena mereka tidak memiliki motivasi yang benar untuk menikah. Agar
pernikahan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sebaiknya individu memiliki motivasi
yang kuat dan alasan yang benar untuk menikah (Indriyanti, 2014)
Turner dan Helms mengklasifikasikan motivasi pernikahan menjadi lima jenis
motif, yaitu:
(1) Motif Cinta
Cinta dan komitmen sering dijadikan alasan untuk melangsungkan pernikahan. Hal
ini juga berlaku pada pasangan usia muda yang ingin menjaga komitmen mereka
bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus menunggu usia mereka
mencukupi. Sehingga motif cinta kadang dijadikan alasan untuk menikah usia
muda.
(2) Motif Kecocokan (Conformity)
Cinta dapat tumbuh karena ada kecocokan atau kesamaan diantara pasangan yang
ingin menikah.
(3) Motif Untuk Memperoleh Legistimasi (Pengakuan sah secara hukum) terhadap
pemenuhan kebutuhan Biologis
Individu yang telah melangsungkan pernikahan akan memiliki status pernikahan
yang sah, baik dari segi agama maupun administrasi pemerintahan negara (undangundang atau hokum perkawinan) sehingga individu tersebut memperoleh
pengesahan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Oleh
karena itu pernikahan merupakan cara terbaik bagi seorang individu yang ingin
menyalurkan kebutuhan seksual dengan pasangan hidupnya tanpa melanggar norma
masyarakat.
(4) Memperoleh legistimasi Status Anak
Anak-anak yang lahir dari hubungan suami istri yang menikah secara sah menurut
agama dan aturan pemerintahan akan mendapat pengakuan yang positif dari
masyarakat. Anak
tersebut
juga berhak
mendapatkan
pemeliharaan
dan
tanggungjawab yang layak dari Orang Tuanya sampai mereka dewasa dan mandiri.
(5) Merasa siap secara Mental
Kesiapan mental untuk menikah, diartikan sebagai kondisi psikologis-emosional
untuk siap menanggung berbagai resiko yang timbul selama hidup dalam
pernikahan. Kesiapan mental seseorang erat kaitannya dengan unsur usia,
pendidikan, dan status karir/pekerjaan. Umumnya mereka yang siap secara mental
untuk menikah adalah mereka yang memiliki usia lebih dari 20 tahun untuk wanita,
dan lebih dari 25 tahun untuk laki-laki, telah menyelesaikan jenjang pendidikan
tertentu serta memiliki status pekerjaan yang jelas atau mapan.
1) Kesehatan Perempuan
Perkawinan yang sehat memenuhi kriteria umur calon pasangan suami istri dalam
kurun waktu reproduksi sehat yaitu umur 20-35 tahun karena berkaitan dengan kesehatan
reproduksi wanita. Secara biologis organ reproduksi lebih matang apabila terjadi proses
reproduksi, secara psikososial kisaran umur tersebut wanita mempunyai kematangan
mental yang cukup memadai, secara sosial demografi wanita telah menyelesaikan proses
pendidikan. Perkawinan yang sehat memenuhi kaidah kesiapan pasangan suami istri
dalam aspek biopsikososial, ekonomi dan spiritual (Wahyuningsih dkk, 2009).
Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2013) salah satu dampak pernikahan dini dari
segi kesehatan perempuan adalah belum siapnya alat reproduksi wanita dalam menerima
kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti anemia, gizi kurang
dan depresi, selain itu pernikahan usia dini juga meningkatkan resiko terkena kanker
serviks.
2) Pendidikan
Menikah dini di Indonesia berkaitan erat dengan aspek pendidikan, ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat setempat. Secara umum pernikahan di usia muda mempunyai
hubungan sebab akibat dengan kemiskinan. Keluarga dengan kondisi ekonomi rendah
memiliki kecenderungan untuk menikahkan anak di usia dini. Hal ini juga merupakan
salah satu pendorong terjadinya pernikahan usia muda. Disisi lain pendidikan yang tidak
terjangkau menyebabkan remaja terutama perempuan berhenti sekolah dan kemudian
dinikahkan untuk mengalihkan beban otang tua (BKKBN, 2013)
Pernikahan usia dini akan menghambat berlanjutnya pendidikan dasar anak karena
pernikahan yang dilakukan sebelum waktunya. Hal ini juga banyak terjadi di Desa
Tempuran Kecamatan Bantaran Probolinggo. Anak-anak yang seharusnya lulus dari
Sekolah Dasar (SD) dan berlanjut ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama
malah melakukan pernikahan setelah lulus SD. Tentu saja perilaku pernikahan ini
menghambat program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pemerintah yang sudah
ditetapkan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2/1989.
3) Kualitas Anak
WHO menyatakan bahwa wanita yang melahirkan pada usia remaja memiliki
resiko buruk bagi bayi yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan apabila wanita yang masih
dalam pertumbuhan mengalami kehamilan, maka saat itu akan terjadi persaingan nutrisi
dengan janin yang dikandungnya sehingga berat badan ibu hamil tersebut seringkali
sulit naik. Keadaan seperti ini juga dapat disertai dengan anemia yang disebabkan
karena ada nya defisiensi nutrisi pada ibu hamil sehingga beresiko melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR). USAID menyatakan bahwa anatomi panggul yang
masih dalam masa pertumbuhan beresiko untuk terjadinya persalinan yang
membutuhkan waktu cukup lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan
kematian neonates (Fadlyana dan Larasaty, 2009).
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Kumalasari dan Andhyantoro,
2013, Pernikahan usia dini dapat berpengaruh pada kualitas anak yang dihasilkan,
antara lain:
(1) Bayi berat lahir rendah (BBLR), adanya kebutuhan nutrisi yang harus lebih
banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan pertumbuhan ibu sendiri.
(2) Bayi-bayi yang dilahirkan ibu yang berusia dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil
dan bayi BBLR memiliki kemungkinan 5-30 kali lebih tinggi untuk meninggal.
Konsekuensi masalah akibat perkawinan usia muda bagi remaja menurut Dariyo
(2004) antara lain :
(1) Konsekuensi terhadap pendidikan
Remaja wanita yang hamil, pada umumya tidak memperoleh penerimaan sosial
dari lembaga pendidikannya. Hal ini akan mengakibatkan remaja wanita tersebut
dikeluarkan dari sekolahnya dan akan mengalami putus sekolah atau Drop Out
(DO).
Hal
ini
dikarenakan
persyaratan
di
lembaga
pendidikan
tidak