Oleh :
Pendamping :
Menegakkan diagnosis
Memberikan terapi yang sesuai
Memberikan edukasi pada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, pengobatan serta
prognosisnya
Bahan Bahasan :
Tinjauan Pustaka
Cara Membahas :
Diskusi
Data Pasien
Nama Klinik : RSU dr. H.
Koesnadi Bondowoso
Riset
Presentasi &
Diskusi
Nama : Ny. R
Kasus
Audit
Pos
No. RM : 0-71-95-xx
Terdaftar sejak : 2015
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. R
Jenis kelamin
: Perempuan
Usia
: 61 tahun
Alamat
Pekerjaan
Tanggal masuk RS
B. SUBJECTIVE
Anamnesa
Keluhan utama:
Demam
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien diantar keluarga dengan demam. Pasien merasa demam sejak 1 minggu,
demam dirasakan naik turun.pasien lebih merasakan demam pada malam hari. Tiga
jantung (-).
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat batuk lama di keluarga tidak ada. hipertensi (-), penyakit jantung (-), DM
(-).
Riwayat Pengobatan :
Pasien hanya minum jamu yang dibeli di took. Selama sakit tidak pernah berobat di
puskesmas.
Riwayat lingkungan :
Lingkungan pasien merupakan perumahan padat penduduk. Tetangga pasien ada
yang memiliki riwayat batuk lama dan dalam tahap pengobatan 6 bulan
Riwayat makanan
Semenjak sakit, pasien sering merasa mual dan tidak nafsu makan
Riwayat Alergi
Alergi terhadap makanan dan obat obatan tidak diketahui
C. OBJECTIVE
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Sakit Sedang.
Kesadaran/GCS
Tanda Vital :
Tekanan Darah
Nadi
Suhu
Respirasi
: 80/50 mmHg
: 112 x/menit
: 39,0 0C
: 27x/menit
Thorax :
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi
Perkusi
Pulmo
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Abdomen
Inspeksi
: Datar
Perkusi
: Timpani
Ginjal
Ektremitas:
Edema -/-
Akral Hangat
Capillary refill > 2 detik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tanggal 9 Desember 2015
Jenis Tes
LED 1 jam
Hemoglobin
Hasil Test
10,7 g/dL
Leukosit
Hitung jenis
35.400 /mm
P : 11,5-16 g/dL
4.000-11.000 /mm
Eo/bas/bat/seg/lim/mo
Trombosit
Hematokrit
-/-/-/88/10/2 (%)
319.000 /mm
34%
1-3/0-1/2-6/50-70/20-40/2-8
150.000-450.000 /mm
L : 40-70% P : 37-48 %
147 mgr%
SGOT
18 U/l
L : 37 U/I
P : 31 U/I
SGPT
16 U/l
L : 42 U/I
P : 32 U/I
Albumin
Fungsi Ginjal :
2,89 g%
3,5-5,6 g%
Ureum
25 mgr %
10 - 50
Creatinin
0,65 mgr %
L : 0,6 1,1
Natrium
148 mmol/L
135-155 mmol/L
Kalium
4,2 mmol/L
3,6-5,5 mmol/L
Chlorida
111 mmol/L
98-106 mmol/L
P : 0,5-0,9
Serum Elektrolit
Widal:
O
1/80
1/80
D. DAFTAR MASALAH
1. Demam
2. Batuk berdahak 2 mgg
3. Sesak napas
4. Berat badan turun
5. Tanda SIRS: (Febris, Takikardi,Takipneu, dan Leukositosis)
6.
7.
8.
9.
Hipotensi
Akral hangat
CRT > 2 detik
Vocal fremitus kiri lebih lemah dibandingkan kanan
E. ASSESMENT
Syok Septik dan Efusi Pleura Sinistra et causa Tuberculosis Paru
dd Pneumonia
F. PLANNING
Terapi
o O2 masker 8 liter/menit
o Infus RL Loading 2 Liter
o Pasang Dower Kateter no. 16
o Pasang monitor
o Drip Parasetamol 1 gram IV
o Injeksi Omeprazole 1 vial
Konsul dr Maharani Sp. EM
o Loading RL 2 Liter jika TD tidak membaik berikan Dextran 1 kolf jika TD
tetap mulai pemberian NorEpinephrin Dosis 100 nano/kgbb/menit jika TD
membaik masuk ICUKonsul dr Ruangan
o Injeksi Ceftriaxone 1 gram IV
o Infus Metronidazole 500 mg IV
o (Pukul 16.20) mulai pemberian NE dengan tetesan 1,7 cc/jam (BB:45 kg)
TD 100/70 mmHg
Pemeriksaan Penunjang
o Cek Lab Lengkap (DL,LFT,GDS,Albumin, RFT,Serum Elektrolit, Widal)
o EKG
o Thorax foto
o Periksa sputum BTA
o Analisis cairan pleura
Edukasi
o Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai
Tuberkulosis Paru dan berapa lama pengobatan yang harus dijalani.
o Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi
faktor penyebab dan gejala Tuberkulosis paru.sehingga jika ada keluarga
atau tetangga yang mengalami gejala TB segera berobat ke puskesmas
G. HASIL FOLLOW UP
Follow Up 9 Desember 2015
S
- Sesak napas
- Batuk berdahak
-demam
- Mual
O
A
P
GCS 456, tampak lemah
Observasi febris H-7 Advice dr.Gunawan, SpPd:
Tanda vital :
Aminofluid Assering 2:1
dan
syok
septik
Et
dosis NE menjadi 150
TD : 83/48 mmHg
causa
suspek
TB
Paru
N : 83 x/mnt
nano/Kgbb/menit2,5
RR : 28 x/mnt
cc/jam
S : 38,3C
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
SPo2: 96 %
Inf Metronidazole 3x500mg
Kepala dan leher :dbn
Injeksi Prosogan 2x1 vial
Thorax :
Injek Dexamethasone 3x1
Jantung : dbn
Diit BH
Paru :
Memposisikan semi Flowler
I/P : Vocal fremitus kiri lebih lemah
Cek Sputum BTA dan Foto
dibandingkan kanan
Thoraks AP
P : sonor /redup
Pukul 23.00
A : ves +/, rhonki -/- ,wheezing -/Vital sign stabil
Abdomen : dbn
Ekstremitas : Akral Hangat
O
- GCS 456, tampak lemah
- Tanda vital :
A
- Observasi febris H-8
dengan syok septik Et
P
Visit dr Gunawan Sp. PD
02 nasal 3lpm
TD : 120/70 mmHg
N : 87 x/mnt
RR : 26 x/mnt
S : 37.8C
SP02: 97%
- Kepala dan leher :dbn
- Thorax :
Jantung : dbn
Paru :
I/P : Vocal fremitus kiri lebih lemah
dibandingkan kanan
P : sonor /Redup
- A : ves +/, rhonki -/- ,wheezing
-/-Abdomen : dbn
cc/jam (STOP)
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
Inf Metronidazole 3x500mg
Injeksi Prosogan 2x1 vial
Injek Dexamethasone 3x1
Jika hasil Lab dan Foto
Thorax jadi laporkan
-Ekstrmts: dbn
Thorax PA
Cor : Bentuk dan ukuran normal.
Pulmo : Bronchovascular pattern meningkat kasar
S. Phrenicostalis dextra tajam et sinistra tumpul
Kesimpulan. Bronchitis kronis
Follow Up 11 Desember 2015
S
- Sesak napas berkurang
- Batuk berdahak
- Nyeri perut
O
Pukul 06.00
- GCS 456, tampak lemah.
- Tanda vital :
TD : 80/50 mmHg
N : 88 x/mnt
A
Syok Septik dan Efusi
Pleura
causa
Sinistra
et
10
RR : 24 x/mnt
S : 37,6C
SP02:97%
Pukul 11.00
TD : 100/60 mmHg
N : 68 x/mnt
RR : 24 x/mnt
S : 37,4C
SP02:97%
- Kepala dan leher :dbn
- Thorax :
Jantung : dbn
Paru :
I/P : Vocal fremitus kiri lebih lemah
dibandingkan kanan
P : sonor /Redup
- A : ves +/, rhonki -/- ,wheezing -/- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn
Paru
nano/Kgbb/menit0,8
-
150 cc
Analisa cairan pleura
Proof punksi
Punksi pleura 50 cc
Injek Levofloksasin 2x 750
mg
11
O
A
P
- GCS 456, tampak sakit sedang
Syok Septik dan Efusi
- Tanda vital :
Visite dr Yus Priyatna SP. P
Pleura
Sinistra
et
OAT Pro TB 4 1x3 tab
TD : 120/70 mmHg
Injek Levofloksasin 2x 750
causa
Tuberculosis
N : 78 x/mnt
RR : 20 x/mnt
mg
Paru
S : 37,0C
Infus Assering 14 tpm
Masukan NE dosis 50
- Kepala dan leher :dbn
- Thorax :
nano/Kgbb/menit0,8
Jantung : dbn
cc/jam (STOP)
Paru :
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
I/P : Vocal fremitus kiri lebih lemah
Inf Metronidazole 3x500mg
dibandingkan kanan
Injeksi Prosogan 2x1 vial
P : sonor /Redup
Injek Dexamethasone 3x1
A : ves +/, rhonki -/- ,wheezing -/- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn
S
Batuk berkurang
Nyeri perut
O
- GCS 456, tampak sakit sedang
- Tanda vital :
12
TD : 120/70 mmHg
N : 78 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 37,0C
- Kepala dan leher :dbn
- Thorax :
Jantung : dbn
Paru :
I/P : Vocal fremitus kiri
Tuberculosis Paru
S
Batuk berkurang
O
- GCS 456, tampak sakit sedang
- Tanda vital :
TD : 120/70 mmHg
N : 78 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 37,0C
- Kepala dan leher :dbn
A
P
- Syok Septik dan Efusi Visite dr Yus Priyatna SP. P
OAT Pro TB 4 1x3 tab
Pleura Sinistra et causa Injek Levofloksasin 1x 750 mg
Tuberculosis Paru
Infus Assering 14 tpm
Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
Inf Metronidazole 3x500mg
Injeksi Prosogan 2x1 vial
Injek Dexamethasone 3x1
13
- Thorax :
Jantung : dbn
Paru :
I/P : Simetris
P : sonor /sonor
A : ves +/+, rhonki (-/-),Wh
(-/-)
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn
Pasien KRS
P/O:
- tab Levofloksasin 2x1
- OAT Pro TB 4 1x3 tab
- Ambroxol 3x 1 tab
- 3 hari kontrol
14
15
16
Subjektif
a. Keluhan utama : Demam.
