Anda di halaman 1dari 18

Masalah pertama

Nn. L, 22 tahun, karyawan honorer di sebuah perusahaan swasta, diantar ke IGD


sebuah RS karena penurunan kesadaran sejak 4 jam yang lalu.
a) Bagaimana penanganan pertama untuk Nn. L?
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya. Identifikasi
penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat perlu dilakukan. Pasien
dengan gangguan medis umum yang disertai dengan delirium akan menjalani
masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada yang tidak mengalami
delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan komplikasi lain yang banyak
terjadi pada pasien, misalnya geriatri seperti jatuh dan infeksi.
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai
pada kasus delirium adalah Haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil
efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalu
jalur oral maupun parenteral. Dosis yang biasa diberikan adalah 0,5 - 1,0 mg
per oral (PO) atau intra muscular maupun intra vena (IM/IV); titrasi dapat
dilakukan 2 sampai 5 mg tiap satu jam sampai total kebutuhan sehari sebesar 10
mg terpenuhi. Setelah pasien lebih baik kesadarannya atau sudah mampu menelan
obat oral maka haloperidol dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali
perhari sampai kondisi deliriumnya teratasi. Haloperidol intravena lebih sedikit
menyebabkan gejala ekstrapiramidal daripada penggunaan oral.2,6,7 Antipsikotik
yang lebih baru, misalnya risperidon, olanzapin dan quetiapin juga
membantu dalam penatalaksanaan delirium. Namun penelitian dan bukti yang
mendukung penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium belum terbukti jelas
sehingga obat-obat tersebut tidak dapat digunakan sebagai terapi lini pertama.
Akan tetapi, obat- obatan ini dihubungkan dengan lebih sedikitnya gangguan
pergerakan akibat obat dibandingkan penggunaan haloperidol. Oleh karena
itu, antipsikotik atipikal mungkin merupakan obat pilihan untuk pasien dengan
penyakit Parkinson dan gangguan neuromuskular yang berhubungan, serta pasien
dengan riwayat adanya gejala ektrapiramidal pada penggunaan antipsikotik lama.
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu minggu, dosis
dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi 20mg sehari.

Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat ditingkatkan
menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai target 300-400
mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan 1-2 mg per oral
pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap 2-3 harus sampai
dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah obat antipsikotik baru
yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium
b) Bagaimana hubungan usia dengan keluhan ?
Penyakit graves mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%
penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit
yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan
autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak
pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka
kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.
Sedangkan pada kasus umur Nn. L 22 tahun merupakan kejadian tertinggi
untuk penyakit graves
Masalah ketiga :
Dalam beberapa bulan terakhir pasien juga sering gugup, keluar keringat banyak,
mudah cemas, sulit tidur dan bila mengerjakan sesuatu selalu terburu buru.
a) Apakah ada keterkaitan antara keluhan dengan delirium?
Gejala-gejala tersebut terjadi karena adanya gangguan kelenjar endokrin yang
pada kasus ini adalah kelenjar tiroid.

Hipertiroidisme ini menyebabkan

terjadinya hipersekresi hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
yang akan menimbulakan gejala-gejala tersebut. Gejala diare yang dialami Nn L
dapat terjadinya dehidrasi yang dapat menimbulkan penurunan kesadaran
(delirium).
b) Masalah kelima :
Pemeriksaan laboratorium :
Darah rutin : Hb : 12g%; WBC : 17.000/mm3.

Kimia darah : Glukosa darah, test fungsi ginjal dan hati normal, elektrolit serum
normal.
Test fungsi tiroid : TSH 0,001 mU/L, T4 bebas 7,77 ng/dl.
a) Bagaimana histopatologi dari graves disease ?
Makroskopis:
a. Pembesaran thyroid merata, warna merah muda

