LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama
: Wawan Saputra
Umur
: 7 tahun 4 bulan
Jenis kelamin
: laki - laki
Berat badan
: 20 kg
Panjang badan
: 120 cm
Agama
: Islam
Alamat
: Tanjung Batu
Dikirim Oleh
: Datang sendiri
MRS
: 6 November 2013
II ANAMNESIS
Alloanamnesis (ibu pasien) dan autoanamnesis tanggal 6 November 2013
Keluhan utama
5 minggu SMRS penderita berobat ke dukun sebanyak dua kali dan diberi air
botol jampian, namun tetap tidak ada perubahan.
1 minggu SMRS bengkak di muka (+) perut (+). Dua hari kemudian demam
(+) tinggi, muncul tiba-tiba, terus menerus, demam turun saat malam hari namun
tidak sampai normal, menggigil (-) sakit kepala (+), sakit menelan (-). Dua hari
berikutnya batuk (+) tidak berdahak, pilek (+), sesak (-), mual (+), muntah (-).
BAK 4-5 kali/ hari warna kuning, busa (+) nyeri BAK (-) nyeri pinggang (-), BAB
biasa 1 kali/ hari wana kuning, padat.
Riwayat penyakit dahulu
Sejak usia 2 bulan penderita sering batuk, pilek, sesak.
Riwayat keluarga
Zailani
Eliya
50 Thn
43 thn
terbuat dari semen dan atap terbuat dari genteng, dengan 8 ventilasi udara.
Sumber air berasal dari PAM.
Kesan : higienitas rumah dan keluarga cukup baik.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan
: cukup bulan
Partus
: normal
Ditolong oleh
: dukun
BBL
: 2800 gr
PBL
: tidak diketahui
: langsung menangis
Riwayat Perkembangan
Berbalik
: 4 bulan
Tengkurap
: 4 bulan
Merangkak
: 9 bulan
Duduk
: 6 bulan
Berdiri
: 12 bulan
Berjalan
: 14 bulan
Berbicara
: 15 bulan
Kesan
normal
Riwayat Makanan
ASI
Susu formula
MP ASI
Riwayat Imunisasi
BCG =
Hepatitis B =
DPT =
Polio =
Campak =
Kesadaran
: Compos mentis
Nadi
: 102 x/m
Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
Pernapasan
: 28 x/m
Temperatur
: 38,00c
Keadaan gizi
BB : 20 kg 20-(15%x20) = 20-3 = 17 kg
TB : 120 cm
Berdasarkan kurva CDC:
BB/U = 17/24 x 100 %
= 96 %
normal
Hidung :deformitas (-), nafas cuping hidung (-), deviasi septum (-),
mukosa hiperemis (-), sekret (+), hipertrofi konka (-)
Telinga :deformitas(-), nyeri tarik aurikula (-), mukosa hiperemis(-), sekret
(-), serumen plak (-), kanalis aurikula eksterna lapang, nyeri tekan
tragus dan mastoid (-)
Mulut
: mukosa mulut basah, rhagaden (-), cheilitis (-), coated tongue (-),
papil atrofi (-)
Thorak
Pulmo
Inspeksi :statis paru kanan-paru kiri simetris, dinamis paru kanan-paru kiri
simetris, retraksi (-)
Palpasi
Perkusi :sonor di kedua lapangan paru, batas paru hati ICS V linea
midklavikularis dekstra, peranjakan hati 1 sela iga
Palpasi
Perkusi
: cembung
Palpasi
: sedikit tegang, nyeri tekan suprapubik (-), hati dan limpa tidak
teraba
Perkusi
Ekstremitas
: akral hangat, pucat (-), capillary refill time kurang dari 2 detik,
pitting edema (+) minimal
: 11,6 g/dl
Leukosit
: 13.900 /ul
LED
: 19 mm/jam
Diff count
: 0/0/0/74/26/0
Ureum
: 27 mg%
Kreatinin
: 0,8 mg%
Urinalisa:
Reduksi
: (-)
Protein
: (++)
Bilirubin
: (-)
Sedimen
: Amorf (+)
Silinder
: Granuler (+)
: 12,4 g/dl
Eritrosit
: 5.800.000 /ul
Leukosit
: 12.500/ul
Gol darah
: B (+)
Segmen
: 57 %
Limfosit
: 43 %
Kolesterol
: 189 mg%
Ureum
: 26 mg%
Kreatinin
: 0,8 mg%
Protein total
: 7,2 gr%
Albumin
: 3,6 gr%
Urinalisa:
Reduksi
: (-)
Protein
: (++)
Bilirubin
: (-)
Sedimen
Kristal
: Amorf (+)
Silinder
: Granuler (+)
DIAGNOSIS
Sindrom nefritik akut + suspek ISK + Gizi Kurang + Tonsilitis Kronik
VII.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
Mikrobiologi urin
Urinalisa
Elektrolit
VIII. PENATALAKSANAAN
-
Tirah baring
Furosemid tab 2 x 20 mg
IX.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
FOLLOW UP
Tanggal
7 November 2013
Usia : 7 tahun 4 bulan
D
S
O
Perawatan hari ke 2
BB : 20 kg
