Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 9 2013

Tutor : Dr. Hj. Maznah Hamzah M.Kes.Sp.Park.


Disusun Oleh :
Zakia Khoirunnisa
Merta Aulia
Neva Arsita
M. Fadhil Oktavian E
Mutia Agustria
Adinda Triandari A
M. Salman Al Farisi
Tika Rahma Guci
Ridha Rana Atisatya
Wulan Meilani
Fauzan Ditiaharman
Samuel Bertua H M
Ayu Syartika

04121001007
04121001013
04121001026
04121001037
04121001050
04121001056
04121001060
04121001069
04121001084
04121001107
04121001128
04121001136
04121001142

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013

Kata Pengantar

Pertama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
atas ilmu dan berkah-Nya lah kita telah menyelesaikan diskusi kita dan menuntaskan
laporan tutorial skenario A blok 9 tahun 2013.
Laporan ini merupakan hasil diskusi kelompok L5 yang telah dilakukan selama dua
kali pertemuan formal. Kasus yang dibahas pada tutorial kali ini mengenai Resistensi
Antibiotik lebih tepatnya mengenai kasus ESBL. Selama tutorial terjadi komunikasi
yang baik sehingga dapat menemukan kesimpulan dari alur berpikir yang telah kami
lakukan.
Tentu saja tidak hanya dari diskusi dan pembelajaran mandiri. Peran tutor dalam
membimbing dan mengarahkan serta memberi beberapa masukan sangat berharga
sehingga tutorial kali ini berjalan sesuai alur, fokus, dan tidak melebar. Kami
sampaikan terima kasih kepada tutor kami Dr. Hj. Maznah Hamzah M.Kes.Sp.Park..
Selain itu materi-materi yang telah diajarkan oleh dosen pembimbing di dalam IT
sangat membantu dalam menuntaskan kasus ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa, orang tua, tutor Dr. Hj. Maznah Hamzah M.Kes.Sp.Park., dan para
anggota kelompok yang telah mendukung baik moril maupun materil dalam
pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di kesempatan mendatang.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
Palembang, 20 Juni 2013

Penyusun
Petugas Kelompok
Tutor

: Dr. Hj. Maznah Hamzah M.Kes.Sp.Park.

Moderator
Sekretaris
Anggota

I.

: M. Fadhil Oktavian E
: Mutia Agustria
: 1. Ridha Rana A
2. Merta Aulia
3. Adinda Triandari A
4. Neva Arsita
5. Zakiah Khoirunnisa
6. Samuel Bertua H. M
7. Salman Al Farisi
8. Wulan Meilani
9. Tika Rahma Guci
10. Ayu Syartika
11. Fauzan Ditiaharman

Skenario A
Tn. Iske (60 tahun) mempunyai riwayat hipertropi prostat dan sering dipasang
kateter urine di rumah sakit. Sejak 1 bulan yang lalu, dia mengeluh nyeri saat
berkemih dan keluhan tersebut disertai demam. Pemeriksaan urin menunjukkan
adanya infeksi pada saluran kemih dan dokter memberi antibiotic selama 7 hari
tetapi belum sembuh. Kemudian dokter meminta dilakukan pemeriksaan ulang
terhadap urin yaitu biakan untuk mengidentifikasi bakeri penyebabnya dan
meminta dilakukan AST. Hasil biakan menunjukkan infeksi oleh E. colli dan hasil
AST memperlihatkan fenomena ESBL. Dokter meminta dilakukan pemeriksaan
molekuler untuk memastikan bahwa hasil AST tersebut memang benar ESBL

II.

Klarifikasi istilah
a. Hipertrofi prostat : prostatic hyperplasia; pembesaran prostat terkait usia
akibat proliferasi unsure-unsur stromal maupun glandular; dapat
menyebabkan obstruksi dan kompresi uretra (dorland : 539)
b. Kateter
: peralatan bedah yang berbentuk tubular dan
lentur yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk mengeluarkan atau
memasukkan cairan (Dorland : 160)

c. Infeksi saluran kemih : inflasi dan multiplikasi mikroorganisme pada


saluran kemih (Dorland: 565)
d. Antibiotic
: zat kimia yang biasanya dihasilan suatu
mikroorganisme atau semisintetis yang mempunyai kemampuan untuk
membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain ( dorland
: 68)
e. Antimicrobial susceptibility testing (AST) : salah satu dari sejumlah besar
uji mengenai seberapa rentan bakteri terhadap agen anti mikroba; bakteri
diklasifikasikan menjadi sensitive atau susceptible, indeterminate, atau
intermediate atau resisten(Dorland : 1079)
f. E. colli
: Spesies yang merupakan sebagian besar flora
normal pada usus manusia dan hewan lainnya sebagian besar bersifat
nonpatogenik dan galur yang patogenik dapat menyebabkan infeksi
piogenik dan sering menyebabkan diare (Dorland : 402)
g. ESBL
: Perluasan spectrum beta laktamase yang
dihasilkan oleh kelompok enzim di dalam plasmid yang memiliki
kemampuan untuk menghidrolisis antibiotic golongan sefalosporin
generasi ketiga sehingga menimbulkan masalah resistensi terhadap
antibiotika seperti cefotaxim, ceftadizim, ceftriaxon, dan golongan
III.

monobactan seperti aztreonam (www.univmed.org)


Identifikasi Masalah
a. Tn. Iske (60 tahun) mempunyai riwayat hipertropi prostat dan sering
dipasang kateter urine di rumah sakit
b. Sejak 1 bulan yang lalu, dia mengeluh nyeri saat berkemih dan keluhan
tersebut disertai demam (chief complain)
c. Pemeriksaan urin menunjukkan adanya infeksi pada saluran kemih dan
dokter memberi antibiotic selama 7 hari tetapi belum sembuh.
d. Kemudian dokter meminta dilakukan pemeriksaan ulang terhadap urin
yaitu biakan untuk mengidentifikasi bakeri penyebabnya dan meminta
dilakukan AST. Hasil biakan menunjukkan infeksi oleh E. colli dan hasil
AST memperlihatkan fenomena ESBL. Dokter meminta dilakukan
pemeriksaan molekuler untuk memastikan bahwa hasil AST tersebut
memang benar ESBL

IV.

Analisis Masalah
a. Tn. Iske (60 tahun) mempunyai riwayat hipertropi prostat dan sering
dipasang kateter urine di rumah sakit
1) Bagaimana patofisiologi hipertropi prostat?
Usia mungkin menjadi faktor penyebab terjadinya BPH, akan
tetapi ini tidak berlaku pada pria yang menjalani tindakan kastrasi
prapubertas. Oleh karena itu maka faktor usia dan hormon androgen
sangat berpengaruh menyebabkan terjadinya BPH. Secara khususnya,
pria memproduksi hormon terpenting di dalam reproduksi, yakni
hormon testosteron dan sedikit hormon estrogen.
Pada saat seseorang pria itu mulai berumur, maka jumlah
testosterone yang aktif di dalam darah menurun dan kadar
estrogen meningkat. Peningkatan ini ditambah pula dengan substansi
lainnya dipercayai mempercepat pertumbuhan sel pada kalenjar
prostat dan sehingga pada akhirnya menybabkan terjadinya BPH.
Secara histopatologi pula, prostat ada mensekresi kan produk dimana
ia memenuhi hampir separuh dari volume cairan seminal. Cairan ini
merupakan cairan halus yang kaya dengan asam sitrat beserta enzim
proteolitik termasuk fibrinolisin yang bertindak mencairkan kembali
semen yang berkoagulasi setelah dilepaskan ke dalam vagina. Akan
tetapi, sisa cairan ini yang tersisa dan mungkin tidak dilepaskan akan
terkumpul di dalam beberapa kalenjar untuk membentuk apa yang
dinamakan sebagai corpora amylacea, yang mana meningkat sejalan
usia dan bisa terjadinya kalsifikasi
2) Bagaimana manifestasi klinis dari hipertropi prostat?
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari
hal-hal berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering
berkemih, nokturia, urgensi(kebelet), atau urgensi dengan
inkontinensia, tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk
mengalirkan kemih, rasa tidak lampias, inkontinensia overflow,
dan kemih yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang
5

teregang dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan


suprapubik pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa
ingin berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk
menilai besarnya kelenjar.
3) Bagaimana dasar pemasangan kateter?
Tn. Iske dipasangkan kateter karena terjadi retensi urin.
Retensi urin di sini dikarenakan oleh infra vesikal yang disebabkan
oleh beberapa penyebab mekanik, dalam kasus ini dikarenakan
adanya hipertropi prostat.
Tujuan Kateterisasi
Tindakan kateterisasi ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis
maupun tujuan terapi. Kateterisasi yang dipasang untuk tujuan
diagnostik secepatnya dilepas setelah tujuan selesai, sedangkan pada
yang ditujukan untuk terapi tetap dipertahankan hingga tujuan ini
terpenuhi.
Tindakan diagnosis antara lain adalah :
Kateterisasi pada dewasa untuk memperoleh contoh urin guna
pemeriksaan kultur urin. Tindakan ini diharapkan dapat
mengurangi resiko terjadinya kontaminasi sampel urin oleh
bakteri komensal yang terdapat disekitar kulit vulva atau vagina

pada wanita, preputium pada pria.


Mengukur residu urin (sisa) yang dikerjakan sesaat setelah pasien

miksi.
Memasukkan bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi antara
lain : sistografi atau pemeriksaan adanya refluk vesiko-ureter

melalui pemeriksaan voiding cysto-urethrography (VCUG).


Pemeriksaan urodinamik untuk menentukan tekanan intra vesika.
Untuk menilai produksi urin pada saat dan setelah operasi besar
dan sebagai gambaran perfusi jaringan.

Tindakan kateterisasi untuk tujuan terapi antara lain:

Drainase dari buli-buli pada keadaan obstruksi infra-vesika


baik yang disebabkan oleh hiperplasi prostat maupun oleh

benda asing (bekuan darah) yang menyumbat uretra.


Mengeluarkan urin pada disfungsi buli-buli (neurogenik

bladder, inkontinensia).
Diversi urin setelah tindakan operasi sistem urinaria bagian

bawah, yaitu pada prostatektomi, vesikolitotomi.


Sebagai splint setelah operasi rekonstruksi uretra untuk

tujuan stabilisasi uretra.


Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala (KBMB).
Memasukkan obatan intravesika, antara lain sitostatika atau
antiseptik untuk buli-buli.

Persiapan Kateterisasi.
Tindakan katerisasi merupakan tindakan invasif dan
dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan
cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan saluran uretra yang
permanen. Oleh karena itu sebelum menjalani tindakan ini pasien
harus diberi penjelasan dan menyatakan persetujuannya melalui surat
persetujuan tindakan medik (informed Consent).
Setiap pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang
tidak boleh ditinggalkan, yaitu :
1. Pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan
disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan
iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberi profilaksis
antibiotika sebelumnya.
2. Diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien.
3. Dipakai kateter dengan ukuran terkecil yang masih cukup efektif
untuk melakukan drainase urine yaitu untuk orang dewasa ukuran
16F 18F. Dalam hal ini tidak diperkenankan mempergunakan
kateter logam pada tindakan kateterisasi pada pria karena akan
menimbulkan kerusakan uretra.

4. Jika dibutuhkan pemakaian kateter menetap, diusahakan memakai


sistem tertutup yaitu dengan dengan menghubungkan kateter pada
saluran penampung urine (urinbag).
5. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai
dilakukan tindakan definitip terhadap penyebab retensi urine.
Perlu diingat bahwa makin lama kateter dipasang makin besar
kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra.