Mikroskopis:
b. Penuh

oleh

acini

yang

bervariasi

dalam

c. Dilapisi kolumner tinggi, berisi koloid dengan tepi berenda-renda


d. Jaringan limfoid banyak
e. Kadang membentuk papil ke dalam lumen acini

ukuran

b) Bagaimana etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, faktor


resiko, komplikasi, tatalaksana, prognosis, SKDI, pencegahan dari Graves
disase ?
Etiologi
Etiologi yang menimbulkan proses autoimun pada penyakit Graves masih belum
diketahui secara pasti. Namun, beberapa keadaan seperti postpartum, intake
yodium yang berlebih, terapi litium, dan infeksi bakteri atau virus diduga menjadi
pemicu dari proses autoimun.
Terdapat beberapa faktor predisposisi, antara lain:
Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi umum
untuk terkena Graves. Faktor genetik yang berperan penting dalam proses
otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan
HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam.
Gen HLA yang berada pada rangkaian kromosom ke-6 ( 6p21.3) ekspresinya
mempengaruhi perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama
kelas II yang berada pada sel T di timus memodulasi respons imun sel T terhadap
reseptor limfosit T ( T lymphocyte receptor / TcR) selama terhadap antigen.
Interaksi ini merangsang aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T
supresor limfosit atau faktor supresi yang tidak spesifik ( IL-10 dan TGF-)
mempunyai aktifitas yang rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat
membedakan T helper mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk

antibodi yang melawan sel induk akan eksis dan akan meningkatkan proses
autoimun.
- Wanita
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun oleh
estrogen. Hal ini disebabkan karena epitose ekstraseluler TSHR homolog dengan
fragmen pada resptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor FSH.
- Status gizi dan Berat badan lahir rendah
Hal ini sering dikaitkan dengan prevalensi timbulnya penyakit autoantibodi
thyroid
-Stress
Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat jalur
neuroendokrin.
- Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium
- Toxin, infeksi bakteri dan virus
Bakteri Yersinia enterocolitica yang mempunyai protein antigen pada membran
selnya sama dengan TSHR pada sel folikuler kelenjar thyroid diduga dapat
mempromosikan timbulnya penyakit Graves terutama pada penderita yang
mempunyai faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR
atau perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar thyroid
karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator inflamasi
menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap thyroid dan perkembangan
penyakit ini.
Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4
pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin
(terutama interferon alfa).
1. Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hyperthyroid

2. Pada sindroma defisiensi imun ( HIV), pengguanaan terapi HAART


berhubungan dengan penyakit ini denagn meningkatnya jumlah dan fungsi
DD4 sel T.
3. Multipel sklerosis yang mendapat terapi Campath-1H monoclonal antibodi
secara langsung mempengaruhi sel T yang sering disertai kejadian
hyperthyoid.
4. Terapi dengan interferon-
Faktor risiko meliputi :
1) Biasanya terjadi pada usia sekitar 30-40 tahun
2) Wania : Laki-laki = 7:1
3) Predisposisi familial
4) Berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya
5) Merokok merupakan faktor resiko bagi wanita
Epidemiologi
Penyakit Graves adalah penyebab dari hipertiroid tersering sekitar 60 80 %
kasus. Prevalensi dari penyakit ini bervariasi, tergantung dari kebiasaan intake
yodium di populasi tersebut ( intake yodium yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan prevalensi penyakit Graves ). Penyakit ini adalah penyakit autoimun
yang memiliki faktor predisposisi yang kuat dengan hubungan keluarga. Ratio
wanita lebih tinggi yaitu 5 : 1 dibandingkan pria, diperkirakan mengenai 2 % dari
populasi wanita. Insiden puncaknya pada usia 40 60 tahun
Patofisiologi
Ada 3 macam autoantibody :
1. Antibody thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI)
Mengikat reseptor TSH unutk merangsang jalur adenilat siklase/AMP siklik, yang
2.

3.

menyebabkan peningkatan pembebasan hormone tiroid.


Antibodi thyroid growth-stimulating immunoglobulin (TGI)
Ditujukan untuk reseptor TSH, menyebabkan proliferasi epitel folikel tiroid.
Antibody TSH-binding inhibitor immunoglobulin (TBII)
Menyebabkan terhambatnya pengikatan normal TSH ke reseptornya pada sel
epitel tiroid. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sebagian pasien dengan penyakit
graves secara spontan mengalami episode hipotiroidisme

Kemungkinan besar autoantibody terhadap reseptor TSH juga berperan dalam


timbulnya

oftalmopati

infiltrative

yang

khas

untuk

penyakit

Graves.