Follow up
Suspek sindrom nefritik + suspek ISK + gizi kurang + Tonsilitis
Demam, bengkak di wajah (+)
KU: tampak sakit
sedang
Sense: Compos mentis
TD: 110/80 mmHg
T 36,6C
Nadi: 91x/menit
RR: 28x/menit
KS :
Kepala : NCH (-/-), CA (+/+), SI (-/-), edema palpebra (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : HR: 91x/menit, BJ I dan II normal, bising (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler (+) normal, ronkhi(-), wheezing (-)
Abdomen : cembung, sedikit tegang, bising usus (+) normal, hepar/
lien tidak teraba, ascites (+)
Ektremitas : akral hangat, sianosis (-), CRT<2", edema tungkai (+)
minimal
Tanggal
8 November 2013
Usia : 7 tahun 4 bulan
D
S
Tirah baring
IVFD KAEN IB gtt XIV x/ menit makro
B kompleks tab.
Follow up
Suspek sindrom nefritik + suspek ISK + gizi kurang + Tonsilitis
Bengkak di wajah (+)
O
Perawatan hari ke 3
T 36,7C
Nadi: 83x/menit
RR: 27x/menit
KS :
Kepala : NCH (-/-), CA (-/-), SI (-/-), edema palpebra (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Toraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : HR: 83x/menit, BJ I dan II normal, bising (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : datar, sedikit tegang, bising usus (+) normal, hepar/lien
tidak teraba, ascites (+)
Ektremitas : asimetris, akral hangat, sianosis (-) CRT<2", edema
tungkai (+) minimal
P
Tirah baring
IVFD KAEN IB gtt XIV x/ menit makro
B kompleks tab.
Tanggal
Follow up
9 November 2013
Perawatan hari ke 4
T 35,9C
Nadi: 92x/menit
RR: 28x/menit
KS :
Kepala : NCH (-/-), CA (-/-), SI (-/-), edema palpebra (-/-)
Leher : Pembesaran KGB
Toraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : HR: 92x/menit, BJ I dan II normal, bising (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler normal, ronkhi(-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak
teraba, ascites (+)
Ektremitas : akral hangat, sianosis (-) CRT<2", edema tungkai (+)
minimal
P
Tirah baring
IVFD KAEN IB gtt XIV x/ menit makro
B kompleks tab.
Tanggal
11 November 2013
Follow up
D
10
Perawatan hari ke 4
T 35,9C
Nadi: 92x/menit
RR: 28x/menit
KS :
Kepala : NCH (-/-), CA (-/-), SI (-/-), edema palpebra (-/-)
Leher : Pembesaran KGB
Toraks : simetris, retraksi (-)
Jantung : HR: 92x/menit, BJ I dan II normal, bising (-), gallop (-)
Paru : Vesikuler normal, ronkhi(-), wheezing (-)
Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar/lien tidak
teraba, ascites (+)
Ektremitas : akral hangat, sianosis (-) CRT<2", edema tungkai (+)
minimal
P
Tirah baring
IVFD KAEN IB gtt XIV x/ menit makro
B kompleks tab.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
12
5,10-11
kadang juga disebabkan tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada
glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit/ pioderma, walaupun galur 53, 55,
56, 57 dan 58 dapat pula berimplikasi.8 Protein streptokokus galur nefritogenik
yang merupakan antigen antara lain endostreptosin, antigen presorbing (PA-Ag),
nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal sebagai streptokinase
dan nephritic plasmin binding protein (NPBP).8 Terdapat periode antara infeksi
Streptococcus dengan manifestasi klinis SNA yang menunjukkan adanya
mekanisme imunologis dalam proses penyakit ini. Masa laten bervariasi yaitu
berkisar antara 1-2 minggu untuk infeksi saluran nafas dan 1-3 minggu untuk
infeksi kulit.5,10-11
Mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah sutu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam
darah dan komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun
yang beredar dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat
13
sembuh
sendiri,
jarang
berkembang
menjadi
kronik.
