Anda di halaman 1dari 12

Aneurysmal Subarachnoid Hemorrhage

Jose I. Suarez, M.D., Robert W. Tarr, M.D., and Warren R. Selman, M.D.

Non-traumatic subarachnoid hemorrhage (perdarahan subarachnoid non-traumatik)


merupakan kondisi gawat darurat neurologis yang ditandai dengan ekstravasasi darah ke
rongga yang melapisi sistem saraf pusat yang biasanya berisi cairan serebrospinal. Penyebab
utama dari nontraumatic subarachnoid hemorrhage merupakan ruptur (sobeknya) aneurisa
intracranial, yang terhitung terjadi pada 80% kasus dan mempunyai tingkat komplikasi serta
kematian yang tergolong tinggi. Nonaneurysmal subarachnoid hemorrhage (perdarahan
subaraknoid aneurism) , terjadi pada sekitar 20% kasus dan mempunyai prognsosis yang
lebih baik namun bisa menyebabkan komplikasi neurologis yang tidak khas. Tinjauan ini
akan menekankan pembahasan tentang aneursymal subarachnoid hemorrhage.
Sebanyak 46% dari penyintas (survivor/orang yang selamat) dari perdarahan subaraknoid
mengalami gangguan kognitif jangka panjang, dengan efek terhadpa status fungsional dan
kualitas hidup (quality of life). Gangguan ini biasanya dihubungkan dengan beban tertentu
terhadap sumber pelayanan kesehatan, kebanyakan masalah ini dihubungkan dalam masalah
perawatan. Perdarahan subaraknoid mempunyai karakteristik demografs, faktor resiko, dan
pengobatan yang berbeda. Kasus terhitung pada 2-5% dari semua kasus stroke dan mengenai
21.000-33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Tingkat kejadian dari gangguan ini
tetap stabil hingga 30 tahun terakhir, dan walaupun terdapat perbedaan di daerah lainnya,
peningkatan kejadian kasus di seluruh dunia mencapai 10.5 kasus/tahun. Resiko wanita
mengalami kasus ini 1.6x lebih sering dibandingkan pria, dan resiko orang kulit hitam 2.1x
lebih tinggi dibandingkan orang berkulit putih. Tingkat case fatality rate untuk perdarahan
subarachnoid mencapai 51 persen, dimana sekitar 1/3 penyintas membutuhkan perawatan
jangka panjang. Kebanyakan kematian terjadi dalam waktu 2 minggu setelah ictus, dimana
10% kasus terjadi sebelum pasien mendapatkan perawatan medis dan 25% terjadi dalam
waktu 24 jam setelah kejadian. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid terhitung 5%
menyebabkan kematian dari seluruh stroke namun juga terhitung27% dari semua kasus
mengancam nyawa setiap tahunnya pada pasien berusia kurang dari 65.
Kebanyakan faktor yang dihubungkan dengan hasil yang buruk (poor outcome) adalah
tingkat kesadaran pasien pada saat datang, usia, dan jumlah perdarahan yang ditunjukkan
dalam pemeriksaan computed tomography (CT) kepala. Beberapa sistem grading digunakan
untuk menilai gambaran klinis dan radiologis awal untuk perdarahan subaraknoid (Tabel 1).
Dua skala yang sering digunakan adalah skala Hunt dan Hess serta World Federation of

Neurological Surgeons. Skala kedua lebih sering digunakan karena penilaiannya dilakukan
berdasarkan skor Glasgow Coma Scale (metode yang sangat tepat untuk memantau tingkat
kesadaran) dan tanda-tanda neurologis yang ada. Semakin tinggi skornya, semakin buruk
prognosis pasien. Jumlah perdarahan yang terliaht pada CT scan kepala dapat dipantau secara
mudah. Perdarahan subaraknoid yang tebal serta perdarahan ventricular hemorrhage dapat
dijadikan faktor prediktif untuk hasil prognosis pasien serta penilaian skor untuk CT kepala.