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang


berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang
pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi
didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan

kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam


patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit
Graves.
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses
terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T.

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves


Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan
HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan
HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam

patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang


menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada
permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin
(terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang
menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan
otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti
dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang
dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi
dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik
sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun.
Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik
depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat
menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan
episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang
memperkuat

dugaan

tersebut.

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan


antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan
dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan
tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot
bola mata, proptosis dan diplopia.

Dermopati

Graves

(miksedema

pretibial) juga terjadi akibat stimulasi


sitokin didalam jaringan fibroblast
di daerah pretibial yang akan

menyebabkan

akumulasi

glikosaminoglikans
Berbagai

gejala

.
tirotoksikosis

berhubungan dengan perangsangan


katekolamin,

seperti

takhikardi,

tremor, dan keringat banyak. Adanya


hiperreaktivitas katekolamin, terutama
epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin
didalam otot jantung.
Diagnosis Penyakit Graves
Pembesaran massa tiroid disertai dengan adanya tanda dan gejala tirotoksitosis dapat
membantu diagnosis. Namun masih diperlukan pemeriksaan penunjang, yang paling
murah adalah tes fungsi tiroid. Kadar TSH akan menurun sedangkan kadar
hormone tiroid total dan yang bebas akan meningkat. Pada 2 5% pasien,
ditemukan hanya T3 yang meningkat ( T3 toksikosis ). Pada hipertiroid yang
disebabkan karena intake yodium yang berlebih sehingga substrat untuk sintesis
hormone tiroid berlebih akan didapatkan peningkatan dari kadar total dan
bebas dari T4 ( T4 toksikosis ) dan kadar T3 yang normal. Anti-Tg dan antibodi
anti-TPO meningkat pada lebih dari 75 % pasien, namun tidak spesifik.
Peningkatan reseptor thyroid stimulating hormone atau TSAb merupakan
pemeriksaan diagnostik untuk penyakit Graves dan meningkat pada sekitar 90
% pasien. Pengukuran TBII atau TSI akan semakin menegakkan diagnosis namun
biasanya tidak rutin dilakukan.. Pada pemeriksaan radionukletida akan didapatkan
uptake difus pada kelenjar tiroid yang membesar. USG atau CT scan leher dapat

digunakan untuk mengevaluasi pasien. MRI orbita dapat bermanfaat untuk


mengevaluasi Graves' ophthalmopathy.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :
Kelas Uraian :
Kelas 0

Tidak ada gejala dan tanda

Kelas 1

Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag

Kelas 2

Perubahan jaringan lunak orbita (palpebra bengkak)

Kelas 3

Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)

Kelas 4

Keterlibatan otot-otot ekstra okular

Kelas 5

Perubahan pada kornea (keratitis)

Kelas 6

Kebutaan

Diagnosis Banding
Diagnosis penyakit Graves langsung dapat ditegakkan pada pasien dengan
pemeriksaan fisik pada palpasi didapatkan pembesaran tiroid yang difus,
ophthalmopathy, fungsi tiroid didapatkan tirotoksitosis, dan TPO atau antibody TSH
R positif, dan terdapat riwayat yang memiliki penyakit autoimun. Pada pasien
dengan tirotoksitosis namun tanda tanda lainnya kurang jelas, pemeriksaan
diagnostic yang paling reliable adalah dengan radionukletida (

99m

Tc,

123

I, atau

131

I ),

yang dapat membedakan penyakit Graves dengan penyakit tiroid nodular, tiroiditis
destruktif, jaringan tiroid ektopik. Pada hipertiroid sekunder yang disebabkan
karena sekresi TSH karena tumor pituitary, juga dapat ditemukan pembesaran tiroid
difus, namun tidak disertai dengan peningkatan kadar TSH dan pada
pemeriksaan CT atau MRI scan dapat dengan mudah ditemukan tumot pituitary pada
pasien tersebut. Manifestasi klinis tirotoksitosis dapat menyerupai pasien dengan
serangan panik, mania, feokromatositoma, dan penurunan berat badan yang
disebabkan karena keganasan. Diagnosis tirotoksikosis dapat dengan mudah

