BAB I
PENDAHULUAN
Obstruksi usus yang terjadi pada masa awal kehidupan posnatal merupakan
suatu abnormalitas yang memiliki banyak kemungkinan penyebab. Penyebab
obstruksi usus yang paling sering salah satunya adalah Hirschsprungs Disease (HD).
(1) HD atau megakolon aganglionik adalah gangguan kongenital yang ditandai
dengan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosa (meissner)
dan pleksus myenterik/auerbach di sepanjang usus sehingga menyebabkan obstruksi
fungsional. Kebanyakan kasus HD terdiagnosis pada masa bayi, meskipun mungkin
pada beberapa kasus tidak terdiagnosis sampai masa remaja atau awal masa
dewasa. (2)
Insiden HD memiliki rentang antara 1 dari 4400 hingga 1 dari 7000 kelahiran. HD
lebih sering diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Pada HD jenis segmen panjang, rasio dapat
mencapai 1:1. Pada beberapa kasus, HD dapat berhubungan dengan satu atau lebih
anomali kongenital, salah satu yang tersering adalah trisomi 21 (sindrom down). Hal
tersebut menunjukkan bahwa HD dapat dikategorikan dalam kasus familial (25%)
dan kasus non-familial (10%). Peningkatan insiden terjadi pada kasus familial, yaitu
meningkat sekitar 6% dengan rentang dari 2% hingga 18%. HD merupakan masalah yang
Hanya dengan penegakan diagnosis yang lebih dini, pasien dapat dirujuk segera ke
unit operasi khusus untuk mendapatkan penatalaksanaan yang tepat. Permasalahan
yang seringkali ditemui pada sejumlah besar pasien adalah diagnosis dan
penatalaksanaan yang keliru serta adanya keterlambatan dalam pengobatan
disebabkan bentuk anatomi yang berbeda dan manifestasi klinis dari HD yang
bervariasi. Oleh karena itu, berdasarkan gambaran di atas sangat penting untuk
mengetahui dan memahami HD secara komprehensif, agar diagnosis dapat
ditegakkan lebih dini, sehingga penatalaksanaan yang adekuat dapat diberikan secara
tepat. (2,3)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Hirschsprung Disease (HD) dikenal juga dengan istilah congenital
megacolon merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan ketiadaan sel-sel
ganglion pada pleksus submukosa dan myenterikus. Penyakit ini pertama sekali
mulai di temukan pada abad ke-17 oleh seorang ahli pediatrik dari Copenhagen yaitu
Harald Hirschprung. Pada banyak kasus, HD juga disertai dengan penebalan dan
peningkatan jumlah serabut saraf di sepanjang usus, dengan panjang segmen
aganglionik yang bervariasi, sehingga keadaan tersebut dapat menyebabkan obstruksi
fungsional. (2,4,5)
2.3
Epidemiologi
Insiden HD memiliki rentang 1 dari 4400 hingga 1 dari 7000 kelahiran. HD lebih
sering diderita oleh laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio jenis kelamin antara
laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Pada HD jenis segmen panjang, rasio dapat mencapai
1:1. Peningkatan insiden dapat terjadi dalam kelompok familial pasien. Insiden tersebut
meningkat sekitar 6% dengan rentang dari 2% hingga 18%. Badner et al dalam penelitiannya
menemukan bahwa saudara laki-laki dari pasien dengan HD jenis segmen pendek memiliki
risiko lebih tinggi, yaitu sebesar 4% jika dibandingkan dengan saudara perempuan sebesar
1%. Pada HD jenis segmen panjang, saudara laki-laki dan anak dari seorang pasien
perempuan memiliki risiko terbesar untuk menderita HD, yaitu dengan persentase 24%
hingga 29%. (2,3)
Embriologi
Perkembangan embriologik normal sistem saraf enterik perlu dipahami untuk
mengetahui keadaan patologis yang terjadi pada HD. Perkembangan sel ganglion
normal terdiri dari beberapa fase. Fase pertama adalah fase induksi, yang bergantung
pada banyaknya variasi faktor dan sinyal molekular yang terlibat. Fase yang kedua
adalah migrasi dari sel pial neural pada saluran pencernaan, fase yang ketiga adalah
diferensiasi dari sel pial neural menjadi beberapa tipe sel. (3)