Kebanyakan faktor resiko yang bisa dimodifikasi (modifiable risk factor) termasuk
merokok, hipertensi, penggunaan kokain, dan alkohol berat. Pasien dengan riwayat keluarga
dekat yang mengalami perdarahan subaraknoid juga golongan resiko inggi. Gangguan
jaringan penyambung yang diturunkan juga dihubungkan dengan terjadinya aneurisma dan
perdarahan subaraknoid termasuk polycystic kidney disease, Ehlers-Danlos Syndrome (Tipe
IV), pseudoxanthoma elasticum, dan fibromuscular dysplasia. Resiko ruptur tergantung dari
ukuran dan lokasi aneurisma. Berdasarkan penelitian internasional dari aneurisma intracranial
yang tidak ruptur, 25 pasien tidak pernah mempunyai riwayat perdarahan subaraknoik,
dimana tingkat kumulatif terjadinya ruptur aneurisma dalam 5 tahun pada arteri karotis
internal, anterior communicating artery, anterior cerebral artery, atau middle cerebral artery
adalah 0 untuk aneurysma berukuran di bawah 7 mm, 2.6% untuk 7-12 m, 14.5% untuk
ukuran 13-24 mm, dan 40% untuk ukuran 25 mm lebih. Nilai ini sangat berlawan terhadap
tingkat ruptur yang mencapai 2.5%, 14.5%, 18.4%, dan 50%, untuk ukuran aneurisma yang
sama pada arteri circulating posterior dan posterior communicating artery.
Diagnosis
Perdarahan subaraknoid harus dicurigai jika pasien memiliki gambaran klinis yang
khusus (Gambar 1), termasuk onset sakit kepala yang tiba-tiba (sering disebut sakit kepala

yang sangat parah), disertai nausea, muntah, nyeri leher, fotophobia, dan penurunan
kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus,
gangguan keasadaran, dan tanda neurologis yang terlokalisir. Temua lanjutan termasuk palsy
pada saraf ketiga (posterior communicating aneurysm), palsy saraf keenam (peningkatan
tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas inferior bilateral atau abulia (anterior
communicating aneurysm), dan kombinasi dari hemiparesis dan aphasia atau visuospatial
neglect (middle cerebralartery aneurysm). Perdarahan retinal harus dibedakan pada
perdarahan preretinal pada Terson syndrome, yang menunjukkan adanya gangguan pada
peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan resiko kematian.
Dengan tidak adanya tanda dan gejala klasik, perdarahan subaraknoid bisa saja salah
didiagnosa. Frekuensi kesalahan diagnosa bisa mencapai 50% pada saat pasien pertama kali
mendatangi dokter. Keselahan diagnosis yang paling sering adalah migraine dan tension-type
headache. Kegagalan untuk mendapatkan penelitian radiologis yang sesuai terhitung pada
73% kasus yang salah didiagnosa, dan kegagalan untuk melakukan atau memperbaiki hasil
dari hitung nilai punksi lumbal mencapai 23%. Pasien yang salah didiagnosa tidak terlalu
sakit dan mempunyai hasil pemeriksaan neurologis yang normal. Namun, apda beberapa
kasus, komplikasi neurologis terjadi di meudian hari, sekitar pada 50% pasien, dimana pasien
ini mempunyai resiko tinggi yang berhubungan dengan kematian dan cacat. Sakit kepala
merupakan gejala yang paling sering muncul pada lebih 40% pasien dan bisa memburuk
dalam waktu menit atau jam hal ini disebut sentinel atau thunderclap headache atau warning
leaks.
Pemantauan emergency untuk sentinel headache dibutuhkan pad apasien yang mungkin
saja akan mengalami peradarahan subaraknoik dalam waktu 3 minggu ke depan. Di banyak
instansi, tidak ada gambaran klinis yang bisa membedakan sentinel headache dari benign
headache. Beberapa pasien mungkin tidak mengalami nyeri berat, atau gejala lainnya, seperti
kejang atau status konvulsif yang leibh sering. Semua pasien akan datang dengan nyeri
kepala pertama kali dan memburuk dapat menunjukkan adanya perdarahan subaraknoid,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan CT scan kepala (Gambar 1).

Penegakkan Diagnosis
CT Scan kepala merupakan pemeriksaan pertama yang harus dilakukan pada semua
pasien yang dicurigai mengalami perdarahan subaraknoid (Gambar 1). Gambaran
karakteristik dari kasus ini adalah ekstravasasi darah yang hiperdens (Gambar 2). Karena

gambaran pada CT scan dengan jumlah darah minimal bisa saja tidak terlihat, semua scan
harus dilakukan dengan potongan tipis dari bagian basis otak. CT scan yang berkualitas bagus

akan menampilkan perdarahan subaraknoid pada 100% kasus dalam waktu `12 jam setelah
onset gejala dan lebih dari 93% kasus dalam waktu 24 jam. CT scan kepala juga bsa
menunjukkan adanya hematoma intraparekinmal, hydrocephalus, dan edema cerebri, serta
dapat membantu untuk memperkirakan bagian ruptur aneurysma, terutama pad apasien
dengan aneurysma pada anterior cerebral atau anterior communicating arteries (Gambar 2).
CT Scan kepala juga pemeriksaan yang sangat penting untuk meperkirakan adnaya cerebral
vasospasm dan prognosis pasien yang buruk. Karena adanya pengeluaran darah yang cepat,
keterlambatan CT scan dapat menyebabkan hasil pemeriksaan normal, sehinggasensitivitas
menurun hingga 50% pada hari ketujuh.

