Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Apendisitis merupakan peradangan apendiks vermiformis yang memerlukan pembedahan
dan biasanya ditandai dengan nyeri tekan lokal di perut bagian kanan bawah. Komplikasi
utama pada apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis
atau abses1.
Insidens perforasi berkisar 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan
lansia. Berdasarkan dari data di Amerika Serikat pada tahun 1993-2008 menunjukkan bahwa
ada peningkatan apendisitis dari 7,68% menjadi 9,38% dari 10.000 orang. Frekuensi
tertinggi ditemukan pada rentang usia 10-19 tahun, namun angka kejadian pada kelompok
ini mengalami penurunan sebesar 4,6%. Sedangkan pada rentang usia 30-69 tahun
mengalami peningkatan kejadian apendisitis sebesar 6,3%. Angka kejadiannya lebih tinggi
terjadi pada pria dibanding wanita1 .
Dari 150 kasus di RS Rawalpindi, Islamabad, Pakistan diketahui 47 kasus (31,3%)
memiliki apendisitis perforasi, sementara 103 kasus (69,7%) memiliki apendisitis sederhana.
Dari kasus tersebut 90 pasien diantaranya adalah laki-laki sementara 60 sisanya adalah
perempuan. Diketahui 40 pasien (85,1%) dari apendisitis perforasi memiliki gejala selama
lebih dari 24 jam, sementara 7 pasien (14,9%) lainnya memiliki gejala kurang dari 24 jam.
Komplikasi yang tinggi 2 pada apendisitis perforasi dapat dibandingkan dengan apendisitis
non perforasi dan tidak ditemukan pasien yang mengalami2.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penanganan apendisitis akut dapat
mengakibatkan timbulnya komplikasi.Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pasien
maupun dari tenaga medis.Faktor yang berasal dari pasien meliputi pengetahuan &
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.Sedangkan faktor keterlambatan penanganan yang
berasal dari tenaga medis adalah kesalahan diagnosis, keterlambatan merujuk ke rumah
sakit, dan penundaan tindakan bedah. Penundaan pada pengobatan apendisitis dapat
menyebabkan peningkatan resiko perforasi 60-80% sehingga bakteri dapat meningkat
sehingga menyebabkan sepsis dan kematian2. Hal yang menyebabkan sulitnya membuat
diagnosis yang tepat pada masa awal penyakitadalah karena gejala awal apendisitis pada

waktu awal tidak spesifik. Selain itu, upaya mencari diagnosis yang tepat dan rasa keinginan
menghindari apendisitis dapat menyebabkan penundaan operasi dan meningkatkan
kemungkinan perforasi dan morbiditas. Keterlambatan diagnosis apendisitis lebih banyak
terjadi pada pasien yang datang dengan keluhan sedikit nyeri pada kuadran kanan bawah,
kurangnya pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan pasien yang menerima analgesia
narkotik. Diagnostik alat bantuyang dapat mengurangi apendisektomi negatif dan perforasi
adalah laparoskopi, sistem penilaian, ultrasonografi dan computed tomography3. 3 Kasus
apendisitis ditandai dengan adanya perasaan tidak nyaman pada daerah periumbilikus,
diikuti dengan anoreksia, mual dan muntah yang disertai dengan nyeri tekan kuadran kanan
bawah juga rasa pegal dalam atau nyeri pada kuadran kanan bawah. Demam dan lekositosis
juga dapat terjadi pada awal penyakit. Apendisitis mungkin tidak menunjukkan gejala pada
usia lanjut dan tidak adanya nyeri pada kuadran kanan bawah. Saat ini telah banyak
dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendektomi negative, salah satunya adalah
dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat, dan kurang invasive. Alfredo Alvarado membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium 2. Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan temuan pre-operasi dan digunakan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Sistem skor ini menggunakan tanda dan gejala yang meliputi migrasi nyeri, anoreksia, mual,
muntah, nyeri tekan abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan, suuhu badan lebih
dari 37,2 C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah
dan lekositosis memiliki nilai 2 dan enam lainnya masing-masing memiliki nilai 1, sehingga
kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 103.
Apendisitis adalah kondisi umum yang mendesak pada bagian bedah, yang dapat
ditandai dengan adanya perforasi. Perforasi didefinisikan sebagai sebuah lubang pada
apendiks atau fekalit di abdomen. Sebuah penelitian menggunakan metode retrospektif
meneliti 2 macam antibiotik yang berbeda pada perforasi apendisitis untuk mengetahui
tingkat abses pada apendisitis perforasi dan tanpa perforasi serta untuk menunjukkan bahwa
tidak ada peningkatan resiko pembentukan abses pada appendicitis tanpa perforasi.
Sebelumnya tingkat kejadian abses pada appendicitis perforasi meningkat dari 14% menjadi
18 %, namun setelah diterapkan angka kejadian menurun dari 1,7% menjadi 0,8%4.

