Anda di halaman 1dari 6

Pernikahan Dini

Pernikahan

Menurut Undang Undang Perkawinan No.1/1974, pernikahan adalah ikatan


lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Indah (2010), Pernikahan merupakan
peristiwa ketika sepasang mempelai dipertemukan secara formal di hadapan
penghulu/kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian
disahkan secara resmi sebagai suami-istri melalui upacara dan ritual tertentu.
Pernikahan Dini

Pernikahan dini menurut Nukman (2009) adalah pernikahan yang dilakukan


dibawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan.
Sedangkan African Charter on the Rights and Welfare of the Child dalam Andrian
(2013), pernikahan dini (Child Marriage) didefinisikan sebagai penyatuan dua orang
dengan salah satu pasangan berbeda di bawah usia 18 tahun. Dalam Undang
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa
pasangan calon pengantin pria dapat melangsungkan perkawinan apabila telah
berusia 19 tahun dan calon pengantin wanita telah berusia 16 tahun. Sehingga apabila
pernikahan dilangsungkan pada pasangan wanita usia kurang dari 16 tahun dan pria
kurang dari 19 tahun dianggap sebagai pernikahan usia Dini.
BKKBN (2010) Menargetkan usia pernikahan pertama bagi perempuan adalah 20
tahun dan 25 tahun bagi laki-laki. Berdasarkan ketetapan tersebut pernikahan

dibawah usia 20 tahun dinyatakan sebagai pernikahan dini. Hal ini berkaitan dengan
upaya yang dilakukan BKKBN untuk mendewasakan usia pernikahan bagi remaja.
Motivasi Menikah

Motivasi menikah dalam hal ini, pernikahan yang akan dilakukan berasal dari kemauan diri
individu itu sendiri. Tidak sedikit pasangan yang menikah bukan karena kemauan sendiri.
Pernikahan yang tidak diinginkan sejak awal akan berdampak buruk pada kelangsungan
pernikahan, karena mereka tidak memiliki motivasi yang benar untuk menikah. Agar
pernikahan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sebaiknya individu memiliki motivasi
yang kuat dan alasan yang benar untuk menikah (Indriyanti, 2014)
Turner dan Helms mengklasifikasikan motivasi pernikahan menjadi lima jenis
motif, yaitu:
(1) Motif Cinta
Cinta dan komitmen sering dijadikan alasan untuk melangsungkan pernikahan. Hal
ini juga berlaku pada pasangan usia muda yang ingin menjaga komitmen mereka
bisa melangsungkan pernikahan mereka tanpa harus menunggu usia mereka
mencukupi. Sehingga motif cinta kadang dijadikan alasan untuk menikah usia
muda.
(2) Motif Kecocokan (Conformity)
Cinta dapat tumbuh karena ada kecocokan atau kesamaan diantara pasangan yang
ingin menikah.
(3) Motif Untuk Memperoleh Legistimasi (Pengakuan sah secara hukum) terhadap
pemenuhan kebutuhan Biologis
Individu yang telah melangsungkan pernikahan akan memiliki status pernikahan
yang sah, baik dari segi agama maupun administrasi pemerintahan negara (undangundang atau hokum perkawinan) sehingga individu tersebut memperoleh
pengesahan untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan hidupnya. Oleh

karena itu pernikahan merupakan cara terbaik bagi seorang individu yang ingin
menyalurkan kebutuhan seksual dengan pasangan hidupnya tanpa melanggar norma
masyarakat.
(4) Memperoleh legistimasi Status Anak
Anak-anak yang lahir dari hubungan suami istri yang menikah secara sah menurut
agama dan aturan pemerintahan akan mendapat pengakuan yang positif dari
masyarakat. Anak

tersebut

juga berhak

mendapatkan

pemeliharaan

dan

tanggungjawab yang layak dari Orang Tuanya sampai mereka dewasa dan mandiri.
(5) Merasa siap secara Mental
Kesiapan mental untuk menikah, diartikan sebagai kondisi psikologis-emosional
untuk siap menanggung berbagai resiko yang timbul selama hidup dalam
pernikahan. Kesiapan mental seseorang erat kaitannya dengan unsur usia,
pendidikan, dan status karir/pekerjaan. Umumnya mereka yang siap secara mental
untuk menikah adalah mereka yang memiliki usia lebih dari 20 tahun untuk wanita,
dan lebih dari 25 tahun untuk laki-laki, telah menyelesaikan jenjang pendidikan
tertentu serta memiliki status pekerjaan yang jelas atau mapan.