Punksi lumbal harus dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami perdarahan
subaraknoid dan hasil CT scan yang negatif atau equivocal (Gambar 1). Cairan serebrospinal
harus dikumpulkan dalam empat tabung yang berbeda, dimana penghitung sel darah merah
ditentukan pada tabung 1 dan 4. Temuan yang sesuai dengan perdarahan subaraknoid
termasuk peningkatan tekanan pada saat penusukan punksi, dan peningkatan hitung sel darah

merah yang tidak terlalu berbeda pada tabung 1 sampai 4, serta xanthochromia (terjadi karena
pemecahan sel darah merah yang terlihat pada spectophotometry), yang membutuhkan waktu
sekitar 12 jam lebih hingga terlihat. Pada pasien dengan punksi lumbat diagnosis atau
equivocal, pemeriksaan radiologis, seperti CT angiography kepala atau cerebral angiography,
harus dilakukan sebagai tahap lanjut (Gambar 1 dan 2). Digital subtraction cerebral
angiography dijadikan baku emas untuk deteksi dari aneurisma cerebral, namun CT
angiography lebih sering digunakan karena sifatnya yang non-invasif dan tingkat sensitivitas
serta spesifisitas yang serupa dengan cerebral angiography.

Di semua instansi, pemantauan berkala untuk seluruh pemuluh darah cerebral harus
dilakukan, karena sekitar 15% biasanya mengalami multiple aneurysm. Pasien dengan hasil
pemeriksaan radiologis negatif harus melakukan pemeriksaan ulang setelah 7-14 hari. Jika

pemeriksaan kedua tidak menunjukkan aneurysa, magnetic resonance imaging (MRI) harus
dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak,
atau medulla spinalis. Pemeriksaan radiologis lain yang bisa digunakan termasuk MRI kepala
untuk menentukan ukuran dari aneurysma (terutama pada kasus thrombosis partial
aneurysma) dan three-dimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang dapat
membantu untuk melihat morfologi aneurysm) (Gambar 2C). Selain itu, pemeriksaan threedimensional CT angiography baru-baru ini bisa mengurangi kebutuhhan invasive cerebral
angiography dan resiko yang menyertainya.

Pengobatan
Semua pasien dengan perdarahan subaraknoid harus dipantau dan diobati pada bagian
gawat darurat dengan pengaturan jalan nafas serta fungsi cardiovaskular (Tabel 2). Setelah
stabilisasi awal, pasien harus dipindahkan ke pusat dengan bagian ekspertise neurovaskular
dan akhirnya akan dirawat di neurologic critical care unit untuk penanganan optimal. Pada

perawatan critical, tujuan utama dari pengobatan adalah mencegah perdarahan ulang,
penegahan dan penanganan vasospasm, dan pengobatan untuk kondisi medis atau komplikasi
neurologis lainnya.
Pengobatan Umum
Tekanan darah pasien harus dipertahankan dalam batas normal, dan jika dibutuhkan, obat
antihipertensi intravena seperti labetalol dan nicardipine dapat digunakan. Setelah aneurysma
bisa diamankan, hipertensi bisa dibiarkan, namun tidak ada kesepakatan tentang ukuran
tekanan darah yang aman. Analgesia biasanya dibutuhkan, dan obat reversible seperti
narkotik bisa diberikan. Dua faktor penting yang dihubungkan dengan outcome yang buruk
pada pasien termasuk hiperglikemia dan hipertermia, dan keduanya harus diperbaiki.
Pemberian profilaksis untuk deep venous thrombosis harus diberikan sejak awal beserta
peralatan kompresif lainnya, serta pemberian heparin subkutan harus ditambahkan setelah
aneurysma berhasil diatasi. Antagonis kalsium bisa mengurangi resiko dari outcome yang
buruk akibat komplikasi iskemik, dan nimodipine oral disarankan untuk pasien. Pemberian
obat antifibrinolytic berkepanjangan dapat mengurangi perdarahan ulang namun dihubungkan
dengan peningkatna resiko dari iskemia cerebral dan gangguan trombosis sistemik lainnya.
Pengobatan aneurysma awal adalah untuk mencegah perdarahan ulang, namun terapi
antifibrinolytic bisa digunakan dalam jangka pendek sebelum pengobatan aneurysma
dilakukan.
Pilihan Pengobatan untuk Aneurysm
Saat ini, dua pilihan terapeutik untuk mengamankan ruptur aneurysma adalah
microvascular neurosurgical clipping dan endovascular coiling. Microsurgical clipping lebih
sering