b. Riwayat penyakit sekarang : Pasien merasa demam sejak 1 minggu,
demam dirasakan naik turun.pasien lebih merasakan demam pada malam
hari. Tiga hari SMRS demam dirasakan terus menerus.
c. Keluhan Tambahan :Pasien batuk berdahak sejak 2 minggu SMRS,
Dahak kental warna kuning. Sesak napas 4 hari SMRS.sesak dirasakan
saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila istirahat, namun tidak hilang
sepenuhnya. pusing (+),mual (+), sejak sakit nafsu makan menurun dan
berat badan turun. BAK sedikit 2 hari ini.
d. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat sesak sejak kecil dan sebelumnya
e. Riwayat Penyakit Keluarga :Riwayat batuk lama di keluarga tidak ada.
f. Riwayat Pengobatan : Pasien hanya minum jamu yang dibeli di toko.
Selama sakit tidak pernah berobat di puskesmas.
g. Riwayat lingkungan : Tetangga pasien ada yang memiliki riwayat batuk
lama dan dalam tahap pengobatan 6 bulan
h. Riwayat makanan :Semenjak sakit, pasien sering merasa mual dan
tidak nafsu makan.
Objektif
Hasil dari pemeriksaan fisik yang mendukung untuk menegakkan diagnosis
yaitu:
a. Gejala klinis
b. Pemeriksaan fisik :
Tanda-tanda vital : tensi 80/50 mmHg, nadi 112 x/m, RR 27x/m,
suhu 39,0C
Thorax (Paru) : Vocal fremitus kiri lebih lemah dibandingkan
kanan, Perkusi : Terdengar sonor/ redup, Vesikuler +/
17
paru dan Efusi pleura. keluhan utama batuk sejak 1 bulan dan sesak napas 4 hari SMRS
1 hari SMRS. Dari keluhan tersebut, adanya gangguan di system respirasi atau gagal
jantung. Kurang lebih 1 bulan SMRS, pasien sering mengeluh batuk, dahak (+), warna
dahak kuning, nafsu makan yang menurun, berat badan menurun. Pada keadaan ini,
pasien tidak berobat. Dari keluhan tersebut dapat diketahui adanya batuk kronis, yang
disebabkan TB paru atau bronchitis kronik.selain batuk, pasien juga mengeluh sesak
napas sesak dirasakan saat beraktivitas dan sedikit berkurang bila istirahat, namun tidak
hilang sepenuhnya.dari hasil pemeriksaan fisik di dapatkan Vocal fremitus kiri lebih
lemah dibandingkan kanan, Perkusi : Terdengar sonor/ redup, Vesikuler +/,
dikarenakan adanya proses pada pleura, dapat disebabkan adanya pleuritis atau efusi
pleura.
BAB II
PEMBAHASAN
SYOK SEPTIK
Sepsis adalah permasalahan yang memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi
terutama pada orang lanjut usia. Lansia lebih rentan terkena infeksi karena proses
perubahan tubuh dan menurunnya fungsi organ organ serta adanya penyakit komorbid.
Diagnosi sepsis pada lansia agak sulit, karena lansia memberikan respon yang kurang
jelas terhadap sepsis dan dapat disertai dengan delirium. Karena penegakan diagnosis
yang agak sulit, penatalaksanaan terhadap sepsisnya dapat tertunda sehingga
mempengaruhi hasil akhir pengobatan. Terdapat kecenderungan untuk menangani lansia
secara kurang agresif karena faktor penuaan, namun perlu dipertimbangkan hal hal
18
19
20
Manifestasi infeksi pada lansia sering tidak khas dan karenanya perlu pengamatan yang
cermat.demam dapat tidak ditemui pada sepertiga pasien berusia diatas 65 tahun yang
mengalami infeksi akut berat yang membahayakan nyawa.