Teknik Kateterisasi
Kateter Uretra.
Pada Wanita
Tidak seperti pada pria, teknik pemasangan kateter pada wanita
jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita lebih pendek.
Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara
uretra karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara
uretra oleh tumor uretra/tumor vagina/serviks. Untuk itu mungkin
perlu dilakukan dilatasi dengan busi a boule terlebih dahulu.
Pada Pria
Urutan teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
Desinfeksi pada penis dan daerah di sekitarnya, daerah

genitalia dipersempit dengan kain steril.


Masukkan pelicin/ jelly kedalam uretra 2-3 cc
Kateter dimasukkan kedalam orifisium uretra eksterna.
Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah
bulbo-membranasea (yaitu daerah sfingter uretra eksterna)
akan terasa tahanan; dalam hal ini pasien diperintahkan untuk
mengambil nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna
menjadi lebih relaks. Kateter terus didorong hingga masuk ke
buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urine dari lubang
kateter.

Sebaliknya kateter terus didorong masuk ke buli-buli lagi


hingga percabangan kateter menyentuh meatus uretra

eksterna.
Balon kateter dikembangkan dengan 5 10 ml air steril.
Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan

pipa penampung (urinbag).


Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha
bagian proksimal. Fiksasi kateter yang tidak betul, (yaitu yang
mengarah

ke

kaudal)

akan

menyebabkan

terjadinya

penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga terjadi


nekrosis. Selanjutnya di tempat ini akan timbul striktura uretra
atau fistel uretra
4) Bagaimana hubungan umur dengan hipertropi prostat?
Hipertropi prostat sering ditemukan pada laki-laki berusia lebih
dari 50 tahun. Untuk angka kejadian di Indonesia jarang terjadi pada
pria di bawah usia 40 tahun dan insidensnya terus meningkat hingga
mencapai puncaknya pada usia 80-an.
5) Bagaimana tatalaksana hipertropi prostat pada tuan Iske?
Tes diagnostic yang dipakai termasuk USG abdominal untuk
melihat hidronefrosis tau massa di ginjal dan untuk menghitung
volume sisa urin setelah berkemih dan ukuran prostat. Kitoskopi
dilakukan untuk menyingkirkan adanya divertikula kandung kemih,
batu, dan tumor. Pengukuran angka aliran urin dan uretrogram
retrograd juga dapat dilakukan.
Obstruksi pada leher

kandung

kemih

mengakibatkan

berkurangnya atau tidak adanya aliran kemih, dan ini memerlukan


intervensi untuk membuka jalan keluar urin. Metode yang mungkin
adalah prostatektomi parsial, reseksi transurethral prostat ( TUR) atau
insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan periuretral
hiperplastik; insisi transurethral melalui serat otot leher kandung
kemih untuk memperbesar jalan keluar urin; dilatasi balon pada

prostatuntuk memperbesar lumen uretra; dan terapi antiandrogen


untuk membuat atrofi prostat. Baru-baru ini dikembangkan metode
pengobatan

nonbedah

yaitu

kateter

uretra

permanen

yang

ditempatkan pada uretra pars prostatika.


b. Sejak 1 bulan yang lalu, dia mengeluh nyeri saat berkemih dan keluhan
tersebut disertai demam
1) Apa penyebab dan mekanisme nyeri yang dialami tuan Iske?
Nyeri saat berkemih (disturia) pada penderita hipertrofi
prostat terjadi akibat kandung kemih yang terasa penuh, namun
pada kenyataannya tidak karena iritasilah yang menyebabkan
kandung kemih terasa penuh. Disturia terjadi apabila daya regang
kandung kemih berkurang, sehingga kemampuan kandung kemih
untuk mengembang juga berkurang. Hal inilah yang menimbulkan
nokturia dan urgensi. Gangguan rasa nyaman yang dirasakan oleh Tn.
Iske kemungkinan nyeri suprapubik karena berhubungan
dengan spasme otot spincter, dimana disturia ini disebabkan
karena adanya infiltrasi otot yang disebabkan oleh hipertrofi
prostat.
Namun, apabila disturia dialami pada penderita riwayat
hipertrofi prostat seperti kasus Tn.Iske (yang pada saat ini tidak lagi
menderita), kemungkinan disturia disebabkan oleh penggunaan
kateter dan inflamasi mukosa akibat infeksi E.Coli.
2) Bagaimana hubungan nyeri saat berkemih dengan demam yang
diderita tn. Iske
Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat di dalam
jaringan atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit
darah, makrofag jaringan dan limfosit pembunuh bergranula
besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan
bakteri dan melepaskan zat interleukin-l yang juga disebut
leukosit pirogen atau pirogen endogen ke dalam cairan tubuh.
Interleukin-l, saat mencapai hipotalamus, segera mengaktifkan proses

10

yang menimbulkan demam, kadang-kadang meningkatkan suhu


tubuh dalam jumlah yang jelas terlihat dalam waktu 8 sampai 10
menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endotoksin lipopolisakarida
dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan
leukosit,

makrofag

jaringan,

dan

limfosit

pembunuh,

dapat

menyebabkan demam. Jumlah Interleukin-l yang dibentuk sebagai


respons terhadap lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya
beberapa nanogram.
Beberapa percobaan
Interleukin-l

menyebabkan

telah
demam,

menunjukkan

bahwa

pertama-tama

dengan

menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin, terutama


prostaglandin E2, atau zat yang mirip, dan selanjutnya bekerja di
hipotalamus

untuk

membangkitkan

reaksi

demam.

Ketika

pembentukan prostaglandin dihambat oleh obat, demam sama sekali


tidak terjadi atau paling tidak berkurang.
3) Bagaimana hubungan nyeri saat berkemih dengan pemasangan
kateter?
Tindakan kateterisasi urine merupakan tindakan invasif dan
dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara
yang keliru akan menimbulkan kerusakan uretra yang permanen.
Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien
dengan kateterisasi urine karena tindakan memasukkan selang
kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya
infeksi atau trauma pada uretra. Resiko trauma berupa iritasi pada
dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan
uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran
mukosa yang melapisi dinding uretra memang sangat mudah
rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter juga
lumen uretra yang lebih panjang. Dampak nyeri sebagai akibat
spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi perdarahan dan

11

kerusakan uretra yang dapat menyebabkan striktur uretra yang


bersifat permanen.
Dysuria ditandai dengan berbagai gejala yang diakibatkan
oleh daya regang kandung kemih yang berkurang sehingga tidak
mampu mengembang maksimal dan frekuensi berkemih pun
berkurang. Dysuria juga merupakan manifestasi klinis dari
Infeksi Saluran Kemih (ISK), salah satu penyebabnya yaitu efek
pemasangan kateter yang sering dilakukan memicu adanya
bakteri yang masuk ke uretra. Infeksi pada saluran kemih dapat
disebabkan oleh bakteri E. Coli karena saluran kemih
berdekatan dengan sumber bakteri, yaitu anus. Infeksi saluran
kemih pasca kateterisasi ini terjadi karena kuman dapat masuk
melalui lumen kateter, rongga yang terjadi antara dinding kateter
dengan mukosa uretra serta akibat bentuk muara uretra yang sulit
dicapai antiseptik, sehingga kuman yang berada disini akan terdorong
kedalam kandung kemih kemudian menyebabkan inflamasi
mukosa. Adanya bakteri pada saluran kemih dan pembesaran prostat
yang menekan uretra pars prostatika mengakibatkan dysuria.
Infeksi pada saluran kemih yang disebabkan oleh bakteri E.
Coli karena saluran kemih berdekatan dengan sumber bakteri, yaitu
anus. Adanya bakteri pada saluran kemih dan inflamasi mukosa dapat
menyebabkan demam. Proses terjadinya demam dimulai dari
stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh
pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi
imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia
yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-, dan
IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang
endotelium hipotalamus untuk membentuk. Prostaglandin yang
terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di
pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap
suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini
12

memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara


lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter
seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan
produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada
akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru
tersebut.
4) Apa indikasi dari keluhan yang dirasakan tuan Iske?
Nyeri berkemih riwayat hipertrofi prostat penggunaan kateter
dan infeksi
Demam infeksi saluran kemih infeksi E.Coli
c. Pemeriksaan urin menunjukkan adanya infeksi pada saluran kemih dan
dokter memberi antibiotic selama 7 hari tetapi belum sembuh
1) Bagaimana dampak sering dipasang kateter dengan terjadinya infeksi
saluran kemih?
Karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung
kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra.
Pemakaian jelly dapat mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra
akibat pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara
pelumasan dengan melumurijelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti
Pahria; 2003). Iritasi jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan
oleh pemakaian kateter yang ukurannya tidak sesuai besarnya
orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly, penekanan yang
berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan kateter
intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit. Dampak
nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan
terjadi

perdarahan

dan

kerusakan

uretra

menyebabkan striktur uretra yang bersifat permanen.


Setiap prosedur pemasangan kateter harus

yang

dapat

diperhatikan

prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu; pemasangan


kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi
secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada

13

kulit genitalia dan jika perlu diberikan antibiotik seperlunya,


diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. Kateter
menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan
definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama
kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa
infeksi atau cedera uretra
2) Mengapa antibiotic selama 7 hari tidak menyembuhkan infeksi yang
dialami Tn. Iske?
Terjadi resistensi terhadap

antibiotic

karena E.coli

menghasilkan ESBL.
3) Bagaimana cara kerja antibiotic terhadap infeksi saluran kemih?
Infeksi oleh E. coli dapat diobati menggunakan sulfonamida,
ampisilin,

sefalosporin,

aminoglikosida.

kloramfenikol,

Aminoglikosida

kurang

tetrasiklin
baik

diserap

dan
oleh

gastrointestinal, dan mempunyai efek beracun pada ginjal. Jenis


antibiotik yang paling sering digunakan adalah ampisilin. Namun E.
coli dilaporkan telah resisten terhadap ampisilin sehingga tidak
digunakan lagi.
Antibiotik sefalosporin bekerja sebagai inhibitor dinding sel.
Dinding sel sebagian besar bakteri dibentuk dari polimer yang
dinamakan peptidoglikan. Polimer ini bersifat unik untuk melindungi
bakteri terhadap proses lisis ( pecah ) yang menjadikannya sebagai
target yang baik bagi serangan antibiotik golongan beta-laktam yang
salah satunya adalah sefalosporin yang memiliki cincin beta-laktam
di

dalam

ikatan

silang

yang

penting

dalam

pembentukan

peptidoglikan. Penyekatan ini akan melemahkan dinding tersebut


sehingga sel bakteri mengalami lisis dan mati. Karena antibiotik ini
hanya

mempengaruhi

dinding

bakteri

yang

baru

terbentuk,

pemakainannya hanya efektif terhadap bakteri yang sedang tumbuh.

14

d. Kemudian dokter meminta dilakukan pemeriksaan ulang terhadap urin


yaitu biakan untuk mengidentifikasi bakeri penyebabnya dan meminta
dilakukan AST. Hasil biakan menunjukkan infeksi oleh E. colli dan hasil
AST memperlihatkan fenomena ESBL. Dokter meminta dilakukan
pemeriksaan molekuler untuk memastikan bahwa hasil AST tersebut
memang benar ESBL
1) Bagaimana cara kerja AST?
Pengujian mikrobiologi

memanfaatkan

mikroorganisme

sebagai indikator pengujian. Dalam hal ini mikroorganisme


digunakan sebagai penentu konsentrasi komponen tertentu pada
campuran kompleks kimia, untuk mendiaknosis penyakit tertentu
tertentu, serta untuk menguji bahan kimia guna menentukan potensi
mutagenik atau karsinogenik suatu bahan. Macam-macam uji yang
dapat dilakukan adalah uji antibiotik/antimikroba, bioautografi, uji
vitamin dan asam amino, uji ames, dan penggunaan mikroorganisme
sebagai model metabolisme obat mamalia
Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu sistem
pengobatan

yang efektif dan efesien. Terdapat bermacam-macam

metode uji sensitivitas antibiotik seperti Disk Diffusion Testing, MIC


Method, Disk Approximation/Double Disk Method, Molecular
Testing.
2) Bagaimana hasil pemeriksaan AST?