dipilih

untuk

metode

pengobatan.

Walaupun

waktu

pembedahan

masih

diperdebawtkan, kebanyak spesialis neurovaskular menyarankan operasi lebih awal. Bukti


dari penelitian klinis menyatakan bahwa pasien yang melakukan operasi di awal mempunyai
tingkat perdarahan ulang lebih rendah dan mempunyai prognosis yang lebih baik,
dibandingkan pasien yang dioperasi lebih lama. Pengamanan ruptur aneurysm juga bisa
menjadi pengobatan untukkomplikasi yang ada, seperti cerebral vasospasm. Walaupun
banyak ahli bedah neurovaskular menggunakan mild hypothermia pada saat microsurgical
clipping untuk aneurysm, belum ada bukti yang menunjukkan keuntungan terapi ini pada
pasien dengan perdarahan subaraknoid yang sedikit.
Pengobatan aneurysm endovaskular juga tersedia sebagai alternatif dari terapi bedah
dalam 15 tahun terakhir. Coils dibuat dengan menggunakan platina dan disambungkan
dengan kawat penyambung. Setelah posisi tepat dari aneurysm sudah dipastikan, coils akan

dipeaskan dari kawat. Multiple coils dengan berbagai panjang dan diameter biasanya
dimasukkan ke dalam aneursyma untuk mengamankan sirkulasi (Gambar 3).
International Subarachnoid Aneurysm Trial (ISAT) memeriksa pasien dengan ruptur
aneurysm secara prospektif dan mempertimbangkan kegunaan dari endovascular coiling atau
microsurgical clipping. Penulis menemukan bahwa pada kelompok pasien ini, outcome yang
lebih baik, yang dijelaskan sebagai tingkat ketahanan dari gangguan selama satu tahun,
terlihat lebih tinggi pada pasien yang diobati dengna endovascular coiling dibandingkan
surgical clips. Resiko terjadinya epilepsi lebih rendah pada pasien yang mendapatkan
endovascular coiling, namun resiko perdarahan ulang memang lebih tinggi. Selain itu, pada
pasien yang mendapatkan pemeriksaan lanjutan cerebral angiography, tingkat sumbatan total
aneursyma lebih hebat pada pasien dengan surgical clipping.
ISAT merupakan penelitian yang melakukan validasiterhadap teknik endovascular
coiling. Namun, banyak aneurysma yang tidak bisa diobati dengan microsurgical clipping
atau endovascular coiling. Pada kasus tertentu, beberapa faktor seperti usia pasien dan
kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta lokasi, morfologi dan hubungan aneurysm
dengan pembuluh darah lainnya harus dianalisa untuk nenetukan pengobatan yang sesuai.
Pada umumnya, pasien tua atau pasien dengan kondisi medis yang buruk lebih cocok untuk
mendapatkan terapi endovaskular coiling. Aneurysma pada sirkulasi vertebrobasiler atau
aneurysma pada basis cranium, seperti paraophthalmic aneurysm, lebih mudah diatasi dengan
pendekatan endovascular. Aneurysma coli yang luas (dengan rasio diametes leher terbesar
mencapai 0.5) biasanya tidak cocok untuk terapi endovascular coiling. Aneurysm yang
dihubungkan dengan hematoma parenkim luas dan mempunyai cabang pembuluh darah dari
basis atau pusat lebih cocok untuk dioabti menggunakan microsurgical clipping. Selain itu,
untuk aneurysm yang disebabkan oleh efek massa lokal, terapi bedah terbukti lebih efisien.
Karena analisa kompleks terhadap variabel tertentu diantara pasien dan tipe aneurysma harus
dipastikan untuk menentukan pengobatan yang sesuai untuk setiap pasien, peneliti
menyarankan evaluasi dilakukan oleh dokter yang mempunyai pengetahuan khusus terhadap
bedah neurovascular, teknik endovascular, dan neurologic critical care.
Penanganan Komplikasi
Komplikasi Neurologis sering terjadi dan termasuk gejala vasospasm (46% dari pasien),
hydrocephalus (20%), dan perdarahan ulang (7%). Pasien dengan perdarahan ulang
mempunyai resiko tinggi untuk mengalami gangguan neurologis permanen dan tingkat
kematian sekitar 50%. Perdarahan ulang bisa dicegah dengan pengobatan awal, karena
kondisi ini lebih sering terjadi dalam beberapa hari awal (4% di hari pertama dan 1.5% per