Pada perkembangan embriologik normal, sel pial neural bermigrasi secara
cephalo-kaudal, yaitu dari saluran pencernaan paling proksimal hingga distal. Sel
saraf pertama sampai di esofagus pada minggu ke-5 gestasi. Pada minggu ke-7
gestasi, sel saraf berada di midgut, dan migrasi ke kolon distal dicapai pada minggu
ke 12. Periode Migrasi sel pial neural dari kolon midtransversum menuju anus
merupakan kondisi yang rentan bagi sel tersebut untuk mengalami suatu defek. Hal
tersebut menjelaskan mengapa sebagian besar kasus HD memiliki segmen
aganglionik pada rektum dan rektosigmoid. Migrasi sel tersebut terjadi pertama kali
ke dalam pleksus intermuskular (Auerbach/Myenterik), kemudian sel-sel tersebut
berpindah ke dalam pleksus submukosa (Meissner). Migrasi sel pial neural diarahkan
dan dipandu oleh glikoprotein seperti fibronektin dan asam hyaluronat (protein
laminar). (3,5)
Pada dasarnya, abnormalitas embriologik yang terjadi pada HD terdiri dari dua
teori embriologik, yaitu teori migrasi dan teori diferensiasi. Teori migrasi
menjelaskan kegagalan dari migrasi sel pial neural dari cephalo ke kaudal, sedangkan
teori diferensiasi menyatakan bahwa migrasi sel pial neural dapat sampai menuju
distal, namun terjadi gangguan pada perkembangannya menjadi sel-sel lain yang
lebih matur. (4) Grosfeld mengemukakan beberapa penyimpangan yang terjadi pada
HD untuk mendukung teori migrasi dan teori diferensiasi, yaitu sebagai berikut (3):
1. Penyimpangan migrasi saraf enterik
Semua neuron dan sel glial yang membangun sistem saraf enterik berasal dari sel
pial neural. Migrasi sel yang normal bersifat sangat kompleks dan bergantung pada
beberapa faktor. Pada awalnya terdapat pendapat bahwa sel ganglion usus berasal
dari sel pial neural bagian vagal dan sakral. Sekarang diketahui bahwa sel pial neural
vagal adalah sumber sel ganglion utama, dan sel tersebut secara jelas bermigrasi ke
usus sebelum sumber-sumber lain bermigrasi. Sel pial neural bagian sakral
membentuk komponen yang terkecil dari sistem saraf enterik dan berkontribusi
terutama pada hindgut. Penyebab terjadinya HD adalah kegagalan dari sel pial neural
untuk bermigrasi menuju segmen usus yang lebih distal.
oleh beberapa neurotransmitter lain. Hilangnya ekspresi nitrat oksida juga telah
diidentifikasi pada area aganglionik usus.
4. Hilangnya ekspresi molekul adhesi selular.
Mendukung teori lingkungan, Langer et al. dalam Grosfeld mendemonstrasikan
sel ganglion yang dikultur dengan jaringan otot halus dari kolon aganglionik
mengasilkan penurunan kemampuan yang signifikan untuk menempel ke sel-sel otot
halus, yang mengakibatkan berkurangnya perlekatan dari sel ke sel. Temuan ini
berhubungan dengan hilangnya aktivitas molekul adesi sel neural (NCAM) pada HD.
Kobayashi et al. dalam Grosfeld meneliti reaktivitas NCAM pada spesimen kolonik
pasien HD. Segmen kolon ganglionik memiliki reaktivitas NCAM yang lebih kuat
jika dibandingkan dengan segmen yang aganglionik. NCAM dipercaya menjadi
suatu komponen yang penting dalam migrasi neurosit dan melokalisasi neurosit ke
suatu situs spesifik selama embriogenesis. Molekul adhesi lain yang menunjukkan
penurunan ekspresi pada area aganglionik antara lain LICAM dan N-Cadherin.
Kemungkinan
untuk
mengkompensasi
hilangnya
molekul-molekul
tersebut,
Etiologi
Penyakit Hirschsprung telah lama dicurigai mempunyai kaitan dengan dasar
genetik oleh karena adanya riwayat keluarga pada kebanyakan kasus dan juga
diketahui berhubungan dengan trisomi 21 dan kelainan lain yang didasari oleh
penyebab genetik. Dalam 2 dekade terakhir semakin banyak peneliti yang
memperlihatkan progress yang signifikan dalam mengidentifikasi mutasi gen dan
mekanisme yang bertanggung jawab dalam menjelaskan penyebab dari penyakit ini.
