Anda di halaman 1dari 1

opini

REPUBLIKA SENIN, 25 JULI 2011

Dari Bidah ke Tamaddun


KH Said Aqiel Siradj
Ketua Umum PBNU

aat ini, kerap terlontar dengan begitu entengnya


dari kelompokkelompok Muslim tertentu berupa kata-kata syirik, kafir,
atau bidah. Kata-kata tersebut diayunkan kepada kelompok Muslim di luar mereka. Bahkan, hanya karena perbedaan furuiyyah, bisa menyembur kata-kata tersebut.
Ini fakta yang sudah terjadi di
daerah-daerah yang kerap menimbulkan ketegangan fisik.
Ada keyakinan laten dan
manifes yang dipegangi oleh
mereka yang merasa paling benar. Padahal, bukankah menuduhkan kata-kata tersebut tidak segampang itu? Model sikap ini dikhawatirkan akan
berpotensi pada bentuk radikalisme.
Kita hidup di negeri yang
serbamulti. Di negeri Arab
saja yang cenderung monolitik, muncul beragam aliran
keagamaan, bahkan aliran di
luar bingkai keagamaan, seperti sosialisme dan Marxisme.
Ada apa sebenarnya?

Menakar fikih
Pengkajian kitab-kitab fikih selama ini tampaknya hanya mendaras kembali kitabkitab fikih klasik (al-fuqaha alqudama). Artinya, di sini belum ada upaya untuk membaca ulang beberapa pandangan fikih terdahulu. Sebaliknya, hanya mereproduksi
pandangan-pandangan fikih
klasik dan tidak memproduksi
pandangan-pandangan alternatif yang lebih mengacu pada
upaya membangun peradaban
(tamaddun).
Selama ini, telah muncul
beberapa pakar dari Timur Te-

ngah, seperti Ali Jumah dan


Jamaluddin Athiyah, Jamal alBanna, Yusuf al-Qaradhawi,
atau juga Muhammad Syahrur.
Mereka melihat betapa pentingnya membaca ulang fikih
klasik secara kritis dengan
arah memperbarui fikih dan
ushul fikih guna merespons
problem kekinian dan melahirkan fikih peradaban. Kecenderungan untuk memperbarui fikih terasa penting tatkala muncul kecenderungan
pemahaman yang bersifat puritan dan radikal. Sejauh ini,
banyak yang menjadikan fikih
bukan sebagai metode (manhaj) untuk memahami doktrin
keagamaan, melainkan sebagai dogma kaku.
Di negeri kita, kesadaran
untuk memperluas cakupan fikih dengan menjadikan sebagai metodologi dalam merumuskan masalah kontemporer,
alhamdulillah, sudah bermunculan. Misalnya saja, muncul
buku-buku seperti Fikih Jurnalistik, Fikih Lintas Agama, dan juga Fikih Perlindungan Konsumen yang ditulis oleh Soffa Ihsan.
Ini pertanda lahirnya kesadaran untuk tidak hanya
mempersempit ruang fikih dengan hanya berputar-putar
pada soal-soal ibadah, halalharam, bidah-syirik. Fikih
menyimpan formulasi-formulasi ijtihadi yang masih berserakan dan bisa digali dalam
rangka membaca kekinian. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fikih jangan disembunyikan dan lalu yang mengedepankan sosok fikih sebagai tatapan mata elang, penebar kebencian dan kecurigaan terhadap sesama, baik
seagama maupun tidak.
Kita jadi mafhum mengapa
muncul beberapa istilah yang
selalu dianggap musuh dalam
fikih klasik, yaitu syirik,
bidah, dan kafir. Pertanyaannya, mengapa watak
fikih klasik bisa seperti itu?