Secara umum, perforasi terjadi 24 jam setelah rasa nyeri. Gejala meliputi
demamdengan suhu 37,7C atau lebih tinggi lagi, penampilan toksik, nyeri dan nyeri tekan
abdomen yang berkelanjutan4.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, dengan panjang sekitar kira 10 cm (kisaran

3-15 cm), lebar 0,3-0,7cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Apendiks merupakan tonjolan kecil mirip jari didasar sekum atau
berbentuk kantung buntu dibawah tautan antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum6.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh

karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus 2. Pendarahan apendiks
berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene

Gambar 2.1. Anatomy of the appendix


Appendiks merupakan bagian dari organ sistem pencernaan tubuh manusia yang tidak
memiliki fungsi yang jelas. Namun appendiks memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap
infeksi mikroorganisme intestinal.Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh2.
2.2. Apendisitis
2.2.1. Defenisi Apendisitis
Apendisitis merupakan suatu reaksi inflamasi akut dan infeksi dari apendiks vermiform 1.
Definisi lain Apendisitis merupakanperadangan pada appendiks, sebuah kantung buntu yang
berhubungan denganbagian akhir secum yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada

lumenappendiks. Apendisitis merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen
(abdominal pain) dan merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan pembedahan segera
khususnya pada anak-anak. Apendisitis dapat terjadi disebabkan oleh proses infeksi, proses
inflamasi ataupun merupakan suatu proses inflamasi kronik yang dapat mengarahkan menuju
tindakan apendektomi6.
2.2.2. Staging Apendisitis
Staging dari apendisitis dapat dibagi menjadi 8 tahap, yaitu:2,6
1. Early Stage Appendicitis
Obstruksi pada lumen apendiks menyebabkan terjadinya edema mukosa, ulserasi
mukosa, diapedesis bakteri, distensi apendiks dan mengarah menuju terjadinya akumulasi dan
peningkakan tekanan intraluminal. Serabut saraf aferen viseral terstimulasi dan pasien akan
merasakan nyeri periumbilikal dan nyeri epigastrik yang ringan, berlangsung selama 4-6 jam.
2. Suppurative Appendicitis
Peningkatan tekanan intraluminal pada akhirnya akan melebihi tekanan perfusi kapiler,
berkaitan dengan obstruksi limfatik dan drainase vena dan menyebabkan invasi bakteri serta
cairan-cairan inflamasi pada dinding apendiks. Masuknya bakteri menyebabkan acute
suppurative appendicitis. Ketika bagian appendiks yang terinflamasi kontak dengan parietal
peritonium, pasien akan mengalami tanda nyeri klasik, yaitu berpindahnya rasa nyeri dari
periumbilikal ke bagian kanan bawah abdomen (right lower abdominal quadrant (RLQ)) yang
berkepanjangan dan terasa semakin nyeri.
3. Gangrenous Appendicitis
Vena intramural dan trombosis arteri terjadi, berakibat pada terjadinya gangren
apendisitis.
4. Perforated Appendicitis
Iskemik jaringan apendiks yang terus menerus berakibat pada keadaan infark dan
perforasi, baik perforasi lokal ataupun general.
5. Phlegmonous Appendicitis
Lapisan apendiks yang meradang atau perforasi dapat berdinding omentum yang besar,
mengakibatkan radang usus apendiks phlegmonous atau abses fokal.
6. Spontaneously Resolving Appendicitis