Kronisitas
dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa
hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan
pertama setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit
dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. 1,10
Kadar C3 akan kembali normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edem
membaik dalam 5-10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2-3 minggu,
walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.
14
pertama atau setelah 6 bulan. Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari
61 pasien dengan urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan.
Ketidaknormalan tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik
sendiri-sendiri atau bersama-sama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun
yang menunjukkan karakteristik glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk,
di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama
tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4% pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit
urin dan tekanan darah yang abnormal berhubungan dengan kronisitas GNAPS.
Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang sama selama 7-12 tahun penelitian
di Trinidad. Hoy dkk, menemukan mikroalbuminuria 4 kali lebih besar pada
pasien dengan riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad, menemukan
3,5% dari 354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam 12
-17 tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang nyata
dan hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien selama 6-18
tahun pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan bila
dijumpai hematuria bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan. 8,1314
15
F. Patofisiologi
Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis
kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan
penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Mekanisme dasar terjadinya
sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus adalah adanya suatu proses
imunologis yang terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus.
Proses ini terjadi di dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Selanjutnya sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen
5a (C5a) dan mediator-mediator infamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu
imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon infamasi dengan manifestasi
proliferasi sel dan edema glomerular.3,15-18
Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan
koefsien ultrafltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus diikuti
penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi natrium sehingga terdapat
penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma
dan volume cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria,
hipertensi, edema dan bendungan sirkulasi. Edema terjadi pada 85% pasien SNA
pasca infeksi streptokokus, biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di
daerah periorbital dan selanjutnya dapat menjadi edema anasarka. Derajat berat
ringannya edema yang terjadi tergantung pada beberapa faktor yaitu luasnya
kerusakan glomorelus yang terjadi, asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia.
Hematuri makrokospis terjadi sekitar 30-50% pada penderita SNA pasca
streptokokus. Manifestasi yang timbul urine dapat berwarna seperti cola, teh
ataupun keruh dan sering dengan oliguri. Hipertensi merupakan tanda kardinal
ketiga bagi SNA pasca infeksi streptokokus, dilaporkan 50.90% dari penderita
yang dirawat dengan glomeluronefritis akut. Ledingham mengungkapkan
hipotesis terjadinya hipertensi mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut
yaitu, gangguan keseimbangan natrium, peranan sistem renin angiotensinogen dan
substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Bendungan
sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di rumah sakit. Manifestasi
klinis yang tampak dapat berupa dyspneu, orthopneu, batuk dan edema paru.5,10-
16
17
urin yang menyerupai infeksi: lekosituri dan silinder lekosit walaupun tidak
terbukti secara bakteriologis menderita infeksi sekunder. Beberapa sumber
menyebutkan kadang-kadang terjadi glukosuri.3,5,10-12,15
G. Gambaran Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimptomatik. Kasus klasik atau
tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua
minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata-rata 10 atau 21 hari
setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross
hematuria maupun mikroskopik. Gross hematuria terjadi pada 30-50% pasien
yang dirawat. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti demam,
malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu.8
Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien
GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak
tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam
waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa
gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien dengan
edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispneu.
Gejala-gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG).8
H. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan faal ginjal sering digunakan ureum, kreatinin serum,
dan penjernihan kreatinin menentukan derajat faal Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG). Kombinasi dari ketiga para meter ini sangat penting. Seperti diketahui,
ureum serum tidak tepat untuk memperkirakan faal LFG karena: (a) ureum tidak
hanya difiltrasi oleh glomerulus tetapi akan direbsorpsi juga oleh tubulus ginjal,
(b) konsentrasi ureum tergantung dari diet protein dan katabolisme protein.