Apakah Islam memang benarbenar sebagai agama yang menebarkan konflik dan kekerasan? Inilah apa yang disebut
sebagai dilema paradigma fikih
yang merupakan pemandangan
menyejarah dan senantiasa
menghiasi pemikiran keagamaan kontemporer. Banyaknya
kaum terpelajar Muslim di Tanah Air yang belajar ke Timur
Tengah setidaknya menyebabkan pandangan keagamaan
mereka arabis dan teosentris.
Menurut Abid al-Jabiri, fikih yang dikonstruksi para
ulama terdahulu tidak hanya
menutup masa depan atau masa setelah fikih tersebut dikodifikasi, tetapi juga tidak
mengakomodasi tradisi yang
berkembang pada masa-masa
sebelumnya (jabb al-islam ma
qablahu). Hal itu terjadi karena
fikih ibarat pendulum yang
tidak secara tegas melakukan
dialektika epistemologis. Fikih
hanya dijadikan upaya untuk
memapankan kepatuhan dan
ketundukan terhadap sebuah
aliran dan mazhab tertentu.
Fikih dan ushul fikih merupakan khazanah luar biasa kebanggaan Muslim. Dulu Amir
al-Mahdi, gubernur di Asia Tengah, mengirim surat kepada
Imam Syafii yang isinya tentang kebingungan Amir alMahdi saat membaca Alquran
dan hadis yang isinya tampak
bertentangan. Untuk menjawab ini, Imam Syafii menyusun kitab Al-Risalah yang berisi kaidah-kaidah ushul fikih
yang kemudian lahir ilmu fikih. Dari sini, ada penjelasan
mengenai rukun shalat, yang
kalau hanya membaca Alquran dan hadis, tidak akan ada
penjelasannya secara perinci.
Di sisi lain, formalisasi fikih
yang awalnya bersifat kultural
ini, pada akhirnya dijadikan
bahan bakar untuk cakarcakaran karena perbedaan
mazhab serta saling berebut
pengaruh. Ini menunjukkan
adanya pendulum perada-

ban sebagaimana disebut Ibnu Khaldun sebagai tarik


ulur yang membawa peradaban dari kemegahannya
menuju kehancuran.
Fikih menjadi jumud dan
beku, atau yang paling ekstrem, fikih hanya dijadikan
ajang kontestasi untuk saling
menyalahkan sesama Muslim.
Di sinilah perlunya mengembalikan fikih kepada semangatnya yang terbuka dan progresif sehingga fikih lebih
fokus memotret isu-isu peradaban kemanusiaan dan hubungan antarmazhab secara
lebih mendasar.

Budaya dan dogma


Kekuatan-kekuatan pengaruh budaya sejatinya sudah
bisa kita saksikan hampir di
belahan dunia mana pun. Demikian pula Islam sejak masa
Nabi Muhammad, Khulafaur
Rasyidin, sampai renaisans di
Cordoba, telah mengembangkan suatu khazanah kebudayaan yang kaya dan beragam.
Refleksi sejarah Islam sebagai kekuatan budaya ini telah memunculkanmenyitir
istilah dari Gustav Von Grunebaumsebagai kesatuan
dan keberagaman (unity and
variety). Kekuatan budaya
Islam telah melakukan suatu
sintesa yang kaya dan adaptif dengan unit-unit kebudayaan lokal.
Dari uraian ini pula, dituangkan pengertian bahwa tafaqquh fi al-din berarti kaum
Muslimin harus berinovasi demi membangun peradaban kini
dan esok secara terus-menerus.
Makna mendalami agama tidak mesti ditafsir secara sempit
karena pengertiannya luas yang
intinya tidak hanya berputarputar pada masalah furuiyyahubudiyah, tetapi menjelma
sebagai fikih tamaddun dalam rangka membangun peradaban adiluhung yang dipenuhi kearifan dalam menyikapi
perbedaan apa pun. I

Penghapusan Pekerja Anak


Joko Riyanto
Koordinator Riset Pusat
Kajian dan Penelitian Kebangsaan Solo

alam sebuah survei


disebutkan, saat
ini jumlah buruh
anak berusia 10-14
tahun di Indonesia hingga kini
telah melebihi angka 1,4 juta
dan sebagian besar tidak mendapat peluang untuk bersekolah. Bertepatan dengan momentum dan suasana Hari
Anak Nasional (23/7), penulis
mengajak kita semua untuk
menyaksikan maraknya anak
yang menjadi pekerja. Sebab,
masalah pekerja anak masih
signifikan di Indonesia.
International Labor Organization (ILO, Organisasi Buruh Internasional) memperkirakan. sekitar empat juta anak
di bawah usia 18 tahun bekerja pada jenis pekerjaan yang
dapat membahayakan diri
anak. Mereka tersebar di berbagai sektor usaha, baik formal maupun informal. Di sektor informal, biasanya anak
dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Data
yang dikumpulkan Universitas
Indonesia dan International
Program on the Elimination of
Child Labor (IPEC) memperkirakan, terdapat 2,6 juta PRT di
Indonesia yang 34 persen di
antaranya adalah anak.
Penggunaan anak kecil sebagai pekerja sekarang ini dianggap oleh negara-negara kaya sebagai pelanggaran hak
manusia, dan melarangnya,
tetapi negara miskin mungkin
masih mengizinkan karena
keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya
untuk bertahan hidup dan
kadangkala merupakan satu-

satunya sumber pendapatan.