Jika obstruksi lumen apendiks teratasi, apendisitis akut juga akan hilang secara spontan.
Hal ini terjadi saat hiperplasia limfatik atau fekalit terbuang keluar dari lumen.
7. Recurrent Appendicitis
Insidensnya sekitar 10%. Didiagnosa saat pasien mengalami nyeri RLQ pada beberapa
waktu yang berbeda setelah pada pasien pernah dilakukan apendektomi.
8. Chronic Appendicitis
Kronik apendisitis memiliki insidens 1% dan didefinisikan dengan keadaan:
a. Pasien dengan riwayat nyeri RLQ setidaknya 3 minggu tanpa diagnosis alternatif
lain,
b. Setelah dilakukannya apendektomi pasien mengalami tanda dan gejala yang
benar-benar hilang
c. Secara histopatologi, dibuktikan dengan gejala inflamasi aktif yang kronik dari
dinding apendiks atau fibrosis dari dinding apendiks2,6.
2.3. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan
pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks
tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. Apendisitis perforasi merupakan salah
satu komplikasi dari apendisitis akut8.

2.3.1. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi membrane mukosa apendiks
dapat terjadi karena hiperplasia limfoid, fekalit, atau benda asing8.
2.3.2. Patofisiologi

Gambar 1. Patofisiologi Apendisitis Perforasi


Obstruksi lumen menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan serta sekresi lendir
terus. Hal ini menyebabkan distensi lumen, dan tekanan meningkat intraluminal. Hal ini dapat
menyebabkan obstruksi limfatik dan vena. Dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan
edema, terjadi respon inflamasi akut. Appendiks menjadi lebih edematous dan iskemik. Nekrosis
dinding appendiks terjadi bersama dengan translokasi bakteri melalui dinding iskemik. Hal ini
disebut apendisitis gangren7. Tanpa intervensi, appendisitis ganggren akan perforasi sehingga isi
dari appendiks masuk ke dalam rongga peritoneum. Jika hal ini berlangsung secara perlahan,
appendiks yang mengalami respon inflamasi dan omentum dapat menyebabkan peritonitis lokal
dan abses. Namun jika tubuh tidak merespon secara walling off, pasien dapat menjadi diffuse
peritonitis9.
2.3.2.

Gejala Klinis
Gejala klasik apendisitis perforasi ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan

nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat2.

Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan progresif di
bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis. Hal ini disebabkan oleh
obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf otonom aferen viseral dan membuat nyeri
alih pada daerah periumbilikal (distribusi dari nervus T8 T10). Apendisitis diikuti dengan
anoreksia dan juga demam ringan (<38,5 C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa
fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan kolapsnya vena
drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang segera diikuti oleh mual dan
muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia, tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah,
dan sepuluh persen diare. Ketika inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian
luar apendiks, serabut saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke
korteks somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih
intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di daerah apendiks
yang mengalami inflamasi tersebut10.
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena
hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri
viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus.
Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul
komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika
suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi11.

Diagnosis apendisitis perforasi dapat ditegakkan melalui tiga hal yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Penegakan diagnosis yang tepat
pada apendisitis dapat mengurangi komplikasi yang terjadi serta mengurangi tingkat morbiditas
dan mortalitas
a.

Pemeriksaan Fisik8

1.

Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat
pada massa atau abses appendicular.

2.

Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:
o

Nyeri tekan di Mc. Burney.

Nyeri lepas.

Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum


parietal. Pada appendix letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang
ada nyeri pinggang .
Tanda-tanda khas yang didapatkan pada palpasi appendicitis yaitu:

Nyeri tekan (+) Mc.Burney


Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan
ini merupakan tanda kunci diagnosis

Nyeri lepas (+)


Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan
melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

Defens musculer (+)


Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietale.

Rovsing sign (+)


Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan
penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya tekanan
yang merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan peritoneum sekitar
appendix yang meradang sehingga nyeri dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan (somatik pain)

Psoas sign (+)


Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang
terjadi pada apendiks.
Terdapat 2 cara memeriksa10:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa, pasien memfleksikan
articulatio

coxae kanan

maka

akan terjadi

nyeri perut kanan

bawah.