Walaupun demikian penentuan ureum serum penting untuk menentukan derajat
katabolisme protein. Serum kreatinin lebih tepat dari ureum serum untuk
memperkirakan faal LFG karena konsentrasi serum kretinin semata-mata
tergantung dari masa otot-otot dan faal LFG. Masa otot-otot relatif konstan
18
ringan
dan
sementara,
mekanismenya
tidak
diketahui.
19
20
Dicurigai sebagai penyebab SNA dengan gejala bila ditemukan riwayat ISPA atau
infeksi kulit, dengan atau tanpa disertai oliguria. Lembab pada muka sewaktu
bangun tidur, kadangkadang ada keluhan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik
dapat dijumpai edema, hipertensi, kadang-kadang gejala-gejala kongesti vaskuler
(sesak, edema paru, kardiomegali), atau gejala-gejala gabungan sistem saraf pusat
(penglihatan kabur, kejang; penurunan kesadaran). Hasil urinalisis menunjukkan
hematuria, protenuria (+2) selinderuria. Gambaran kimia darah menunjukkan
kadar BUN, kreatinin serum, dapat normal atau meningkat, elektrolit darah (Na,
K, Ca, P, Cl) dapat normal atau terganggu. Kadar kolesterol biasanya normal,
sedang kadar protein total dan albumin dapat normal atau sedikit merendah, kadar
globulin biasanya normal. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan biakan apusan
tenggorok /keropeng kulit positif untuk kuman Streptococus B hemoliticus atau
ASTO > 200 IU. Hematuria, proteinuria dan selinderuria. Kadar CH50 dan C3
merendah (<80 mg/dl), yang pada evaluasi lebih lanjut menjadi normal 68
minggu dari onset penyakit. Kadar C4 biasanya normal.
2). Endokarditis
berdasarkan
adanya
riwayat
pemasangan
shunt
atrioventrikulo
22
retikulositosis,
trombositopenia,
leukopenia,
waktu
23
yang
direkomendasi
pada
penderita
SNA
post
24
perhari. Restriksi cairan secara ketat dengan pembatasan cairan masuk 1 liter
perhari, guna mengatasi hipertensi.8
Pengobatan hipertensi dapat dengan menggunakan diuretik kuat, atau bila
hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah golongan calcium
channel blocker, ACE inhibitor atau bahkan nitroprusid intravena bagi hipertensi
maligna. Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan sindrom
uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa19. Pasien hipertensi dapat
diberi diuretik atau anti hipertensi.2,3 Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik
130 mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi. 10,21
Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 150 mmHg dan diastolik > 100
mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM),
nifedipin oral atau sublingual.14 Dalam prakteknya lebih baik merawat inap pasien
hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi
berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4
jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 18 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg atau diastolik > 120
mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama furosemid 2
mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6
jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6
jam bila diperlukan.8,14
25
500 mg intravena perhari terbagi dalam 4 dosis selama 3-5 hari. Namun beberapa
referensi menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid dalam
jangka
panjang.5,10
Antibiotika
diindikasikan
untuk
pengobatan
infeksi
Progressive
26
27
II.2 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih dapat terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak
laki-laki. Kejadian infeksi saluran kemih pada bayi baru lahir dengan berat lahir
28
rendah mencapai 10-100 kali lebih besar disbanding bayi dengan berat lahir
normal (0,1-1%). Sebelum usia 1 tahun, infeksi saluran kemih lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki. Sedangkan setelahnya, sebagian besar infeksi saluran
kemih terjadi pada anak perempuan. Misalnya pada anak usia pra sekolah di mana
infeksi saluran kemih pada perempuan mencapai 0,8%, sementara pada laki-laki
hanya 0,2% dan rasio ini terus meningkat sehingga di usia sekolah, kejadian
infeksi saluran kemih pada anak perempuan 30 kali lebih besar dibanding pada
anak laki-laki. Pada anak laki-laki yang disunat, risiko infeksi saluran kemih
menurun hingga menjadi 1/5-1/20 dari anak laki-laki yang tidak disunat. Pada usia
2 bulan2 tahun, 5% anak dengan infeksi saluran kemih mengalami demam tanpa
sumber infeksi dari riwayat dan pemeriksaan fisik. Sebagian besar infeksi saluran
kemih dengan gejala tunggal demam ini terjadi pada anak perempuan.