Mudahnya anak disuruh
bekerja dengan upah murah
dan kemiskinan menjadi faktor utama sehingga pekerja
anak terus bertambah. Selain
itu, mahalnya biaya pendidikan menyebabkan banyak anak
terpaksa putus sekolah.
Pandangan bersifat paternalistik yang menganggap keluarga yang mempekerjakan
anak sebagai PRT sebagai jalan keluar bagi anak yang kurang mampu itu, juga menjadi
salah satu faktor. Mempekerjakan anak di usia dini sangat memprihatinkan, apalagi
bekerja di sektor informal, karena pengeksploitasian terhadap anak akan cenderung
terjadi.
Indonesia merupakan salah
satu negara yang meratifikasi
Konvensi PBB mengenai hak
anak. Secara yuridis negara
dan pemerintah berkewajiban
menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan
anak seperti diamanatkan UU
23/2003 tentang Perlindungan
Anak. Tetapi, kenyataan sekarang, pemerintah masih belum
mampu maksimal memberikan perlindungan terhadap
pekerja anak.
Dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah secara tegas melarang
mempekerjakan anak. Tetapi,
begitu naifnya UU ini, karena
di ketentuan selanjutnya diperbolehkan mempekerjakan
anak untuk pekerjaan ringan.
Jadi, di sini dapat dilihat ketidaktegasan pemerintah dalam
menghadapi masalah pekerja
anak, dan cederung bertindak
setengah-setengah.
Walaupun pada akhir 2003
disahkan Kepmenaker No
235/MEN/2003 tentang jenis
pekerjaan yang berbahaya ba-

H A R I A N

REPUBLIKA
MAHAKA MEDIA

Semua naskah yang dikirim ke Redaksi dan diterbitkan menjadi


milik Harian Republika. Semua wartawan Harian Republika dibekali
tanda pengenal dan tidak menerima maupun meminta imbalan dari
siapa pun. Semua isi artikel/tulisan yang berasal dari luar, sepenuhnya
tanggung jawab penulis yang bersangkutan. Semua isi artikel/tulisan
yang terdapat di suplemen daerah, menjadi tanggung jawab Kepala
Perwakilan Daerah bersangkutan.

gi kesehatan dan keselamatan


atau moral anak, regulasi ini
sebagian besar hanya untuk
anak yang bekerja di sektor
formal. Sementara itu, bagi
anak yang kebanyakan bekerja di sektor informal tidak tercover oleh kebijakan ini.
Sekarang menghapus pekerja anak menjadi wacana
nasional, malah di beberapa
daerah mulai diimplementasikan. Jakarta sebagai Ibu Kota
negara membuat perda tentang ketenagakerjaan, yang
mencantumkan usia minimum
untuk bekerja serta pelarangan dan penghapusan segala
bentuk pekerja anak (Nakertrans, 2007).
Pemda DKI Jakarta melihat
pekerja anak sebagai problem
yang sangat serius untuk ditanggulangi. Mengingat, di wilayah ini terdapat ribuan pekerja anak baik yang bekerja di
sektor formal ataupun informal.
Jakarta bisa dikatakan sebagai
salah satu pusat pekerja anak
di Indonesia. Hal ini disebabkan, umumnya pekerja anak
yang mencari rezeki di Ibu Kota
merupakan perantauan dari
provinsi lain di Indonesia.
Pelarangan atau penghapusan pekerja anak ini mungkin
akan diikuti oleh daerah lain di
Indonesia. Apakah efektif kebijakan melarang atau menghapus pekerja anak tersebut?
Mengingat, pendekatan secara
penegakan hukum justru hanya
akan mempersulit dan merugikan pekerja itu sendiri. Sebab,
dengan pemberlakuan peraturan itu otomatis kegiatan pekerja anak akan menjadi ilegal
(Nachrowi, 2004).
Hal itu telah melahirkan
paradigma mengenai diperbolehkan atau tidaknya pekerja
anak di negara kita. Permasalahannya sekarang bukan ter-