Manifestasi dari respon sepsis biasanya ditekankan pada gejala dan tanda-tanda
penyakit yang mendasarinya dan infeksi primer. Tingkat di mana tanda dan gejala
berkembang mungkin berbeda dari pasien dan pasien lainnya, dan gejala pada setiap
pasien sangat bervariasi. Sebagai contoh, beberapa pasien dengan sepsis adalah normoatau hipotermia, tidak ada demam paling sering terjadi pada neonatus, pada pasien
lansia, dan pada orang dengan uremia atau alkoholisme. Pasien dalam fase awal sepsis
sering mengalami cemas, demam, takikardi, dan takipnea. Pada sepsis berat muncul
dampak dari penurunan perfusi mempengaruhi setidaknya satu organ dengan gangguan
kesadaran, hipoksemia (PO2 <75 mmHg), peningkatan laktat plasma, atau oliguria (30
ml / jam meskipun sudah diberikan cairan). Sekitar satu perempat dari pasien
mengalami sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) dengan infiltrat paru bilateral,
hipoksemia (PO2 <70 mmHg, FiO2 >0,4), dan kapiler paru tekanan <18 mmHg .Pada
syok septik terjadi hipoperfusi organ . Diagnosis sepsis sering terlewat, khususnya pada
pasien usia lanjut yang tanda-tanda klasik sering tidak muncul. Gejala ringan, takikardia
dan takipnea menjadi satu-satunya petunjuk, Sehingga masih diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut yang dapat dikaitkan dengan hipotensi, penurunan output urin, peningkatan
kreatinin plasma, intoleransi glukosa dan lainnya
Pada kasus ini, ditemukan manifestasi klinis seperti sesak nafas
mendadak disertai batuk dan mengi. Selain itu didukung oleh pemeriksaan
fisik paru seperti adanya otot bantu napas, ronkhi dan wheezing positif di
kedua lapang paru.
Diagnosis
Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai sindrom
sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan
lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam
memfokuskan terapi. Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi
diagnostik dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas
(perlu untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi),
sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan
21
inisiasi cepat resusitasi. Kemudian dilakukan anamnesis riwayat penyakit dan juga
beberapa pemeriksaan fisik untuk mencari etiologi sepsis.
Sistem pernapasan adalah sumber yang paling umum infeksi pada pasien sepsis.
Riwayat batuk produktif, demam, menggigil, gejala pernapasan atas, masalah
tenggorokan dan nyeri telinga harus dicari. Kedua, adanya pneumonia dan temuan
takipnea atau hipoksia telah terbukti merupakan alat prediksi kematian pada pasien
dengan sepsis.
Pemeriksaan fisik juga harus mencakup evaluasi rinci untuk infeksi fokal, misalnya
tonsilitis eksudatif, nyeri pada sinus, injeksi membran timpani, dan ronki atau dullness
pada auskultasi paru. Sistem pencernaan adalah yang kedua paling umum sumber
sepsis. Sebuah riwayat nyeri perut, termasuk deskripsi, lokasi, waktu, dan faktor
pemberat harus dicari. Riwayat lebih lanjut, termasuk adanya mual, muntah, dan diare
harus dicatat. Pemeriksaan fisik yang cermat, mencari tanda-tanda iritasi peritoneal,
nyeri perut, dan bising usus , sangat penting dalam mengidentifikasi sumber sepsis
perut.
Perhatian khusus harus diberikan temuan fisik member kesan sumber umum infeksi atau
penyakit tanda Murphy menunjukkan kolesistitis, nyeri pada titik McBurney
menunjukkan usus buntu, nyeri kuadran kiri bawah menunjukkan divertikulitis, dan
pemeriksaan rektal mengungkapkan abses rektum atau prostatitis.
Sistem neurologis diperiksa dengan mencari tanda-tanda meningitis, termasuk kaku
kuduk, demam, dan perubahan kesadaran. Pemeriksaan neurologis terperinci adalah
penting. Letargi atau perubahan mental mungkin menunjukkan penyakit neurologis
primer atau hasil dari penurunan perfusi otak dari keadaan shock.
Riwayat urogenital termasuk pertanyaan mengenai adanya nyeri pinggang, disuria,
poliuria, discharge, pemasangan kateter, dan instrumentasi urogenital. Riwayat seksual
untuk menilai resiko penyakit menular seksual. Alat kelamin juga harus diperiksa untuk
melihat apakah ada bisul, discharge, dan lesi penis atau vulva. Pemeriksaan dubur harus
dilakukan, menentukan ada nyeri, pembesaran prostat, konsisten dengan prostatitis.