10

2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan pemeriksa, nyeri perut kanan
bawah
o

Obturator Sign (+)


Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian
dirotasikan kearah dalam dan luar (endorotasi articulatio coxae) secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat appendicitis perforate.
4. Pemeriksaan Colok Dubur
Akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendicitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan skor Alvarado seperti pada
tabel 2.1.

Tabel 2.1. Skor Alvarado Skor14


Skor
Migrasi nyeri dari abdomen sentral ke fossa iliaka kanan

Anoreksia

Mual atau Muntah

Nyeri di fossa iliaka kanan

Nyeri lepas

Peningkatan temperatur (>37,5C)

Peningkatan jumlah leukosit 10 x 109/L

Neutrofilia dari 75%


Total

1
10

11

Pasien dengan skor awal 4 sangat tidak mungkin menderita apendisitis dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit kecuali gejalanya memburuk.
2.3.3.
o

Pemeriksaan Penunjang8

Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis perforasi
terutama pada kasus dengan komplikasi. Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase
akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui
proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90%.
- Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi
saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendicitis.

Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendicitis. Pemeriksaan ini
dilakukan terutama pada anak-anak. Radiografi abdomen dapat menunjukkan fekalith, ileus
lokal, atau kehilangan peritoneal yang stripe lemak.

USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya

CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan
komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.

12

Laparoscopi

Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam
abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah
pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada
appendix maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
2.3.4.

Diagnosa Banding

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis appendicitis karena penyakit lain
yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan appendicitis, diantaranya 8:
a. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan appendicitis akut.
b. Kolesistitis dapat terjadi dalam waktu yang cukup cepat. Gejala yang paling umum
terjadi adalah rasa sakit perut bagian atas. Rasa sakit yang cenderung lebih buruk, pada
bagian bawah tulang rusuk sisi kanan. Gejala kolesistitis juga dapat ditemukan dengan
adanya mual dan muntah serta naiknya suhu tubuh tau demam.
c. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis.
Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan
perut.
d. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan appendicitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
e. Gangguan alat reproduksi perempuan (tuboovarian abscess), kista ovarium yang pecah
dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak
ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam
f. Appendiceal crohn's disease Manifestasi berupa nyeri RLQ, leukositosis sering
dikelirukan dengan appendicitis. Terdapat diare dan anorexia.
g. Intussusception adalah gejala-gejala sebagai tanda-tanda obstruksi usus yaitu nyeri
perut, muntah dan pendarahan. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Nyeri
perut bersifat serangan setiap 15-30 meni, lamanya, 1-2 menit. Perut berbentuk
scaphoid.
2.3.5 Penatalaksanaan

13

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi


penanggulangan konservatif dan operasi8,12.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Jika appendiks tidak pecah dan non
gangrenosa antibiotik bisa dihentikan setelah 24 jam. Pada penderita appendicitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik, cefoxitin.
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
Tindakan yang paling tepat dan terbaik bila diagnosis klinis sudah jelas adalah
appendektomi, yang bisa dilakukan secara terbuka maupun dengan laparoskopi.
Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Indikasi
untuk appendektomi adalah appendicitis acutam appendicitis infiltrat dalam stadium
tenang, appendicitis kronis dan appendicitis perforata.

14

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: BHT
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 12 tahun
No. Rekam Medik
: 00.65.69.69
Ruangan
: RB2A Ruangan 3.1
Tanggal masuk
: 18 Oktober 2015
ANAMNESIS
Keluhan utama

: Nyeri seluruh lapangan perut

Telaah

Hal ini dialami pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti ditusuktusuk, dirasakan terus-menerus. Demam dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,
demam tidak terlalu tinggi dan demam turun dengan obat penurun panas. Mual dirasakan pasien