letak pada kata boleh atau tidaknya anak bekerja, tetapi


bagaimana perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam upaya mencegah
terjadinya eksploitasi terhadap pekerja anak. Karena, dengan dilarang hanya akan menimbulkan pekerja anak di
sektor informal sangat besar.
Idealnya anak tidak perlu bekerja. Tetapi, ketika keadaan
sosial ekonomi memaksa mereka bekerja, menghapus pekerja
anak merupakan tindakan
yang tak logis (Putranto, 1994).
Seharusnya, masalah pekerja anak harus ditempatkan
sebagai bagian utama dalam
konteks pembangunan nasional dalam upaya pengentasan
kemiskinan di negara kita. Di
negara berkembang seperti
Indonesia, tahap pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, industrialiasi, dan kesejahteraan
berlangsung bersamaan).
Kondisi ini sangat memengaruhi perkembangan kebijakan
ketenagakerjaan. Tahap industrialisasi yang menekankan
pertumbuhan ekonomi setingginya, akan mengarahkan kebijakan untuk melindungi pemilik
modal. Ini berarti, buruh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi yang setingginya.
Di lain pihak, pada tahap
kesejahteraan fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat, termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari
krisis multidimensional dan
peningkatan kesejahteraan
buruh berjalan bersamaan, sehingga akan terjadi tarik-menarik kepentingan dari kedua
belah pihak (Uwiyono, 2006).
Bagaimanapun secara kodrati,
anak adalah masa depan generasi penerus bangsa. I

Pemimpin Redaksi: Nasihin Masha. Wakil Pemimpin Redaksi: Arys Hilman Nugraha.
Redaktur Pelaksana: Elba Damhuri. Kepala Newsroom: M Irwan Ariefyanto. Kepala Republika Online: Agung Pragitya Vazza.
Redaktur Senior: Anif Punto Utomo. Wakil Redaktur Pelaksana: Irfan Junaidi, Syahruddin El-Fikri, Kumara Dewatasari. Asisten
Redaktur Pelaksana: Bidramnanta, Joko Sadewo, Nur Hasan Murtiaji, Subroto. Reporter Senior: Andi Nur Aminah, Harun Husein,
Muhammad Subarkah, Nurul S Hamami, Selamat Ginting, Teguh Setiawan. Staf Redaksi: Abdullah Sammy, Agus Yulianto, Alwi Shahab,
Asep K. Nurzaman, Andri Saubani, Anjar Fahmiarto, A Syalaby Ichsan, Bilal Ramadhan, Budi Raharjo, Burhanuddin Bella, Citra Listya
Rini, Damanhuri Zuhri, Darmawan Sepriyossa, Darmawan, Desy Susilawati, Dewi Mardiani, Didi Purwadi, Djoko Suceno, Dyah Ratna
Meta Novia, Edi Setyoko, Edwin Dwi Putranto, Eko Widiyatno, Endro Yuwanto, Erdy Nasrul, Esthi Maharani, EH Ismail, Fernan Rahadi,
Ferry Kisihandi, Firkah Fansuri, Fitria Andayani, Fitriyan Zamzami, Heri Purwata, Heri Ruslan, Ichsan Emrald Alamsyah, Indah Wulandari,
Indira Rezkisari, Irwan Kelana, Israr, Johar Arief, Khoirul Azwar, Lilis Sri Handayani, Mansyur Faqih, Mohammad Akbar, Mohamad Amin
Madani, Muhammad Fakhruddin, M Asadi, M Hafil, M Ikhsan Shiddieqy, Natalia Endah Hapsari, Neni Ridarineni, Nidia Zuraya, Nina
Chairani Ibrahim, Palupi Annisa Auliani, Prima Restri Ludfiani, Priyantono Oemar, Rachmat Santosa Basarah, Rahmat Budi Harto, Ratna
Puspita, Reiny Dwinanda, Rusdy Nurdiansyah, R Hiru Sefti Oktarianisa, Muhammad, Setyanavidita Livikacansera, Siwi Tri Puji Budiwiyati,
Stevy Maradona, Susie Evidia Yuvidianti, Taufiqurrahman Bachdari, Teguh Firmansyah, Wachidah Handasah, Wulan Tunjung Palupi,
Yasmina Hasni, Yeyen Rostiyani, Yoebal Ganesha Rasyid, Yogi Ardhi Cahyadi, Yulianingsih, Yusuf Assidiq, Zaky Al Hamzah.
Kepala Quality Control dan Bahasa: Rakhmat Hadi Sucipto. Kepala Desain: Sarjono. Kepala Perwakilan Jawa Barat: Maman
Sudiaman. Pjs.Kepala Perwakilan DIY - Jateng & Jatim : Haryadi B.Susanto. Nian Poloan (Medan), Maspril Aries (Palembang), Ahmad
Baraas (Bali). Sekretaris Redaksi: Fachrul Ratzi.