Sebagian besar infeksi saluran kemih tidak dihubungkan dengan faktor risiko
tertentu. Namun pada infeksi saluran kemih berulang, perlu dipikirkan
kemungkinan faktor risiko seperti :
Konstipasi
II.3 Etiologi
Bakteri yang sering menyebabkan infeksi saluran kemih adalah jenis bakteri
aerob. Pada kondisi normal, saluran kemih tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba lain,
tetapi uretra bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang
jumlahnya makin berkurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Infeksi saluran
kemih sebagian disebabkan oleh bakteri, namun tidak tertutup kemungkinan infeksi dapat
terjadi karena jamur dan virus. Infeksi oleh bakteri gram positif lebih jarang terjadi jika
dibandingkan dengan infeksi gram negatif.
29
Hematogen
Limfogen
30
Ginjal yang normal biasanya mempunyai daya tahan terhadap infeksi E.coli
karena itu jarang terjadi infeksi hematogen E.coli. Ada beberapa tindakan yang
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal yang dapat meningkatkan kepekaan ginjal
sehingga mempermudah penyebaran hematogen. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
sebagai berikut :
Adanya bendungan total aliran urin
Adanya bendungan internal baik karena jaringan parut maupun terdapatnya
presipitasi obat intratubular, misalnya sulfonamide
Terdapat faktor vaskular misalnya kontriksi pembuluh darah
Pemakaian obat analgetik atau estrogen
Pijat ginjal
Penyakit ginjal polikistik
Penderita diabetes melitus
2. Infeksi asending
a. Kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina
Saluran kemih yang normal umumnya tidak mengandung mikroorganisme
kecuali pada bagian distal uretra yang biasanya juga dihuni oleh bakteri normal kulit
seperti basil difteroid, streptpkokus. Di samping bakteri normal flora kulit, pada
wanita, daerah 1/3 bagian distal uretra ini disertai jaringan periuretral dan vestibula
vaginalis yang juga banyak dihuni oleh bakteri yang berasal dari usus karena letak
usus tidak jauh dari tempat tersebut. Pada wanita, kuman penghuni terbanyak pada
daerah tersebut adalah E.coli di samping enterobacter dan S.fecalis. Kolonisasi E.coli
pada wanita didaerah tersebut diduga karena :
adanya perubahan flora normal di daerah perineum
Berkurangnya antibodi lokal
Bertambahnya daya lekat organisme pada sel epitel wanita
b. Masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih
Proses masuknya mikroorganisme ke dalam kandunh kemih belum diketahui
dengan jelas. Beberapa faktor yang mempengaruhi masuknya mikroorganisme ke
dalam kandung kemih adalah :
1) Faktor anatomi
31
Kenyataan bahwa infeksi saluran kemih lebih banyak terjadi pada wanita
daripada laki-laki disebabkan karena :
Uretra wanita lebih pendek dan terletak lebih dekat anus
Uretra laki-laki bermuara saluran kelenjar prostat dan sekret prostat
merupakan antibakteri yang kuat
2) Faktor tekanan urin pada waktu miksi
Mikroorganisme naik ke kandung kemih pada waktu miksi karena tekanan urin.
Selama miksi terjadi refluks ke dalam kandung kemih setelah pengeluarann urin.
3) Faktor lain, misalnya
Perubahan hormonal pada saat menstruasi
Kebersihan alat kelamin bagian luar
Adanya bahan antibakteri dalam urin
Pemakaian obat kontrasepsi oral
c. Multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung kemih
Dalam keadaan normal, mikroorganisme yang masuk ke dalam kandung
kemih akan cepat menghilang, sehingga tidak sempat berkembang biak dalam urin.
Pertahanan yang normal dari kandung kemih ini tergantung tiga faktor yaitu :
1) Eradikasi organisme yang disebabkan oleh efek pembilasan dan pemgenceran
urin
2) Efekantibakteri dari urin, karena urin mengandung asam organik yang
bersifat bakteriostatik. Selain itu, urin juga mempunyai tekanan osmotik yang
tinggi dan pH yang rendah
3) Mekanisme pertahanan mukosa kandung kemih yang intrinsik
Mekanisme pertahanan mukosa ini diduga ada hubungannya dengan
mukopolisakarida dan glikosaminoglikan yang terdapat pada permukaan mukosa,
asam organik yang bersifat bakteriostatik yang dihasilkan bersifat lokal, serta enzim
dan lisozim. Selain itu, adanya sel fagosit berupa sel neutrofil dan sel mukosa saluran
kemih itu sendiri, juga IgG dan IgA yang terdapat pada permukaan mukosa.