Nyeri adneksa pada wanita berpotensi abses tuba-ovarium.
Riwayat muskuloskeletal adanya gejala ke sendi tertentu. Kemerahan, pembengkakan,
dan sendi terasa hangat, terutama jika ada berbagai penurunan kemampuan gerak sendi,
mungkin tanda-tanda sepsis arthritis dan mungkin arthrocentesis. Pasien harus benar-
22
benar terbuka dan kulit diperiksa untuk melihat selulitis, abses, infeksi luka, atau
trauma. Luka yang mendalam, benda asing sulit untuk mengidentifikasi secara klinis.
Petechiae dan purpura merupakan infeksi Neisseria meningitidis atau DIC. Ruam
seluruh tubuh merupakan eksotoksin dari pathogen seperti Staphylococcus aureus atau
Streptococcus pyogenes.
Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang digunakan foto
toraks, pemeriksaan dengan prosedur radiografi dan radioisotop lain sesuai dengan
dugaan sumber infeksi primer .
Dari anamnesis pasien adanya keluhan sesak napas disertai
mengi dan dicetuskan oleh batuk, diperparah oleh cuaca dingin dan
debu. sesak nafas disertai dengan mengi dan adanya riwayat alergi,
selain itu terdapat riwayat atopi pada keluarga yaitu ibu.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya otot bantu napas serta
adanya rhonki dan wheezing pada auskultasi pulmo .
Penatalaksanaan
23
jamur jika terindikasi secara klinis). Dalam memilih antibiotic untuk pasien lansia,
umumnya semua obat dapat diberikan sesuai indikasi yang sama dengan pasien dewasa
muda. Namun dosis dan interval obat harus disesuaikan pada lansia yang memiliki berat
badan yang rendah dan fungsi ginjal yang terganggu. Efek samping obat terjadi 2-3 kali
lebih sering pada lansia dibandingkan dewasa muda. Penggunaan dosis obat yang tepat
tidak hanya penting untuk menentukan keberhasilan terapi tetapi juga untuk mencegah
terjadi resistensi. Pemilihan dosis yang tepat untuk lansia merupakan seni yang harus
mempertimbangkan kurangnya penetrasi obt ke jaringan, terganggunya farmakokinetik
obat, penyakit-penyakit penyerta dan lemahnya system imun tubuh.
e. Steroid dan ibuprofen juga telah digunakan dalam usaha menghentikan respon inflamasi
dengan berbagai hasil yang masih diamati.
f. perawatan suportif yang adekuat dengan pemantauan ketat,nutrisi cukup, profilaksis
terhadap ulkus dan deep vein thrombosis dan dukungan ventilasi harus dipertimbangkan
sebagai komponen esensial dalam perencanaan perawatan pasien lansia dengan sepsis.
g. Pengobatan biologi Drotrecogin alfa (Xigris), suatu bentuk rekayasa genetika aktifasi
protein C, telah disetujui untuk digunakan di pasien dengan sepsis berat dengan multiorgan
disfungsi (atau APACHE II skor >24); bila dikombinasikan dengan terapi konvensional,
dapat menurunkan angka mortalitas.
3. Sepsis kronis
Terapi antibiotik berdasarkan hasil kultur dan umumnya terapi dilanjutkan minimal selama
2 minggu.
Pada pasien ini, saat serangan di IGD diberikan nebulisasi beta2 agonis yaitu
nebulisasi ventolin (salbutamol) pertama dilanjutkan kedua kemudian nebulisasi ketiga
Ventolin + pulmicort, inj Metil prednisolon, O2 3 lpm. Lalu diobservasi pasien hanya
menunjukkan respon parsial sehingga perlu rawat inap.
24
Walaupun studi populasi menunjukan bahwa pasien lansia memang memiliki mortalitas
yang lebih tinggi pada sepsis, namun penting bagi klinisi untuk memisahkan prognosis
umum antara populasi lansia dengan individu lansia. Umur tidak bias menjadi satusatunya faktor untuk memprediksi outcome atau untuk menentukan pilihan perawatan
pada pasien.Walaupun umur adalah faktor penting dalam memprediksi lama rawatan di
ICU, namun peningkatan mortalitas yang terjadi pada lansia dengan sepsis terjadi
karena komorbid yang dialami kelompok usia ini, antara lain:
Metastatic neoplasm (43,4%)
Penyakit hati kronik (37,1%)
Non metastatic neoplasm (36,9%)
Penyakit ginjal kronis
PPOK (32,1%)
Tuberkulosis paru
Definisi
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru. Nama tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan
kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok
mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai
oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Tb paru dapat
menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada paru batuk, bersin atau
bicara
Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi Tb paru yaitu menurut Depkes yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak
termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2. Tuberkulosis ekstra paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
25
Etiologi
Penyakit Tb paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam
sehingga dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA) . Sumber penularan adalah
penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang
mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.