Gen pertama dan merupakan yang tersering telah berhasil diidentifikasi, diantaranya
adalah RET proto-onkogen, yaitu gen yang mengkode reseptor tirosin kinase. Mutasi
gen tersebut dan gen lain yang terkait telah banyak ditemukan, seperti neuritin dan
Glial Cell Line Derived Neurotrophic Factor (GDNF). Proses mutasi dari gen-gen
tersebut dalam menyebabkan terjadinya aganglionosis masih belum jelas, tetapi
terdapat bukti bahwa kematian sel neuron dini mungkin merupakan mekanisme yang
dapat menjelaskan proses terjadinya penyakit ini. Kelainan gen RET sering
ditemukan pada pasien dengan riwayat keluarga HD dan keterlibatan segmen kolon
yang panjang. (4)
Mutasi dari gen-gen endotelin, khususnya endotelin-3 dan reseptor endotelin B
juga sangat berhubungan dengan HD. Banyak dari anak-anak dengan mutasi gen
Patofisiologi
Usus berisi 3 pleksus neuronal, yaitu pleksus submukosa (meissner), pleksus
intermuskular myenterik (Auerbach) dan pleksus mukosa yang kecil. Setiap pleksus
tersebut memiliki jaringan neuronal yang berperan dalam mengontrol banyak fungsi
dari usus (absorpsi, sekresi, aliran darah, dan motilitas), dengan pengaturan yang
relatif sedikit dari sistem saraf pusat tubuh. Motilitas usus normal dikontrol oleh
neuron intrinsik dari masing-masing ganglion. Hilangnya kontrol ekstrinsik masih
memberikan fungsi yang adekuat pada usus. Ganglia tersebut dapat menyebabkan
otot polos berkontraksi dan berelaksasi, namun relaksasi lebih dominan. Kontrol
ekstrinsik dari usus adalah lewat serat kolinergik preganglionik dan serat adrenergik
postganglionik. Serat kolinergik menghasilkan kontraksi melalui neurotransmitter
asetilkolin. Serat adrenergik dominan menghambat tetapi juga memiliki jalur
eksitatorik dan menggunakan norepinefrin untuk melaksanakan fungsinya. Usus
juga mengandung suatu sistem saraf instrinsik dengan suatu neurotransmiter yang
secara alami menghambat, sistem ini sebelumnya mengacu pada sistem saraf
nonkolinergik dan nonadrenergik. Bult et al. dalam Grosfeld menyatakan bahwa
NO adalah mediator dari aksi inhibitorik tersebut. Pada usus yang normal,
keseimbangan antara kontraksi dan relaksasi menjaga otot polos terkontrol dengan
baik. (3)
Suatu sel pacemaker dari usus-sel interstisial cajal (SIC)- telah dihipotesiskan
berkurang pada area yang terlibat pada HD. Penelitian mendemonstrasikan bahwa
distribusi normal dan berkurangnya SIC pada HD telah dipublikasikan. Hal yang
menarik adalah SIC menggunakan karbon monoksida sebagai neurotransmitter.
Secara potensial, hilangnya SIC dapat berkontribusi secara signifikan pada
patofisiologi HD. (3)
Refleks motilitas normal ada pada rektum distal. Suatu distensi yang ringan
pada rektum distal menginisiasi kontraksi dari segmen bagian atas dan relaksasi
segmen bagian bawah. Refleks tersebut murni adalah refleks intrinsik dari usus itu
sendiri. Tidak adanya refleks tersebut menandakan suatu abnormalitas atau tidak
ditemukannya sel ganglion. Dengan tidak ditemukan sel ganglion, sistem saraf
ekstrinsik mengalami peningkatan aktivitas persarafan yang nyata dari usus. Sistem
adrenergik dan kolinergik memperlihatkan 2 hingga 3 kali lipat peningkatan
inervasi pada usus yang aganglionik. Hal ini menspekulasikan bahwa sistem
eksitatorik adrenergik dominan daripada fungsi inhibitorik pada segmen
aganglionik, oleh karena itu hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan tonus otot
polos. Persarafan kolinergik dominan eksitatorik secara nyata meningkat pada
jaringan aganglionik. Komponen lain yang menjelaskan tentang mekanisme spasme
segmen aganglionik adalah hilangnya kadar NO, yang secara normal diekspresikan
pada sel ganglion. Beberapa inverstigator mendemonstrasikan kehilangan dari NO
sintase (enzim yang dibutuhkan untuk produksi NO) pada pleksus myenterik dari
usus aganglionik, dimana kadar normal dari sintase NO ditemukan pada segmen
ganglionik. Dapat terlihat bahwa hilangnya NO, disertai dengan peningkatan
adrenergik dan serat kolinergik eksitatorik memicu kontraksi yang berlebihan dari
otot polos. (3)
10
Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari:
a. Anamnesis
11
12
diagnosis
HD.