15

selama 3 hari SMRS tanpa disertai dengan muntah. Mencret dijumpai sejak 1 hari ini sebanyak 4
kali dengan konsistensi cair. Buang air kecil normal dengan warna kuning jernih. Selama ini
pasien kurang mengonsumsi sayuran dan buah-buahan. Riwayat trauma tidak dijumpai. Riwayat
nyeri perut kanan bawah sebelumnya dijumpai dalam 1 minggu ini. Riwayat nyeri ulu hati
sebelumnya disangkal.
RPT

: DM (-), Hipertensi (-)

RPO

: Riwayat pemakaian obat anti nyeri (-)

STATUS PRESENS
Sensorium

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 96 bpm

Pernafasan

: 22 rpm

Suhu

: 37,6 C

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga/ hidung/ mulut: dalam batas normal
Leher

: TVJ R-2 cm H2O

Toraks
Inspeksi

: simetris fusiformis

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri, kesan normal

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: simetris, distensi (+)

Auskultasi

: bising usus (+) melemah

16

Palpasi

: nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muskular (+)

Perkusi

: timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas : dalam batas normal


DRE
Perianal

: normal

Spfingter

: ketat

Mukosa

: licin, tidak teraba massa

Ampulla

: berisi feses (+)

Nyeri

: nyeri tekan (+) di seluruh arah jarum jam

Sarung tangan : feses dijumpai, darah tidak dijumpai

PEMERIKSAAN PENUNJANG
18 Oktober 2015 (IGD)
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

g%
10 /mm3
103/mm3
%
103/mm
Fl
Pg
g%
%
Fl
%
fL

12.60
4.75
14.26
35.40
197
77,80
27.70
34.60
12.2
9.1
0.17
9,6

12,0-14.4
4.75 4.85
4.5 11.0
36 42
150 450
75 87
25 31
33 35
11.6 14.8
7.0 10.2

%
%
%
%
%

85,90
7,40
6.70
0.00
0.40

37 80
20 40
28
16
01

17

Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
Monosit Absolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
HATI
Albumin
GINJAL
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Pembekuan
Protrombin time
Pasien
Kontrol
INR
APTT
Pasien
Kontrol
Thrombin time
Pasien
Kontrol
Kesimpulan: Leukositosis

103/l
103/l
103/l
103/l
103/l

9,51
0,82
0.69
0.00
0.05

2.7 6.5
1.5 3.7
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1

g/dL

4.9

3.8 5.4

mg/ dL
mg/ dL

17.1
0.42

<50
0.53 0,79

mEq/L
mEq/L
mEq/L

140
3.6
97

135 155
3.6 5.5
96 106

Detik

14.5

Detik

14.0
1.05

Detik

24,0

Detik

32,8

Detik

13,5

Detik

17.5

18

Foto Thoraks

Hasil: Sudut costophrenicus lancip, kedua diafragma licin. Tidak tampak infiltrat pada kedua
lapangan paru. Jantung ukuran normal, CTR <50%. Trakea di tengah. Tulang-tulang dan soft
tissue baik.
Kesimpulan: Tidak ada kelainan pada cor dan pulmo.

DIAGNOSA KERJA
Diffuse Peritonitis ec Apendicitis Perforation
PENATALAKSANAAN

Tirah baring
Puasa
Pemasangan NGT
IVFD RL 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 500 mg/12jam
Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam
Inj Ranitidin 25 mg/12 jam
Foto thorax PA
Laparotomi di KBE

TINDAKAN

19

Dilakukan tindakan operasi Laparotomy Appendictomy di KBE tanggal 19 Oktober 2015 pukul
01.45 WIB 04.45 WIB

Follow up Pasien (19 Oktober 2015)


Tgl
19

S
Nyeri

Sens : CM

Post

Oktober

pada

TD : 110/80 mmHg

Laparotomy

daerah

HR : 100 bpm, reg

Appendecto

luka

RR : 22 rpm, reg

my d/t

2015

operasi (+) T : 36,2 C

Diffuse

Kepala:

Peritonitis

Mata : Konj. Palpebra

e.c.

inferior anemis (-/-),

Apendicitis

sklera ikterik (-/-)

Perforation

Leher : pemb. KGB (-)