3) Bagaimana etiologi dan patofisiologi terjadi ESBL?


Umumnya ESBL berasal dari gen TEM-1, TEM-2, atau SHV1 yang mengalami mutasi dan mengubah konfigurasi asam amino di

15

sekitar lokasi aktif dari -lactamase. Keadaan ini membuat spektrum


antibiotik -lactam rentan terhadap hidrolisis oleh enzim ini.
Banyak penelitian yang meneliti tentang faktor resiko ESBL,
dan mereka sepakat bahwa faktor resiko ESBL disebabkan keadaan
sebagai berikut:
Keparahan penyakit,
Lama rawat inap di rumah sakit,
Peralatan medis yang invasif (kateter urine, endotracheal

tubes, central venous lines),


Antibiotik.
Semua ESBL memiliki serine yang terletak di active sites

kecuali sebagian kecil class B grup Metallo -lactamase. Kelompok


ini memiliki banyak kesamaan asam amino dengan penicillin binding
proteins (PBPs).
-lactamase akan menyerang ikatan amida di cincin lactam

penicillin,

dan

cephalosporin

serta

menghasilkan

penicillinoic acid dan cephalosporic acid sehingga senyawa anti


bakteri menjadi tidak aktif.
Plasmid yang memiliki ukuran 80 Kb dan bertanggung
jawab terhadap pembawa gen ESBL. Pada organisme penghasil ESBL
juga sering resisten terhadap antibiotik golongan aminoglycoside,
fluoroquinolon,

tetracycline,

chloramphenicol

dan

sulfamethoxazole-trimethoprim.
ESBL jarang terjadi di Proteus mirabilis, diduga penyebabnya
karena spesies ini memiliki kandungan plasmid yang rendah. Hal ini
memperkuat teori bahwa transmisi ESBL antara satu organisme
ke organisme yang lain biasanya terjadi di plasmid.
Pada ESBL terjadi substitusi asam amino dan mengakibatkan
perubahan konfigurasi enzim. Perubahan ini akan merubah fungsi
16

enzim tersebut. Terbukanya substrat -lactam biasanya juga dapat


meningkatkan kemampuan enzim lactamase, contoh : substitusi
asam amino tunggal pada posisi 104, 164, 238, dan 240 menghasilkan
ESBL. Biasanya ESBL dengan spektrum luas memiliki lebih dari satu
substitusi asam amino.

4) Bagaimana hubungan ESBL terhadap resistensi E. colli?


ESBLs didefinisikan sebagai Beta laktamase Spektrum.
Perpanjangan mereka benar-benar diproduksi oleh jenis bakteri
tertentu, yang membuat bakteri resisten terhadap antibiotik yang
umum digunakan untuk mengobati mereka. Menurut British
Kesehatan Protection Agency (HPA), kelas baru ESBL (disebut CTXM enzim) telah muncul, yang sekarang sedang banyak terdeteksi pada
bakteri E. Coli. ESBL ini penghasil E. Coli resisten terhadap
penisilin dan sefalosporin, dan menjadi lebih sering pada infeksi
saluran kemih.
5) Bagaiamana tatalaksana ESBL pada tuan Iske?
Terapi terhadap infeksi akibat bakteri penghasil ESBL
Stochastic modeling mengusulkan penggunaan cefepime2 g setiap 12
jam karena berdasarkan pengalaman klinis mungkin dosis ini mungkin
dapat mencapai target farmakokinetik/farmakodinamik. Namun pada
suatu randomized trial terhadap organisme penghasil ESBL akibat
infeksi pneumonia nasokomial dilakukan perbandingan antara
cefepime dengan imipenem. Dari 10 dari 10 (100%) penderita yang
diterapi dengan imipenem sembuh, sedangkan dengan cefepime hanya
69% (9 dari 13) yang sembuh. Mungkin Cefepimetelah resisten
terhadap strain yang memproduksi CTX-M.Cefepime tidak boleh
digunakan sebagai lini pertama terapi terhadap organism penghasil

17

ESBL, jika digunakan harus dengan dosis tinggi (minimal 2 g tiap 12


jam).
Carbapenem adalah antibiotik pilihan untuk terapi infeksi
serius akibat organisme yang memproduksi ESBL, namun penggunaan
carbapenem harus digunakan secara efisien karena baru-baru ini juga
telah dilaporkan adanya carbapenem-resistant isolate 1 .
Daftar obat yang direkomendasikan untuk terapi infeksi akibat
bakteri penghasil ESBL dapat dilihat pada tabel
Tabel 4 Daftar Antibiotik yang direkomendsikan untuk menangani
bakteri penghasil ESBL

National

Committee

for

Clinical

Laboratory

Standards(NCCLS) yang kemudian berganti nama menjadi Clinical


and Laboratory Standards Institute(CLSI) merekomendasikan metode
penyaring ESBL adalah : Disk Diffusion Methods, danScreening by
Dilution Antimicrobal Susceptibility Test , sedangkan untuk
konfirmasi ESBL, CLSI merekomendasikan : Cephalosporin /
Clavulanate Combination Disk dan Broth Microdilution.
Metode lain yang juga dapat digunakan untuk menditeksi
bakteri penghasil ESBL antara lain :Cephalosporin/ Clavulanate
Combination Disk on Iso-Sensitest Agar , Double-Disk Diffusion Test,
Agar

Supplement

with

18

Clavulanate,

Disk

Replacement

Methods,Three-Dimensional Test, Molecular test, The 10-disk Test for


Phenotypic Detection.
Saat ini sudah banyak metode komersial untuk menditeksi
bakteri penghasil ESBL yang terdapat di pasaran, antara lain : E Test,
Vitek ESBL Cards, MicroScan Panels,dan BD Phoenix Automated
Microbiology System.
Pilihan lain adalah dengan memberi antibiotic golongan
Cotrimoxazole yang peka terhadap infeksi bakteri E. coli serta
pengobatan

dalam

infeksi

saluran

kemih

dan

golongan

Fluoroquinolone merupakan antibiotik yang memiliki spektrum


terutama untuk bakteri Gram negatif (dayanya terhadap bakteri Gram
positif relatif lemah).

6) Bagaiamana pemeriksaan molekuler sehingga dapat memastikan


ESBL?
Beberapa teknik molekuler yang paling umum digunakan
untuk deteksi resistensi antimikroba adalah sebagai berikut
Polymerase chain reaction (PCR) adalah salah satu teknik
molekuler yang paling umum digunakan untuk mendeteksi
urutan DNA tertentu yang menarik. Ini melibatkan beberapa
siklus denaturasi sampel DNA, anil primer spesifik untuk
urutan target (jika ada), dan perluasan urutan ini sebagai
difasilitasi oleh polimerase termostabil mengarah ke replikasi
dari urutan DNA duplikat, secara eksponensial, untuk titik
yang akan tampak terdeteksi oleh elektroforesis gel dengan
bantuan bahan kimia DNA-intercalasi yang berfluoresensi di

bawah sinar UV.


Hibridisasi DNA. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
pirimidin DNA (sitosin dan timidin) khusus berpasangan
dengan purin (guanin dan adenin, atau urasil untuk RNA).
19

Oleh karena itu, probe berlabel dengan urutan tertentu


diketahui dapat berpasangan dengan dibuka atau terdenaturasi
DNA dari sampel uji, asalkan urutan mereka saling
melengkapi. Jika hal ini "hibridisasi" terjadi, probe label ini
dengan terdeteksi radioaktif isotop, antigenik substrat, enzim
atau senyawa chemiluminescent. Sedangkan jika tidak ada
urutan target hadir atau isolat tidak memiliki gen tertentu
yang menarik, tidak ada lampiran probe akan terjadi, dan

karena itu tidak ada sinyal akan terdeteksi.


Modifikasi PCR dan hibridisasi DNA. Dengan prinsip-prinsip
dasar, beberapa modifikasi telah diperkenalkan yang lebih
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas prosedur standar.
Contoh

pembangunan

oligonukleotida

tersebut

adalah

5'-fluoresensi-berlabel,

penggunaan
pengembangan

beacon molekul, pengembangan array DNA dan chip DNA.

V.

Sintesis
a. Anatomi dan fisiologi traktus urinarius maskulina
Saluran kemih terdiri dari dua ren yang terletak pada dinding
posteriorl abdomen, dua ureter yang berjalan ke bawah pada dinding posterior
abdomen dan masuk ke pelvis, satu vesica urinaria yang terletak dalam cavitas
pelvis, dan satu urethra yang berjalan melalui perineum.

20

1) Ginjal
Fungsi Penting Ginjal

Menjaga konsitensi bahan-bahan kimia dalam darah


Menyaring cairan dari darah
Mengekskresikan racun, sampah metabolic, dan cairan berlebih

dari dalam tubuh


Produk buangan terutama berupa:
Urea
Asam urat
Kreatinin
Lokasi dan Anatomi Eksternal

Terletak retroperitoneal
Lateral T12 L3 vertebra
Pada umumnya memiliki tinggi 12 cm, lebar 6cm, dan tebal 3 cm
Hilus
Pada permukaan konkaf
Tempat masuk keluarnya pembuluh darah

21

Kapsul renalis menyelubungi ginjal

Anatomi Internal
Potongan bagian frontal ginjal: Korteks renalis, Piramis medullae

renalis, Pelvis renalis, Calyx mayor, Calyx minor


Perdarahan
Arteri renalis
Bercabang menjadi arteri-arteri segmental

22

Persarafan
Plexus sympathicus renalis. Seraut-serabut aferen yang
berjalan melalui plexus renalis masuk medulla spinalis melalui
nervus thoracicus X, XII, dan XII.

Anatomi Mikroskopis
Tubula uriniferus, terdiri dari:
Nefron
Korpuskulum renalis serta tubulus renalis
Ductus kolektifus
Mekanisme Produksi Urine

Filtrasi

23

Reabsorpsi
Sebagian besar nutrisi, air, dan

ion-ion penting
Sekresi
Proses
aktif

dalam

mengeliminasi molekul-molekul
yang tidak diinginkan

2) Tubulus Uriniferus

3) Nefron
- Korpuskulum renalis
Glomerulus dan kapsula glomerulus
- Glomerulus Berkas-berkas kapiler
Kapiler-kapiler glomerulus berpori-pori
- Kapsula Bowman
Lapisan parietal-epitel gepeng selapis
Lapisan visceral-terdiri dari podosit

24

Bagian tubular nefron yang memproses filtrasi dari glomerulus


ke tubulus renalis
-

Tubulus kontortus proksimal


Lengkung Henle
- Descending limb
- Thin segment
- Thick segment
Tubulus kontortus distal

Macam-macam nefron:

Cortical nephron 85% dari semua nefron


Juxtamedullary nefron 15% nefron
25

4) Tubulus Kolektivus
Menerima urin dari tubulus kontortus distal

5) Ureter
Membawa urin dari ginja ke vesica urinaria
Pintu masuk oblik ke vesica
urinaria

mencegah

refluksnya urin
Histologi ureter
- Mukosa-epitel

transisional
- Muskularis-dua lapisan
Inner longitudinal layer
Outer circular layer
- Adventitia-jaringan ikat
6) Vesica Urinaria
Kantung muscular
Menyimpan urin
- Dalam keadaan penuh bulatm membesar ke dalam cavitas
-

abdominal
Dalam keadaan kosong berada sepenuhnya di dalam pelvis

26

7) Glandula Prostat
Berada di inferior vesica

urinaria
Mengelilingi urethra

Dinding Vesica Urinaria


Mukosa

epitel

transisional
Lapisan muscular

otot detrusor
Adventitia

Struktur

Vesica

Urinaria

dan Urethra

8) Uretra
Pada laki-laki memiliki panjang 20 cm. Ada tiga region:

Prostatic uretra
27

- Melewati glandla prostat


Meranosus uretra
- Melewati diafragma urogenital
Spongi (penile) uretra
- Melewati sepanjang penis

b. Hipertropi prostat
Hipertrofi Prostat atau yang dikenal dengan Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) adalah perbesaran prostat, dimana kelenjar prostat
membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine, sehingga dapat mengakibatkan hidronefrosis dan
hidroureter (Brunner & Suddarth, 2000). Benigna Prostat Hiperplasi
adalah pembesaran dari beberapa dari kelenjar ini yang mengakibatkan
obstruksi urine (Mary Buradero dkk, 2000).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). sehingga
mendesak saluran perkemihan.
Hipertropi adalah pembesaran sel, sedangkan hiperplasi adalah
pertambahan jumlah sel, sehingga terjadi pembentukan jaringan yang
berlebihan. Namun, istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang
terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer dan menjadi kapsul bedah (Anonim FK UI
1995).
Etiologi
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui
secara pasti. Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada
endokrin dan dapat pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena
itu yang dianggap etiologi adalah karena tidak adanya keseimbangan
endokrin. Namun menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun1998
etiologi dari Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah :

28

1) Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan


keseimbangan testosteron dan estrogen. Dengan meningkatnya
usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan penurunan
testosteron sedangkan estradiol tetap yang dapat menyebabkan
terjadinya hyperplasia stroma.
2) Ketidakseimbangan endokrin.
3) Faktor umur/usia lanjut.
Biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun.
4) Unknown / tidak diketahui secara pasti.
Penyebab BPH tidak diketahui secara pasti (idiopatik), tetapi
biasanya disebabkan oleh keadaan testis dan usia lanjut.
Patofisiologi
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998, umumnya
gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal.
Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma
yang tersebar. Pembesaran adenoma progresif menekan atau mendesak
jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang menghasilkan kapsula
bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan adenoma cenderung
tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi pengeluaran urin.
Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan
kandung kemih.
Serat-serat

muskulus

destrusor

berespon

hipertropi,

yang

menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih. Pada beberapa kasus


jika obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih
menjadi struktur yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara
efektif. Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan
batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan
hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat
menimbulkan edema hebat. Edema ini berespon cepat dengan drainage
kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi pada pasien dengan edema

29

hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan obstruksinya. Pada awalnya


air, elekrolit, urin dan beban solut lainya meningkatkan diuresis ini,
akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa merusakkan kemampuan
ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan natrium akibat
kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan
hipovelemia.
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000, pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran
prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan
resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi
dengan kontraksi lebih kuat. Akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih
tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan
terlihat sebagai balokbalok yang tampai (trabekulasi). Dilihat dari dalam
vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara
serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil
dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan
detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan
menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang
berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Manifestasi Klinis
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah :
a) Obstruksi:
Hesistensi (harus menggunakan waktu lama bila mau
berkemih); Pancaran waktu berkemih lemah; Intermitten
(berkemih terputus); Berkemih tidak puas; Distensi abdomen;
Volume urine menurun dan harus mengejan saat berkemih.
b) Iritasi : frekuensi sering, nokturia, disuria.
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas Nyeri pinggang, demam
(infeksi), hidronefrosis.
30

3) Gejala di luar saluran kemih :


Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti
penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat berkemih sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intraabdominal (Sjamsuhidayat, 2004).
Benigna Prostat Hipertropi selalu terjadi pada orang tua, tetapi
tak selalu disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal
yaitu:
a) Penyempitan uretra yang menyebabkan kesulitan berkemih.
b) Retensi urin dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi
kandungmkemih, hipertrofi kandung kemih dan cystitis
(Hidayat, 2009)
Adapun gejala dan tanda yang tampak pada pasien dengan
Benigna Prostat Hipertrofi:
a) Retensi urin (urine tertahan di kandung kemih, sehingga
urin tidak bisa keluar).
b) Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing.
c) Berkemih yang tidak puas.
d) Frekuensi kencing bertambah terutama malam
e)
f)
g)
h)
i)

hari

(nocturia).
Pada malam hari berkemih harus mengejan.
Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu berkemih (disuria).
Massa pada abdomen bagian bawah.
Hematuria (adanya darah dalam urin).
Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk

mengeluarkan urin)
j) Kesulitan mengawali dan mengakhiri berkemih.
k) Kolik renal (kerusakan renal, sehingga renal tidak dapat
berfungsi).
l) Berat badan turun.
m) Anemia, kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui.
n) Pasien sama sekali tidak dapat berkemih sehingga harus
dikeluarkan dengan kateter. Karena urin selalu terisi dalam
kandung kemih, maka mudah sekali terjadi cystitis dan
selaputnya merusak ginjal (Arifiyanto, 2008).
31

Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,


anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi
menjadi 4 gradiasi, yaitu:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (colok
dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang
dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat
lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih
dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi
an sisa urin lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
Komplikasi
Menurut Arifiyanto (2008) komplikasi yang dapat terjadi pada
hipertropi prostat adalah :
1) Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal.
2) Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada
berkemih.
3) Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan
terbentuknya batu.
4) Hematuria.
5) Disfungsi seksual.
Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi
(meskipun prostatektomi perineal dapt menyebabkan impotensi akibat
kerusakan saraf pudendal yang tidak dapat dihindari). Pada
kebanyakan kasus, aktivitas seksual dapat dilakukan kembali dalam 6
sampai 8 Minggu, karena saat ini fossa prostatik telah sembuh. Setelah
32

ejakulasi, maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih dan


diekskresikan bersama urin (Brunner & Suddarth, 2001).
Komplikasi yang berkaitan dengan prostatektomi yaitu:
1) Hemoragi dan syok
2) Pembentukan bekuan / trobosis
3) Obstruksi kateter
4) Disfungsi seksual

Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1) Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6 bulan
kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.
2) Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan
keluhan ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai penyulit.
Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi (misalnya : Hipoxis
rosperi, serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan
golongan supresor androgen.

Indikasi pembedahan pada BPH adalah :


1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut (100 ml).
2) Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung
kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.
3) Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan sistem
perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.
4) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).

33

Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang

dimasukan melalui uretra.


Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
2) Prostatektomi Suprapubis
Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher kandung

kemih.
Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan kateter

suprapubis setelah operasi.


3) Prostatektomi Neuropubis
Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
4) Prostatektomi Perineal
Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan

epididimistis.
Persiapan buang

(pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan antibiotik).


Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka

hajat

diperlukan

sebelum

operasi

(drainase) diletakan pada tempatnya kemudian dibutuhkan


rendam duduk.
c. Baketri E. colli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang
pendek yang memiliki panjang sekitar 2 m, diameter 0,7 m, lebar 0,40,7m dan bersifat anaerob fakultatif. E. coli membentuk koloni yang
bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata (Smith-Keary, 1988 ;
Jawetz et al., 1995). E. coli dapat dilihat pada gambar 1.

34

Gambar 1. E. Coli (Smith-Keary,1988)


Manfaat dan Patogenesitas
E. coli adalah anggota flora normal usus. E. coli berperan penting
dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam
empedu dan penyerapan zat-zat makanan. E. coli termasuk ke dalam
bakteri heterotrof yang memperoleh makanan berupa zat oganik dari
lingkungannya karena tidak dapat menyusun sendiri zat organik yang
dibutuhkannya. Zat organik diperoleh dari sisa organisme lain. Bakteri ini
menguraikan zat organik dalam makanan menjadi zat anorganik, yaitu
CO2, H2O, energi, dan mineral. Di dalam lingkungan, bakteri pembusuk ini
berfungsi sebagai pengurai dan penyedia nutrisi bagi tumbuhan
E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran
pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E. coli menghasilkan
enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E. coli berasosiasi
dengan enteropatogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel (jawetz et
al., 1995). Manifestasi klinik infeksi oleh E. coli bergantung pada tempat
infeksi dan tidak dapat dibedakan dengan gejala infeksi yang disebabkan oleh
bakteri lain (jawetz et al., 1995). Penyakit yang disebabkan oleh E. coli yaitu :
1) Infeksi saluran kemih
E. coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih pada kira-kira
90 % wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering

35

kencing,

disuria,

hematuria,

dan

piuria.

Nyeri

pinggang

berhubungan dengan infeksi saluran kemih bagian atas.


2) Diare
E. coli yang menyebabkan diare banyak ditemukan di seluruh dunia.
E. coli diklasifikasikan oleh ciri khas sifat-sifat virulensinya, dan setiap
kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme yang berbeda. Ada
lima kelompok galur E. coli yang patogen, yaitu :
a) E. coli Enteropatogenik (EPEC)
EPEC penyebab penting diare pada bayi, khususnya di negara
berkembang. EPEC sebelumnya dikaitkan dengan wabah diare
pada anak-anak di Negara maju. EPEC melekat pada sel mukosa
usus kecil.
b) E. coli Enterotoksigenik (ETEC)
ETEC penyebab yang sering dari diare wisatawan dan
penyebab diare pada bayi di negara berkembang. Faktor
kolonisasi ETEC yang spesifik untuk manusia menimbulkan
pelekatan ETEC pada sel epitel usus kecil.
c) E. coli Enteroinvasif (EIEC)
EIEC menimbulkan penyakit yang sangat mirip dengan
shigelosis. Penyakit yang paling sering pada anak-anak di negara
berkembang dan para wisatawan yang menuju negara tersebut.
Galur EIEC bersifat non-laktosa atau melakukan fermentasi
laktosa dengan lambat serta bersifat tidak dapat bergerak. EIEC
menimbulkan penyakit melalui invasinya ke sel epitel mukosa
usus.
d) E. coli Enterohemoragik (EHEK)
EHEK

menghasilkan

verotoksin,

dinamai

sesuai

efek

sitotoksisnya pada sel Vero, suatu ginjal dari monyet hijau Afrika.
e) E. coli Enteroagregatif (EAEC)
EAEC menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di
Negara berkembang.