Dampak Pernikahan Dini

1) Kesehatan Perempuan
Perkawinan yang sehat memenuhi kriteria umur calon pasangan suami istri dalam
kurun waktu reproduksi sehat yaitu umur 20-35 tahun karena berkaitan dengan kesehatan
reproduksi wanita. Secara biologis organ reproduksi lebih matang apabila terjadi proses
reproduksi, secara psikososial kisaran umur tersebut wanita mempunyai kematangan
mental yang cukup memadai, secara sosial demografi wanita telah menyelesaikan proses

pendidikan. Perkawinan yang sehat memenuhi kaidah kesiapan pasangan suami istri
dalam aspek biopsikososial, ekonomi dan spiritual (Wahyuningsih dkk, 2009).
Menurut Kumalasari dan Andhyantoro (2013) salah satu dampak pernikahan dini dari
segi kesehatan perempuan adalah belum siapnya alat reproduksi wanita dalam menerima
kehamilan sehingga dapat menimbulkan berbagai komplikasi seperti anemia, gizi kurang
dan depresi, selain itu pernikahan usia dini juga meningkatkan resiko terkena kanker
serviks.
2) Pendidikan
Menikah dini di Indonesia berkaitan erat dengan aspek pendidikan, ekonomi, sosial
dan budaya masyarakat setempat. Secara umum pernikahan di usia muda mempunyai
hubungan sebab akibat dengan kemiskinan. Keluarga dengan kondisi ekonomi rendah
memiliki kecenderungan untuk menikahkan anak di usia dini. Hal ini juga merupakan
salah satu pendorong terjadinya pernikahan usia muda. Disisi lain pendidikan yang tidak
terjangkau menyebabkan remaja terutama perempuan berhenti sekolah dan kemudian
dinikahkan untuk mengalihkan beban otang tua (BKKBN, 2013)
Pernikahan usia dini akan menghambat berlanjutnya pendidikan dasar anak karena
pernikahan yang dilakukan sebelum waktunya. Hal ini juga banyak terjadi di Desa
Tempuran Kecamatan Bantaran Probolinggo. Anak-anak yang seharusnya lulus dari
Sekolah Dasar (SD) dan berlanjut ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama
malah melakukan pernikahan setelah lulus SD. Tentu saja perilaku pernikahan ini
menghambat program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun pemerintah yang sudah
ditetapkan dalam Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2/1989.
3) Kualitas Anak

WHO menyatakan bahwa wanita yang melahirkan pada usia remaja memiliki
resiko buruk bagi bayi yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan apabila wanita yang masih
dalam pertumbuhan mengalami kehamilan, maka saat itu akan terjadi persaingan nutrisi
dengan janin yang dikandungnya sehingga berat badan ibu hamil tersebut seringkali
sulit naik. Keadaan seperti ini juga dapat disertai dengan anemia yang disebabkan
karena ada nya defisiensi nutrisi pada ibu hamil sehingga beresiko melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR). USAID menyatakan bahwa anatomi panggul yang
masih dalam masa pertumbuhan beresiko untuk terjadinya persalinan yang
membutuhkan waktu cukup lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan
kematian neonates (Fadlyana dan Larasaty, 2009).
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Kumalasari dan Andhyantoro,
2013, Pernikahan usia dini dapat berpengaruh pada kualitas anak yang dihasilkan,
antara lain:
(1) Bayi berat lahir rendah (BBLR), adanya kebutuhan nutrisi yang harus lebih
banyak untuk kehamilannya dan kebutuhan pertumbuhan ibu sendiri.
(2) Bayi-bayi yang dilahirkan ibu yang berusia dibawah 18 tahun rata-rata lebih kecil
dan bayi BBLR memiliki kemungkinan 5-30 kali lebih tinggi untuk meninggal.
Konsekuensi masalah akibat perkawinan usia muda bagi remaja menurut Dariyo
(2004) antara lain :
(1) Konsekuensi terhadap pendidikan
Remaja wanita yang hamil, pada umumya tidak memperoleh penerimaan sosial
dari lembaga pendidikannya. Hal ini akan mengakibatkan remaja wanita tersebut
dikeluarkan dari sekolahnya dan akan mengalami putus sekolah atau Drop Out
(DO).

Hal

ini

dikarenakan

persyaratan

di

memperkenankan anak didiknya untuk menikah.

lembaga

pendidikan

tidak

(2) Konsekuensi penyesuaian dalam kehidupan keluarga


Sebagai remaja yang telah kawin pada usia muda maka remaja tersebut harus
dapat menyesuaikan diri dalam keluarganya yang baru. Ketidakmampuan dalam
menyesuaikan diri, maka akan sering menimbulkan konflik-konflik, seperti
percecokan dan pertengkaran yang biasanya akan berakhir dengan perceraian.
Hal ini mengakibatkan remaja tersebut akan berstatus sebagai janda muda maupun
duda muda.
(3) Konsekuensi ekonomi
Sebagai orang tua, tentulah remaja yang menikah muda harus bertanggung jawab
untuk memberi pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga sehingga remaja
tersebut harus bekerja. Akan tetapi dikarenakan remaja kurang memiliki
pengetahuan, ketrampilan, atau keahlian yang cukup memadai sebagai seorang
yang profesional, maka meraka akan mendapatkan penghasilan yang rendah.
Penghasilan yang rendah ini akan menyebabkan remaja tidak mampu untuk
membiayai kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal ini akan mengakibatkan
masalah-masalah percecokan, konflik perceraian, kemiskinan dan ketidakpuasan
kerja.

Anda mungkin juga menyukai