Toraks :
SP: Vesikular, ST : Abdomen :
I: simetris, luka operasi
tertutup perban,
rembesan cairan (-),
tampak drain di sisi
kanan abdomen isi
cairan serous
haemorrhage 40 cc
P: nyeri tekan (+) pada
daerah sekitar luka
operasi
Pr: timpani
A: bising usus (+)
Ekstremitas :

P
- Bed rest
- Inj. Ceftiaxone 500
mg/12 jam
- Inj. Metronidazole
250 mg/8 jam
- Inj. Ketorolac 15 mg/8
jam
- Inj. Ranitidine 25
mg/12 jam
R/ Cek Darah rutin,
KGDS, elektrolit

20

dalam batas normal


Follow up Pasien (20 Oktober 2015)
Tgl
20

S
Nyeri

Sens : CM

Oktober

pada

TD : 110/70 mmHg

daerah

HR : 96 bpm, reg

luka

RR : 20 rpm, reg

2015

operasi (+) T : 36,1 C

A
Post

- Bed rest
- Diet ML
Laparotomy
- Inj. Ceftiaxone 500
Appendecto
mg/12 jam
my d/t
- Inj. Metronidazole
Diffuse

Kepala:

Peritonitis

Mata : Konj. Palpebra

e.c.

inferior anemis (-/-),

Apendicitis

sklera ikterik (-/-)

Perforation

Leher : pemb. KGB (-)


Toraks :
SP: Vesikular, ST : Abdomen :
I: simetris, luka operasi
tertutup perban,
rembesan cairan (-),
tampak drain di sisi
kanan abdomen isi
cairan serous
haemorrhage 80 cc
P: nyeri tekan (+) pada
daerah sekitar luka
operasi
Pr: timpani
A: bising usus (+)
Ekstremitas :
dalam batas normal

250 mg/8 jam


- Inj. Ketorolac 15 mg/8
jam
- Inj. Ranitidine 25
mg/12 jam

21

Hasil pemeriksaan laboratorium


20 Oktober 2015
JENIS PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap (CBC)
Hemoglobin (HBG)
Eritrosit (RBC)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PCT
PDW
Hitung jenis
Neutrofil
Limfosit
Monosit
Eosinofil
Basofil
Neutrofil Absolut
Limfosit Absolut
Monosit Absolut
Eosinofil Absolut
Basofil Absolut
HATI
Albumin
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu)
GINJAL
Ureum
Kreatinin
Elektrolit
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (Cl)
FAAL HEMOSTASIS
Waktu Pembekuan

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

g%
105/mm3
103/mm3
%
3
10 /mm
Fl
Pg
g%
%
Fl
%
fL

12,00
4,75
13,89
36,50
293
77,40
27,40
34,50
12,50
8.40
0.25
8,6

12,0-14,4
4.75 4,85
4.5 11,0
36 42
150 450
75 87
25 31
33 35
11.6 14.8
7.0 10.2

%
%
%
%
%
103/l
103/l
103/l
103/l
103/l

83,90
11,40
12,00
0,20
0,80
10,56
1,53
0,66
0,03
0,11

37 80
20 40
28
16
01
2.7 6.5
1.5 3.7
0.2-0.4
0 0,10
0 0,1

g/dL

3,9

3,8 5,4

g/dl

87,00

<200

mg/ dL
mg/ dL

29,10
0,44

<50
0,53 0,79

mEq/L
mEq/L
mEq/L

135
3,7
102

135 155
3,6 5,5
96 106

22

Protrombin time
Pasien
Kontrol
INR
APTT
Pasien
Kontrol
Thrombin time
Pasien
Kontrol
Kesimpulan: Leukositosis

Detik

12,5

Detik

13,60
0,89

Detik

24,0

Detik

32,8

Detik

14,54

Detik

17,4

Follow up Pasien (21 Oktober 2015)


Tgl
21

S
Nyeri

Sens : CM

Post

Oktober

pada

TD : 110/70 mmHg

Laparotomy

daerah

HR : 92 bpm, reg

Appendecto

luka

RR : 20 rpm, reg

my d/t

2015

operasi (+) T : 36,5 C

Diffuse

Kepala:

Peritonitis

Mata : Konj. Palpebra

e.c.

inferior anemis (-/-),

Apendicitis

sklera ikterik (-/-)