Pemeriksaan
anorektal
manometri
pada
HD
13
ini pada dasarnya tidak menyakiti neonatus/bayi karena ususnya tidak memiliki
persarafan somatik. (4)
Baku emas untuk diagnosis HD adalah tidak adanya sel ganglion dalam pleksus
submukosa (Meissner) dan pleksus Intermuskular (Auerbach/Myenteric) pada
pemeriksaan Patologi Anatomi. Selain itu, didapatkan adanya hipertrofi serabut saraf
dan peningkatan hasil pewarnaan asetilkolinesterase. Biopsi rektal harus diambil
setidaknya 1,0-1,5 cm diatas linea dentata. (4,3)
Pada anak yang lebih tua, suction biopsi mungkin kurang dapat diandalkan karena
risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya sampling error. Hal tersebut disebabkan
oleh dinding rektum yang lebih tebal dibandingkan neonatus. Oleh karena itu, dapat
dilakukan teknik biopsi full-thickness yang biasanya dilakukan dengan anestesi
umum. (4)
2.7
Diagnosis Banding
Beberapa variasi penyakit dapat dipertimbangkan ketika seorang anak
14
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis HD ditegakkan, anak harus segera diresusitasi dengan cairan
15
pembuatan
kolostomi
pada
masa
neonatal
dan
diikuti
dengan
penatalaksanaan definif pull through ketika berat badan bayi lebih dari 10 kg.
Sekarang telah dikembangkan suatu prosedur pull through yang terdiri dari satu
tahap saja. Prosedur satu tahap dilaporkan lebih aman, bahkan jika dilakukan pada
periode neonatal sekalipun. Pendekatan ini sama dengan prinsip-prinsip operasi
sebelumnya, hanya saja terdiri dari satu tahap. Kelebihannnya antara lain
menghindari morbiditas stoma pada bayi, dan lebih efektif biaya. Namun, pembuatan
stoma mungkin masih diperlukan untuk bayi dan anak-anak dengan enterokolitis
berat, perforasi, malnutrisi, atau dilatasi masif proksimal usus, dan dalam situasi
ketika tidak mungkin untuk mengidentifikasi zona transisi melalui pemeriksaan
frozen section. (5,3)
2.8
Komplikasi
Komplikasi post operasi pada HD dapat dipecah menjadi komplikasi jangka
1. Inkontinensia
16
17
BAB III
PRESENTASI KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
Tanggal Lahir
Umur
Alamat
Agama
: Islam
No CM
: 1-06-81-90
Tanggal Masuk
: 21 Oktober 2015
Tanggal Pemeriksaan : 28 Oktober 2015
II. ANAMNESIS
KeluhanUtama
Perut Kembung
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dirujuk dari RSIA Bunda Lhoksumawe dengan keluhan perut kembung
kembali setelah sebelumnya dirawat selama 2 hari. Pada awalnya pasien datang ke
rumah sakit dengan keluhan perut kembung sejak 3 hari setelah lahir. Saat lahir
keluar BAB berwarna hijau kehitaman dengan jumlah yang sangat sedikit, kira-kira
sebesar satu ruas jari kelingking. Selama perawatan di RSIA Bunda Lhoksumawe
pasien diberikan obat pencahar dan dilakukan bilas anus oleh bidan. Setelah itu,
keluhan perut kembung pada pasien menghilang. Selama dirawat di rumah selama 2
minggu, konsistensi feses kadang encer kadang sedikit mengeras. Frekuensi BAB
pasien adalah 1-2 kali sehari. Feses berwarna kuning dan tidak berdarah. Setelah 2
minggu, keluhan perut kembung muncul kembali yang menyebabkan pasien dirujuk
ke RSUDZA.