Terjadinya infeksi sangat tergantung pada keseimbangan antara kecepatan proliferasi
bakteri dan daya tahan mukosa kandung kemih.
Eradikasi bakteri dari kandung kemih menjadi terhambat jika terdapat hal
sebagai berikut : adanya urin sisa, miksi yang tidak kuat, benda asing atau batu dalam
32
kandung kemih, tekanan kandung kemih yang tinggi atau inflamasi sebelumya pada
kandung kemih.
d. Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
Hal ini disebabkan oleh refluks vesikoureter dan menyebarnya infeksi dari
pelvis ke korteks karena refluks internal. Refluks vesikoureter adalah keadaan
patologis karena tidak berfungsinya valvula vesikoureter sehingga aliran urin naik
dari kandung kemih ke ginjal. Tidak berfungsinya valvula vesikoureter ini disebabkan
karena :
Memendeknya bagian intravesikel ureter yang biasa terjadi secara kongenital
Edema mukosa ureter akibat infeksi
Tumor pada kandung kemih
Penebalan dinding kandung kemih
II.5 Gambaran Klinis
Gejala gejala dari cystitis sering meliputi:
Pada wanita yang lebih tua juga menunjukkan gejala yang serupa, yaiu kelelahan,
hilangnya kekuatan, demam
33
34
2. Menangis tanpa henti yang tidak dapat dihentikan dengan usaha tertentu
(misalnya: pemberian makan, dan menggendong)
3. Kehilangan nafsu makan
4. Demam
5. Mual dan muntah
Untuk anak anak yang lebih dewasa, gejala yang ditunjukkan berupa:
1. rasa sakit pada panggul dan punggung bagian bawah (dengan infeksi pada ginjal)
2. seringnya berkemih
3. ketidakmampuan memprodukasi urin dalam jumlah yang normal, dengan kata
lain, urin berjumlah sedikit (oliguria)
4. tidak dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih dan isi perut
5. rasa sakit pada perut dan daerah pelvis
6. rasa sakit pada saat berkemih (dysuria)
7. urin berwarna keruh dan memilki bau menyengat
Gejala pada bayi dan anak kecil yang sering terjadi, meliputi:
1. Kecendrungan terjadi demam tinggi yang tidak diketahui sebabnya, khususnya
jika dikaitkan dengan tanda tanda bayi yang lapar dan sakit, misalnya: letih dan
lesu.
2. Rasa sakit dan bau urin yang tidak enak. ( orang tua umumnya tidak dapat
mengidentifikasikan infeksi saluran kemih hanya dengan mencium urin bayinya.
Oleh karena itu pemeriksaan medis diperlukan).
3. Urin yang keruh. (jika urinnya jernih, hal ini hanya mirip dengan penyakit,
walaupun tidak dapat dibuktikan kebenarannya bahwa bayi tersebut bebas dari
Infeksi saluran kemih).
II.7 Diagnostik
Untuk pemeriksaan infeksi saluran kemih, digunakan urin segar (urin
pagi). Urin pagi adalah urin yang pertama tama diambil pada pagi hari setelah
bangun tidur. Digunakan urin pagi karena yang diperlukan adalah pemeriksaan
35
pada sedimen dan protein dalam urin. Sampel urin yang sudah diambil, harus
segera diperiksa dalam waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera diperiksa,
maka sampel harus disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam
format.
Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari:
Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air sabun
dan NaCl 0,9%.
Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis.
Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan).
Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang.
Biakan bakteri.
Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih.
3. Pemeriksaan kimia
36
Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes
reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan
lebih 100.000 bakteri. Tingkat kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%.
Beberapa metode biakan urin antara lain ialah dengan plat agar konvensional, proper
plating technique dan rapid methods. Pemeriksaan dengan rapid methods relatif
praktis digunakan dan memiliki ambang sensitivitas sekitar 10 4 sampai 105 CFU
(colony forming unit) kuman.
terdapat kesulitan dalam mengumpulkan sampel urin yang murni tanpa kontaminasi
dan kerap kali terdapat bakteriuria bermakna tanpa gejala, yang menyulitkan
penegakkan diagnosis infeksi saluran kemih. Berdasarkan jumlah CFU, maka
interpretasi dari biakan urin adalah sebagai berikut:
a. Pada hitung koloni dari bahan porsi tengah urin dan dari urin kateterisasi.