36

Bila pertahanan inang normal tidak mencukupi, E. coli dapat


memasuki aliran darah dan menyebabkan sepsis. E. coli dan Streptokokus
adalah penyebab utama meningitis pada bayi. E. coli merupakan penyebab
pada sekitar 40% kasus meningitis neonatal (Jawetz et al., 1996).
Pengobatan
Infeksi oleh E. coli dapat diobati menggunakan sulfonamida,
ampisilin, sefalosporin, kloramfenikol, tetrasiklin dan aminoglikosida.
Aminoglikosida kurang baik diserap oleh gastrointestinal, dan mempunyai
efek beracun pada ginjal. Jenis antibiotik yang paling sering digunakan adalah
ampisilin. Ampisilin adalah asam organik yang terdiri dari satu inti siklik
dengan satu rantai samping. Inti siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan
cincin betalaktam, sedangkan rantai sampingnya merupakan gugus
amino bebas yang mengikat satu atom H (Ganiswarna, 1995). Struktur
ampisilin dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia ampisilin (Farmakope IV, 1995)


Ampisilin memiliki spektrum kerja yang luas terhadap bakteri Gram
negatif, misalnya E. coli, H. Influenzae, Salmonella, dan beberapa genus
Proteus. Namun ampisilin tidak aktif terhadap Pseudomonas, Klebsiella, dan
Enterococci (Setiabudy dalam Ganiswarna, 1995). Ampisilin banyak
digunakan untuk mengatasi berbagai infeksi saluran pernafasan, saluran cerna
dan saluran kemih (Tan Hoan Tjay dan Raharja, 2002).
Mekanisme Kerja Ampisilin

37

Mekanisme kerja dari antibiotik ampisilin adalah dengan


menghambat

pembentukan

ikatan

silang

pada

biosintesis

peptidoglikan yang melibatkan penicillin-binding protein (PBP). Pada


E. coli, PBP1-3 merupakan enzim bifungsi yang mengkatalisis reaksi
transglikosilase dan transpeptidase serta PBP3-6 mengkatalisis reaksi
karboksipeptidasi (Chopra dalam D. S. Retnoningrum, 1998).
Mekanisme kerja ampisilin dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme kerja ampisilin (Salyers et al., 1994)


Resistensi Terhadap Ampisilin
Salah satu obat pilihan yang digunakan untuk mengobati
infeksi saluran urin yang disebabkan oleh E. coli adalah ampisilin.
Namun E. coli dilaporkan telah resisten terhadap ampisilin sehingga
tidak digunakan lagi. Untuk menanggulangi terjadinya resistensi pada
ampisilin maka diperlukan pengobatan antimikroba yang lain seperti
trimethoprim-sulfamethoxazol

(TMP-SMZ),

siprofloxacin,

norfloxacin, nitrofurantoin, dan fluoroquinolon. Dilaporkan pada 6


tahun 1995 sampai 2001 terjadi kecenderungan resistensi antimikroba
terhadap isolat E. coli dalam infeksi saluran urin pada pasien wanita di
Amerika Serikat, 14,8-17% pertahun resisten terhadap trimethoprimsulfametoxazol, 0,7-2,5% pertahun resisten terhadap siprofloxacin,
0,4-0,8% pertahun resisten terhadap nitrofurantoin, dan 3637,4% per
38

tahun resisten terhadap ampisilin, nilai presentase tersebut bervariasi


dalam setiap tahunnya (Karlowsky et al., 2002).
Resistensi intrinsik pada ampisilin disebabkan oleh ekspresi
gen, yaitu gen pengkode betalaktamase yang berlokasi pada
kromosom bakteri gram negatif. Gen ini mengkode enzim
betalaktamase yang menginaktivasi cincin betalaktam ampisilin
dengan cara menghidrolisis cincin betalaktam tersebut, sehingga
menjadi resisten terhadap ampisilin (Russel and Chopra, 1990).
Resistensi ampisilin dapat juga disebabkan oleh ekspresi gen
pengkode betalaktamase yang terdapat pada plasmid. Plasmid adalah
elemen genetic ekstrakromosom yang bereplikasi secara otonom.
Plasmid membawa gen pengkode resisten antibiotik, salah satunya
adalah ampisilin. Resistensi yang diperantai oleh plasmid adalah
resistensi yang umum ditemukan pada isolate klinik. Gen yang
berlokasi pada plasmid lebih mudah pindah jika dibandingkan dengan
gen yang berlokasi pada kromosom, sehingga gen resistensi yang
berlokasi pada plasmid dapat ditransfer dari satu bakteri ke bakteri
yang lain(Ganiswarna, 1995 ; Tjay dan Rahardja, 2002).
Resistensi menghasilkan perubahan bentuk pada gen
bakteri yang disebabkan oleh 2 proses genetik dalam bakteri :

Mutasi dan seleksi (evolusi vertikal)


Evolusi vertikal didorong oleh prinsip seleksi alam. Mutasi
spontan pada kromosom bakteri memberikan resistensi
terhadap suatu populasi bakteri. Pada lingkungan tertentu
bakteri yang tidak termutasi (nonmutan) mati, sedangkan
bakteri yang termutasi (mutan) menjadi resisten, kemudian

tumbuh dan berkembang biak.


Perubahan gen antar galur dan spesies (evolusi horizontal)
Evolusi horizontal yaitu pengambilalihan gen resistensi dari
organisme lain.Contohnya, streptomices mempunyai gen
resistensi terhadap streptomisin. Tetapi kemudian gen ini lepas
39

dan masuk ke dalam E. coli atau Shighella sp. Beberapa


bakteri mengembangkan resistensi genetik melalui proses
mutasi dan seleksi, kemudian memberikan gen ini kepada
beberapa bakteri lain melalui salah satu proses perubahan
genetik pada bakteri.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen
merupakan permasalahan kesehatan yang pernah dihadapi oleh hampir
setiap orang. Hingga saat ini, cara yang dilakukan untuk pengobatan
berbagai jenis penyakit infeksi adalah dengan pemberian antibiotik.
Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah betalaktam.
Antibiotik ini dipilih karena tingkat selektivitasnya tinggi,
mudah diperoleh, dan analog sintetiknya tersedia dalam jumlah
banyak. Meningkatnya penggunaan antibiotik betalaktam, memacu
meningkatnya

resistensi

bakteri

terhadap

antibiotik

tersebut.

Mekanisme utama resistensi bakteri Gram-positif dan Gram-negatif


terhadap antibiotik betalaktam yakni dengan menghasilkan enzim
betalaktamase, yang berperan memotong cincin betalaktam, sehingga
aktivitas antibakterinya hilang. Enzim betalaktamase merupakan
enzim perusak penisilin yang dihasilkan oleh sejumlah bakteri gram
negatif. Enzim ini membuka cincin betalaktam dari pensilin dan
sefalosporin serta menghilangkan daya antimikrobanya. Klasifikasi
betalaktamase sangat kompleks, didasarkan atas sifat genetik, sifatsifat biokimia, dan substrat yang berafinitas terhadap inhibitor
betalaktamase (Jawet et al., 1995).
Inhibitor Betalaktamase
Inhibitor

betalaktamase

adalah

suatu

zat

yang

dapat

menghambat kerja enzim betalaktamase. Inhibitor betalaktamase


dalam keadaan tunggal tidak memberikan aktivitas antibakteri
sehingga perlu adanya kombinasi dengan antibiotik betalaktam

40

(Ganiswarna, 1995). Inhibitor betalaktamase yang telah digunakan


dalam pengobatan adalah asam klavulanat, tazobaktam dan sulbaktam.
Inhibitor tersebut tidak memperlihatkan aktivitas antibakteri, sehingga
tidak dapat digunakan sebagai obat tunggal untuk menanggulangi
penyakit infeksi. Bila dikombinasi dengan antibiotik betalaktam,
inhibitor ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga antibiotika
pasangannya bebas dari pengrusakan oleh enzim betalaktamase dan
dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju. Sifat ikatan
betalaktamase

dengan

penghambatnya

umumnya

menetap,

penghambatnya seringkali bekerja sebagai suicide inhibitor, karena


ikut hancur di dalam betalaktamase yang diikatnya.
Enzim betalaktamase dalam bakteri gram negatif terdiri dari
empat kelas, enzim kelas A (TEM dan SHV), enzim kelas B, enzim
kelas C biasanya disebutAmpC resisten, dan enzim kelas D yaitu
enzim OXA. Enzim kelas A merupakan enzim betalaktamase yang
banyak

ditemukan,

enzim

kelas

merupakan

enzim

yang

mengandung zink, enzim kelas C mengandung betalaktamase yang


terletak pada kromosom dari bakteri famili Enterobacteriacea
termasuk bakteri E. coli, dan enzim kelas D merupakan enzim yang
belum banyak diketahui (Teale, 1995). Dilaporkan 90% patogen
saluran urin menghasilkan betalaktamase, sebanyak 94,8% adalah E.
coli (Orrett and Shurland., 1996). Dilaporkan pula bahwa sampel urin
pada pasien wanita penderita sistitis mengandung E. coli yang telah
resisten terhadap trimehtoprim-sulfamethoxazole, ampisilin, dan
siprofloxacin
d. AST
Uji resistensi merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
kepekaan bakteri terhadap suatu antibiotik (Safitri,2011). Antibiotik dibuat
sebagai obat derivat yang berasal dari makhluk hidup atau mikroorganisme,
41

yang dapat mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain.


Antibiotik diperoleh dari hasil isolasi senyawa kimia tertentu yang berasal
dari mikroorganisme seperti jamur, actinomycetes, bakteri (Ganiswarna,
1995).
Penggunaan antibiotic secara berlebih menyebabkan bakteri tertentu
tahan atau resisten. Resistensi tersebut dapat disebabkan oleh suatu faktor
yang sudah ada pada mikroorganisme itu sebelumnya atau mungkin juga
faktor itu diperoleh kemudian. Sebagai contoh, resistensi terhadap penisilin
pada suatu organisme dapat disebabkan oleh produksi penisilinase, suatu
enzim yang menginaktifkan penisilin. Resistensi yang diperoleh ini pun
disebabkan oleh galur-galur mikroorganisme yang secara genetis telah
teradaptasi (Pelczar,1986).
Tiap spesies mikroorganisma memiliki tingkat kerentanan terhadap zat
antibiotik yang berbeda-beda dan kerentanan tersebut dapat berubah selama
masa pengobatan. Oleh karena itu diperlukan suatu uji kerentanan terhadap
mikroorganisma terhadap antibiotik. Kerentanan suatu mikroorganisme
terhadap antibiotik dapat ditentukan dengan teknik pengenceran tabung dan
teknik cawan piring kertas. Metode ini untuk menetapkan jumlah terkecil
zat antibiotik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme in
vitro(Safitri 2011)
Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroorganisme sebagai
indikator pengujian. Dalam hal ini mikroorganisme digunakan sebagai
penentu konsentrasi komponen tertentu pada campuran kompleks kimia,
untuk mendiaknosis penyakit tertentu tertentu, serta untuk menguji bahan
kimia guna menentukan potensi mutagenik atau karsinogenik suatu bahan.
Macam-macam uji yang dapat dilakukan adalah uji antibiotik/antimikroba,
bioautografi, uji vitamin dan asam amino, uji ames, dan penggunaan
mikroorganisme sebagai model metabolisme obat mamalia (Syahrurrahman
1994)

42

Kegunaan uji antimikroba

adalah

diperolehnya

suatu

sistem

pengobatan yang efektif dan efesien. Terdapat bermacam-macam metode uji


sensitivitas antibiotik seperti yang dijelaskan berikut ini:
1) METODE CAIRAN
Metode pengenceran Kaldu melibatkan menunjukkan isolat
serangkaian konsentrasi agen antimikroba dalam lingkungan kaldu.
Pengujian mikrodilusi menggunakan sekitar 0,05-0,1 ml kaldu total
volume dan dapat dengan mudah dilakukan dalam format mikro.
Pengujian Macrodilution menggunakan volume kaldu sekitar 1,0 ml
dalam tabung uji standar. Untuk kedua metode dilusi kaldu tersebut,
konsentrasi terendah di mana mengisolasi benar-benar menghambat
(yang dibuktikan dengan adanya pertumbuhan bakteri terlihat) dicatat
sebagai konsentrasi hambat minimal atau MIC. MIC demikian
konsentrasi minumum antibiotik yang akan menghambat tertentu ini
mengisolasi. Tes ini hanya berlaku jika kontrol positif menunjukkan
pertumbuhan

dan

kontrol

negatif

menunjukkan

tidak

ada

pertumbuhan.
Sebuah prosedur yang mirip dengan dilusi adalah pengenceran
agar. Metode pengenceran agar mengikuti prinsip membangun
konsentrasi terendah dari serial diencerkan konsentrasi antibiotik di
mana pertumbuhan bakteri masih terhambat.