Selain perut kembung, pasien juga pernah mengalami muntah kuning yang tidak
menyemprot setelah disusui pada hari ke empat paska dilahirkan. Nafsu menyusui
pasien baik, terlihat dengan keinginan untuk disusui terus menerus. Pasien juga sering
rewel. BAK tidak ada keluhan.
18
Pasien lahir pervaginam dibantu oleh bidan, cukup bulan, dengan berat badan
lahir 4,2 kg, panjang badan 50 cm dan tali pusat putih mengkilat. Pasien menangis
spontan. Saat mengandung, ibu pasien tidak pernah menderita sakit parah, namun ibu
pasien mengaku mengalami anemia selama kehamilan. Riwayat ANC teratur. Ibu
pasien menyatakan, mata dan kulit pasien tidak terlihat kuning saat baru dilahirkan.
Pasien memang sempat di letakkan dibawah warmer beberapa menit.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal yang sama.
Riwayat Penggunaan Obat
Pasien diberikan obat pencahar Laxative 3x2 mg saat dirawat di RSIA Bunda
Lhoksmawe.
Riwayat Kehamilan Ibu
Ibu pasien ANC teratur dibidan, Ibu hamil aterm 40 minggu. Riwayat trauma
sebelumnya disangkal, Ibu tidak mempunyai riwayat darah tinggi selama kehamilan,
riwayat diabetes mellitus (-), asma (-),alergi (-), gigi berlubang (-). Riwayat
mengonsumsi obat-obatan selama hamil (-).
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara pervaginam dengan BBL 4200 gr dan panjang 50 cm. Pasien
merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dengan jenis kelamin laki-laki, lahir
cukup bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 28 Oktober 2015
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Heart rate
: 140 x/menit
Pernapasan
: 40 x/menit
Suhu
: 36,5oC
: 4900 gram
Panjang Badan
: 50 cm
19
STATUS INTERNUS
a. Kulit
Warna
: Normal
Turgor
: Kembali cepat
Sianosis
: (-)
Ikterus
: (-)
Oedema
: (-)
Pucat
: (-)
b. Kepala
Kepala
: Normochepal
Rambut
Wajah
Mata
Telinga
Hidung
:NCH (-)
Mulut
Bibir
Lidah
: sulit dinilai
Tonsil
: sulit dinilai
Faring
: sulit dinilai
c. Leher
Inspeksi
d. Thorax
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: Vesikuler (+/+)
e. Jantung
Inspeksi
Palpasi
20
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
f. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
Ginjal
: Tidak teraba
Perkusi
Auskultasi
f. Genitalia
: Kesan Normal
g. Anus
h. Tulang Belakang
: Kesan Normal
i. Ekstremitas
:
Kiri
-
Inferior
Kanan
-
Kiri
-
Akral Dingin
Capillary refill
<2
<2
<2
<2
Sianosis
Pucat
Superior
Kanan
-
21
22
Hasil
8,6
13,1
493
24
2,5
9
0
23
54
14
Nilai rujukan
12,7-18,7 gr/dl
5,0-21,0 x 103/ul
150 - 450 x 103/ul
53.0 - 63.0 %
4,4-5,8 x 103/ul
0-6 %
0-2 %
50-70 %
20-40 %
2-8 %
3
8
1-7 menit
5-15 menit
140
5,7
105
135-145 mmol/l
3,5-4,5 mmol/l
90-110 mmol/l
76
<200 mg/dl
14
0,22
13-43 mg/dl
0,67-1,17 mg/dl
23
23/10-2015
JenisPemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Eritrosit
Eosinofil
Basofil
NetrofilSegmen
Limfosit
Monosit
Hasil
12,5
12,7
413
35
4,0
9
0
22
53
16
Nilairujukan
12,7-18,7 gr/dl
5,0-21,0 x 103/ul
150 - 450 x 103/ul
53.0 - 63.0 %
4,4-5,8 x 103/ul
0-6 %
0-2 %
50-70 %
20-40 %
2-8 %
Jenis Pemeriksaan
Hemoglobin
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
Eritrosit
MCV
MCH
MCHC
Eosinofil
Basofil
NetrofilSegmen
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
Elektrolit
Na
K
Diabetes
Gula Darah
Hasil
9,4
15,6
372
26
3,0
87
31
36
2
0
46
38
14
Nilai rujukan
12,7-18,7 gr/dl
5,0-21,0 x 103/ul
150 - 450 x 103/ul
53.0 - 63.0 %
4,4-5,8 x 103/ul
80-100 Fl
27-31 tg
32-36 %
0-6 %
0-2 %
50-70 %
20-40 %
2-8 %
140
4,6
135-145 mmol/l
3,5-4,5 mmol/l
121
<200 mg/dl
3/11-2015
Sewaktu
24
3. Foto Radiologi
a. Foto Polos Abdomen (21/10/2015)
25
Kesimpulan: Pada foto polos abdomen terlihat gambaran dilatasi usus (+), bayangan
hepar dan lien tidak membesar, kontur kedua ginjal tampak tidak jelas, bayangan
radioopak disepanjang traktur urinarius (-), psoas shadow tidak terlihat. Pada foto
26
barium enema AP dan lateral terlihat gambaran dilatasi usus (+), fekal material (+),
zona transisi (-), mukosa kolon normal.