Orang
dapat
terinfeksi
kalau
droplet
tersebut
terhirup
ke
dalam
saluran
26
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak
negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Seseorang terinfeksi tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut.
Diagnosis
Diagnosis
tuberkulosis
paru
ditegakkan
melalui
pemeriksaan
gejala
klinis,
27
PATOGENESIS
Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT. Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang
sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali
timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih
aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat
membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikro bakteri baru jauh
lebih sulit dan lambat dibandingkan antibakteri lain:
Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin,
Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin ,Amikasin, Kuinolon.
Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori
yaitu :
28
1. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari
(tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada:
a. Penderita baru TBC paru BTA positif.
b. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
2. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3
Diberikan kepada :
a. Penderita kambuh.
b. Penderita gagal terapi.
c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat.
3. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3
Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.
4. Kategori 4: RHZES
Diberikan pada kasus Tb kronik .
Komplikasi
Tb paru apabila tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi dua,
yaitu :
1. Komplikasi dini: komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
2. Komplikasi pada stadium lanjut :
a. Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik
b. Kolaps lobus akibat sumbatan duktus
c. Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat
pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru
d. Pnemotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan sebagainya
29
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga
dengan nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik
berhubungan dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru,
infeksi TB pada organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia primer.
Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui
pleura viseral sebagai proses hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada
beberapa kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme
patogenik lain pada sebagian besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua
kelainan pada pleura berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus
dicurigai akibat penyebaran infeksi sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip
reaksi imunologi terhadap Ag M. TB
Patogenesis
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura. Mekanisme terjadinya efusi pleura TB
bisa dengan beberapa cara:
1. Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini
merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12
minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi pleura TB
ini diduga akibat pecahnya focus perkijuan subpleura paru sehingga bahan perkejuan
dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan Limfosit T yang
akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit akan melepaskan
limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura
terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura.
Cairan efusi
umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang bila terdapat banyak
kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen, sehingga membentuk
empiema TB.
2. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
Jarang, keadaan seperti ini akan berlanjut menjadi nanah (empiema). Efusi pleura ini
terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti
rendah.
30
3. Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga
pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan
dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).
Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.
2.5. Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu.
Namun jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan
gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik. Efusi pleura TB biasanya memberikan
gambaran klinis yang bervariasi berupa
gejala respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas. Gejala umum berupa demam,
keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah
juga bisa dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya
tidak berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14%
yang subfebris, penurunan berat badan dan malaise. Walaupun TB merupakan suatu
penyakit yang kronis akan tetapi efusi pleura TB sering manifestasi klinisnya sebagai
suatu penyakit yang akut.30 Sepertiga penderita efusi pleura TB sebagai suatu penyakit
akut yang gejalanya kurang dari 1 minggu.49 Pada suatu penelitian terhadap 71
penderita ditemukan 31% mempunyai gejala kurang dari 1 minggu durasinya dan 62%
dengan gejala kurang dari satu bulan.Umur penderita efusi pleura TB lebih muda
daripada penderita TB paru.
Diagnosis
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan pleura dan
jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura. Diagnosis dapat
juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-, dan PCR cairan pleura. Hasil
darah perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidak mengalami lekositosis.30
Sekitar 20% kasus efusi pleura TB menunjukkan gambaran infiltrat pada foto toraks.
Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat tergantung pada
banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi dada bisa dilihat
kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada dada yang terlibat,
31
sela iga melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat. Pada palpasi stem
fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup pada daerah yang
terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler melemah sampai
menghilang, suara gesekan pleura.
Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American Thoracic Society
(ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi sedang, dan
lesi luas. Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan radiologis toraks posisi
Posterior Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran konsolidasi homogen dan
meniskus, dengan sudut kostophrenikus tumpul, pendorongan trakea dan mediastinum
ke sisi yang berlawanan.
Penatalaksanaan:
1.Obati penyakit dasar
2.Punksi pleura:
INDIKASI
Diagnostik
Paliatif ( mengurangi gejala; sesak nafas )
Cairan produktif
3.Punksi pleura dapat di lakukan;
WSD atau mini WSD
A.
DEFINISI
Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan
inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,
eosinophil dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi tersebut menyebabkan
episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan
napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversible baik
secara spontan maupun dengan pengobatan.