Perforation

Leher : pemb. KGB (-)


Toraks :
SP: Vesikular, ST : Abdomen :
I: simetris, luka operasi
tertutup perban,
rembesan cairan (-)

P
- Diet ML
- Inj. Ceftiaxone 500
mg/12 jam
- Inj. Metronidazole
250 mg/8 jam
- Inj. Ketorolac 15 mg/8
jam
- Inj. Ranitidine 25
mg/12 jam

23

P: nyeri tekan (+) pada


daerah sekitar luka
operasi
Pr: timpani
A: bising usus (+)
Ekstremitas :
dalam batas normal

PEMBAHASAN
KASUS
TEORI
Hal ini dialami pasien sejak 3 hari sebelum Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samarmasuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti samar dan tumpul yang merupakan nyeri
ditusuk-tusuk,

dirasakan

terus-menerus. viseral di daerah epigastrium di sekitar

Demam dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual
rumah sakit, demam tidak terlalu tinggi dan dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu
demam turun dengan obat penurun panas. makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
Mual dirasakan pasien selama 3 hari SMRS akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.
tanpa disertai dengan muntah. Mencret Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam
dijumpai sejak 1 hari ini sebanyak 4 kali dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
dengan konsistensi cair. Buang air kecil normal nyeri somatik setempat
dengan warna kuning jernih. Selama ini pasien Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu
kurang mengonsumsi sayuran dan buah- tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu
buahan. Riwayat

trauma tidak dijumpai. lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi

Riwayat

perut

nyeri

kanan

bawah

sebelumnya dijumpai dalam 1 minggu ini.


Riwayat nyeri ulu hati sebelumnya disangkal.

24

Abdomen

a. PemeriksaanFisik

Inspeksi

: simetris, distensi (+)

1.

Auskultasi

: bising usus (+) melemah

Kadang sudah terlihat waktu penderita

Palpasi

berjalan sambil bungkuk dan memegang

nyeri

tekan

(+),

nyeri

lepas(+), defans muskular (+)


Perkusi

Inspeksi

perut. Penderita tampak kesakitan. Pada

: timpani, shifting dullness (-)

inspeksi perut tidak ditemukan gambaran


spesifik. Kembung sering terlihat pada

Ekstremitas : dalam batas normal

penderita

dengan

komplikasi

perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat


DRE

pada massa atau abses appendicular.

Perianal

: normal

Spfingter

: ketat

Mukosa

: licin, tidak teraba massa

Ampulla

: berisi feses (+)

Nyeri

: nyeri tekan (+) di seluruh

2.

Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney


didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal
yaitu:

arah jarum jam

o
Sarung tangan : feses dijumpai, darah tidak
o
dijumpai

Nyeri tekan di Mc. Burney.


Nyeri lepas.
Defans muscular lokal.

Tanda-tanda

khas

yang

didapatkan

pada

palpasi appendicitis yaitu:


o

Nyeri tekan (+) Mc.Burney

Nyeri lepas (+)

Defens musculer (+)

Rovsing sign (+)

Psoas sign (+)

Obturator Sign (+)

Pada

pemeriksaan

colok

dubur

(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada


jam 9-12
3. Auskultasi

25

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik


dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat appendicitis
-

Pada

pasien

leukosit

(WBC)

perforate.
14.26
Pada pemeriksaan darah lengkap

103/mm3
Neutrofil 85,90 %

ditemukan jumlah leukosit antara 10.00018.000/mm3

(leukositosis)

dan

neutrofil

diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan


jumlah serum yang meningkat. CRP adalah
salah satu komponen protein fase akut yang
akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses
elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas
dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
PENATALAKSANAAN

Tirah baring
Puasa
Pemasangan NGT
IVFD RL 20 gtt/i
Inj Ceftriaxone 500 mg/12jam
Inj. Ketorolac 15 mg/8 jam
Inj Ranitidin 25 mg/12 jam
Laparotomi

TINDAKAN
Dilakukan tindakan operasi Laparotomy
Appendictomy di KBE tanggal 19 Oktober
2015 pukul 01.45 WIB 04.45 WIB

Penanggulangan
diberikan

konservatif

pada

penderita

terutama
yang

tidak

mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa


pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik
berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita appendicitis perforasi, sebelum
operasi dilakukan penggantian cairan, serta
pemberian antibiotik sistemik.
Bila

diagnosa

sudah

tepat

dan

jelas

ditemukan appendisitis maka tindakan yang


dilakukan

adalah

operasi

membuang

apendiks

(appendektomi).