disingkirkan jika kadar TSH dan T3 bebas normal. Kadar TSH yang normal juga
dapat menyingkirkan penyakit Graves sebagai penyebab dari pembesaran tiroid.
Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala yang muncul tergantung dari keparahan tirotoksitosis, durasi dari
penyakit, kemampunan individu untuk menerima kelebihan hormon tiroid, dan usia
pasien. Pada pasien usia lanjut maka tanda dan gejala dari tirotoksitosis dapat tidak
terlalu menonjol, dan pasien mungkin hanya merasakan mudah lelah dan mengalami
penurunan berat badan, kondisi seperti ini dikenal dengan istilah apathetic
thyrotoxicosis. Tirotoksitosis dapat menyebabkan penurunan berat badan tanpa sebab,
disebabkan karena metabolism yang meningkat. Peningkatan berat dapat ditemukan
pada 5 % pasien, namun ini disebabkan karena intake makanan yang meningkat. .
Gejala lainnya yang dapat muncul seperti hiperaktifitas, cemas, iritabel, merasa
mudah lelah. Insomnia dan kesulitan dalam berkonsentrasi juga sering ditemukan.
Apathetic thyrotoxicosis pada orang lanjut usia dapat salah diagnosis dianggap
depresi. Tremor halus juga sering ditemukan. Manifestasi neurologis yang sering
termasuk hiperefleks, pengecilan otot, dan miopati proksimal tanpa disertai fasikulasi.
Manifestasi kardiovaskular yang paling sering muncul adalah takikardi, sering
disertai juga dengan palpitasi, kadang kadang dapat menyebabkan supraventrikular
takikardi. Cardiac output yang tinggi menyebabkan nadi menjadi kuat, dan murmur
sistolik aorta dan dapat memperburuk angina atau gagal jantung pada pasien usia
lanjut yang memiliki penyakit jantung. Atrial fibrilasi lebih sering muncul pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Kulit pasien biasanya hangat dan lembab, pasien juga
biasa mengeluhkan mudah berkeringat dan tidak tahan udara panas. Palmar eritem,
onkilosis, yang lebih jarang seperti pruritus, urtikaria dan hiperpigmentasi difus juga
dapat muncul. Rambut pasien akan menjadi tipis, alopesia difus terjadi pada lebih dari
40 % pasien, dan bertahan beberapa bulan setelah menjadi eutiroid. Waktu transit di
saluran cerna menjadi lebih sebentar, menyebabkan pasien sering BAB, sering
disertai diare dan kadang kadang steatorea ringan. Pasien perempuan biasanya akan
mengalami oligomenorea atau amenorea, pada pria akan mengalami disfungsi
seksual, pada kasus yang jarang muncul ginekomastia. Efek langsung dari hormone

tiroid pada resopsi tulang menyebabkan osteopenia, hiperkalsemia ringan muncul


pada lebih dari 20 % pasien, namun hiperkalsiuria lebih sering muncul.
Retaksi kelopak mata, menyebabkan penampilan pasien seperti melotot, disebabkan
karena aktivitas simpatis yang berlebih. Pada penyakit Graves memiliki tanda pada
mata yang spesifik yang disebut Graves' ophthalmopathy, kondisi ini juga disebut
thyroid-associated ophthalmopathy. Onset dari Graves' ophthalmopathy muncul
beberapa tahun sebelum atau sesudah
diagnosis tirotoksitosis pada 75 %
pasien. Manifestasi awal pada mata biasanya
adalah sensai tidak nyaman di mata, dan
produksi air mata yang berlebih.
Sekitar sepertiga pasien mengalami
proptosis, dideteksi dengan baik
dengan visualisasi dari sklera
diantara batas bawah iris dan
kelopak mata bawah. Proptosis
dapat

diukur

menggunakan

exophthalmometer.