32
Asma merupakan suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang
bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan
nafas. Dari definisi di atas, maka dapat diambil poin penting mengenai asma, yaitu :
1. Asma merupakan penyakit gangguan jalan nafas
2. Ditandai dengan hipersensitifitas bronkus dan bronkokonstriksi
3. Diakibatkan oleh proses inflamasi kronik
4. Bersifat reversibel
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang
berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang
lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya
hanya singkat, dengan pengamatan 1-2 jam. Gambaran klinis Status Asmatikus
penderita tampak sakit berat dan sianosis, sesak napas, bicara terputus-putus, banyak
berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh
dalam dehidrasi berat. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup
baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma.
B.
lingkungan.
1.
Faktor Genetik
Atopi/alergi, penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
2.
33
C.
PATOGENESIS
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui jalur imunologis yang didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada
asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa
mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil, dan
bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
34
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
selama 16-24 jam, bahkan kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci
dalam patogenesis asma.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu proses
inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses inflamasi.
Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula proses
remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori
melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsi
antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks
Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-),
dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan
proses yang penting dalam remodelling. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran
respiratori serta sel goblet dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma,
terutama pada proses inflamasi kronik dan berat.
D.
MANIFESTASI KLINIS
Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi
35
(wheezing), batuk yang disertai serangan napas yang kumat-kumatan. Mengi (wheezing)
terutama terdengar saat ekspirasi. Berat ringannya wheezing tergantung cepat atau
lambatnya aliran udara yang keluar masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau
kelelahan otot pernapasan, wheezing akan terdengar lebih lemah atau tidak terdengar
sama sekali. Batuk hampir selalu ada, bahkan seringkali diikuti dengan dahak. Selain
itu, makin kental dahak, maka keluhan sesak akan semakin berat.
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih
menyukai
posisi
duduk membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut, posisi ini
didapati juga pada pasien dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), otot bantu pernapasan ikut aktif,
dan penderita tampak gelisah. Pada fase permulaan, sesak napas akan diikuti dengan
penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik. Hipoventilasi yang
terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena menyebabkan penurunan PaO2
dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain itu, terjadi kenaikan tekanan darah dan
denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam
darah akibat respons hipoksemia.
Pada kasus ini, ditemukan manifestasi klinis seperti sesak nafas
mendadak disertai batuk dan mengi. Selain itu didukung oleh pemeriksaan
fisik paru seperti adanya otot bantu napas, ronkhi dan wheezing positif di
kedua lapang paru.
E. KLASIFIKASI
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut).
1.
Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: intermitten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan berat-ringannya
36
2.
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi
asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien
memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk dengan
cepat, atau pasien berisiko tinggi.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Gejala dan
Tanda
20-30/menit
100-120
Berat
Mengancam Jiwa
Istirahat
Duduk
membungkuk
Kata demi kata
Gelisah
Mengantuk,
gelisah, kesadaran
menurun
> 30/menit
> 120
Bradikardia
Pulsus
paradoksus
+/- 10 20
mmHg
+
25 mmHg
Sesak napas
Posisi
Cara berbicara
Kesadaran
Ringan
Berjalan
Dapat tidur
terlentang
Satu kalimat
Mungkin
gelisah
10 mmHg
Sedang
Berbicara
Duduk
Keadaan
Beberapa kata
Gelisah
Kelelahan otot
37
Otot Bantu
Napas dan
retraksi
suprasternal
Mengi
Akhir
ekspirasi
paksa > 80%
APE
> 80%
PaO2
> 80 mmHg
PaCO2
< 45 mmHg
SaO2
> 95%
Sumber : GINA, 2012
Torakoabdominal
paradoksal
Akhir
ekspirasi
Inspirasi dan
Ekspirasi
Silent Chest
60-80 %
80-60 mmHg
< 45 mmHg
91-95%
< 60%
< 60 mmHg
> 45 mmHg
< 90%
F.
DIAGNOSIS
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk
38
39
G. DIAGNOSA BANDING
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
Bronkitis kronik
Gagal jantung kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis
Emboli paru
H. KOMPLIKASI
1. Atelektasis
2. Hipoksemia
3. Pneumothoraks
4. Emfisema
5. Deformitas thoraks
6. Gagal nafas
I. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
40
Obat Asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada
saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan
asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus.
Jenis Obat Asma
Jenis obat
Golongan
Nama generik
Pengontrol
(Antiinflamasi)
Steroid inhalasi
Flutikason propionat
Budesonide
IDT
IDT, turbuhaler
Antileukokotrin
Zafirlukast
Montelukas
Oral (tablet)
Kortikosteroid
sistemik
Metilprednisolon
Prednison
Oral, injeksi
Oral
Agonis beta-2
kerjalama
Prokaterol
Formoterol
Salmeterol
Oral
Turbuhaler
IDT
Kombinasi steroid
dan
Agonis beta-2
kerjalama
Flutikason + Salmeterol.