43

Pada
agar ini piring,
bakteri

isolat

diuji

untuk

ketahanan
terhadap
masing-masing
dua belas antibiotik yang berbeda. Zona jelas di sekitar setiap disk
adalah zona inhibisi yang menunjukkan tingkat ketidakmampuan
tes organisme untuk bertahan hidup di hadapan antibiotik uji. (A)
Disk menunjukkan zona penghambatan besar, sedangkan (B) tidak
menunjukkan zona inhibisi, yang menunjukkan resistensi dari
isolat terhadap antibiotik uji.
Kehadiran zona inhibisi tidak secara otomatis diartikan
sebagai kerentanan terhadap antibiotik, lebar zona harus diukur
dan dibandingkan terhadap standar acuan yang berisi rentang
pengukuran dan kategori kualitatif setara mereka rentan,
intermediately rentan atau resisten.
Misalnya, E.coli ini mengisolasi di sebelah kanan memiliki
zona

penghambatan 10.1mm sekitar ampisilin (AM), karena zona


diameter
Tahan

grafik

interpretasi

: 13mm atau kurang

Menengah : 14-16 mm
Rentan

: 17 mm atau lebih

44

adalah

sebagai

berikut:

E.coli tertentu mengisolasi disebut sebagai resisten terhadap


ampisilin.
2) METODE DIFUSI DISK
Karena kenyamanan, efisiensi dan biaya, metode difusi disk
mungkin metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan
resistensi antimikroba di klinik hewan swasta. Sebuah media
pertumbuhan, biasanya agar Mueller-Hinton, pertama kali merata di
seluruh piring dengan isolat bunga yang telah diencerkan pada
konsentrasi standar (sekitar 1 sampai 2 membentuk unit x 10 8 koloni
per ml). Disiapkan disk, yang masing-masing diresapi dengan
konsentrasi standar antibiotik tertentu, kemudian dibagikan secara
merata dan ringan ditekan ke permukaan agar-agar. Uji antibiotik
segera mulai menyebar ke luar dari disk, menciptakan gradien
konsentrasi antibiotik dalam agar sehingga konsentrasi tertinggi
ditemukan dekat disk dengan penurunan konsentrasi lebih jauh dari
disk. Setelah inkubasi semalam, pertumbuhan bakteri di sekitar setiap
disk diamati. Jika tes mengisolasi rentan terhadap antibiotika tertentu,
daerah yang jelas "tidak ada pertumbuhan" akan diamati sekitar bahwa
disk tertentu.
Zona sekitar disk antibiotik yang tidak memiliki pertumbuhan
disebut sebagai zona penghambatan karena ini mendekati konsentrasi
antibiotik minimum yang cukup untuk mencegah pertumbuhan uji
isolat. Zona ini kemudian diukur dalam mm dan dibandingkan dengan
grafik interpretasi standar yang digunakan untuk mengkategorikan
mengisolasi sebagai rentan, rentan intermediet atau resisten.
Pengukuran MIC tidak dapat ditentukan dari tes ini secara kualitatif,
yang hanya mengklasifikasikan isolat sebagai rentan, menengah atau
resisten.
3) E-TEST

45

E-test (AB Biodisk, Solna, Swedia) adalah tes yang tersedia secara
komersial yang menggunakan test strip plastik diresapi dengan
konsentrasi bertahap menurun dari antibiotik tertentu. Strip juga
menampilkan skala numerik yang sesuai dengan konsentrasi antibiotik
yang terkandung di dalamnya. Metode ini menyediakan untuk uji
kuantitatif nyaman resistensi antibiotik dari isolat klinis. Namun, strip
terpisah diperlukan untuk setiap antibiotik, dan karena itu biaya
metode ini bisa tinggi.
4) AST OTOMATIS
Beberapa sistem komersial telah dikembangkan yang mudah
disiapkan dan diformat panel mikrodilusi serta instrumentasi dan
membaca otomatis piring. Metode ini dimaksudkan untuk mengurangi
kesalahan teknis dan waktu persiapan yang panjang.
Kebanyakan otomatis antimikroba sistem uji

kerentanan

memberikan inokulasi otomatis, membaca dan interpretasi. Sistem ini


memiliki keuntungan menjadi cepat (beberapa hasil dapat dihasilkan
dalam hitungan jam) dan nyaman, tapi satu keterbatasan utama bagi
sebagian besar laboratorium adalah biaya terkandung dalam pembelian
awal, operasi dan pemeliharaan mesin. Beberapa contoh di antaranya
adalah: Vitek System (bioMerieux, Prancis), Walk-Jauh System (Dade
International, Sacramento, California), Sensititre ARIS (Sistem
Diagnostik Trek, East Grinstead, UK), Avantage Test System (Abbott
Laboratories, Irving, Texas), Micronaut (Merlin, Bornheim-Hesel,
Jerman), Phoenix (BD Biosciences, Maryland) dan banyak lagi.
5) TES MEKANISME-KHUSUS
Perlawanan juga dapat didirikan melalui tes yang secara langsung
mendeteksi keberadaan mekanisme resistensi tertentu. Sebagai contoh,
deteksi laktamase beta dapat dicapai menggunakan tes seperti tes
cephalosporinase

kromogenik

(cakram

Cefinase

oleh

Sistem

Mikrobiologi BD, Cockeysville, MD dan BBL DrySlide Nitrocefin,


46

Becton Dickinson, Sparks, MD) dan deteksi untuk kloramfenikol


memodifikasi enzim asetiltransferase kloramfenikol (CAT) dapat
memanfaatkan tes kolorimetri komersial seperti CAT reagen kit
(Remel, Lenexa, Kansas).
6) METODE genotip
Karena sifat resistensi genetis dikodekan, kadang-kadang kita
dapat menguji untuk gen tertentu yang memberikan resistensi
antibiotik. Namun, meski nukleat asam berbasis sistem deteksi
umumnya cepat dan sensitif, penting untuk diingat bahwa keberadaan
gen resistensi tidak selalu menyamakan dengan kegagalan pengobatan,
karena resistensi juga tergantung pada modus dan tingkat ekspresi dari
genes11 .
a) Metode difusi
Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer) untuk menentukan
aktivitas agen antimikroba. Piringan yang berisi agen antimikroba
diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme
yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih
mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme
oleh agen antimikroba permukaan media agar.
b) E-test
Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum
inhibitory concentration) atau KHM (kadar hambat minimum),
yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat
menghabat pertumbuhan mikroorganisme.
Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan
permukaan media agar yang telah ditanami mikroorganisme.
Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang
menunjukkan

kadar

agen

antimikroba

yang

menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.(lihat gambar)


c) Ditch-plate technique

47

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang


diletakkan pada parit yang dibuat dengan cara memotong media
agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan
mikroba uji ( maksimum 6 macam ) digoreskan kearah parit yang
berisi agen antimikroba.
d) Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan mitode disc diffusion, dimana dibuat
sumur

pada

media

agar

yang

telah

ditanami

dengan

mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba


yang akan diuji.
e) Gradient-plate technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar
secara teoretis bervariasi dari 0 hingga maksimal. Media agar
dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian
dituang kedalam cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring.
Nutrisi kedua selanjutnya dihitung diatasnya.
Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen
antimikroba berdifusi dan permukaan media mengering. Mikroba
uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari
konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil diperhitungkan sebagai
panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang
mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil
goresan.
Yang perlu diperhatikan adalah dari hasil perbandingan yang
didapat dari lingkungan padat dan cair faktor difusi agen
antimikroba dapat mempengaruhi keseluruhan hasil pada media
padat(Syahrurrahman 1994).
Mikroorganisme dapat memperlihatkan resistensi terhadap obatobatanmelalui beberapa mekanisme yaitu:

48

Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat


aktif.Contoh:

bakteri

kloramfenikol bila

asetiltransferase.
Mikroorganisme
obattersebut.

gram

negatif

resisten

menghasilkan
mengubah

Contoh:

kloramfenikol

permeabilitasnya

resisten

terhadap

terhadap

terhadap

amikasin

dan

terhadap beberapa aminoglikosida lain dapat disebabkan oleh


gangguan permeabilitas

terhadap

obat,

yang

rupanya

disebabkan oleh perubahan selaput luar yang mengganggu

pengangkutan kedalam sel.


Mikroorganisme mengembangkan sasaran struktur yangdiubah
terhadap obat. Contoh: bakteri-bakteri yang resistenterhadap
Klindamisin dan eritromisin memiliki reseptor yangtelah
diubah pada subunit 50S dari ribosom akibat metilasi 23SRNA

ribosom.
Mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme lain

yangmemintas reaksi yang dihambat oleh obat.


Mikroorganisme membentuk suatu enzim yang telahmengalami
perubahan tetapi enzim tersebut masih dapatmenjalankan
fungsi metabolismenya serta tidak begitudipengaruhi oleh obat
seperti enzim pada bakteri yang peka.

Aktivitas antibiotik in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor


yaitu:

PH lingkungan, beberapa obat lebih aktif pada pHasam dan

yang lain pada pH basa.


Komponen-komponen perbenihan:

tertentu pada perbenihan meningkatkan pendeteksian resistensi.


Stabilitas obat: pada suhu inkubasi, beberapa obatantimikroba
kehilangan daya kerjanya.

49

penambahansuatu

zat

Besarnya inokulum: timbulnya mutan yang resistenlebih sering

pada populasi yang besar.


Masa inkubasi: makin lama masa inkubasi berlangsung, maka
makin besar kemungkinantimbulnya mutan resisten dan makin
besar

jugakemungkinan

mikroorganisme

yang

paling

kurang peka untuk mulai berkembang biak sementarakekuatan

obat berkurang.
Aktivitas metabolik mokroorganisme:mikroorganisme yang
aktif dan tumbuh cepat lebih peka terhadap daya kerja obat
daripadamikroorganisme yang berada dalam keadaan istirahat.

Mekanisme Terjadinya Resistensi


Untuk mendapatkan efek terapi,antibiotika pertama kali harus
mencapai target kedalam sel kuman. Kuman gram negatif mempunyai
outer membrane yang sedikit menghambat antibiotika masuk kedalam
sitoplasma. Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer
membrane berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk kedalam
sitoplasma atau menurunnya permeabilitas membrane terhadap
antibiotika,oleh karena lubang pori dari outer membrane tersebut tidak
bersifat selektif maka satu mutasi dari pori tersebut dapat menghambat
masuknya lebih dari satu jenis antibiotika.
Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu populasi
kuman mejadi resisten terhadap antibiotika, mekanisme itu antara lain
1) Mikroorganisme memproduksi enzym yang merusak daya kerja
obat, contohnya adalah stafilokokus yang resisten terhadap
penisilin disebabkan karena stafilokokus memproduksi enzym beta
laktam yang memecah cincin beta laktam dari penisilin sehingga
penisilin tidak aktif lagi bekerja.
2) Terjadinya perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tertentu,
contohnya adalah streptokokus yang mempunyai barier alami
terhadap obat golongan aminoglikosida.
50

3) Terjadinya perubahan pada tempat tertentu dalam sel sekelompok


mikroorganisme yang menjadi target obat, misalnya obat golongan
aminoglikosida yang memecah atau membunuh kuman karena
obat ini merusak sistem ribosom sub unit 30S. Bila oleh suatu
hal,tempat/lokus kerja obat pada ribosom sub unit 30S berubah,
maka kuman tidak lagi sensitif terhadap golongan obat ini.
4) Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target
obat,misalnya kuman yang resisten terhadap obat golongan
sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat
menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi
dengan PABA tidak berpengaruh pada metabolisme sel.
5) Terjadi perubahan enzymatik sehingga kuman meskipun masih
dapat hidup dengan baik, tapi kurang sensitif terhadap antibiotik,
contohnya adalah kuman yang sensitif terhadap sulfonamida yang
mempunyai affinitas yang lebih besar terhadap sulfonamida
dibandingkan dengan PABA sehingga kuman akan mati.
e. ESBL
ESBL merupakan enzim yang dapat menghidrolisis penicillin,
cephalosporin generasi I, II, III dan aztreonam (kecuali cephamycin dan
carbapenem). ESBL berasal dari -laktamase yang termutasi. Mutasi ini
menyebabkan peningkatan aktivitas enzimatik -lactamase sehingga enzim ini
dapat menghidrolisis chepalosporin generasi III dan aztreonam.
Penggunaan antibiotika golongan cephalosporin generasi III secara
luas untuk pengobatan infeksi di rumah sakit disebutkan menjadi salah satu
faktor risiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL. Selain resisten terhadap
antibiotika golongan cephalosporin, bakteri penghasil ESBL juga sering
menunjukkan resistensi pada penggunaan fluoroquinolone. Selain panggunaan
antibiotika secara berlebihan, pasien dengan penyakit berat, LOS (Length of
Stay) yang lama dan dirawat dengan alat-alat medis yang sifatnya invasif