Pada

kasus

yang berat proptosis menyebabkan


ekposure dan cedera dari kornea,
terutama jika kelopak mata tidak dapat
Edema

periorbital,

injeksi

sclera,

dan

menutup
kemosis

saat
juga

tidur.
sering

ditemukan. Pada 5 10 % pasien, pembengkakan otot yang berat dapat menyebabkan


diplopia, tipikalnya namun tidak khas saat pasien melihat ke sisi atas dan lateral.
Manifestasi yang paling berbahaya adalah kompresi dari nervus optikus pada apeks
dari orbita, menyebabkan papiled ema, defek pada lapangan pandang perifer dan jika
tidak segera diterapi dapat menyebabkan hilangnya penglihatan yang permanen.5

Gambar 2.5 Penarikan kelopak mata, edema periorbital, injeksi


konjungtiva, dan proptosis

KOMPLIKASI

Komplikasi penyakit Graves yang akut ialah terjadinya krisis tirotoksikosis yaitu
kambuh dan melonjaknya kadar tiroid yang membahayakan jiwa dengan gejala
demam, mengigau, kejang, koma, muntah, diare, dan kuning pada seluruh badan.
Kematian biasanya terjadi karena gagal jantung, gangguan irama jantung atau demam
tinggi yang tidak bisa diturunkan dengan obat. Komplikasi ini biasanya diawali
dengan adanya penyakit berat yang mendadak terjadi (stroke, infeksi, atau trauma),
operasi, pengobatan dengan radioiodine.

Penyakit Graves juga dapat menyebabkan komplikasi mata karena kelopak mata yang
tertarik sehingga menyebabkan mata kering dan akhirnya kerusakan pada kornea dan
bola mata.

Selain itu penyakit Graves juga dapat menyebabkan komplikasi gagal jantung
kongestif yaitu jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, dan tulang menjadi rapuh.

Tata Laksana
Medikamentosa
OAT yang dianjurkan golongan tionamid, yaitu :
a. propitiorasil (PTU) lebih sering digunakan dibandingkan Methimazole karena
memiliki ikatan yang lebih besar dengan protein
dosis : 100-150 mg/ 8 jam
setelah eutiroid klinis laboratorik
50 mg/ 6 jam
b. Metimazol
dosis : 2 kali 10 mg/hari
pada trimester 3, metimazol dipertahankan 5 mg /hari
c. adrenergic blocade
Seperti propanolol. Namun penggunaan yang terus menerus dapat mengakibatkan
keterbelakangan pertumbuhan janin.
a. Propiltiourasil (PTU)
Nama generik : Propiltiourasil
Nama dagang di Indonesia : Propiltiouracil (generik)
Indikasi : hipertiroidisme
Kontraindikasi : hipersensisitif terhadap Propiltiourasil, blocking replacement regimen
tidak boleh diberikan pada kehamilan dan masa menyusui.
Bentuk sediaan : Tablet 50 mg dan 100 mg
Dosis dan aturan pakai : untuk anak-anak 5-7 mg/kg/hari atau 150-200 mg/ m 2/hari,
dosis terbagi setiap 8 jam. Dosis dewasa 3000 mg/hari, dosis terbagi setiap 8 jam.
untuk hipertiroidisme berat 450 mg/hari, untuk hipertiroidisme ocasional memerlukan
600-900 mg/hari; dosis pelihara 100-150 mg/haridalam dosis terbagi setiap 8-12 jam.
Dosis untuk orangtua 150-300 mg/hari (Lacy, et al, 2006)
Efek samping : ruam kulit, nyeri sendi, demam, nyeri tenggorokan, sakit kepala, ada
kecendrungan pendarahan, mual muntah, hepatitis.
Mekanisme Obat: menghambat sintesis hormon tiroid dengan memhambatoksidasi
dari iodin dan menghambat sintesistiroksin dan triodothyronin (Lacy, et al, 2006)
Risiko khusus : Hati-hati penggunaan pada pasien lebih dari 40 tahun karena PTU bisa
menyebabkan hipoprotrombinnemia dan pendarahan, kehamilan dan menyusui,
penyakit hati (Lee, 2006).