Penundaan

appendektomi dengan pemberian antibiotik


dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada
abses

apendiks

(mengeluarkan nanah).

dilakukan

drainage

26

BAB 4
KESIMPULAN
Pasien laki-laki, BHT, 12 Tahun, datang ke IGD HAM dengan keluhan nyeri di seluruh
perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, terus-menerus, hal ini dirasakan 3 hari SMRS.
Demam, mual disertai muntah dijumpai, nyeri tekan (+) Mc.Burney, nyeri lepas (+), Rovsing
sign (+), psoas sign (+), obturator sign (+), defans muskular (+). Pada pemeriksaan fisik
abdomen dijumpai distensi abdomen, bising usus melemah, dan pada pemeriksaan rectal
toucher dijumpai nyeri diseluruh arah jam. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai
leukositosis. pasien telah dilakukan Laparotomy appendectomy.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Minkes,

RK.

2014.

Pediatric

Appendicitis.

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview . Accessed on 8 Sep 2015.


2. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta:EGC, 639645
3. Richard, E., et al.2004.Nelson Textbook of Pediatric 17th Edition. Philadelphia:
Saunders. Ch.324
4. Stephen et al. 2003. The Diagnosis of Acute Appendicitis in a Pediatric Population.
Vol.38
5. Gregory, H., & Schexnayder S. M. Pediatric Rapid Sequence Intubation. Pediatric
Emergency Care; 2004: 20(5); 339-42
6. Craig,
S.2014.Acute

AppendicitisAvailable

from:

http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#aw2aab6b2b4aa. Accessed on 8
Sep 2015.
7. Rothrock SG, Pagame J. 2000.Acute Appendicitis in Children : Emergency Department
Diagnosis and Management. Orlando : Department of Emergency Medicine, Orlando
Regional Medical Centre. 39-47
8. Shahid,A.A, Sadoughi University of Medical Sciense,Yazd, Iran, Perforated Appendicitis,
www.intechopen.com Assesed on 19 Oktober 2015

28

9. Hockenberry, M.J, & Willson, D. (2007). Wongs Nursing care of infants and children. (8
ed). St. Louis Missouri: Mosby Elseiver
10. Lynn, C.G., Cynthia, C., & Jeferry, K. (2002). Pediatric clinical advisor: Instant diagnosis
& treatment. Philadelphia: Mosby Elseiver Health Science
11. Keshav, Satish, 2004. Caecum and Appendix. In: Keshav, Satish, ed. The Gastrointestinal
System at Glance. First Edition. USA:Wiley -Blackwell, 36 38
12. Departemen
Bedah
UGM.
2010.
Apendik.

Available

from:

http://www.bedahugm.net/tag/appendix. Accessed on 8 Sep 2015.


13. Finlay, David J. & Doherty, Gerard M., 2002. Acute Abdominal Pain and Appendicitis.
In: Doherty, Gerard M., Lowney, Jennifer K., Mason, John E., Reznik, Scott I., and
Smith, Michael A., ed. Washington Manual Book of Surgery. Third Edition.
USA:Lippincott Williams & Wilkins, 252 261
14. Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC, 755 762.
15. S, Mangema Junias R., 2009. Hubungan Antara Skor Alvarado dan Temuan Operasi
Appendisitis Akut di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara. Medan:USU
16. Doherty, G.M. Peritoneal Cavity. In : Current Diagnosis and Treatment Surgery. 3 rd Ed.
2010. USA : Mc Graw Hill. 464-468.
17. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery 2007; 26 (3):
98-101.
18. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002; Terapi Cairan
pada Pembedahan.
19. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177: 282-320.
20. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3.
Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.

Anda mungkin juga menyukai