Kesan: Tidak tampak gambaran Hirschsprungs Disease.
4. Patologi Anatomi Jaringan Hasil Suction Biopsi 28/10-2015
Lokalisasi
: Rektosigmoid
Makroskopis
: Jaringan ukuran 0,5x0,3x0,2 cm, warna putih,
konsistensi kenyal, 1 blok
Mikroskopis
: Tampak mukosa usus dengan jaringan limfoid dan otot
polos. Tidak dijumpai adanya ganglion, tidak dijumpai
tanda keganasan.
Kesimpulan
: Hirschsprungs Disease
2.6
Diagnosis
Hirschsprungs Disease + Anemia Sedang
2.7
Prognosis
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanactionam
: dubia ad bonam
BAB IV
DISKUSI
Penegakan diagnosis pada pasien ini dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pada awalnya pasien
27
datang ke RS dengan keluhan perut kembung, hal ini sesuai dengan yang teori yang
menyatakan bahwa mayoritas pasien HD akan memperlihatkan manifestasi klinis
berupa distensi abdomen yang diakibatkan oleh adanya obstruksi fungsional pada
usus. Obstruksi fungsional pada HD terjadi akibat tidak adanya sel ganglion pada
pleksus submukosa dan myenterik sebagai persyarafan instrinsik dari usus bagian
distal yang berfungsi merelaksasikan usus. Ketiadaan dari persyarafan tersebut akan
mengakibatkan hilangnya efek relaksasi dari otot polos pada usus sehingga usus
bagian distal mengalami kontraksi yang permanen. (4)
Pada pasien ini terdapat adanya riwayat pengeluaran mekonium pada 24 jam
pertama kelahiran, tetapi dengan jumlah yang sedikit, yaitu sebesar satu ruas jari
kelingking. Pada teori dikatakan bahwa sekitar 90% pasien HD akan mengalami
pengeluaran mekonium yang tertunda dalam 24 jam pertama. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa masih ada kemungkinan sekitar 10% pasien HD tidak
mengalami hal tersebut. (4) Pada penelitian Izadi M et al. yang meneliti sebanyak 58
pasien HD, hanya 10 diantaranya yang memperlihatkan gejala pengeluaran mekonium
yang tertunda dengan persentase 17,3%. Persentase tersebut tidak terlalu signifikan
jika dibandingkan dengan pasien HD yang memperlihatkan gejala distensi abdomen
dan konstipasi, yaitu sebesar 67,3% dan 79,3% secara berturut-turut. (2) Oleh karena
itu, manifestasi pada pasien ini kemungkinan merupakan variasi dari gejala HD.
Pada pemeriksaan fisik, saat dilakukan inspeksi didapatkan adanya distensi
abdomen, darm contour dan darm steifung. Pada palpasi tidak teraba adanya
pembesaran hepar, lien, dan ginjal. Perkusi abdomen timpani, pada auskultasi
terdengar adanya peningkatan bising usus. Pada pemeriksaan RT ditemukan adanya
lubang anus pada posisi normal, sfingter ani ketat dan feses menyemprot.