51

(kateter urin, kateter vena dan endotracheal tube) untuk waktu yang lama juga
merupakan risiko tinggi untuk terinfeksi oleh bakteri penghasil ESBL.
Definisi ESBL
Definisi yang sering digunakan adalah : enzim yang mempunyai
kemampuan

untuk

menghidrolisis

antibiotika

golongan

penicillin,

cephalosporin generasi satu, dua, dan tiga, serta golonganaztreonam (namun


bukan cephamycin dan carbapenem) . ESBL paling banyak dihasilkan oleh
Enterobacteriaceae (terutama Escherichia coli) dan Klebsiella pneumoniae.
Gen pengkode ESBL pada bakteri paling banyak berada di plasmid .
Dalam suatureview article yang diterbitkan oleh Indian Journal microciology:
ESBL merupakan plasmid mediated dan termasuk dalam golongan TEM dan
SVH. Canadian External Quality Assesment Advisory Group for Antibiotic
menyatakan bahwa gen yang mengontrol produksi -lactamase terletak di
dalam plasmid atau kromosom . Hal ini mempermudah kemampuan gen
ESBL pindah dari satu organisme ke organisme yang lain, sehingga
penyebaran resistensi sangat mudah terjadi antar strain bahkan antar spesies .
Plasmid juga bertanggung jawab atas gen pengkode yang membawa gen
resistensi untuk golongan obat yang lain (misalnya, aminoglycoside).
Keadaan ini membuat pilihan antibiotik untuk melawan organisme yang
memproduksi ESBL sangat terbatas.
Umumnya ESBL berasal dari gen TEM-1, TEM-2, atau SHV-1 yang
mengalami mutasi dan mengubah konfigurasi asam amino di sekitar lokasi
aktif dari -lactamase. Keadaan ini membuat spektrum antibiotik -lactam
rentan terhadap hidrolisis oleh enzim ini.
Banyak penelitian yang meneliti tentang faktor resiko ESBL, dan
mereka sepakatmbahwa faktor resiko ESBL disebabkan keadaan sebagai
berikut :

52

1) Keparahan penyakit,
2) Lama rawat inap di rumah sakit,
3) Peralatan medis yang invasif (kateter urine,endotracheal tubes,
central venous lines),
4) Antibiotik.
Klasifikasi Extended-spectrum beta lactamase(ESBL)
Anggota famili Enterobacteriaceae sering mengekspresikan plasmidencoded lactamase (misalnya, TEM-1, TEM-2, dan SHV-1) yang resisten
terhadap pencillin namuntidak terhadap cephalosporin. Namun akhir akhir
ini sudah banyak ditemukan bakteri penghasil lactamase yang resisten
terhadap golongan antibiotik cephalosporin.
Jenis ESBL yang sering ditemukan adalah sebagai berikut :
- SHV -lactamases (class A),
- TEM -lactamases (class A),
- CTX-M -lactamases (class A),
- OXA -lactamases (class D),
- PER-type ESBL,
- Other ESBL

Struktur dan mekanisme kerja -Lactamase


Semua ESBL memiliki serine yang terletak di active sites kecuali
sebagian kecil class B Grup Metallo -lactamase. Kelompok ini memiliki
banyak kesamaan asam amino dengan penicillin binding proteins(PBPs) .
53

-lactamaseakan menyerang ikatan amida di cincin -lactam


penicillin, dan cephalosporin serta menghasilkan penicillinoic acid dan
cephalosporic acid sehingga senyawa anti bakteri menjadi tidak aktif .
Plasmid yangmemiliki ukuran 80 Kb dan bertanggung jawab
terhadap pembawa gen ESBL. Pada organisme penghasil ESBL juga sering
resisten terhadap antibiotik golongan aminoglycoside, fluoroquinolon,
tetracycline, chloramphenicol dan sulfamethoxazole- trimethoprim.
ESBL jarang terjadi di Proteus mirabilis, diduga penyebabnya karena
spesies ini memiliki kandungan plasmid yang rendah. Hal ini memperkuat
teori bahwa transmisi ESBL antara satu organisme ke organisme yang lain
biasanya terjadi di plasmid.
Pada ESBL terjadi substitusi asam amino dan mengakibatkan
perubahan konfigurasi enzim. Perubahan ini akan merubah fungsi enzim
tersebut. Terbukanya substrat -lactam biasanya juga dapat meningkatkan
kemampuan enzim lactamase, contoh : substitusi asam amino tunggal pada
posisi 104, 164, 238, dan 240 menghasilkan ESBL. Biasanya ESBL dengan
spektrum luas memiliki lebih dari satu substitusi asam amino.
f. Pharmacogenomic
Pharmacogenomics adalah studi tentang bagaimana warisan genetik
individu mempengaruhi reaksi tubuh terhadap obat-obatan. Istilah ini berasal
dari kata farmakologi dan genomik dan dengan demikian persimpangan
farmasi dan genetika. Pharmacogenomics berprinsip bahwa pada suatu hari
nanti obat dibuat khusus untuk per-individu dan disesuaikan dengan susunan
genetik setiap orang.Lingkungan, usia, gaya hidup, dan kondisi kesehatan
dapat

mempengaruhi

respon

seseorang

terhadap

obat-obatan,

tetapi

pemahaman genetik individu diperkirakan menjadi kunci untuk menciptakan


obat dipersonalisasi dengan keberhasilan yang lebih besar dan keamanan.

54

Pharmacogenomics menggabungkan ilmu farmasi tradisional seperti biokimia


dengan pengetahuan beranotasi gen, protein, dan polimorfisme nukleotida
tunggal.
Manfaat yang diharapkan dari pharmacogenomic adalah
1) Lebih Kuat Obat
Perusahaan farmasi akan mampu menciptakan obat berdasarkan
protein, enzim, dan molekul RNA yang berhubungan dengan gen dan
penyakit. Hal ini akan memfasilitasi penemuan obat dan memungkinkan
pembuat obat untuk menghasilkan terapi yang lebih ditargetkan untuk
penyakit tertentu. akurasi ini tidak hanya akan memaksimalkan efek
terapi tetapi juga mengurangi kerusakan pada sel-sel sehat di dekatnya.
2) Lebih baik, lebih aman Obat Pertama Kalinya
Alih-alih metode trial-and-error standar yang sesuai pasien dengan
obat yang tepat, dokter akan dapat menganalisa profil genetik pasien dan
meresepkan terapi obat terbaik yang tersedia dari awal. Tidak hanya akan
mengambil

menebak

dari

menemukan

obat

yang

tepat,

akan

mempercepat waktu pemulihan dan meningkatkan keamanan sebagai


kemungkinan reaksi yang merugikan dihilangkan.Pharmacogenomics
memiliki potensi untuk secara dramatis mengurangi estimasi 100.000
kematian dan 2 juta rawat inap yang terjadi setiap tahun di Amerika
Serikat sebagai hasil dari respons obat yang merugikan.
3) Lebih akurat Metode Penentuan Dosis Obat Tepat
Metode ini mendasarkan pada berat badan dan usia akan digantikan
dengan dosis berdasarkan genetika seseorang, cara tubuh memproses
obat dan waktu yang dibutuhkan untuk memetabolisme itu. Hal ini akan
memaksimalkan nilai terapi dan mengurangi kemungkinan overdosis.
4) Advanced Skrining untuk Penyakit
Mengetahui kode genetik seseorang akan memungkinkan seseorang
untuk membuat gaya hidup yang memadai dan perubahan lingkungan
pada usia dini sehingga dapat menghindari atau mengurangi keparahan
penyakit genetik. Demikian pula, kemajuan pengetahuan tentang

55

kerentanan penyakit tertentu akan memungkinkan pemantauan hati-hati,


dan perawatan dapat diperkenalkan pada tahap yang paling tepat untuk
memaksimalkan terapi.
5) Vaksin yang lebih baik
Vaksin terbuat dari bahan genetik, baik DNA atau RNA, semua
manfaat dari vaksin yang ada tidak berbahaya. Vaksin akan mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh tetapi akan mampu menyebabkan infeksi. Vaksin
akan berharga murah(ekonomis), stabil, mudah untuk penyimpanan, dan
mampu menjadi rekayasa untuk membawa beberapa strain patogen
sekaligus.
6) Perbaikan pada Discovery Obat dan Proses Persetujuan
Perusahaan pada farmasi akan dapat menemukan terapi potensial lebih
mudah dengan menggunakan target genome. Sebelumnya kandidat obat
yang gagal dapat dihidupkan kembali sebagai mereka cocok dengan
populasi ceruk yang mereka layani. Proses persetujuan obat harus
difasilitasi sebagai percobaan yang ditargetkan untuk kelompok populasi
genetik tertentu, memberikan derajat lebih besar untuk sukses. Biaya dan
resiko uji klinis akan berkurang dengan menargetkan hanya orang-orang
yang mampu merespon terhadap suatu obat.
7) Penurunan Biaya keseluruhan Perawatan Kesehatan
Penurunan jumlah reaksi obat yang merugikan, jumlah uji obat yang
gagal, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan obat yang disetujui,
lamanya waktu pasien saat pengobatan berlangsung, efek penyakit pada
tubuh (melalui deteksi dini), dan peningkatan dalam kisaran sasaran obat
yang mungkin akan mendorong penurunan bersih biaya perawatan
kesehatan.
Untuk tingkat yang terbatas. The sitokrom P450 (CYP) enzim hati
bertanggung jawab untuk menghancurkan lebih dari 30 kelas yang berbeda
obat. Variasi DNA dalam gen yang kode untuk enzim ini dapat mempengaruhi
kemampuan mereka untuk memetabolisme obat-obatan tertentu. Kurang aktif
atau tidak aktif bentuk enzim CYP yang tidak mampu untuk mendobrak dan

56

efisien menghilangkan obat dari tubuh dapat menyebabkan overdosis obat


pada pasien. Saat ini, uji klinis peneliti menggunakan tes genetik untuk variasi
gen sitokrom P450 untuk layar dan memonitor pasien. Selain itu, banyak
perusahaan farmasi layar senyawa kimia mereka untuk melihat seberapa baik
mereka dipecah oleh bentuk-bentuk varian dari enzim CYP. Enzim lain yang
disebut TPMT (methyltransferase thiopurine) memainkan peran penting
dalam pengobatan kemoterapi dari leukimia umum dengan memecah kelas
senyawa yang disebut terapi "thiopurine". Sebagian kecil Kaukasia memiliki
varian genetik yang mencegah mereka dari menghasilkan bentuk aktif dari
protein ini.Akibatnya, "thiopurine" mengangkat ke tingkat beracun di pasien
karena bentuk tidak aktif dari tmpt tidak mampu untuk memecah obat. Saat
ini, dokter dapat menggunakan tes genetika untuk menyaring pasien untuk
kekurangan ini, dan kegiatan tmpt dimonitor untuk menentukan tingkat yang
sesuai dosis thiopurine.
Pharmacogenomics adalah bidang penelitian berkembang yang masih
dalam masa pertumbuhan. Beberapa hambatan berikut akan harus diatasi
sebelum banyak manfaat pharmacogenomics dapat direalisasikan. Terdapat
beberapa hambatan yang menjadi masalah, yaitu:
1) Kompleksitas
Untuk menemukan variasi gen yang mempengaruhi respon obat
polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) adalah variasi urutan DNA yang
terjadi ketika sebuah nukleotida tunggal (A, T, C, atau G) dalam urutan
genom diubah. SNP terjadi setiap 100 sampai 300 basa di sepanjang
genom manusia 3-milyar-base, sehingga jutaan SNP harus diidentifikasi
dan dianalisa untuk menentukan keterlibatan mereka (jika ada) dalam
respon obat. Selanjutnya proses rumit adalah pengetahuan kita yang
terbatas dari yang gen yang terlibat dengan setiap respon obat. Karena
banyak gen yang mungkin untuk mempengaruhi tanggapan, memperoleh