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah disebut dengan
bakteriuria bermakna
Bila terdapat > 105 CFU/ml urin porsi tengah tanpa gejala klinis
disebut bakteriuria asimtomatik
Bila terdapat mikroba 102 103 CFU/ml urin kateter pada wanita muda
asimtomatik yang disertai dengan piuria disebut infeksi saluran kemih.
> 100.000 CFU/ml urin dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan
seara berturut turut.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah dengan leukosit
> 10/ml urin segar.
> 100.000 CFU/ml urin dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala
klinis infeksi saluran kemih.
Berbagai faktor yang mengakibatkan penurunan jumlah bakteri biakan urin pada
infeksi saluran kemih:
Faktor fisiologis
Diuresis yang berlebihan
Biakan yang diambil pada waktu yang tidak tepat
Biakan yang diambil pada infeksi saluran kemih dini (early state)
38
Faktor iatrogenic
Penggunaan antiseptic pada waktu membersihkan genitalia
Penderita yang telah mendapatkan antimikroba sebelumnya
39
a. Non invasif
Imunologik
ACB (Antibody-Coated Bacteria)
Autoantibodi terhadap protein saluran Tam-Horsfall
Serum antibodi terhadap antigen polisakarida
Komplemen C
Nonimunologik
Kemampuan maksimal konsentrasi urin
Enzim urin
Protein Creaktif
Foto polos abdomen
Ultrasonografi
CT Scan
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
40
41
Pengobatan infeksi saluran kemih menggunakan antibiotika yang telah diseleksi terutama
didasarkan pada beratnya gejala penyakit, lokasi infeksi, serta timbulnya komplikasi.
Pertimbangan pemilihan antibiotika yang lain termasuk efek samping, harga, serta
perbandingan dengan terapi lain. Tetapi, idealnya pemilihan antibiotika berdasarkan
toleransi dan terabsorbsi dengan baik, perolehan konsentrasi yang tinggi dalam urin, serta
spectrum yang spesifik terhadap mikroba pathogen.
Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih terbagi dua,
yaitu antibiotika oral dan parenteral.
I.
Antibiotika Oral
a. Sulfonamida
Antibiotika ini digunakan untuk mengobati infeksi pertama kali.
Sulfonamida umumnya diganti dengan antibiotika yang lebih aktif karena sifat
resistensinya. Keuntungan dari sulfonamide adalah obat ini harganya murah.
b. Trimetoprim-sulfametoksazol
Kombinasi dari obat ini memiliki efektivitas tinggi dalam melawan
bakteri aerob, kecuali Pseudomonas aeruginosa. Obat ini penting untuk
mengobati infeksi dengan komplikasi, juga efektif sebagai profilaksis pada
infeksi berulang. Dosis obat ini adalah 160 mg dan interval pemberiannya tiap 12
jam.
c. Penicillin
42
d. Cephaloporin
Cephalosporin tidak memiliki keuntungan utama dibanding dengan
antibiotika lain yang digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih, selain itu
obat ini juga lebih mahal. Cephalosporin umumnya digunakan pada kasus
resisten terhadap amoxsicillin dan trimetoprim-sulfametoksazol.
e. Tetrasiklin
Antibiotika ini efektif untuk mengobati infeksi saluran kemih tahap awal.
Sifat resistensi tetap ada dan penggunannya perlu dipantau dengan tes
sensitivitas. Antibotika ini umumnya digunakan untuk mengobati infeksi yang
disebabkan oleh chlamydial.
f.
Quinolon
Asam nalidixic, asam oxalinic, dan cinoxacin efektif digunakan untuk
mengobati infeksi tahap awal yang disebabkan oleh bakteri E. coli dan
Enterobacteriaceae lain, tetapi tidak terhadap Pseudomonas aeruginosa.