b. Methimazole
Nama generik : methimazole
Nama dagang : Tapazole
Indikasi : agent antitiroid
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap methimazole dan wanita hamill
Bentuk sediaan : tablet 5 mg, 10 mg, 20 mg
Dosis dan aturan pakai : untuk anak 0,4 mg/kg/hari (3 x sehari); dosis pelihara 0,2
mg/kg/hari (3 x sehari). maksimum 30 mg dalam sehari.
Untuk dewasa: hipertiroidisme ringan 15 mg/hari; sedang 30-40 mg/hari; hipertiroid
berat 60 mg/ hari; dosis pelihara 5-15 mg/hari.
Efek samping : sakit kepala, vertigo, mual muntah, konstipasi, nyeri lambung, edema.
Risiko khusus : pada pasien diatas 40 tahun hati-hati bisa meningkatkan
myelosupression, kehamilan.
PTU lebih dianjurkan pada wanita hamil daripada metimazol karena metimazol lebih
mudah melewati sawar plasenta dan dapat menghambat sintesis hormon tiroid
sehingga dapat menyebabkan hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi. Penggunaan
propiltriurasil lebih aman karena lebih sedikit obat yang sampai ke janin. Dalam dosis
tinggi, kedua obat ini dapat memblok kelenjar tiroid janin sehingga terjadi
hipotiroidisme. Yang berakibat pada gangguan intelektual dan retardasi pada anak.
2. Nonmedikamentosa
a. Diet yang diberikan harus tinggi kalori, yaitu memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan maupun dari suplemen
b. Konsumsi protein harus tinggi yaitu 100-125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk
mengatasi proses pemecahan protein jaringan seperti susu dan telur
c. Olah raga secara teratur
d. Mengurangi rokok, alkohol dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme
Prognosis
Hipertiroidisme pada umumnya prognosis baik, jarang sekali berakibat fatal jika
kausal ditangani dengan baik.
Pada banyak pasien, oftalmopati bisa sembuh sendiri dan tidak memerlukan
pengobatan selanjutnya. Tetapi pada kasus yang berat hingga ada bahaya kehilangan
penglihatan, perlu diberikan pengobatan glukokortikoid disis tinggi disertai tindakan
dekompresi orbita untuk menyelamatkan mata tersebut.

Pasien yang menjalani RAI 40-70% mengalami hipotiroidisme dalam 10 tahun


mendatang. Hipertiroidisme bisa menjadi hipotiroidisme bila tidak dipantau kadar
hormone tiroid pada ibu, obat-obat antitiroid bisa melewati plasenta dan menyebabkan
gangguan pembentukan hormone tiroid pada janin, janin bisa menjadi hipotiroidisme
sampai kretinisme.
Kompetensi dokter umum
Hipertiroid : 3 A
Tingkat Kemampuan 3
3a. Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan- pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya :
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan dan
memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus
gawat darurat).
PENCEGAHAN
Pencegahan dari penyakit Graves ialah dengan mencegah faktor risikonya seperti
infeksi, asupan yodium secukupnya jangan berlebihan ataupun kekurangan, hindari
stres, hindari cedera pada kelenjar gondok, dan hindari obat steroid.
c) Bagaimana hubungan hipertiroidisme, Graves disease dan krisis tiroid ?
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid
yang hiperaktif. Kira-kira 70% tirotoksikosis karena penyakit Graves, sisanya karena
gondok multinoduler toksik dan adenoma toksik, Terdapat dua tipe hipertiroidisme
spontan yang paling sering sering dijumpai yaitu :
1). penyakit Graves
2). goiter nodular toksik
Penyebab krisis tiroid yang paling sering di antara keadaan tirotoksikosis adalah
penyakit Graves. Krisis

tiroid biasanya terjadi pada pasien-pasien yang sudah

menderita hipertiroid atau tirotoksikoksis sebelumnya yang tidak terdiagnosis atau


tidak ditatalaksana dengan adekuat. Onset terjadinya krisis tiroid berlangsung cepat

dan biasanya diawali dengan adanya faktor pencetus. Faktor pencetus utama terjadina
krisis tiroid ialah infeksi. Faktor pencetus lain seperti trauma, tindakan pembedahan,
miokard infark, tromboemboli paru, ketoasidosis, atau penghentian obat-obat tiroid.

Anda mungkin juga menyukai