Tajuk

Maksimalkan
Bimbingan Haji
Komisi VII DPR RI dan Kementerian Agama (Kemenag), Jumat
(22/7) lalu, akhirnya menyepakati besaran Biaya Perjalanan Ibadah
Haji (BPIH) 1432 H/2011 sebesar Rp 30.771.900 atau turun sebesar Rp
308.700 dari BPIH 1431H/2010. Dalam waktu dekat, besaran BPIH itu
akan segera ditandatangani oleh presiden untuk disahkan sehingga
bisa segera dilakukan pelunasan oleh seluruh calon jamaah haji
(calhaj) yang akan berangkat tahun ini.
Penetapan BPIH tahun ini terkesan sangat lambat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Berbagai persoalan, mulai dari penawaran
besarnya biaya penerbangan hingga pemondokan di Arab Saudi,
dituding menjadi penyebabnya. Bahkan, sejumlah anggota Komisi
VIII masih menghendaki diturunkannya angka BPIH itu hingga
menjadi Rp 29 juta.
Sebenarnya, bukan persoalan berapa besar biaya yang akan
dikeluarkan untuk naik haji sebab mereka yang mampu (isthitoah)
itulah yang berkewajiban untuk menunaikan haji. Jika mereka dari
awal sudah berniat haji, berapa pun biayanya akan mereka usahakan
untuk memenuhinya. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana
memaksimalkan pemahaman calhaj terhadap setiap prosesi ibadah
yang dilaksanakan selama di Arab Saudi.
Kita tentu prihatin mendengar banyaknya calon jamaah haji yang
tidak bisa membaca Alquran. Beberapa waktu lalu, ditemukan lebih
dari 50 persen calhaj asal Kabupaten Garut tidak bisa membaca
Alquran. Kondisi ini tentu kurang baik sebab kesempurnaan ibadah
harusnya dibarengi dengan pemahaman yang baik terhadap sumber
ajarannya, yakni Alquran.
Memang, orang yang tak bisa membaca Alquran tidak akan mengurangi keabsahan ibadah haji. Tapi, andai bisa membaca Alquran,
tentunya itu akan lebih baik lagi. Di samping itu, pemahaman dan
pengetahuan tentang prosesi setiap ibadah haji, mulai dari niat,
ihram, tawaf, sai, melontar jumrah, hingga wukuf di Padang Arafah
dan menyelesaikannya dengan tahalul (memotong rambut), juga
sangat penting demi kesempurnaan pelaksanaan ibadah haji.
Selama ini, penyelenggaraan manasik (bimbingan) haji diselenggarakan sebanyak 14 kali selama kurang lebih tiga bulan. Jika
dikalkulasi secara matematis, harusnya bimbingan manasik haji yang
diselenggarakan oleh Kemenag itu bisa mencukupi. Namun, faktanya,
banyak calhaj yang ketika datang mengikuti manasik, malah asyik
bersenda gurau. Akibatnya, pada saat pelaksanaan haji dimulai,
mereka acap kali kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa, selain
mengikuti pembimbing haji.
Karena itu, ada baiknya setiap calhaj sebelum berangkat sudah
memahami segala prosesi ibadah haji. Ketika menyetorkan uang atau
menabung di bank, mestinya saat itu mereka sudah mempelajari
berbagai buku panduan haji. Jadi, bimbingan haji sudah bisa
didapatkan sejak awal dan saat pelaksanaan, setiap calhaj sudah
memahami prosesi ibadah haji.
Bayangkan, bila suatu saatkarena banyaknya umat Islam
Indonesia yang ingin berhaji sehingga masuk dalam waiting list
(daftar antrean)harus mendapatkan sertifikat lulus sebagai calon
haji. Dan hanya mereka yang lulus itulah yang bisa berhaji karena
sudah mampu memahami setiap prosesi ibadah haji. Dan mereka yang
tidak lulus, tidak bisa berangkat karena belum mampu memahami
setiap tahapan haji dengan baik dan benar. I