Pemeriksaan penunjang radiologi foto polos memperlihatkan gambaran dilatasi usus,
adanya fekal material dan mukosa kolon yang normal. Adanya distensi abdomen
disebabkan oleh dilatasi usus akibat penumpukan fekal material. Penumpukan fekal
material akibat obstruksi usus bagian distal menyebabkan meningkatnya motilitas
usus yang dapat terdengar sebagai peningkatan bunyi bising usus. Sfingter ani yang
ketat dan adanya feses yang menyemprot menggambarkan adanya kontraksi pada
rektum dan anus akibat ketiadaan sel ganglion yang berfungsi merelaksasikan otot
polos usus. Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa tidak
ditemukannya sel ganglion pada pleksus myenterikus dan submukosa pada usus
penderita HD. (1)
28
Pada kasus ini, gambaran yang terlihat pada foto barium enema pasien tidak
patognomonik untuk HD. Pada foto tersebut, zona transisi tidak terlihat. Berdasarkan
teori, dikatakan bahwa 10% pasien HD tidak memperlihatkan adanya zona transisi
pada foto barium enema. (4) Pratap et al. menyatakan bahwa hasil false negative dari
suatu foto barium enema dapat disebabkan oleh faktor teknikal dan non-teknikal
antara lain terlalu banyak memasukkan kontras, terlalu dalam memasukkan kateter,
melakukan wash out sebelum tindakan, kaliber usus yang secara anatomis memang
berukuran kecil dan pada HD segmen panjang. (7) Kemungkinan false negative pada
kasus ini dapat terjadi akibat pemasukan kateter berisi kontras melewati zona transisi
yang ada sehingga zona transisi dapat menjadi tidak jelas hingga menghilang. Pada
teori dikatakan bahwa pemeriksaan radiologi untuk HD terdiri dari 3 tahap. Tahap
pertama dilakukan pengambilan foto polos abdomen untuk menentukan ada atau
tidaknya dilatasi usus sebagai pertanda obstruksi bagian distal usus. Tahap kedua
dilakukan pengambilan foto barium enema untuk mencari zona transisi pada usus.
Tahap ketiga dilakukan foto 24 jam post evakuasi kontras untuk menentukan ada atau
tidaknya retensi kontras, pada HD umumnya ditemukan kontras yang tertahan
(retensi) setelah 24 jam berada di dalam usus sebagai akibat dari adanya obstruksi
fungsional usus. (1,4) Pada pasien ini pengambilan foto 24 jam post evakuasi kontras
tidak dilakukan sehingga retensi kontras tidak dapat ditentukan.
Tidak patognomoniknya gambaran HD yang ditemukan perlu dikonfirmasi
dengan pemeriksaan biopsi mukosa rektum untuk menegakkan diagnosis pasti HD.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi pada pasien ini menunjukkan tidak terdapatnya
sel ganglion pada bagian rektosigmoid dan disimpulkan sebagai Hirschsprung
Disease. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pemeriksaan radiologis
Hirschsprung harus selalu dikonfirmasi dengan biopsi rektum. Hal ini dikarenakan
gold standar untuk menegakkan diagnosis HD adalah tidak ditemukannya sel ganglion
pada pemeriksaan biopsi rektum. (4)
Pada saat pasien pertama kali masuk ke rumah sakit, hasil pemeriksaan
laboratorium darah rutin pada tanggal 21 Oktober 2015 menunjukkan kadar Hb yang
rendah, yaitu sebesar 8,6 gr/dl. Dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami anemia
sedang berdasarkan kriteria WHO (8). Hasil lab tersebut juga menunjukkan kadar
Mean
Corpuscular
Volume
(MCV)
dan
Mean
Corpuscular
Hemoglobin
Concentration (MCHC) darah pasien dalam batas normal. Oleh karena itu, jenis
anemia pada pasien ini adalah normokromik normositer. Jenis anemia ini dapat
29
disebabkan oleh perdarahan, hemolisis dan gangguan pembentukan sel darah merah
oleh sumsum tulang belakang. Untuk menentukan penyebab pastinya, perlu dilakukan
penghitungan jumlah retikulosit. Jumlah retikulosit yang meningkat disebabkan oleh
perdarahan dan hemolisis, sedangkan penurunan jumlah retikulosit terjadi pada
gangguan pembentukan sel darah merah oleh sumsum tulang belakang. Pada kasus
ini, pemeriksaan tersebut tidak dilakukan sehingga penyebab pasti anemia
normokromik normositernya belum dapat ditentukan. (9) Teori lain mengatakan
bahwa kekurangan zat besi dapat memperlihatkan karakteristik berupa anemia
hipokrom mikrositer, kekurangan asam folat dan vitamin B12 memperlihatkan anemia
megaloblastik, sedangkan gabungan dari defisiensi ketiganya dapat memperlihatkan
karakteristik berupa anemia normokrom normositer. (10) Koreksi anemia dilakukan
dengan pemberian Packed Red Cell (PRC) yang sesuai dengan golongan darahnya.