hari untuk dua minggu selanjutnya) Cerebral vasospasme lebih sering terjadi (Terjadi pada
2/3 pasien) dibandingkan gejala vasospasm (dengan bukti klinis iskemia cerebral).
Transcranial Doppler ultrasonography dilakukan setiap hari atau setiap hari berikutnya untuk
memantau vasospasme, yang dijelaskan dengan tingkat velositas dari aliran darah cerebral
lebih dari 120 cm/detik pada pembuluh darah besar. Doppler ultrasonography mempunyai
sensitivitas yang serupa dengan cerebral angiography untuk deteksi penyempitan pembuluh
darah, terutama pada arteri cerebral media dan internal. Setelah adanya bukti gejala
vasopasme (dengan tanda neurologis fokal), pasien akan diobati denganhiervolemiadan
hipertensi terinduksi (Tabel 2). Pasien yang kondisinya tidak membaik setelah terapi medis
akan melakukan angiography cerebral emergency dan transluminal angioplasty atau infus
vasodilator jika terbukti adanya penyempitan pembuluh darah (Gambar 2). Pemantauan
radiologis lainnya, termasuk MRI otak, juga harus dilakukan karena infark cerebral tidak
selalu menunjukkan tanda klinis yang khas. Gejala hydrocephalus yang disebabkan oleh
gangguan absorbsi cairan serebrospinal membutuhkan pengobatan dengan external
ventricular drainage temporer atau pemasangan shunt permanen. Kejang sering terjadi pada
1/3 pasien. Walaupun efektifitas dari obat antikonvulsan profilaksis masih belum diuji secara
formal, efek potensial dari kejang bisa saja menyebabkan perdarahan ulang, sehingga
penggunaan anticonvulsant setidaknya 1 minggu setelah perdarahan awal dianjurkan (Tabel
2). Pasien dalam keadaan koma harus dipantau dengna electroencephalography, karena
frekuensi dari kejang non-convulsive terbilang tinggi, yaitu 20%.
Adanya komplikasi medis setelah perdarahan subaraknoid bisa meningkatkan
morbiditas, lamanya perawatan, dan mortalitas. Kebanyakan pasien mengalami komplikasi
medis, dimana lebih dari 40% kasus mengalaminya. Kebanyakan komplikasi medis termasuk
edema paru pada 23% (baik cardiogenic ataupun neurogenik dengan acute respiratory distress
syndrome), aritmia jantung 35%, dan gangguan elektrolit pada 28% pasien. Hiponaterima
dapat disebabkan oleh gangguan sekresi antidiuretik hormone (normal atau peningkatan
tekanan intravaskular) atau pembuangan garam cerebral (menurunkan volume intravaskular).
Pengobatan hiponaterima termasuk pembatasan cairan untuk kondisi penyerta dan pemberian
cairan agresif untuk penaganan selanjutnya. Pada umumnya, pasien harus tetap berada dalam
kondisi euvolimeik, karena hipovolemiadihubungkan dengan kejadian iskemia cerebral dan
perburukan outcome (Tabel 2).
Perawatan Jangka Panjang
Banyak pasien yang selamat dari perdarahan subaraknoik mengalami gangguan kronik.
Lebih dari 50% penyintas melaporkan adanya masalah terkait ingatan, mood, atau fungsi

neurofisiologis. Defisit ini menyebabkan gangguan pada peran sosial, bahkan gangguan fisik
yang terlihat jelas. sampai 2/3 penyintas bisa bekerja setelah penanganan 1 tahun dari
perdarahan subaraknoik. Pemantauan fisik dan neurofisiologis yang rutin serta pengobatan
harus terus dilakukan (Tabel 2).

Anda mungkin juga menyukai