Ciprofloxacin ddan ofloxacin diindikasikan untuk terapi sistemik. Dosis untuk
ciprofloxacin sebesar 50 mg dan interval pemberiannya tiap 12 jam. Dosis
ofloxacin sebesar 200-300 mg dan interval pemberiannya tiap 12 jam.
g. Nitrofurantoin
Antibiotika ini efektif sebagai agen terapi dan profilaksis pada pasien
infeksi saluran kemih berulang. Keuntungan utamanya adalah hilangnya
resistensi walaupun dalam terapi jangka panjang.
h. Azithromycin
Berguna pada terapi dosis tunggal yang disebabkan oleh infeksi
chlamydial.
i.
43
b.
Penicillin
Penicillin memilki spectrum luas dan lebih efektif untuk menobati infeksi
akibat Pseudomonas aeruginosa dan enterococci. Penicillin sering digunakan
pada
pasien
yang
ginjalnya
tidak
sepasang
atau
ketika
penggunaan
Cephalosporin
Cephalosporin generasi kedua dan ketiga memiliki aktivitas melawan
bakteri gram negative, tetapi tidak efektif melawan Pseudomonas aeruginosa.
Cephalosporin digunakan untuk mengobati infeksi nosokomial dan uropsesis
karena infeksi pathogen.
d.
Imipenem/silastatin
Obat ini memiliki spectrum yang sangat luas terhadap bakteri gram
positif, negative, dan bakteri anaerob. Obat ini aktif melawan infeksi yang
disebabkan
enterococci
dan
Pseudomonas
aeruginosa,
tetapi
banyak
dihubungkan dengan infeksi lanjutan kandida. Dosis obat ini sebesar 250-500 mg
ddengan interval pemberian tiap 6-8 jam.
e.
Aztreonam
Obat ini aktif melawan bakteri gram negative, termasuk Pseudomonas
aeruginosa.
Umumnya
digunakan
pada
infeksi
nosokomial,
ketika
44
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang laki-laki usia 7 tahun 4 bulan datang dengan keluhan bengkak
pada kelopak mata disertai keluhan tambahan berupa demam. Sejak 1,5 bulan
SMRS penderita mengeluh bengkak pada kelopak mata. Bengkak terutama timbul
di pagi hari dan berkurang di siang hari. Demam (+), batuk (+) tidak berdahak,
pilek (+). BAK 6 kali/ hari warna kuning, busa (+), jumlah lebih sedikit dari
biasanya. BAB seperti biasa 1 kali/ hari warna kuning, padat. Penderita dibawa ke
bidan dan diberi obat pil (ibu penderita lupa jenis dan jumlah obat) yang dimakan
selama 4 hari, dan disuntik 1 kali di pantat. Setelah obat habis demam (-) batuk (-)
45
pilek (-) tetapi bengkak menyebar ke buah zakar dan lipat paha. Penderita
kemudian dibawa berobat ke dokter umum dan diberitahu sakit ginjal. Diberi obat
sirup 2 botol dan 1 macam pil (4 buah) yang hanya boleh dimakan jika bengkak
belum kempes. Sejak 1 minggu SMRS bengkak di muka (+) perut (+). Dua hari
kemudian demam (+) tinggi muncul tiba-tiba terus menerus, demam turun saat
malam hari namun tidak sampai normal. Dua hari berikutnya batuk (+) tidak
berdahak, pilek (+), mual (+). BAK 4-5 kali/ hari warna kuning, busa (+).
Pemeriksaan fisik didapatkan BB/TB =
46
dan diet gizi kurangnya. Untuk infeksi saluran kemihnya belum diterapi sampai
menunggu hasil bakteriuri. Tonsilitis pada pasien ini juga tidak diterapi karena
tidak ada indikasi untuk dilakukan pengobatan ataupun tonsilektomi. Terapi yang
diberikan yaitu
-
Tirah baring
Furosemid tab 2 x 20 mg
DAFTAR PUSTAKA
1. Fisher RG, Boyce TG. A problem-oriented approach. Dalam: Moffets
Pediatric infectious diseases. Edisi ke-4. New York: Lippincott William &
Wilkins;2005.
2. Behrman, R. E., Kliegman, R.M., Jenson, H. B.Nelson Textbook of
Pediatrics 17th Edition. Philadelphia: Saunders, 2004.
3. Soedarmo, Sumarmo P. Poorwo. Herry Garna, dkk.Demam.Dalam: Buku
Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. Badan Penerbit IDAI, Jakarta. 2010; Hal 21 44
47
48