Dosis yang diberikan pada anak-anak adalah 5-10 mL/kg, sedangkan dosis pada
neonatus adalah 10-15 mL/kg. Setiap unit PRC akan menaikkan konsentrasi Hb
sekitar 1 gr/dl atau kenaikan hematokrit sekitar 3%. PRC diberikan selama minimal 2
jam dan maksimal 4 jam. (11)
Pada pasien ini terdapat riwayat penggunaan laxative dengan dosis 3x2 mg.
Berdasarkan teori, penggunaan laksatif pada HD sebenarnya tidak ada anjuran. Izadi
M et al. menyatakan bahwa gejala utama pada HD adalah konstipasi yang tidak dapat
diobati dengan laksatif maupun softener. (2) Terbukti pada kasus ini, pemberian
laksatif hanya menghilangkan gejala sesaat, pasien kembali mengalami perut
kembung beberapa hari kemudian.
Pada pasien ini perlu dilakukan penanganan awal berupa pemberian cairan
intravena untuk rehidrasi, pemberian antibiotik spektrum luas untuk mencegah
komplikasi seperti enterokolitis, dekompresi menggunakan NGT, dan dekompresi
rektum menggunakan teknik irigasi (rectal irrigation/wash out). (4)
Wash out yang dilakukan bertujuan untuk mendekompresi kolon yang berada di
atas sfingter anal. Selain itu, tindakan ini juga bermanfaat untuk mencegah timbulnya
komplikasi enterokolitis. Tindakan wash out dilakukan dengan cara memasukkan
normal salin sebanyak 10-20 mL/kgBB setiap 6-8 jam melalui kateter lateks.
Selanjutnya, untuk memastikan pengosongan kolon yang efektif, ditambahkan normal
salin sekitar 10-15 mL yang dimasukkan secara gentle. Tindakan wash out sebaiknya
disertai dengan pemberian antibiotik spektrum luas baik secara intravena maupun oral
sesuai dengan derajat keparahan penyakit. (12) Antibiotik yang disarankan pada
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Hutson JM, Beasley SW. The Surgical Examination of Children London: Springer
31
Link; 2013.
2. Izadi M, Mansour-Ghanaei F, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F.
Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course Review of
Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of Digestive
Diseases. 2009; 1(2): p. 68-73.
3. Grosfeld J, ONeill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition
Philadelphia: Mosby elseivier; 2006.
4. Holcomb GW, Murphy JP, Ostlie DJ. Ashcraft's Pediatric Surgery London:
Elsevier; 2014.
5. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et
al. Schwartz's Principles of Surgery USA: The McGraw-Hill Companies; 2010.
6. Roberts PL. Rectoanal Inhibition. In Wexner XD, Pescatori M, Zbar AP. Complex
Anorectal Disorders. London: Springer Link; 2005. p. 39-47.
7. Pratap A, Gupta DK, Tiwari A, Sinha AK, Bhatta N, Singh SE, et al. Application
of a plain abdominal radiograph transition zone (PARTZ) in Hirschsprung's
disease. BMC Pediatrics. 2007; 7(5): p. 1-5.
8. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment
of severity Geneva; 2011.
9. Trimm F. Diagnostic Approach to Common Anemias in Pediatrics. Pediatric
Medicine. 2004; 1(4): p. 1-12.
10. El-Zammar D, Yan M, Huang C, Fang D, Petigara F, Bornn L, et al. Assessment
and Management of Anemia in a Population of Children Living in the Indian
Himalayas: A Student-Led Initiative. UBCMJ. 2011 March; 2(2): p. 16.
11. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati EV,
et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. II ed. Jakarta:
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
12. Kessmann J. Hirschsprung's Disease: Diagnosis and Management. American
Family Physician. 2006; 74(8): p. 1319-22.
13. Tambunan T, Rundjan L, Satari HI, Windiastuti E, Somasetia DH, Kadim M.
Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2013.