Budesonide + formoterol
IDT
Salbutamol
Terbutalin
Pelega
(Bronkodilator)
Bentuk/kemasan obat
Turbuhaler
Prokaterol
Fenoterol
Antikolinergik
Ipratropium bromide
IDT, solution
Metilsantin
Teofilin
Aminofilin
Teofilin lepas lambat
Oral
Oral, injeksi
Oral
Kortikosteroid
sistemik
Metilprednisolon
Prednison
Oral, inhaler
Oral
Keterangan :
IDT : Inhalasi dosis terukur = Metered dose inhaler/MDI, dapat digunakan bersama dengan spacer
41
tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat
dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penanganan di rumah
Terapi awal berupa inhalasi -agonis kerja pendek hingga 3 kali dalam satu jam.
Kemudian keluarga diminta melakukan penilaian respon untuk penentuan derajat
serangan yang kemudian ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Untuk tatalaksana di rumah
kepada pasien perlu ditekankan ketersediaan obat pereda baik dalam bentuk obat oral
ataupun obat hirupan yang setiap saat dapat digunakan. Bila dengan bronkodilator saja
belum membantu, tambahkan steroid oral.
42
43
Serangan Ringan
Jika dengan satu kali nebulisasi pasien menunjukkan respon yang baik
(complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2
jam, jika respon tersebut bertahan (klinis tetap baik), pasien dapat dipulangkan. Pasien
dibekali obat bronkodilator (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika
pencetus serangannya adalah infeksi virus dan ada riwayat serangan asma sedang/berat,
dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari).
Serangan Sedang
44
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respon parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk
itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai dengan pedoman diatas. Jika serangannya
memang termasuk serangan sedang, berikan oksigen 3 lpm, kemudian pasien
diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari, dan dipasang jalur parenteral.
Serangan Berat
Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons
(poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai
pedoman) maka pasien harus dirawat di ruang rawat inap. Oksigen 2-4 lpm diberikan
sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks.
Jika sejak penilaian awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan
sekali langsung dengan -agonis dan antikolinergik. Sedangkan bila pasien
menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti nafas, pasien harus langsung dirawat di
ruang rawat intensif.
Penanganan di Ruang Rawat
1. Pemberian oksigen diteruskan.
2. Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena
dan dikoreksi asidosisnya.
3. Steroid diberikan tiap 6-8 jam, secara bolus IV/IM/oral.
4. Nebulisasi -agonis antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam,
jika dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian
dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
5. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis
awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam
45
8. Jika dengan tatalaksana diatas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda
ancaman henti nafas, maka pasien dialih ke ruang rawat intensif.
Penanganan di Ruang Rawat Intensif
Pasien yang sejak awal masuk IGD sudah memperlihatkan tanda-tanda ancaman henti
nafas, langsung dirawat di ruang rawat intensif. Secara ringkas kriterianya adalah
sebagai berikut:
Tidak ada respon sama sekali terhadap tatalaksana awal di IGD dan/atau
kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap.
Ancaman henti nafas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2 > 60 mmHg, walaupun tentu saja gagal nafas dapat terjadi dalam
kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
penggunaannya
Mengenali dan menghindari faktor pencetus
Kontrol teratur
46
Terkontrol
Terkonrol
Sebagian
Gejala harian
Tidak
Terkonrol
3 atau lebih fitur asma
2 kali / minggu
Pembatasan aktivitas
Gejala
nokturnal/gangguan tidur
(terbangun)
Kebutuhan akan reliever
atau terapi rescue
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Ada
2 kali / minggu
Normal
terkontrol sebagian
tertentu
(kejadian eksaserbasi
akan dinilai sebagai
Keterangan :
*)
Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun
**)
Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apakah benar-benar adekuat Sumber : GINA 2008
47
J. PENCEGAHAN
1.
Pendidikan/penyuluhan.
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa pengobatannya,
apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana dapat menghindari
2.
3.
48
Dari data-data yang didapat, angka kematian akibat asma yang mengancam nyawa
relatif kecil, lebih banyak terjadi pada wanita dan angka kematian biasanya meningkat
di daerah dengan keterbatasan pelayanan kesehatan. Beberapa pasien berlanjut ke
stadium yang lebih berat dengan persentasi 6-19%. Tanpa diterapi, asma tidak berlanjut
dari stadium ringan ke stadium berat dalam waktu yang singkat, tetapi perburukan
terjadi secara perlahan-lahan. Secara umum prognosis asma adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
49
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia.
http://www.depkes.go.id/downloads/Kepmenkes/KMK%2010234.
XI08%20pengendalian%20asma.pdf.
Medicafarma. (2008, Mei 7). Asma Bronkiale. Diakses 8 Juli 2013 dari
5.
6.
asma-bronkiale.html.
Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto
7.
8.
Health, 2007.
Gotzsche CP. House dust mite control measures for asthma: systematic review in
9.
10.
50