57

gambaran besar tentang dampak variasi gen sangat memakan waktu dan
rumit.
2) Obat alternatif terbatas
Hanya satu atau dua obat yang disetujui mungkin tersedia untuk
pengobatan kondisi tertentu. Jika pasien memiliki variasi gen yang
mencegah mereka menggunakan narkoba, mereka dapat dibiarkan tanpa
ada alternatif untuk pengobatan.
3) Disinsentif bagi perusahaan obat untuk membuat produk beberapa
pharmacogenomic
Sebagian besar perusahaan farmasi telah berhasil dengan "satu ukuran
cocok untuk semua" pendekatan pengembangan obat. Karena biaya
ratusan juta dolar untuk membawa obat untuk pasar, akan perusahaanperusahaan ini bersedia untuk mengembangkan obat alternatif pada
populasi yang kecil
4) Mendidik penyedia layanan kesehatan
Produk Memperkenalkan pharmacogenomic ganda untuk mengobati
kondisi yang sama untuk himpunan bagian populasi yang berbeda pasti
akan menyulitkan proses meresepkan dan mengeluarkan obat-obatan.
Dokter harus melakukan langkah diagnostik tambahan untuk menentukan
obat mana yang paling cocok untuk setiap pasien. Untuk menafsirkan
diagnostik akurat dan merekomendasikan perawatan terbaik untuk setiap
pasien, suatu resep, terlepas dari itu, akan memerlukan pemahaman yang
lebih baik genetika
g. Antibiotik
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut
dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1]dilihat dari target
atau sasaran kerjanya:

Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin,


Polipeptida dan Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;

58

Inhibitor transkripsi dan replikasi,

mencakup

golongan

Quinolone,

misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat;

Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari


golongan

Makrolida,

Aminoglikosida,

dan

Tetrasiklin,

misalnya gentamisin, kloramfenikol, kanamisin, streptomisin, tetrasiklin,


oksitetrasiklin, eritromisin, azitromisin;

Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;

Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,


misalnya oligomisin, tunikamisin; dan

Antimetabolit, misalnya azaserine.

Infeksi saluran kemih adalah gangguan kesehatan yang menyerang pada


saluran kemih menyerang bagian atas seperti pyelonephritis dan bagian bawah
seperti cystitis atau urethritis. Infeksi saluran kemih yang paling banyak
disebabkan oleh bakteri E.coli, proteus dan klebsiella. Penyebaran ascending
seperti penggunaan kateter, hematogen dan limfogen. Infeksi saluran kemih
ini dapat dicegah dengan pemberian obat antibiotik yang berfungsi sebagai
penghambat atau membunuh kuman dan bakteri penyebab dari infeksi. Obat
antibitoik yang diberikan berdasarkan resep dokter untuk mengatasi infeksi
pada saluran kemih, seperti :
1) Cotrimoxazole
Cotrimoxazole merupakan antibiotik sulfonamide kombinasi dari
sulfamethoxazole dan trimethoprime. Obat antibiotik jenis ini memiliki
daya kerja yang luas dan antibakteri trimetophrim sekitar 20-100 kali
lebih kuat dibandingkan sulfamethoxazole. Obat antibiotik ini memilik

59

mikroba yang peka terhadap kombinasi seperti : S. pneumonia, C.


diphteriae, N. meningitis, 50-95% strain S.aureus, S. pyogenes, S.
viridans, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P. rettgeri,
Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonella, Shigella, Serratia dan
Alcaligenes spesies dan Klebsiella spesies. Di mana pada infeksi saluran
kemih yang paling banyak berperan adalah E. coli, Proteus dan
Klebsiella.
Berikut ini cara kerja cotrimoxazole dengan menghambat reaksi
enzimatik pada pembentukan asam tetrahidrofolat.

Sulfonamid/sulfamethoxazole menghambat masuknya molekul


PABA (p-amibobenzoic acid) ke dalam molekul asam folat
Trimethoprim

menghambat

reaksi

reduksi

dari

asam

dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat


Tetrahidrofolat

tersebut

penting

untuk

reaksi-reaksi

pemindahan atom C, seperti pada sintesis basa purin dan asam amino.

60

Trimethoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase secara


selektif, mengingat enzim tersebut juga terdapat pada manusia.
Resistensi terhadap cotrimoxazole lebih rendah dari pada
terhadap masing-masing obat penyusunnya. Resistensi terhadao
bakteri Gram-negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa
sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase.
Secara farmakokinetik, rasio yang ingin dicapai antara kadar
sulfamethoxazole dan trimethoprim dalam darah adalah 20:1. Karena
Vd trimethoprim lebih besar daripada sulfamethoxazole, maka pada
pemberian peroral rasio sulfamethoxazole dan trimethoprim adalah 5:1
(dengan harapan ketika mencapai darah rasionya menjadi 20:1).
Trimethoprim cepat terdistribusi ke jaringan dan kira-kira 40% terikat
pada protein plasma dengan adanya sulfamethoxazole. Kira-kira 65%
sulfamethoxazole

terikat

pada

protein

plasma.

Sampai

60%

trimethoprim dan 25-50% sulfamethoxazole diekskresi melalui urin


dalam 24 jam setelah pemberian.
Obat antibiotik jenis ini digunakan untuk infeksi saluran kemih
bagian bawah. Dengan pemberian dosis obat 160 mg trimethoprim dan
800 mg sulfamethoxazole setiap 12 jam selama 10 hari untuk
penyembuhan. Namun jika pemberian dosis tunggal (320 mg
trimethoprim dan 1600 mg sufamethoxazole ) selama 3 hari juga
efektif untuk pengobatn infeksi saluran kemih akut yang masih cukup
ringan, infeksi kronik dan infeksi yang terjadi berulang.
Efek samping yang ditimbulkan dari obat antibiotik jenis ini
adalah megaloblastosis, leukopenia, trombositopenia (pada orang
dengan defisiensi folat), dermatitis eksfoliatif, sindroma StevenJohnson, nekrolisis epidermal toksik (jarang), mual, muntah, sakit
kepala.

61

2) Fluoroquinolone
Fluoroquinolone

merupakan

antibiotik

yang

memiliki

spektrum terutama untuk bakteri Gram negatif (dayanya terhadap


bakteri Gram positif relatif lemah). Walaupun dalam beberapa tahun
terakhir telah dikembangkan fluoroquinolone baru yang berdaya
antibakteri baik terhadap kuman Gram positif (S. pneumoniae dan S.
aureus) serta untuk kuman atipik penyebab infeksi saluran napas
bagian bawah (Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae,
Legionella). Yang termasuk ke dalam golongan fluoroquinolone
adalah

ciprofloxacin,

norfloxacin,

levofloxacin,

ofloxacin,

moxifloxacin.
Fluoroquinolone mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat
terhadap bakteri E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus, H.
influenzae, Providencia, Serratia, Salmonella, N. meningitidis, N.
gonorrhoeae, B. catarrhalis dan Yersinia enterocolitica.
Fluoroquinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang
bekerja

dengan

menghambat

enzim

topoisomerase

II

dan

topoisomerase IV. Enzim topoisomerase II (= DNA gyrase) berfungsi


untuk merelaksasikan DNA bakteri yang mengalami positive
supercoiling, sedangkan topoisomerase IV berfungsi dalam pemisahan
DNA baru.
Resistensi

pada

fluoroquinolone

dapat

terjadi

melalui

mekanisme berikut:
Mutasi pada gen gyr A yang menyebabkan enzim gyrase A

(topoisomerase II) tidak dapat diduduki oleh molekul obat


Perubahan pada permukaan sel kuman yang menghambat

penetrasi obat
Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar (efflux)
Fluoroquinolone terdistribusi dengan baik pada berbagai organ

tubuh. Dalam urin, semua fluoroquinolone mencapai kadar yang


melampaui kadar hambat minimal untuk kebanyakan kuman patogen

62

selama minimal 12 jam. Waktu paruhnya relatif panjang sehingga


cukup diberikan dua kali sehari. Kebanyakan fluoroquinolone
dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal.
Fluoroquinolone dapat digunakan untuk infeksi saluran kemih
dengan/tanpa penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman
yang multiresisten dan P. aeruginosa.
Efek samping yang terjadi penggunaan obat antibiotik ini
adalah rasa mual, muntah, sakit kepala, halusinasi, kejang, delirium
(jarang), hepatotoksisitas (jarang), kardiotoksisitas (penutupan kanal
kalium menyebabkan aritmia ventrikel/torsades de pointes) dll.

VI.

Kerangka Konsep
Tn. Iske 60
tahun

Risiko umur
BPH

Nyeri saat
miksi

Pemasangan
kateter

Risiko Infeksi E.
coli

Mutasi
gen

ESBL

63

Demam

VII.

Kesimpulan
Tn. Iske dengan umur 60 tahun memperbesar risiko terkena hipertropi prostat
sehingga dilakukan pemasangan kateter urin rutin. Pemasangan kateter
memperbesar risiko infeksi E.coli dan mutasi sehingga E. coli membawa sifat
ESBL.

Daftar Pustaka

Dapus Bustan,M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka


Cipta.
Price, Sylvia A dan Loraine M. Wilson.2003. Patofisiolog: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Jakarta: EGC.
Stephen H. Gillespie. 2004. Management of Multiple Drug-Resistant Infection. Ney
Jersey: Humana Press.
Snell, Richard S. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC
Guyton, Arthur C dan Hall John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. 2012.
Jakarta: EGC
Price Sylvia A dan Wilson Lorraine M. Patofisiologi Volume 2 Edisi 6. 2012. Jakarta:
EGC
Furqan. Evolusi Biakan Urin pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter
Menetap: Pertama Kali dan Berulang. Melalui www.library.usu.ac.id diunduh 17 juni
2013 jam 17:13
Sitorus Zepri. 2008. Pengaruh Ph Urin Terhadap Pembentukan Enkrustasi Pada
Pemakaian Kateter Uretra Menetap (Indwelling Urethral Catheter). dalam
64

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6192/1/08E00407.pdf diakses tanggal


17 Juni 2013 pukul 17.00 WIB
Luhulima, Danny dkk. Bagian Patologi Klinik Universitas Airlangga Aspek
Laboratorium Extended-spectrum Beta Lactamase www.scribd.com Diakses tanggal
17 Juni 2013
Isselbacher, dkk. 1999. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 1 Edisi
13. Jakarta: EGC.
Anonim.

Benigna

Prostat

Hiperplasia.

Dalam

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/126/jtptunimus-gdl-nurkolisg0-6264-2babii.pdf diakses pada 17 Mei 2013.


http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/09/pustaka_unpad_Escherichiacoli.pdf diakses tanggal 17 juni 2013 pukul 21.30 WIB
Anonym. 2013. http://id.scribd.com/doc/51418851/Patofisiologi-BPH diakses tanggal
17 juni 2013 pkul 20.00 WIB
Staf Divisi Ginjal dan Hipertensi. http://hmjepidbiostat.wordpress.com.
Pajuriu, Agno. Infeksi Oleh Bakteri Penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase
(Esbl) Di Rsup Dr. Kariadi Semarang: Faktor Risiko Terkait Penggunaan Antibiotik.
2010

65

Anda mungkin juga menyukai