:: suarapublika ::
Carrefour Ambassador
Layanan Mengecewakan
Pada Sabtu (23/7) sore, saya bersama istri berbelanja di Carrefour Ambassador. Saya membeli buah-buahan serta roti gandum buatan Carrefour. Biasanya
saya memilih roti bermerek, tapi karena tidak ada, saya mengambil roti buatan
Carrefour. Sebelumnya, saya telah mengecek tanggal pembuatan roti, yaitu Jumat
(22/7) dan kedaluwarsa Senin (25/7).
Pada Ahad (24/7) pagi, saya memakan roti tersebut. Rasanya asam, tapi saya
tidak berpikir jelek dan terus mengonsumsi roti. Tapi, istri saya merasa aneh dan
kemudian memeriksa. Alangkah kagetnya kami karena rotinya ternyata telah berjamur.
Saya menelepon langsung ke Carrefour Ambassador, tapi sulit tersambung
dan bahkan seperti sengaja dimatikan. Saya juga telah meninggalkan nomor telepon di twitter @Carrefour_ID, namun tidak ada yang menghubungi saya kembali
hingga saya menulis surat pembaca ini.
Saya mengimbau para pembeli yang berbelanja di Carrefour Ambassador agar
berhati-hati sebelum membeli dan tidak memercayai begitu saja tanggal
kedaluwarsa di produk Carrefour. Lebih baik teliti berulang-ulang sebelum
berdampak negatif bagi kesehatan.
Israr
Jl Haji Siun No 63 F RT 01 RW 05 Kelurahan Ceger
Cipayung Jakarta Timur

Mengoordinasi Takjil
Harapan untuk Republika
Assalamualaikum.
Terinspirasi oleh tebar hewan kurban yang diselenggarakan Dompet Dhuafa
Republika yang sukses besar, saya usulkan Republika juga bisa mengoordinasi
donator Muslim yang akan memberikan takjil bulan Ramadhan sehingga kalau
dikelola dengan baik dapat menghidupkan perekonomian/membuka lapangan
kerja para pembuat makanan untuk takjil. Jadi, pada bulan puasa, daerah yang
minus bisa diberi modal untuk membuat takjil dan disalurkan secara proporsional. Melihat profesionalisme Republika selama ini, saya yakin program ini
akan berhasil, bahkan mungkin jauh melebihi yang saya perkirakan. Terima kasih.
Yudi Dwiyuda Prasaja
Puri Nirwana 3, BC-41 Cibinong-Bogor

Penerbit: PT Republika Media Mandiri. Alamat Redaksi: Jl. Warung Buncit Raya No. 37, Jakarta 12510, Alamat Surat: PO
Box 1006/JKS-Jakarta 12010. Tel: 021-780.3747 (Hunting), Fax: 021-780.0649 (Seluruh Bagian). Fax Redaksi: 021798.3623, E-mail: sekretariat@republika.co.id. Bagian Iklan: Jl. Warung Buncit Raya No. 37, Jakarta 12510. Tel: 021794.4693, Fax: 021-798.1169. Sirkulasi dan Langganan: Tel: 021-791.98441, Fax: 021-791.98442. Online:
http://www.republika.co.id. Alamat Perwakilan: Bandung: Jl. LL RE Martadinata No. 126 Tel: 022-420.7671, 420.7672,
420.7675, Fax: 022-426.2898, Yogyakarta: Jl. Perahu No. 4, Kota Baru, Tel: 0274-544.972, 566028, Fax: 0274541.582, Surabaya: Jl. Barata Jaya No. 51, Tel: 031-501.7409, Fax: 031-504.5072.
Direktur Utama: Erick Thohir.
Wakil Direktur Utama: Daniel Wewengkang. Direktur Pemberitaan: Ikhwanul Kiram Mashuri, Direktur Operasional:
Tommy Tamtomo. GM Keuangan: Didik Irianto. GM Marketing dan Sales: Yulianingsih.Manajer Iklan:Indra Wisnu
Wardhana. Manajer Produksi: Nurrokhim. Manajer Sirkulasi: Darkiman Ruminta. Manajer Keuangan: Hery Setiawan.
Harga Langganan: Rp. 69.000 per bulan, harga eceran Pulau Jawa Rp 2.900. Harga Eceran Luar Jawa: Rp. 4.000 per
eksemplar (tambah ongkos kirim). Rekening Bank a.n PT Republika Media Mandiri: Bank BSM, Cab. Warung Buncit,
No. Rek. 0030113448 ( Bank Mandiri, Cab. Warung Buncit, No. Rek. 1270004240642 ( Bank Lippo, Cab. Warung Buncit,
No. Rek. 727.30.028988 ( Bank BCA, Cab. Graha Inti Fauzi, No. Rek. 375.305.666.8.
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers: SK Menpen No. 283/SK/MENPEN/SIUPP/A.7/1992,
Anggota Serikat Penerbit Surat Kabar: Anggota SPS No. 163/1993/11/A/2002.

Anda mungkin juga menyukai